Sabtu, 07 Februari 2009

PEMILIH TANPA SUARA

Oleh Syafruddin Muhtamar

Golput (golongan putih) adalah sepenggal kata yang tidak pernah ketinggalan dalam keramaian lalu lintas wacana disetiap jelang pesta demokrasi di negara ini. Sepenggal kata yang mengisyaratkan beragam makna dan maksud. Golongan putih dalam persepsi umum dikaitkan langsung dengan politik, mengikat warga dan gerakannya secara historis bergandenan dengan peristiwa-peristiwa politik pemilu dan politik kekuasaan. Sejak awal kemunculannya pada sekitar pemilu tahun 70-an, fenomena golput telah menuai kritikan dari berbagai kalangan, baik yang beroposisi mendukung maupun penegasan tentang pengharamannya, termasuk juga pihak-pihak yang bersikap netral terhadapnya. Keberadaan gerakan ini telah menjadi gejala tersendiri dalam realitas politik kita dan memberi warna lain dalam kehidupan demokrasi.
Kecilnya kuantitas dari golongan ini, membuat kalangan netral beranggapan bahwa golput tidak perlu dipermasalahkan, sebab kekuatan yang dimilikinya tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap hasil pemilu. Namun mereka yang mendukung akan memformulasi gagasan bahwa pemilu adalah hak politik dalam demokrasi; setiap individu berhak untuk menggunakan hak politiknya. Sementara yang mengharamkan golput, lebih beranggapan bahwa prosesi pemilu harus terselenggara secara maksimal. Karena itu mereka yang dianggap oleh hukum sah sebagai pemilu wajib untuk menggunakan hak suaranya, sehingga kemenangan pemilu bisa diraih dengan meyakinkan dan kadar keabsahan pemilu menjadi lebih tinggi.
Sebagai bagian dari realitas politik, golput jelas memiliki latar belakang yang kemudian mencetuskan kelahirannya, selain bahwa gerakan inipun tidak lepas dari landasan. Argumentasi yang bisa menjadi visi ataupun misi dan pola pergerakan pada keterlibatannya dalam arena sosial-politik, serta dampaknya dalam kehidupan politik. Dalam upaya mengacu pada ketiga permasalahan pokok itu, menurut Arbi Sanit (1972 : 15), golput harus diamati sebagai gerakan protes. Sebagai salah satu bentuk dari gerakan masyarakat yang terkait erat dengan pertumbuhan penghayatan ide demokrasi politik, gerakan protes tidaklah merupakan perwujudan dari proses disorganisasi masyarakat apapun perubahan struktur internal kelompok utama masyarakat beserta posisinya didalam tatanan masyarakat. Ada tiga dasar dari gerakan protes.
Pertama adalah pencarian prinsip keteraturan masyarakat, keadilan dan legitimasi penguasa dalam kerangka nilai baru yang dapat diterima oleh strata yang luas. Kedua ialah memusatkan perhatian pada pembaruan masyarakat dalam segala aspek kehidupannya, khususnya pembentukan simbol bagi identitas pemersatu masyarakat dan ketiga adalah mengusahakan kemungkinan perwujudan kreatifitas dan kemanusiaan dalam kerangka pembagian kerja masyarakat. Secara menyeluruh tema-tema gerakan yang bersifat teknis tersebut, mengacu pada pelaksanaan demokrasi. Sebab tema-tema tersebut pada hakekatnya merupakan operasionalisasi demokrasi sebagaimana ditampilkan oleh aktivitas dan pemikiran gerakan protes.
Dalam perjalanannya, gerakan ini seringkali terombang-ambing diantara depolitisasi secara relatif dan pengasingan dari lembaga utama atau pusat kehidupan politik dan budaya di satu pihak, dan dari partisipasi langsung didalam perlawanan terhadap rezim yang sedang berkuasa dipihak lainnya. Sehingga menyebabkan terbatasinya dukungan dan kekuatan. Dalam kondisi seperti ini gerakan protes memilih bekerja sama dengan pihak ketiga untuk memperkuat bargaining position terhadap kelompok kuat yang dihadapi.
Seiring perkembangan kehidupan masyarakat, gerakan ini juga mengalami perubahan dalam perjalanannya, baik wujud kelompok atau gerakan, pola aksi dan bahkan ideologi mendapat penyesuaian berdasarkan perubahan masyarakat tersebut. Dari pemahaman seperti itu, bisa dikatakan bahwa golput adalah gerakan protes terhadap sebuah watak kekuasaan yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi serta gerakan perlawanan terhadap mentalitas politik tidak sehat yang diperlihatkan oleh para politisi. Sehingga berpotensi merusak sebuah kultur politik yang serius dan dewasa, atau gerakan pembangkangan terhadap sebuah konsensus politik yang dibangun diatas semangat politik yang tidak mendidik masyarakat luas, malah sebuah pembodohan. Asumsi seperti ini lebih bersifat politis ketimbang faktor-faktor lain yang juga memiliki kemungkinan untuk melahirkan orang-orang golongan putih, misalnya ekonomi, budaya, pendidikan dan psikologi.
Golput yang bernuansa politik lebih terasa pada individu-individu yang secara langsung bersentuhan dengan semangat dan praktek politik pada sentra-sentra kekuasaan yang tengah berlangsung. Maka memahami secara paradigmatik dan pragmatik fenomena politik yang sedang berjalan, sehingga karenanya mereka sadar menjadi golongan putih. Bagi mereka pilihan untuk tidak menggunakan hak suara dalam pemilu adalah pilihan rasional. Namun menjadi tidak rasional ketika pilihan subyektif itu dilembagakan dalam gerakan kampanye mengajak publik untuk melakukan hal yang sama. Sebab selain mengkhianati jiwa demokrasi, juga pada saat yang sama, hanya akan memperparah proses pendidikan politik masyarakat.
Selain mereka yang sadar menjadi golput, juga terdapat individu-individu yang secara tidak sadar memiliki pilihan yang sama. Pilihan mereka yang disebut terakhir ini lebih merupakan refleksi dari beban psikologi yang mereka alami, yakni kehilangan kepercayaan pada otoritas-otoritas tertentu yang secara ideal diharapkan mampu menjadi pelayan bagi banyak orang. Namun dalam praktek otoritas-otoritas ini (baik yang bersifat individual maupun institusional) melakukan penyimpangan yang merugikan masyarakat baik langsung atau tidak langsung. Sehingga dalam momentum-momentum tertentu gumpalan kekecewaan terhadap penegak hukum, mereka cenderung menyelesaikan masalah diluar sistem hukum yang berlaku, kekecewaan terhadap pelaku dan institusi politik, mereka menjadi apolitis, termasuk ikut berdiri dalam barisan golongan putih.
Meskipun golongan ini tidak menghimpun diri dalam gerakan yang terformat secara formal, tetapi secara umum mereka bekerja berdasarkan prinsip-prinsip pengorganisasian misalnya ada orang-orang yang dijadikan panutan atau tokoh yang secara tidak langsung berfungsi sebagai pemimpin, karena golongan ini lebih banyak diisi oleh kaum intelektual metropolitan. Terkesan ada pembagian kerja bagi individu-individu atau kelompok-kelompok yang terikat oleh tujuan yang sama, dalam melakukan sosialisasi gagasan berupa diskusi, seminar dan simposium.
Dikatakan Arbi Sanit, semula target golput adalah menggugah dasar atau sumber legitimasi penguasa dengan jalan mempengaruhi jumlah suara sah sehingga semua kontestan mengalami pengurangan pemilih yang berarti pemenangpun tidak mampu memberikan legitimasi yang kuat bagi penguasa. Tetapi target ini kemudian berkembang menjadi gugahan terhadap legitimasi sistem politik lewat upaya mempengaruhi jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya disamping jumlah suara sah. Sehingga kadar pemilu sebagai sub sistem yang menurun berimplikasi langsung kepada kadar legitimasi sistem politik. Namun begitu, golput belum sempat berkembang menjadi gerakan massa, sehingga kohesifitas keseluruhan pendukungnya belum cukup kuat untuk menghadapi reaksi balik penguasa melalui pemerintah yang dikerahkan secara sistemik dan menyeluruh (Ibid).
Sebagai bagian dari fenomena politik, golput juga tidak bisa dilepaskan dari perjuangan ke arah kehidupan yang lebih demokratis, bergerak bersama kelompok-kelompok lain meskipun dengan pola-pola kerja yang berbeda. Gerakan golput dimaksudkan sebagai pendidikan agar masyarakat bisa berpikir kreatif dan kritis dengan ceramah-ceramah dan diskusi-diskusi politik yang diadakan, bertukar pikiran secara terbuka, menjaga tradisi demokrasi melalui gerakan kultural ini bisa dilihat rumus-keberadaan mereka yang dideklarasikan tanggal 28 Mei 1971.
Sejak jatuhnya Suharto dari tampuk kekuasaannya, kondisi bangsa terus berlanjut dalam ketidakstabilan dengan seribu satu masalah yang bermunculan di sana-sini; masalah yang selama ini disembunyikan rezim Orde Baru. Dalam kondisi seperti itu institusi-institusi resmi negara kehilangan wibawa dan masyarakat menjadi tidak percaya pada lembaga-lembaga tersebut, sebab menguatnya korupsi, kolusi dan kejahatan lain yang merugikan orang banyak. Kebiasaan buruk pelaksana negara itu terus berlangsung dan mengesankan bahwa perilaku negatif itu menjadi hal yang wajar saja untuk dilakukan, sebab hampir semua orang melakukannya dengan wajah tanpa dosa.
Hal-hal semacam inilah yang berpotensi melahirkan perasaan kecewa dalam masyarakat. Sebab masyarakat telah mempercayakan dan mengangkat mereka sebagai wakil di lembaga negara dan pelayan di lembaga pemerintahan, tetapi nyatanya mereka menyelewengkan kepercayaan masyarakat. Tetapi mereka hanya menjadi wakil dan pelayan bagi diri sendiri, keluarga dan golongannya saja bukan untuk masyarakat luas. Wajar jika kemudian masyarakat mencabut dukungan kepada figur-figur yang telah mengkhianati kepercayaan itu. Masyarakat yang sakit hati, tanpa sadar akhirnya mengeneralisir ketidakpercayaannya sampai pada institusi atau lembaga.
Masyarakat, di negara manapun, pasti enggan selalu dibohongi serta dikhianati, sebab selain mengganggu eksistensi suatu masyarakat juga merusak sebuah tatanan dan sistem kehidupan sosial. Kehidupan masyarakat luas menjadi tidak harmonis, tidak tenteram, tidak adil dan tidak bersahaja jika ditengah-tengah mereka berkembang semangat ketidakpercayaan satu sama lain. Kecurigaan akan tumbuh subur di semua lini kehidupan, sehingga setiap usaha perbaikan dan kemajuan senantiasa terhambat geraknya. Menumbuhkan sikap dan semangat saling percaya bukanlah perkara gampang, hal itu butuh waktu panjang. Karena itu diharapkan pemilu yang akan datang ini tidak lagi memproduksi manusia-manusia pembohong dan pengkhianat terhadap rakyat pemilihnya, sehingga setiap lima tahun bisa berkurang barisan pemilih tanpa suara atau golput, dan sebaliknya membeludak akibat kejahatan politik yang merajalela.

8 Januari 2004

Label:

MENIMBANG MORAL CALON LEGISLATIF

Oleh Syafruddin Muhtamar

Pada akhirnya moral akan menjadi ukuran segala-galanya bagi eksistensi manusia. Orang sering mengatakan, baik atau tidaknya seorang bisa dilihat dari tindakan atau perilakunya. Tindakan atau perilaku inilah yang mengindikasikan moralitas. Moralitas meskipun menunjuk pada nilai yang abstrak, tetapi didalamnya terdapat kandungan pandangan hidup seseorang, yang akan mengarahkannya untuk memformulasi sebuah visi dan misi dalam kehidupan. Juga senantiasa terdapat dua kemungkinan dalam pandangan hidup seseorang, yakni nilai baik atau buruk. Pandangan hidup itu bernilai baik ketika ia selaras dengan fitrah kebaikan pada kehidupan dan kemanusiaan. Dan buruk ketika yang diperlihatkan sebaliknya, ia bertentangan dengan fitrah kemanusiaan dan kebaikan.
Moralitas dengan sendirinya terkait secara langsung dengan dimensi keyakinan atau kepercayaan pada determinasi-determinasi yang mengisyaratkan spiritualitas dan religi. Tingginya tingkat pengetahuan manusia pada hal-hal yang bersifat spiritual dan religi maka akan berbanding lurus dengan tingkat moralitasnya. Moralitas yang rendah juga menunjukkan keyakinan dan kepercayaan seseorang pada dogma-dogma sakral -spiritual dan religi, negatif. Keyakinan dan kepercayaan yang dimaksudkan disini bukan sekedar pengetahuan belaka tetapi lebih pada konsistensi dan komitmen dari sebuah pemahaman sakral. Sebab banyak manusia-manusia cerdas dengan pengetahuan tentang moralitas yang luas tetapi dalam praktek keseharian, mereka tidak memperlihatkan signifikasi dari pemahaman mereka, malah kemunafikannya saja yang nampak.
Sebuah bangsa yang menemui keruntuhannya juga tidak lepas dari moralitas. Kehancuran sebuah sistem kenegaraan pada hakekatnya juga bermula dari keroposnya moral yang ada didalamnya. Mental korup, kepribadian kolusif dan kebiasaan konco-koncoan adalah bagian dari moralitas yang berefek pada pengrusakan. Kerusakan yang ditimbulkannya pun tidak dalam skala kecil tetapi menyangkut sebuah sistem sosial, skala yang menyentuh hampir semua lapisan masyarakat. Krisis ekonomi misalnya (alasan populer untuk mengkritik) yang melanda negeri ini dan belum juga pulih. Jika ditelusuri ke akar permasalahannya maka kita akan menemukan moralitas merusak disana, moralitas yang menjadi slogan populer di era jatuhnya rezim Orde Baru; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kita telah banyak disodori fakta tentang betapa bobroknya perilaku orang-orang yang bertindak atas nama negara tetapi sejatinya menghancurkan negara.
Orang awam sering melemparkan pernyataan-pernyataan menggelitik seperti; “Katanya Indonesia banyak profesornya, banyak orang-orang pintarnya, ada ahli politiknya, ahli ekonominya dan macam-macam. Tetapi krisis dan kekacauan terjadi dimana-mana. Katanya kita punya tentara, punya polisi, punya jaksa dan hakim, buktinya kerusuhan berlanjut terus, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan setiap jam disiarkan televisi. Orang miskin makin melarat, orang kaya terus enak, tetapi kalau konglomerat atau keluarga pejabat dipenjara, biar saja. Susah kita maju karena yang kita pikirkan hanya perut saja; itupun perut sendiri bukan perut orang banyak. Kita orang miskin, anak-anak kita tidak bisa sekolah karena biaya sekolah mahal sekali. Lowongan pekerjaan hanya diisi orang-orang berijazah, akhirnya anak-anak kami terpaksa jadi penganggur, jadi preman, kalau bukan pengemis dan pengamen !”.
Pernyataan yang meskipun bernada awam ini, tetapi cukup memberi isyarat betapa moralitas busuk telah menjadi sumber petaka bagi sebuah sistem sosial secara menyeluruh, terkhusus pada elemen masyarakat bawah, yang secara struktural dan pengetahuan mengalami keterpinggiran begitu parah. Pesimisme yang tergambar dalam pernyataan awam itu, secara langsung atau tidak langsung merupakan bias dari sebuah kesalahan besar yang berlangsung secara sistemik bahkan menggejala sebagai sebuah budaya yang menyimpang, yang dilakukan orang-orang yang berada di pusat-pusat kekuasaan. Kesalahan pengelolaan negara (yang secara visioner diidealkan untuk kesejahteraan, keadilan dan kecerdasan masyarakat), tidak selalu sebagai kesalahan metodis, tetapi lebih sering dikarenakan oleh rusaknya moral aparatur negara. Kesalahan moral ini terkadang sangat sulit untuk disentuh oleh perangkat hukum, karena demikian abstraknya. Boro-boro menyebut yang abstrak, nyata sekalipun terkadang hukum tidak berkutik.
Ketika akhir-akhir ini fenomena pencalonan diri untuk menjadi anggota legislatif demikian marak, maka persoalan moralitas masing-masing calon legislatif akan mengalami ujian di medan politik. Morality capital yang dimiliki oleh calon, khususnya yang berkaitan dengan moral politik akan terdeteksi dan terukur oleh timbangan rasio publik atas apa yang mereka lakukan, dari sejak mereka menempuh mekanisme pencalonan diri dalam internal partai hingga mereka terpilih menjadi anggota lembaga legislatif. Calon legislatif dengan masa lalu yang buram secara moral baik dalam dunia politik maupun dalam kehidupan pada umumnya, sebaiknya secara moral pula mempertimbangkan diri untuk menjadi anggota legislatif. Karena watak yang telah mengakar dalam diri mereka itu hanya akan menambah beban bagi kondisi dan semakin mencemari iklim sosial yang telah buruk begini. Masyarakat telah menanggung beban politik, ekonomi, pendidikan dan hukum akibat buruknya moralitas mereka yang memegang otoritas kuasa, baik pada masa lalu maupun pada masa kini. Beban ini tidak hanya dirasakan secara fisikal tetapi juga merasuk secara psikologis dalam jiwa masyarakat.
Beberapa indikasi yang memberi data awal betapa miringnya moralitas calon legislatif, seperti kecenderungan memaksakan diri untuk merebut nomor jadi baik lewat jalan trans ekonomi-politik, maupun pengerahan massa untuk menekan dan perilaku-perilaku yang mencerminkan nafsu pada prestise dan kemewahan jabatan. Ini menunjukkan perilaku politik kita masih belum lepas dari krisis moral, sebab masih bertumpu pada hasrat kedudukan dan kekuasaan yang dibaliknya tersimpan harta dan wibawa. Hasrat ini sesungguhnya manusiawi, namun jika merebutnya dengan mengabaikan hukum-hukum moral-kemanusiaan, maka itulah yang tidak manusiawi. Publik yang tidak jeli akan realita ini, tetapi justru larut dalam dinamika kotor yang diciptakan oleh calon legislatif ini, maka inipun sebuah indikasi yang berbahaya. Karena secara umum akan menurunkan kualitas pemilu mendatang, mengingat sistem yang digunakan adalah pemilihan langsung. Akses publik secara langsung dan riil akan memberi pengaruh secara signifikan pada mutu pemilu yang akan diselenggarakan ini.
Kembali pada awal, bahwa moralitas adalah basis bagi kehancuran dan kebangkitan sebuah bangsa, maka seyogyanya isu moralitas menjadi agenda dari kampanye-kampanye yang dilakukan oleh partai yang terlibat pesta demokrasi kali ini. Moralitas seharusnya dijadikan isu sentral dalam suasana politik menuju pemilihan umum yang merupakan hajatan nasional. Keterlibatan publik secara maksimal, baik secara individual maupun berkelompok, harus mendesakkan kampanye moral ini hingga minimal bisa memberi stimulasi pada kesadaran kolektif tentang pentingnya sistem politik diisi oleh pigur-pigur politisi bersih (kalau tidak ingin menyebutnya suci) dan terbebas dari masa lalu yang kotor. Meskipun ini terasa sulit untuk dilakukan, sebab sistem politik kita terlanjur terjerembab dalam kubang nafsu kekuasaan duniawi, namun suka tidak suka masyarakat kita harus berani dan progresif untuk membentur tembok hitam politik itu dan membangun kebudayaan politik baru yang lebih memihak pada fitrah nurani manusia.

22 Januari 2004

Label:

PEMILU SEBAGAI AGENDA KEBUDAYAAN

 Oleh Syafruddin Muhtamar

Setelah negara kita resmi secara politis memasuki tahap moderen dengan mengadakan pemilu pertama tahun 1955, sejak itulah kesadaran kolektif kita sebagai sebuah bangsa seharusnya menyadari jika prosesi politik itu merupakan sebuah prosesi budaya. Namun tidaklah mudah memutar memori kolektif masyarakat tentang apa yang dilakukannya, sebab semangat yang melingkupi kegiatan tersebut adalah semangat politik. Alih-alih menempelinya dengan predikat budaya, prosesi lima tahunan itu terus berlangsung dalam dinamika yang kental fenomena politiknya. Juga sedemikian masyarakat larut dalam pesta politik itu, terkadang keterlibatannya hanya sekedar refleksi dari sikap eforia saja; bahwa pemilu adalah agenda negara yang harus disukseskan.
Pemilu dalam terminologi politik lebih dipahami sebagai suatu cara yang melembaga dari serangkaian peristiwa dan perilaku politik dalam masyarakat yang terpercaya secara hukum dan konstitusi. Pemilu ini dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dalam sistem politik moderen, pemilu biasanya diadakan dalam waktu-waktu tertentu. Masyarakat moderen yang disebut-sebut menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, dengan sendirinya pemilu dianggap sebagai peristiwa politik yang prinsipil dan merupakan hak asasi dari warga negara. Oleh sebab itu dalam upaya pelaksanaan hak asasi itu, adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Selain mengagungkan HAM, masyarakat moderen juga sangat mendewakan demokrasi. Karena itu salah satu asas negara moderen adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Prinsip inipun berlaku dalam hajatan politik masyarakat moderen yang disebut pemilu. Rakyatlah yang paling berhak memilih dan menentukan pemimpin mereka sendiri. Dan pemilu adalah sistem dimana aspirasi dan keinginan itu diinstitusionalisasi untuk memproses pengangkatan seorang pemimpin bangsa atau negara. Adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan pada nilai-nilai HAM, jika pemerintah tidak mengadakan pemilu, termasuk pengingkaran terhadap sistem kehidupan masyarakat moderen.
Dengan demikian pemilu adalah hak politik warga negara yang mendasar bagi masyarakat moderen. Tidak mengherankan jika semangat politik dalam prosesi pemilu sangat menonjol. Dalam hal-hal tertentu, pemilu menjadi ajang perebutan kekuasaan bagi kelompok-kelompok dan orang-orang tertentu. Betapa tidak, momentum pemilu hanya berlangsung sekali dalam jangka waktu tertentu yang panjang, sebuah periode kekuasaan yang bisa dimanfaatkan untuk merenggut keuntungan. Berkuasa misalnya selama lima tahun, cukup untuk merebut potensi-potensi kekuasaan untuk berkuasa kembali selama lima tahun berikutnya. Spirit politik untuk berkuasa inilah yang sering mewarnai prosesi pemilu dihampir setiap negara moderen. Dan menjadi lumrah kekuasaan di negara-negara moderen cenderung menyimpang, sebab begitu banyaknya jaringan kepentingan yang menyokong kekuasaan tersebut. Terdapat nafsu yang sulit terkendalikan jika seseorang menduduki jabatan politik, apalagi jika kewenangannya begitu luas misalnya dalam skop negara. Hasrat untuk memiliki lebih dari apa yang telah ada, baik pada hal-hal yang bersifat kebendaan maupun yang berdimensi kejiwaan.
Dalam negara-negara yang telah kehilangan jiwa religius kebangsaannya, pemilu terkadang lebih disesaki oleh perilaku-perilaku politik yang mencerminkan hasrat untuk berkuasa. Ketimbang keinginan untuk secara ikhlas menjadi pelayan masyarakat. Fenomena politik untuk kekuasaan dalam pemahamannya yang negatif sering lebih menonjol dalam pemilu di negara yang telah tercerabut jati diri budayanya. Kualitas pemilu dalam konteks seperti itu selayaknya dinilai rendah, sebab energi politik yang dikerahkan lebih diarahkan untuk kekuasaan yang menyimpang. Masyarakat atau seluruh komponen bangsa terlibat dalam suatu prosesi politik yang tidak sehat, meskipun dalam negara yang dianggap sehat kehidupan demokrasinya sekalipun. Meskipun para pakar sering menyarankan untuk dikembangkannya budaya politik dalam setiap even-even politik yang diselenggarakan oleh negara. Namun terkadang saran seperti politik-moral, politik-etis dan hal-hal yang merujuk pada nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti kejujuran, keadilan, kerendahatian dan lain-lain, hanya terbentur tembok. Perilaku politisi dan para individu-individu yang diberi kompetensi oleh rakyat dalam pemilu tetap saja menjadikan jabatan, kekayaan dan penghargaan politis sebagai orientasi.
Artinya ketika pemilu sekedar dijadikan sebagai agenda politik semata, maka asumsi dasar dari keseluruhan peserta pemilu adalah keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk banyak uang dan keinginan-keinginan manusiawi lainnya yang bersifat partikular. Sehingga kepentingan besar yang esensial menjadi terbengkalai. Tidak jarang masa akhir sebuah kekuasaan hanya menyisakan masalah dan meninggalkan jejak-jejak kesengsaraan akut bagi rakyatnya sendiri. Dalam rentang waktu yang panjang, masyarakat kemudian terdidik untuk memahami politik sebagai kekuasaan; sebagai strategi untuk merebut jabatan; proses rekayasa dalam sebuah kompetisi politis untuk perebutan prestise; bahkan mungkin yang lebih parah, politik dimengerti sebagai trik untuk menguasai kehidupan. Sedemikian mirisnya jika pemilu semata-mata dimaknai sebagai peristiwa politik, karena secara langsung ia akan kehilangan makna kebudayaannya. Kehilangan makna kebudayaan dalam peristiwa-peristiwa politik seperti pemilu berarti politik bergerak sendiri tanpa nilai universal yang menyertainya. Penyimpangan dengan demikian menjadi wajar saja dalam perhelatan politik masyarakat itu.
Adalah sebuah kekeliruan mendasar jika pemilu yang sering disebut sebagai pesta rakyat atau pesta demokrasi itu, dilepaskan begitu saja dari frame kebudayaan. Artinya kebudayaan tidak berperan secara aktif dalam kegiatan politik itu. Membatasi ruang gerak kebudayaan dalam aktivitas politik pemilu, sesungguhnya juga membuat kegiatan politik pemilu itu kering dari sebuah nuansa estetika-moral-etis. Kebudayaan yang berorientasi pada pemanusiaan kehidupan dan sejarah, sangat mungkin untuk memberi sumbangsih besar terhadap kebiasaan demokrasi yang dinamakan pemilu itu. Bahwa pemilu tidak lagi sekedar sebuah perhelatan politis antar masyarakat, kelompok, orang-perorang dan kepentingan yang beragam. Namun pemilu telah sedemikian rupa mereduksi diri dalam bentuk perilaku kebudayaan; politik yang ada didalamnya akan lebih peka terhadap nilai kemanusiaan, kesemestaan bahkan mungkin keilahiyaan.
Mengingat bangsa kita adalah bangsa yang didalamnya terhimpun pulau-pulau budaya, bangsa yang akar kulturalnya adalah Tradisi. Dengan demikian kaya akan nilai-nilai kebudayaan yang tinggi. Nilai-nilai kebudayaan inilah kemudian yang harus dijadikan modal sosial bagi seluruh aktivitas politik yang berdenyut didalam tubuh yang disebut negara. Nilai-nilai kebudayaan itu harus menjadi muatan dalam kegiatan politik dalam pemilu, karena itu pemilu seharusnya tidak hanya diagendakan secara politik oleh negara tetapi seyogyanya diagendakan secara kultural oleh bangsa ini. Pemilu sebagai agenda kebudayaan akan lebih memperkaya batin sosial dari perilaku-perilaku politik yang bekerja dalam sejarah negeri ini.

17 Januari 2004

Label:

MEMBANGUN KAWASAN, MENGELOLA KEMISKINAN

Oleh Syafruddin Muhtamar

Menguatnya isu masyarakat warga atau civil society dalam dekade perubahan belakangan ini, memberi indikasi semakin meningkatnya peran aktif masyarakat dalam program pembangunan. Dimana pembangunan dalam beberapa hal tidak lagi dimonopoli birokrasi pemerintahan. Masyarakat telah terlibat secara luas, hal ini sebagai implementasi semangat partnership dan prinsip partisipatif. Namun demikian tidak serta-merta kebijakan pembangunan nasional, regional maupun lokal telah sepenuhnya berhasil, baik dari sisi ekonomi, politik apalagi sosial dan kebudayaan.
Realitas pembangunan yang diorientasikan pada laju pertumbuhan ekonomi pada periode-periode tertentu masa lalu – dan masih berlanjut hingga sekarang – cenderung menimbulkan ketimpangan. Karena manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat elit, sehingga menciptakan ruang kesenjangan sosial sangat lebar. Kondisi ini menyebabkan kemiskinan menjadi fenomena nyata sekaligus terselubung. Dan kemiskinan menjadi produk lain dari proses pembangunan yang bergerak menyimpang, baik karena penyimpangan paradigmatik maupun kesalahan fatal pengelolaan.
Masyarakat menyadari bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi selama ini ternyata semu. Malah menyisahkan pelik persoalan yang sulit teratasi seperti korupsi, praktek oligopoli dan mental interdependensi masyarakat golongan rendah. Ini semua adalah akibat praktek tata pemerintahan yang buruk (bad governance) birokrasi pembangunan yang kemudian menjalar menjadi lingkaran setan dalam sebuah sistem dan jaringan. Masalah ini sungguh pelik dan terus saja membelit pelaku-pelaku dan proses perubahan di negeri ini. Sehingga secara kritis - ideal, sulit kita menemukan indikator-indikator keberhasilan perubahan memadai dalam kehidupan masyarakat. Selain taburan angka-angka statistik tentang kemiskinan yang kita temukan dalam beragam perspektif pada semua kawasan nasional.

SKS (Sistem Keterjaminan Sosial)
Semua proses pembangunan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, pada dasarnya menjadikan fenomena kemiskinan sebagai hal yang diusahakan minimalisasinya, bahkan jika mungkin dihilangkan sama sekali. Kenyataannya, kemiskinan tetap melekat sebagai bagian tak terpisah dari kehidupan manusia. Hal ini secara alamiah menjadi tantangan pemikiran dan praksis dalam inisiatif-inisiatif penanggulangan dan penanganannya. Problem kemiskinan senantiasa membutuhkan ide dan kerja keras yang panjang – komprehensif, integral, berkelanjutan – sebab kemiskinan penuh kompleksitas dengan beraneka variabel mempengaruhinya.
Di Indonesia kita mengenal beberapa bentuk program pemerintah berkenaan penanganan kemiskinan. Program-program itu terkait dengan ragam bidang kehidupan masyarakat. Keragaman model dan sisitem program tersebut adalah usaha penyesuaian-penyesuaian atas problem dan karakteristik kemiskinan yang dihadapi. Dalam bidang sosial misalnya, ada sistem ketahanan sosial, yang merupakan pemikiran alternatif program pasca program jaring pengaman sosial (JPS). Exit strategy pasca – JPS, juga pemikiran alternatif dari JPS, baik dibidang pendidikan, kesehatan dan sosial.
Dibidang pertanian, program itu dikenal dengan sebutan-sebutan seperti sistem keamanan pangan dan sistem ketahanan pangan. Bahkan sejak 1980-an dibidang kesehatan telah dikembangkan sistem kewaspadaan gizi (SKG), sistem isyarat dini dan intervensi (SIDI), disusul sistem ketahanan pangan dan gizi (SKPG). Seiring dikembangkannya ragam indikator kemiskinan, dalam bidang ekonomi tercetus revolving fun atau program bantuan dana bergulir seperti IDT, bantuan langsung masyarakat (BLM) atau dana pinjaman kredit.
Pemikiran paling mutakhir tentang penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan adalah apa yang dikajikembangkan oleh Center for Regional Resource Development and Community Empowerment (CRESCENT) sebagai model sistem keterjaminan sosial (SKS). Model ini merupakan penyempurnaan dan pengembangan program-program sebelumnya agar lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Merubah kecenderungan program yang bersifat temporer, relatif dan kreatif ke arah sistem keterjaminan sosial terpadu yang preventif, proaktif dan berjangka panjang (long term sustainability).
Komponen utama dalam SKS adalah : (1) Berkembangnya sistem ketahanan sosial lokal, (2) Ketersediaan dana segar dan mandiri bagi masyarakat secara berkelanjutan di tingkat lokal, (3) mekanisme internal penanggulangan dampak kemiskinan dan ketidakberdayaan, (4) Integrasi pembangunan ekonomi lokal-nasional, terutama sistem pendidikan non formal – penyuluhan – bagi masyarakat dan (5) Sistem pemerintahan yang bersih – good governance – disertai kontrol sosial dan hukum yang berlaku efektif dan konsisten (Crescent, 2003).
Secara umum dijelaskan bahwa, sistem ini berorientasi pada pengembangan dua kondisi utama, yakni pengembangan pola ekonomi produktif dan pengembangan pola hibah. Hal ini berdasarkan realitas masyarakat, dimana golongan masyarakat miskin memiliki ketidakmapanan mendapatkan aset untuk usaha produktif, meskipun secara mental dan fisik mereka mampu bekerja dan berusaha meraih kesempatan kerja. Dan golongan masyarakat tak berdaya, baik secara ekonomi, fisik dan mental sehingga tidak mampu berusaha produktif. Kelompok terakhir ini disebut juga the poorest of the poor, sehingga tepat mendapat bantuan hibah berupa bantuan kesehatan, perawatan mental, dana riil beasiswa dan lain-lain.

Peran Pemerintah Daerah
Pemerintahan di kawasan lokal dan regional dengan sendirinya menjadi lingkungan strategi penanggulangan kemiskinan nasional. Peran pemerintah daerah menjadi sangat penting saat kewenangannya diperluas oleh pemerintah pusat untuk membangun daerahnya secara mandiri. Membangun menurut kondisi, inisiatif dan partisipasi masyarakat lokal.
Inklud dalam semangat dan tujuan otonomi daerah tersebut adalah seperti penciptaan politik demokratis, menciptakan sistem yang menjamin pemerataan dan keadilan, memungkinkan setiap daerah menggali potensi natural dan kulturalnya untuk menghadapi tantangan masa depan. Termasuk penerapan model penanganan kemiskinan yang menjamin kontinuitas kemandirian masyarakat golongan miskin dan kelompok tak berdaya.
Dalam model SKS, beberapa komponen utamanya memberi peluang pemerintah daerah untuk terlibat sebagai fasilitator penting. Dalam pengembangan pola ekonomi produktif misalnya, pemerintah daerah bertanggung jawab mengembangkan kondisi fasilitas sedemikian rupa sehingga iklim usaha kecil dan mikro berkembang sehat. Oleh sebab itu, pengembangan inovasi usaha oleh instansi sektoral adalah langkah tepat.
Pemerintah dalam sistem ini harus bertindak dalam prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterwakilan, integritas, solidaritas dan keberpihakan. Prinsip good governance merupakan salah satu penjamin moral keberhasilan penanggulangan kemiskinan dalam model sistem keterjaminan sosial ini. Prinsip-prinsip tersebut maksimal harus dijadikan nilai dasar oleh pemerintahan di daerah dalam pembangunan kawasannya sekaligus dalam proses pengelolaan problem kemiskinan yang dihadapi.
Sebab pada umumnya kemiskinan dalam masyarakat disebabkan oleh keserakahan sistem kekuasaan yang telah berlangsung lama. Keserakahan dibidang ekonomi, ketidakadilan dalam bidang politik, sosial dan hukum, ketidakmanusiaan sistem budaya dan sosial adalah sumber potensial berkembangsuburnya kemiskinan. Karenanya praktek-praktek tata pemerintahan yang baik di daerah harus memperhatikan mereka yang paling miskin marginal dalam program pembangunan. Ini urgen dalam mengangkat derajat sebuah golongan. Golongan yang telah dan senantiasa menjadi tumbal kerakusan sebuah jalinan kekuasaan yang korup.

Makassar, 2 Desember 2005

Label:

MENGUKUR KEMENANGAN DENGAN ANGKA-ANGKA ATAU KERJA NYATA

 Oleh Syafruddin Muhtamar

Satu jam setelah batas waktu pemilihan tahap pertama berlalu, angka-angka tiba-tiba menjadi begitu ‘sakral’dan teramat penting artinya bagi partai-partai yang telah jauh-jauh sebelumnya mempersiapkan segala sesuatunya secara maksimal untuk memenangkan pemilu dan juga mereka yang telah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Angka-angka yang adalah hasil perhitungan suara pemilih itu akan menjadi semacam dewa penolong bagi individu dan organisasi partai yang juga dari sejak awal sangat berpengharapan untuk mendapatkan kedudukan politis dalam stuktur kenegaraan. Jumlah angkah-angka ini dalam tingkatan tertentu akan menentukan nasib mereka sebagai utusan rakyat yang akan mengemban amanah orang banyak.
Sepertinya tidak tersisa waktu bagi pengurus parpol dalam mengikuti gerak perubahan angka-angka lewat layar kaca. Mereka begitu antusias mengakses sumber-sumber keberuntungan itu, ini bisa dimaklumi sebagai rangkaian kerja-kerja manejerial untuk mengontrol sejauh mana nasib baik itu akan memihak pada mereka. Dan begitu besar harapan untuk mendapatkan jumlah angkah yang paling maksimal dalam pemilu kali ini sebab ini kan menjadi ukuran kemenangan politis vis a vis demokratis. Secara politis jumlah angka-angka itu akan menunjukkan besarnya kekuatan politik riil sebuah partai dalam dinamika politik pemilu yang sementara berlangsung, yang sekaligus menjadi rekomendasi untuk pengabdian pada negara yang berarti juga pengabdiannya pada rakyat.
Kwantitas angka-angka ini juga akan menjadi penentu sejauhmana partai-partai itu akan berperan besar dalam mengelolah kepentingan bangsa dan negara ini. Meskipun tidak dengan sendirinya angka-angka itu begitu saja memutuskan partai-partai sebagai pemenang dalam pemilu, sebab ada ikatan jerat-jerat konstitusi yang menjadi standar rasional secara hukum bagi kemenangan pemilu. Artinya kemenangan dan kekalahan dalam pemilu tidak dengan subyektivitas dari keberadaan angka-angka itu tetapi ditentukan oleh obyektivitas dari sebuah ketentuan hukum yang telah disepakati. Namun demikian kenyataan dari angka-angka tersebut tetap merupakan variabel utama bagi kemenangan sebuah intitusi politk masyarakat.
Bagi yang tidak terlalu berminat pada kepentingan politik, mungkin angka-angka yang di sebarkan secara merata oleh media massa itu terasa tidak ada yang teramat istimewa. Angka-angka itu hanya menunjukkan betapa masyarakat telah terlibat dalam kultur politik demokrasi yang di angendakan secara nasional dalam lima tahun sekali. Bahwa sebagian besar masyarakat telah menunjukkan hak politinya sebagai pemegang kedaulatan. Dan bahwa angka-angka itu menggambarkan betapa antusiasnya masyarakat menghendaki perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari masa sebelumnya. Namun juga angka-angka itu memiliki implikasi politik yang sangat berarti bagi masa depan masyarakat Indonesia untuk masa lima tahun kedepan. Paling tidak, parpol-parpol yang masuk urutan tertinggi dalam angka-angka suara mendapat hak istimewa dari rakyat untuk membuka lembaran baru masa depan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Sepertinya demokrasi politik dalam setiap pemilu selalu dimulai dari angka-angka perolehan suara. Kwantitas tertinggi atau terbanyak adalah ukuran dari fakta demokrasi yang dengannya berhak atas kekuasaan politik. Dengan hak itu, pemenang pemilu dianggap yang paling mendapat respon dari masyarakat pemilih untuk mengusung amanah orang banyak. Dan mereka yang mendapat sedikit suara dari masyarakat pemilih maka mereka harus siap menaggung kelalahan politis dengan lapang dada. Kekalahan politis dalam sebuah proses pemilu yang berlangsung dalam bayang-bayang katakutan dan tekanan dari kekuatan-kekuatan politik tertentu yang ingin mempertahankan status quo akan terasa berat meneima sebuah kekalahan. Sebab seluruh prosesi pemilu berlangsung dalam kecurangan demi kecurangan.
Tetapi dalam konteks pemilu berlangsung dalam suasana sosial yang berdeka, masyarakat mendapat ruang-ruang eksperif bagi aspirasi mereka, atmosfir politik yang relatif rileks tanpa interfensi dari kekuatan-kekuatan politik dominan dan nuansa kritik yang bebas serta kompetisi politik berlangsung dengan minimal kecurangan. Maka yang menang dan yang kalah menjadi hal yang bisa saja sebab semua prosesi berlangsung dengan kondisi yang mendekati ideal. Dan tidak akan terjadi ketegangan politik yang berarti yang akan mengarah pada konflik terbuka sesama kekuatan-kekuatan politik masyarakat yang berkompetisi. Bisa saja yang menang tidak dengan semena-mena akan memenopoli kekuasaan dan yang kalah akan secara elegan meneima kekalahan dan menjadi kekuatan oposisi sebagai penyeimbang dalam dinamika politik yang bakal berlangsung.
Namun demikian, apa-apa yang bersemangatkan politik tetap akan melahirkan kekecewaan-kekecewaan dan kesombongan-kesombongan tertentu ketika berada dalam keadaan kalah atau menang. Sebab tidak ada yang sungguh-sungguh tulus dan ihklas dalam kerja-kerja politik apalagi yang bersentuhan langsung dengan kekuasaan dengan segala keuntungan-keuntungannya. Kebanyakan kita menemukan fakta-fakta yang bertentangan dengan idealisme lembaga dan pribadi dalam realitas politik kekuasaan. Fakta-fakta penyimpangan lebih umum terjadi ketimbang fakta-fakta pengabdian idealisme. Mungkin karena kekuasaan, kedudukan, jabatan dan prestise politik sedemikian membius hasrat manusiawi kita yang rendah untuk menyalahgunakannya mengikuti selera subyektivitas manusia yang terkadang senang melakukan kemunafikan tanpa sadar.
Meskipun bangsa ini telah banyak kali melaksanakan tradisi demokrasi dalam lapangan politik, sejak setengah abad lalu dalam pemilu pertama 1955, tidak dengan sendirinya tradisi politik modern itu melahirkan simpul kesadaran baru yang matang tentang hakekat demokrasi. Ada fase sejarah yang panjang di negeri besar ini dimana makna demokrasi itu dilucuti hingga ke tingkat yang memalukan. Ketika demokrasi sekedar menjadi tameng kekuasaan yang berada dibawah bayang-bayang senjata dan sepatu laras militer.
Masyarakat disita hak kemerdekaannya dan penguasa menutup ruang-ruang ekspresi bagi aspirasinya hampir pada semua segmentasi kehidupan berbangsa. Kekuatan negara yang negatif begitu dominan mengontrol dan mengendalikan hasrat dan keinginan rakyat yang berada dalam arus bawah struktur sosial politik. Juga bahwa penguasa dalam penggalan sejarah ini begitu mengandalkan angka-angka suara pemilih pada setiap pemilu yang digelar. Juga mengukur demokrasi dari kwantitas angka-angka untuk mengklaim hak atas kedaulatan dari ‘kepercayaan’ yang diberikan oleh rakyat.
Betapa bahwa angka-angka suara dalam dalam setiap pemilu senantiasa menjadi titik mula bagi proses kehidupan berbangsa dan bernegara selanjutnya. Rekonstruksi kehidupan sosial-politik, recoveri kondisi prekonomian, revitalisasi denyut nadi kebudayaan, penegakan rasa keadilan masyarakat dan penciptaan keadaan pendidikan yang memihak pada masyarakat bawah bermula dari perolehan suara terbanyak yang telah dikategorisari secara konstitusi. Angka-angka politis ini menjadi sangat berpengaruh terhadap semangat kepentingan sebuah idealisme yang mereka telah sampaikan kepada masyarakat.
Segaligus menjadi alat uji bagi sebuah komitmen dan keteguhan mereka dalam memperlihatkan karya nyata dalam membangun masa depan masyarakat. Jika angka-angka itu kemudian ( karena kecilnya perolehan suara ) menciutkan nyali mereka untuk menunjukkan realitas pengabdiannya pada masyarakat, maka sungguh bahwa mereka tidak memiliki sama sekali kesadaran amanah dan secarah subtantif mereka akan sangat berbahaya bagi masa depan masyarakat yang diharapkan jika mendapat suara yang bisa membuat mereka duduk dalam struktur politik kenegaraan, sebab hasrat utama mereka hanya bertumpuh pada keutungan-keutungan subyektif dan tidak berorientasi pada kepentingan orang banyak.
Jadi jika angka-angka perolehan suara ini menjadi standar sebuah kemenangan politik maka nilai kultur politik demokrasi kita belumlah terlalu jauh beranjak dari keterpurukannya pada masa lalu. Selain bahwa semua elemen masyarakat telah mendapatkan hak partisipatifnya pada ruang-ruang politik yang memang sudah terbuka lebar ini. Sebab masih kencangnya arus ‘Berpolitik Untuk Berkuasa’ bukan ‘Berpolitik Untuk Mengabdi’.
Dan apakah angka-angka itu (selain mencerminkan fakta demokrasi secara material) juga mencerminkan semangat dan komitmen yang teguh sebagai pengemban amanah masyarakat secara keseluruhan? Adakah juga dibalik angka-angka itu sungguh-sungguh terkandung secara rasional nurani masyarakat sehingga tidak perlu lagi meragukan rasioanalitas di balik angka-angka yang ditampilkan layar komputer resmi milik penyelenggara pemilu. Kita akan mengetahui jawabannya segera setelah beroperasinya pemerintahan yang bakal terbentuk dari hasil hajatan demokrasi nasional tahun 2004 ini.


Makassar, 9 April 2004

Label:

ETOS KEMANDIRIAN KAWASAN LOKAL

Oleh Syafruddin Muhtamar

Sejak lama benak publik telah mengenal istilah pembangunan. Dan dalam beberapa periode pemerintahan nasional mereka merasakan nikmat dan tidak nikmatnya proses pembangunan itu. Meskipun hakekat pembangunan diperuntukkan bagi kemaslahatan warga masyarakat seluruhnya. Tetapi seringkali proses pembangunan dalam taraf implementasi melenceng dari substansinya, menjadi realitas ketidakadilan. Praktek-praktek ketimpangan pembangunan ini banyak ditemukan pada periode ketika kekuasaan politik nasional berlangsung secara otoritarian.

Paradigma pembangunan pra-reformasi dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas, sedikit banyak telah memberi pengaruh bagi perubahan sosial yang terjadi hingga kini. Production Centered Development Approach yang dikembangkan, secara strategik memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada birokrasi pemerintah. Pemerintah memegang kendali dalam penyelenggaraan program-program pembangunan. Masyarakat sekedar menjadi obyek belaka dari proses kebijakan pemerintah.
Aplikasi model yang demikian tidak jarang menghasilkan praktek pembangunan yang bukan saja mengabaikan, tetapi juga menurunkan kemampuan masyarakat dalam pemecahan masalah melalui inisiatif lokal. Dan bahkan menciptakan ketergantungan masyarakat kepada birokrasi-birokrasi terpusat. Birokrasi yang memiliki daya absorbsi sumberdaya sangat besar, tetapi tidak memiliki kepekaan untuk menanggapi kebutuhan lokal. Strategi ini pada hakekatnya condong pada praktek assistencialism yakni praktek memandang masyarakat sebagai obyek asistensi atau obyek bantuan. Praktek ini pada gilirannya akan menurunkan martabat manusia dan menciptakan keadaan yang counter productive (Hotman, M, 1997).

Sumber Daya Kreatif
Kawasan lokal yang mengalami subordinasi selama beberapa dekade pemerintahan, mendapat peluang segar yang dilegitimasi secara yuridis-politis lewat undang-undang pemerintahan di daerah. Mandat dari regulasi ini adalah memberi kesempatan pada pemerintahan lokal untuk memandirikan daerahnya dalam ragam urgensi. Kebijakan otonomi daerah ini memberi pertanda awal bergesernya kesenjangan distribusi kekuasaan dalam proses pembangunan. Sekaligus membuka peluang hilangnya praktek “dominasi-subordinasi”, sehingga kawasan lokal tidak lagi dianggap sebagai wilayah koloni oleh pemerintah pusat. Kultur politik pemerintahan demokrasi juga nampak tercermin dari kebijakan nasional tersebut.

Walaupun kenyataannya, refleksi pragmatis atas paradigma otonomi daerah mengalami distorsi tafsiran oleh elit pemerintah lokal. Otonomi daerah dalam praktek awalnya condong pada perlombaan memperkaya daerah dengan memberi beban irrasional pada pundak masyarakat. Prinsipnya adalah kumpulkan uang sebanyaknya nanti baru dipikirkan penggunaannya. Elit-elit lokal juga bersaing memperebutkan posisi politik strategis untuk memperkaya diri dan golongan; ini tercermin jelas dalam proses pilkada. Sederhananya, otonomi daerah seolah-olah milik primordial segelintir elit-inisiator lokal yang penggunaannya dilakukan sekehendak mereka sendiri.

Artinya lebih jauh, bahwa kawasan lokal belum memiliki kesiapan memadai untuk merespon kewenangan lokal yang diberikan fleksibel oleh regulasi yang ada. Sehingga kecenderungan implementasinya distortif. Arah kemandirian lokal yang diharapkan, kemudian terhambat, oleh sebab kendala dasar yang dihadapi yakni lemahnya sumberdaya manusia.

Idealnya ketika kebijakan otonomi daerah mulai digulirkan, agen-agen perubahan lokal secara bersama-sama melakukan pemetaan sumberdaya kreatif lokal. Sumber-sumber kreatif lokal yang dimaksud adalah segala sumberdaya yang berkorelasi aktif, produktif dan potensial terhadap peluang yang menjamin kepastian kemandirian lokal. Kawasan lokal sangat kaya akan sumber-sumber kreatif ini. Tidak perlu menyebutkan angka-angka statistik untuk mengetahui sumberdaya alamnya yang melimpah, dari pertanian, kelautan hingga pertambangan. Kasat mata telah memperlihatkan sumber berkelimpahan itu.

Disamping sumber kreatif tersebut, terdapat sumber kreatif mendasar lainnya yang tiada kalah penting. Yakni kognisi dan value yang hidup dalam lapisan sosial masyarakat lokal. Kognisi ini meliputi harapan, keinginan, kebutuhan dan pikiran-pikiran masyarakat yang juga bagian integral dari proses pembangunan lokal. Dan value adalah kearifan lokal sebagai sumber kecerdasan publik lokal. Dalam konteks tertentu konsep-konsep mereka tentang pemberdayaan manusia dan pemanfaatan alam telah teruji dan terbukti menimbulkan equilibrium dalam kehidupan sosial mereka.

Sejauh menyangkut kemandirian lokal, maka porsi sumber-sumber daya lokal menjadi fokus orientasi dalam arah kemajuan pembangunan di daerah. Amanah regulasi tentang pemerintahan di daerah juga menekankan pada pelibatan maksimal potensi lokal dalam aneka aspeknya. Mulai dari aspirasi atau inisiatif, personalitas hingga yang pasti, sumber-sumber ekonominya. Pelibatan publik lokal secara partisipatif menurut sumberdaya kreatif yang dimilikinya adalah tuntutan tak terelakkan dalam mendorong terbangun-ciptanya kemandirian kawasan lokal.

Hal ini berkesesuaian dengan kearifan global dalam prinsip-prinsip Good Governance, yang antara lain memberi titik berat pada pola public participation and responsiveness. Tata pemerintahan yang baik adalah sistem yang memberi peluang maksimal pada publik dari beragam latar belakang untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, menurut kapasitas dalam partisipasi konstruktif. Dan seluruh proses pemerintahan berkewajiban memberi respon pelayanan pada semua pihak yang berkepentingan. Sebab yang paling berkepentingan dalam proses pembangunan untuk perubahan dan kemajuan, baik nasional maupun lokal, adalah warga masyarakat.

Karena itu dalam konteks kemandirian kawasan lokal, warga masyarakat dan realitas kehidupannya yang berada pada kawasan bersangkutan adalah sumber tertinggi dari harapan, visi dan orientasi, arah perkembangan dan kemajuan kawasan. Ini adalah substansi dari prinsip kemandirian lokal, agar masa depan masyarakat kawasan lokal lebih makmur, lebih terbuka, lebih adil dan lebih demokratis. Dan bisa setara serta kompetitif dengan kawasan lain yang telah lebih dahulu berkembang dan bertumbuh. Seperti kawasan Barat Indonesia yang relatif menikmati kemajuan lebih dibanding kawasan pada bagian Timur Indonesia.

Praktek Etos
Dalam satu pengertian, etos adalah sikap mental dan kepercayaan dasar terhadap prinsip-prinsip ideal yang diyakini mampu membawa kehidupan manusia pada puncak keberhasilan, kebahagiaan, kemakmuran dan kejayaan. Etos dengan demikian berkaitan dengan semangat jiwa untuk menghasilkan kualitas. Proses awalnya berlangsung secara internal dalam benak kesadaran manusia, hingga terwujud dalam bentuk perilaku. Perilaku yang diproduksinya adalah menjadi syarat utama suatu keberhasilan.

Etos jika dikaitkan dengan kemandirian kawasan lokal, maka aspek pertama yang harus disentuh perhatian adalah para agen-agen perubahan pada pemerintahan lokal. Agen perubahan ini bisa bersifat formal (negara) maupun non formal (masyarakat). Personalitas yang terikat sistem organisasi untuk perubahan tersebut harus senantiasa melakukan internalisasi nilai-nilai dan prinsip dasar yang akan memberi motif atas tindakan dan perilaku kebijakan perubahan yang akan diprogram dan diimplementasikan. Nilai dan prinsip dasar ini merupakan benang merah dari amanah publik lokal yang dibebankan, baik secara ideal maupun praksis, pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif maupun secara tidak langsung pada kelompok-kelompok kritis seperti NGO (non Goverment organitation).

Para inisiator, motivator dan pelaku perubahan ini, secara sublim mutlak mengetahui dan memahami prinsip-prinsip etos; seperti ketulusan atau keikhlasan pelayanan dan pengabdian masyarakat, konsistensi dan komitmen pada pelaksanaan amanah, bertanggungjawab atas masa depan kawasan lokal, profesional dan penguasaan secara detil ilmu yang dibutuhkan bagi kemandirian masyarakat, kerja keras dan disiplin secara proporsional bagi akselerasi kemajuan kawasan dan menganggap kerja perubahan sebagai ibadah. Prinsip-prinsip etos ini jika serius dipraktekkan oleh para agen perubahan akan menjamin tercapainya kemandirian kawasan lokal. Dan memungkinkan tertutupnya kesempatan pada praktek-praktek penyelewengan yang bisa merusak secara keseluruhan program yang dijalankan.

Etos ini adalah fundamen bagi terjaminnya kemandirian kawasan lokal yang dicita-citakan. Good Governance, pluralisme, penegakan hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi adalah kualitas-kualitas capaian dan buah yang harus dikejar oleh gerak kawasan lokal. “Maka jika ingin buah yang berkualitas maka uruslah akarnya”, kata seorang guru etos.

Makassar, 26 November 2005

Label:

GELOMBANG PERUBAHAN BARU, MITOS ATAU REALITAS (Jelang Pemerintahan Baru 2004 – 2009)

Oleh Syafruddin Muhtamar

Banyak orang memandang pesimis realitas bangsa ini, dengan beranggapan bahwa tidak ada yang berubah sejak dulu hingga kini : bahwa kesalahan, kejahatan dan kegagalan pada masa lalu terus saja berlangsung dengan bentuknya yang berbeda-beda. Korupsi, kolusi, nepotisme dan pelanggaran HAM berpindah dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain dalam ragam warna-warninya, disegala tempat dan disegala waktu. Pesimisme ini nampak logis ketika kita melihat kenyataan yang ada, baik di pusat-pusat pemerintahan maupun di tingkat lokal; bukan hanya eksekutif dan yudikatif tetapi yang mencekam akhir-akhir ini adalah legislatif dengan rekor korupsi massalnya.

Catatan kegagalan masa lalu telah banyak terekam dalam benak sebagian masyarakat, sehingga terkadang menimbulkan rasa pesimistis dan berpengharapan agar adanya perubahan baru yang penuh arti. Sebagai masyarakat atau warga negara sebuah bangsa yang besar dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang memadai, dengan modal nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh kebudayaan masa lalu, dengan tekad dan semangat para pendiri bangsa dan harapan-harapan ideal para generasi muda, maka menjadi sangat wajar juga jika ada pengharapan akan datangnya pembaharu baru dalam sistem dan perilaku kebangsaan dan kebernegaraan kita ini.

Sepertinya memang bangsa ini terus saja terbelit seribu satu masalah pada seluruh lapisan kehidupan sosial. Teror bom di gedung Kedutaan Besar Australia di Jakarta beberapa waktu lalu menambah belitan masalah itu, dan kejadian ini cukup ironis sebab baru saja Kapolri menyatakan Indonesia pada umumnya dan Jakarta khususnya dalam kondisi aman saat hearing di DPR, tiba-tiba terdengar kabar ledakan bom tersebut. Ini indikator betapa ada sistem yang tidak bekerja maksimal dalam tubuh negara kita. Juga menunjukkan dalam beberapa hal, bangsa ini mengalami reduksi kekuatan dan kebesarannya sehingga masalah datang begitu mudah.

Juga pada saat yang sama, senantiasa muncul pertanyaan besar dan mendasar : Bagaimana bangsa ini bisa keluar dari kemelut krisis multidimensial yang menggerogotinya? Sistem apa yang harus diterapkan agar problem-problem bangsa yang belum teratasi ini dapat menemukan solusinya? Sikap dan nilai-nilai apa yang mesti dianjurkan dan diimplementasikan sehingga kesulitan-kesulitan fundamental negeri ini dapat diselesaikan tanpa harus menimbulkan atau menelan korban-korban? Siapa figur atau sosok tokoh pemimpin dan bagaimana karakter, kepribadian atau catatan masa lalu yang harus dicitrakan dan diperlihatkan kepada masyarakat supaya harapan perubahan dapat terwujudkan?

Pertanyaan terakhir ini, telah ‘dijawab’ sendiri oleh masyarakat bangsa ini sejak putaran pertama pemilihan presiden, ketika beberapa calon presiden (capres) yang ikut berkompetisi dalam perebutan hati nurani rakyat untuk dapat memenangkan kursi tertinggi eksekutif, harus tereliminasi dan rela atas kenyataan bahwa mayoritas rakyat belum menghendakinya. Sehingga dua capres yang berhasil lolos masuk dalam putaran kedua pemilu kali ini, juga kembali harus teruji kualitas karakter, kepribadian, visi dan misi serta kesiapan mereka untuk memimpin bangsa dan negara ini dalam kurun waktu lima tahun kedepan. Hak konstitusi masyarakatlah dan semangat nuraninya akan menentukan siapa yang paling layak untuk dipercayakan amanah harapan dan cita-cita orang banyak sebagai presiden.

Antara Mitos dan Realitas
Aura gelombang perubahan yang akhir-akhir ini disuarakan oleh masyarakat pada banyak forum dialog baik yang digelar secara formal atau tidak, baik di jalan-jalan dengan aksi demonstrasi maupun di atas panggung pertemuan untuk suatu pendeklarasian komunitas dukungan, terasa begitu kental dan mengisyaratkan sebuah pengharapan besar akan perubahan bagi bangsa dan negara. Masyarakat, kelompok dan tokoh-tokoh pendukung masing-masing capres menebarkan visi dan misi, poin-poin janji dan mimpi-mimpi perubahan pada masa depan. Pengharapan perubahan itu menghinggapi setiap kesadaran dan pengetahuan kita layaknya mitos yang disebarkan untuk membesarkan perasaan dan hati kita yang terus-menerus krisis di segala lini kehidupan dari dimensi sosial, politik, hokum, ekonomi dan pendidikan sampai kebudayaan.

Fase antara kampanye pemilu capres putaran pertama hingga kampanye putaran kedua, masyarakat kita dikepung oleh mitos-mitos tentang perubahan kehidupan Indonesia yang lebih baik, tentang Indonesia yang lebih makmur, berkeadilan, bebas dari kemiskinan dan pengangguran, pendidikan yang memihak pada rakyat, bersih dari terorisme dan steril dari kejahatan para koruptor dan lain-lain sebagainya. Imajinasi sosial larut dan terbuai dalam wacana mimpi-mimpi yang indah dan ideal. Fase ini juga secara spontan melahirkan semangat euphoria oleh sebagian besar masyarakat dalam merefleksikan dukungan dan minat mereka pada salah satu sosok calon pemimpin pemerintahan. Dan tak jarang keterbuaian seperti ini akan menimbulkan ketidakrasionalan ketika menentukan pilihan calon pemimpin, bahkan mungkin saja melahirkan kekecewaan ketika, mitos perubahan menuntut realitas.

Karena itu penting bagi presiden terpilih masa pemerintahan 2004-2009 nanti untuk memahami akar mitos perubahan yang terlanjur telah tertanam di benak dan pikiran masyarakat mayoritas pemilih selama masa-masa kampanye. Hal ini penting agar sistem kebernegaraan dan keberbangsaan tetap berjalan dalam keseimbangannya, bahwa janji-janji perubahan yang terangkum dalam visi dan misi serta program-program yang dicanangkan sebagai mitos, sedapat mungkin terwujud dalam seluruh dimensi realitas kehidupan masyarakat. Sebab betapa kecewanya masyarakat pemilih yang telah memberikan kepercayaannya secara demokratis dan konstitusional, namun pada akhirnya harapan perubahan yang telah dijanjikan dulu tergantikan oleh kepentingan lain dari segelintir orang atau kelompok kepentingan yang berhasrat pada kekuasaan dan penumpukan kekayaan.

Sehingga gelombang perubahan baru yang dinantikan oleh masyarakat bangsa dari pemimpin pemerintahan baru ini, tidak sekedar menjadi mitos yang melangit dan mengawang-awang, tetapi harus nampak dalam realitas sosial sebagai perwujudan janji yang jujur dan ikhlas. Sebuah perwujudan yang lahir karena komitmen pengabdian sebagaimana yang telah dicitrakan dan digembar-gemborkan selama masih menjadi calon pemimpin. Masyarakat telah memperlihatkan keteguhan dan komitmennya untuk memilih pemimpinnya sendiri, janganlah pemimpin baru ini kemudian memperlihatkan hal yang sebaliknya. Sebab sejarah akan senantiasa mencatat segala keburukan dan kebaikan yang diperbuat oleh manusia untuk kemudian dibeberkannya pada rentetan sejarah yang lain.

Makassar, 16 September 2004

Label:

HAK KULTURAL YANG TERSEPELEHKAN [ Melihat Sisi Lain Pelanggaran HAM Berat Abepura ]

Oleh Syafruddin Muhtamar

Adalah fakta yang tak teringkari bahwa telah terjadi pelanggaran berat atas kemanusiaan pada awal pekan bulan Desember 2000 di Abepura, Papua. Sebuah peristiwa yang cukup menggetarkan rasa kemanusiaan publik di akhir tahun itu dan menggugah kesadaran lain tentang betapa negara dengan seragam militerismenya telah dengan semena-mena melecehkan harkat dan martabat masyarakatnya sendiri. Sepengal kejadian yang merupakan rentetan dari kejadian-kejadian lain yang terjadi ditanah air sepanjang sejarahnya. Pelanggaran atas hak dasar kemanusiaan telah menjadi fenomena tersendiri dalam gerak historis republik ini, yang mulai terhampar secara telanjang dimata publik ketika rezim Suharto menemui keruntuhannya di pertegangan tahun 1998.

Kejadian yang melibatkan negara dalam sebuah peristiwa kekerasan misalnya, dimana kemudian masyarakat sipil yang banyak menjadi korban, senantiasa menimbulkan polemik sosial dalam memberi defenisi peristiwa tersebut. Perbedaan-perbedaan titik pandang pihak-pihak berkompeten dalam melihat obyektivitas seringkali lebih disebabkan dominannya semangat politik ketimbang semangat untuk secara sublim menungkap persoalan dari sisi hak-hak dasar kemanusiaan dalam pendekatan budaya atau hukum. Meskipun terkadang, ketika peristiwa itu telah masuk dalam kerangka hukum, publik sering kali terkecoh melihat prosesi dan hasil akhir persidangan oleh karena intervensi kekuasaan politik negara adalah hal yang juga tak terhindarkan dalam sistem hukum kita, seperti hantu yang gentayangan intervensi itu menyelusup ke hampir semua celah kemungkinan yang ada.

Artinya negara dengan dengan seluruh sub sistem yang ada didalamnya, dalam dirinya sendiri, seperti memiliki kekebalan spesial dari berbagai macam tuntutan kejahatan yang diarahkan kepadanya. Terdapat sebuah sistem perlindungan atau saling melindungi ketika negara berhadapan dengan masyarakatnya yang menuntutnya untuk duduk di kursi pesakitan sebagai pihak yang harus mengakuai kesalahannya. Apalagi misalnya yang duduk di pesakitan itu adalah apatur yang sunguh-sungguh memiliki wibahah politik dan struktural, maka sistem itu akan bekerja secara ketat untuk membebaskan yang bersangkutan dari tuduhan-tuduhan hukum yang berpotensi untuk mencemarkan wibawahnya di mata negara meski tidak di mata rakyat.

Misalnya dalam konteks pengadilan HAM Apebura yang digelar di Makassar sejak maret lalu yang hingga kini telah meleawi 4 kali persidangan, memperlihatkan bahwa masih rentannya pengadilan ini dari ketidak-fair-an ketika melihat komposisi JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang oleh Kejaksaan Agung turut melibatkan beberapa orang oditur militer. Kenyataan ini semakin menguatkan asumsi publik bahwa peradilan belum terbebas sama sekali dari beragam intervensi kekuatan-kekuatan lain di luar sistem hukum itu sendiri. Kita bisa memprediksi dengan praktek-praktek seperti ini, bahwa masa depan peradilan kita khususnya yang menangani pelanggaran-pelanggaran HAM, masih dalam labirin ketidak pastian.

Terlepas dari proses hukum kasus Abepura yang memiliki potensi untuk berjalan pinjang itu, ada hal yang patut menjadi perhatian kita sebagai manusia Indonesia. Bahwa apa yang terjadi di negeri Papua itu, selain sebagai pelanggaran hukum juga terlebih harus difahami bahwa peristiwa tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap sebuah peradaban, ketika terdapat fakta-fakta akan penyepelehan atas hak-kak kultural masyarakat Papua. Masyarakat Papua yang keseluruhan sistem sosialnya termasuk dalam icon kebudayaan nasional, secara pelan-pelan telah memprosesi diri-kulturalnya masuk dalam sebuah kehidupan peradaban yang lebih sempurna dengan revitalisasi nilai-nilai lokal dalam kerja adaptasi dengan kehidpan modern. Bahwa sistem lokal yang memiliki nilai-nilai agung coba untuk ditransformasi dalam sistem yang lebih terbuka bagi kemungkinan-kemungkina inovasi dan kerativitas sosial, politik, ekonomi dan pendidikan.

Sebab bagiamanapun, jejak tradisionalitas masyarakat Papua sangat tidak wajar untuk dipisahkan dari sistem kemasyarakatannya, termasuk dibeberapa wilayah tradisional di nusantara. Mencerabut akar tradisi sebuah masyarakat yang telah melekat dalam eksistensi sejarah dan kehidupan sosialnya adalah sangat tidak arif, apalagi misalnya dengan alasan politis dengan asumsi kemajuan dan perkembangan, namun dibalik itu tidak lebih sebuah kerja eksploitasi untuk keutungan-keutungan elitis. Meskipun negara memiliki beban-beban sosial untuk memajukan dan mensejahterakan masyaraktanya, namun tetap harus diingat bahwa sebuah masyarakat, apalagi misalnya yang berkategori masyarakat adat, memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu baik dari sisi kultural dengan niali-nialai luhur yang ada di dalamnya, juga bahwa komunitas adat mendapat perlakuan elegan dari kesadaran dunia berupa perlindungan keadilan akan keberadaan mereka.

Sekedar menyebut contoh, misalnya Resolusi Majelis Umum PBB dalam Declaration on the Right of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguisti, disebutkan antara lain : Bahwa negara harus melindungi eksistensi dan identitas bangsa atau etnis, budaya, agama dan bahasa dari kelompok-kelompok minoritas yang ada dalam wilayah mereka masing-masing dan harus mendorong kondisi-kondisi untuk meningkatkan identitas tersebut (pasal 1 ayat 1) dan bahwa mereka berhak untuk menikmati budaya mereka sendiri dan terbebas dari diskriminasi apapun, berhak secara efektif untuk terlibat dalam kehidupan publik, berhak secara aktif untuk terlibat dalam keputusan-keputusan nasional, berhak mendirikan dan memelihara perhimpunannya sendiri tanpa diskriminasi apapun (pasal 2 ayat 1-4).

Negara kita yang juga terlibat dalam lalulintas pergaulan internasional, seharusnya memaknai semangat perlindungan hak-hal dasar kultural sebuah komunitas adat dalam resolusi itu. Negara-negara yang dengan sadar melanggar norma etis dunia itu, jelas dengan sendirinya akan merusak citra negaranya sendiri di mata Internasional. Kesadaran perlindungan atas hak-hak komunitas yang terposisikan marjinal atau minoritas ini, yang umumnya di alami oleh kelompok-kelompok adat atau peradaban tradiosional, sesungguhnya adalah sebuah kesaradan fitrah manusiawi yang teraktualisasi dalam kontak-kontrak sosial dengan maksud untuk terus menjaga sejarah peradaban manusia agar tetap dalam rel-rel kemanusiaannya.
Negara lewat kaki tangan militeristiknya yang dengan semena-mena, meskipun dengan alasan hukum politik stabilitas, telah memporak-porandakan sebuah jalinan sosio-kultural sebuah masyarakat adat atau tradisional hanya karena masyarakat tersebut mengeskperikan hak-hak kulturalnya akbat penindasan sistematis yang telah melangsung lama, maka negara tanpa sadar telah mengembangbiakkan potensi konflik yang tak terhingga, bahwa konflik yang ada sebelumnya dan belum terselesaikan akan semakin bertambah baik secara kualitas maupun kuantitas seiring bangkitnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak dasar kemanusiaannya. Negara dalam kondisi seperti ini sejatinya telah menjadi terhukum dalam benak moral kemanusiaan masyarakat dan sejarah.

Karena itu kasus Abepura yang telah menyeret beberapa petinggi di kepolisian untuk duduk di pesakitan, selayaknya menjadi kasus terakhir pelanggran HAM berat di negeri ini. Masyarakat telah dihinggapi kejenuhan pandang, dengar dan rasa akan fakta dan realitas kekerasan aparat negara terhadap rakyatnya sendiri. Masyarakat sulit untuk terdidik menjadi lebih dewasa ketika negara hanya mempertontonkan hasrat kekuasaan yang penuh nafsu otoritarianisme. Dan telah saatnya para elit negara untuk tidak sekedar mengelurkan kebijakan buta dalam menangani masalah yang terjadi di tanah Papua, sebab sejarah tidak pernah melewatkan sekecil apaun kejahatan yang dilakukan oleh tangan-tangan yang melepaskan diri dari tanggung jawab kemanusiaannya.

Makassar, 11 Agustus 2004.

Label:

KONTRAK MORAL POLITIK BARU

Oleh Syafruddin Muhtamar

“Temukanlah cermin yang tepat untuk wajahmu”, kalimat ini adalah milik seorang pejalan spritual yang amat terkenal di dunia Islam. Kenapa senantiasa kaum bijaksanawan mengingatkan manusia untuk tahu diri, untuk mengenal siapa aku, untuk mengerti titik terdalam kita sebagai manusia. Mungkin karena mnusia memiliki kecenderungan utntuk menyimpang dari visi-visi edealitasnya sebagai manusia yang dicipta untuk memberi kemaslahatan kepada sebanyak-banyaknya manusia. Dan kalimat-kalimat bijak ini tidak keluar begitu saja dari mulut sang guru kehidupan ini. Kalimat ini adalah rangkaian dari pengetahuan mereka yang dalam sekaligus luas tentang makna dan juga terlebih tentang nilai.
Manusia dengan beragam predikat sosial yang disandang dalam kehidupan, tidak luput dari sebuah harapan suci untuk membangun kehidupan ini menurut ketentuan atau sistem yang tentu saja harus lahir dari sebuah kebenaran. Apakah kebenaran itu bersumber dari rasionalitas atau kebenaran yang besifat spritual. Artinya manusia senantiasa harus diingatkan akan tujuan mulia dari penciptaannya. Kerja-kerja mengingatkan inilah yang menjadi misi dari kaum yang tercerahkan ini. Seperti Jalaluddin Rumi yang mengingatkan kita dengan kalimat tersebut diatas, “Temukan cermin yang tepat untuk wajahmu”.
Kenapa kita harus menemukan cermin yang tepat untuk wajah kita sendiri. Apakah wajah yang kita pakai sekarang ini adalah bukan wajah kita yang sebenarnya, wajah lain yang hadir dan membuat kita asing dengan rupa itu. Sebuah penampakan yang kita kenakan kemana-mana dan menjadi siapa dalam kehidupan ini ternayata bukan milik kita. Kalau kita menyadarinya mungkin ada rasa malu yang datang menikam jiwa, namun bila kita tidak dihinggapi kesadaran sedikitpun tentang wajah lain kita itu maka kehidupan itu terus berjalan dengan penipuan diri tiada henti. Wajah lain itu telah membuat kita hidup dalam labirin ironi yang nampak gemerlap namun tidak lebih dari sebuah gerak akrobatik yang menyesatkan.
Mungkin renungan seperti inilah yang bisa kita petik dari berlalunya periode kampanye dan pemilihan presiden dan wakil presiden pada 5 mei lalu. Dimana masyarakat kita disihir dengan tontonan permainan hasrat manusiawi yang condong pada peminatan dan pengarapan kekuasaan, lewat berbagai macam aksi-aksi kampanye dalam setiap sudut dan ruang-ruang sosial yang ada. Nampak bahwa ruang-ruang sosial itu menjadi tempat berdagang para politisi, mereka menjual mimpi dan janji untuk merebut sepotong simpati agar bisa mengantar mereka merebut kedudukan politis dalam negara menjadi seorang presiden atau wakil presiden. Dan masyarakat yang tidak kritis seolah larut dalam pesta pegadaian mimpi-mimpi masa depan itu.
Dengan alasan demokrasi setiap orang berhak membela diri atas apa yang mereka lakukan dalam pesta rakyat 2004 ini. Namun terlepas dari asumsi ideal yang menopang pelaksanaan pemilu kali ini, tetaplah bahwa ada sisi-sisi lain yang perlu untuk terus dipertegas dan digali demi kebangkitannya, sebuah dimensi terdalam dari kehidupan sosial itu sendiri yakni moralitas, sikap religi dan perilaku etis yang bersandar pada kedalamam nilai-nilai fitrah sejarah dan kemanusiaan. Apa yang sangat hegemonik dari fenomena politik nasional akhir-akhir ini adalah ekternalisasi watak-watak manusia yang begitu berbusa-busa untuk berkuasa, untuk merebut keuntungan-keuntungan duniawi semata dalam proses politik tersebut.
Karena itu, dari lima calon presiden dan wakil presiden yang terjaring dan sementara menunggu proses selesainya pengitungan suara untuk mengetahui apakah mereka dipilih oleh suara mayoritas masyarakat untuk menduduki jabatan pemerintahan tertinggi dinegeri ini atau tidak, penting memikirkan sebuah kontrak moral untuk sebuah kehidupan politik baru, dimana hal ini selalu menjadi harapan tertinggi masyarakat luas. Apa yang tidak selesai pada masa lalu dan masih terus berlanjut hingga hari ini adalah masalah moralitas dan komitmen pada kebenaran ‘sejati’ dari pelaksana-pelaksana negara dalam merefleksikan kedaulatan rakyat yang dipercayakan kepada mereka untuk dikelolah. Yang terjadi salah disorientasi ketika kepercayaan rakyat itu masuk secara formal dalam lembaga-lembaga negara, ini terjadi karena watak kekuasaan yang melekat dalam struktur sosial itu.
Mental eksklusifitas senantisa tergambar di setiap penampilan orang-orang yang hidup dalam keseharian yang penuh dengan aroma birokratis di lembaga-lembaga formal negara. Apalagi pada lembaga-lembaga yang memegang otoritas tertentu dan strategis bagi kemajuan dan masa depan negara. Dengan mentalitas yang ekslusif ini, secara langsung mereka telah membuat jarak psikologis bahkan ideologis dengan masyarakat yang ada dalam tataran struktur sosial yang tidak formal, rakyat. Jarak ini tak jarak juga bersifat fisik, banyak pejabat-pejabat merasa enggan mengunjungi masyarakt kumuh atau mereka-mereka yang hidup di daerah-daerah terpencil. Sehingga tak heran jika masyarakat umum senantiasa merasa tidak dekat dengan pemimpin-peminpin yang mereka telah pilih dalam pesta suksesi nasional atau pemilu.
Artinya ada sisi gelap dibalik prosesi politik negara yang belum banyak disentuh secara serius, selain misalnya masalah-masalah yang nampak dipermukaan seprti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, korupsi, dan lain-lain. Sisi gelap ini bergerak tanpa wujud sebab sifatnya yang abstrak, dan tidak hanya menghantui sebuah sistem tetapi terlebih telah menjadi bagian yang merusak karakter ideal kemanusiaan manusia. Sisi gelap ini adalah watak kebinatangan yang melekat dalam jiwa manusia. Tidak ada yang mampu menglangi watak ini ketika ingin memunculkan dirinya lewat perilaku dalam setiap elemen kehidupan, selain ketika kia masih memiliki hasrat untuk berfikir demi memanusiakan atau mengilahiayan jiwa individual atau jiwa sosial yang terait dengan sebuah sisitem hidup.
Dalam lapangan politik, persiden dan wakil presiden yang kelak terpilih ini dengan jajaran kabinetnya maksimal harus memikirkan secara sungguh-sungguh tentang kontrak moral itu. Bahwa komitmen pengabdian yang selama ini di jejalkan di kepala-kepala ribuan orang dalam kampanye tidak menjadi sekedar pemanis dibibir saja, tetapi menjadi visi ideologis yang mengakar dalam jiwa pejabat baru ini. Sebagai sebuah kontrak yang bersifat moral atau spritual, tidaklah perlu untuk dituliskan sebagaimana mahasiswa yang menuliskan klausul-kalusul kontraknya diatas kertas untuk ditandatangani oleh para calon pemimpin itu di depan notaris. Dalam hal kontrak moral hal ini tidak menjadi kemutlakan yang harus dilakukan, sebab moralitas lebih menyangkut kesadaran dan pengetahuan individual. Lebih kepada hal bagaimana para calon atau pejabat itu tidak terbisa menginkari kebenaran jiwanya sendiri, tidak terbisa mengenakan topeng-topeng kemunafikan dalam kesehariannya. Dan menyangkut trackrecord sifat politik dimana mereka pada masa lalu tidak mendidik diri dalam kebohongan demi kebohongan untuk merebut keuntungan atau jabatan-jabatan terentu.
Para pejabat negara ini hanya perlu mengetahui dengan sepenuh pengetahuan dan kesadaran bahwa mereka adalah abdi masyarakat yang berkewajiban secara moral untuk memberi pendidikan politik yang manusiawi, bekerja menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya dengan konsisitensi yang tinggi pada kejujuran, keihlasan dan rasa tanggung jawab. Dan bahwa masyarakat adalah sumber inpirasi mereka dalam menyusun kebijakan-kebijakan, bukan pesanan asing yang datang dengan segunung duit dan kepentingan. Jadi kontak moral adalah pertemuan dua sisi terdalam jiwa sosial dalam struktur yang berbeda dalam sejarah; satu sisi harapan ideal masyarakat yang bersifat fitrawi dan di sisi lain adalah hasrat kebaikan yang melekat dalam sistem negara yang bersifat rasional. Secara sederhana bisa dikatakan kedua variabel ini harus bertemu dalam wajah aslinya masing-masing yang bersifat ‘suci’ itu, tanpa harus ada topeng-topeng yang mengelabui satu sama lain.

Makassar, 14 Juli 2004.

Label:

MENAKAR GAYA HIDUP KONSUMERISME

Oleh Shaff Muhtamar
 Ada gejala manusiawi yang tidak bisa terhindarkan oleh setiap orang, yakni hasrat untuk memiliki sesuatu. Dari awal sejarah manusia hingga akhir sejarah itu sifat memiliki ini tidak akan pernah terpisah dari manusia, karena sifat itu berakar dalam watak yang ada sejak kita keluar dari rahim ibu. Watak ini sebentuk warisan kemanusiaan yang inheren dalam jiwa setiap individu.

Hasrat memiliki nampaknya suatu yang lumrah-lumrah saja dalam kehidupan sosial kita; untuk hidup kita harus memiliki benda-benda, diatas hasrat kepemilikan ini terdapat hasrat untuk dapat menikmati benda-benda yang dimiliki itu. Nampak pula secara gamblang dalam realitas kebudayaan modern, bahwa yang tidak mempunyai apa-apa maka ia bukanlah apa-apa. Dalam kebudayaan seperti ini manusia diukur atas apa yang dimilikinya terhadap material dan ukuran kebendaan ini pulalah sebagai penentu stratifikasi sosial.

Dalam pergaulan sosial dewasa ini, fakta kehidupan modern adalah hal yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya dan kehadirannya telah sangat mendominasi wilayah-wilayah kebudayaan seperti di kota-kota besar, dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara global. Harapan akan sebuah masyarakat yang modern selalu menjadi impian indah setiap negara yang merasa tertinggal dari kompetisi modernisasi masyarakat yang dikembangkan oleh negara-negara besar dan telah maju. Namun fakta kehidupan modern pulalah menunjukkan adanya bias-bias kebudayaan yang berkecenderungan pada proses penghancuran nilai-nilai sejati kemanusiaan, religi, moral dan etika bahkan estetika.

Konsumerisme sebagai salah satu idiom kebudayaan modern merupakan respon budaya terhadap industrialisasi sebagai realitas dominan dalam kebudayaan modern. Dalam pandangan Mike Featherstone, bahwa dalam industri terdapat “logika kapital” dan dimungkinkan pula untuk menyatakan “logika konsumsi” yang menunjukkan pada cara-cara terstruktur secara sosial dimana benda-benda digunakan untuk membatasi hubungan sosial. Untuk berbicara tentang konsumsi benda-benda, kita harus menyembunyikan berbagai macam benda yang dikonsumsi atau dibeli ketika semakin banyak aspek waktu libur ditandai dengan pembelanjaan komoditas.

Pembicaraan mengenai konsumsi ini pun menyembunyikan kebutuhan untuk membedakan antara benda konsumsi tahan lama (consumer durables) yaitu benda-benda yang kita gunakan untuk aktivitas hidup dan bersenang-senang seperti lemari es, mobil, hi-fi, kamera dan benda-benda konsumsi tidak tahan lama (consumer non-durables) seperti makanan, minuman, pakaian, produk-produk perawatan tubuh serta perubahan dalam proporsi penghasilan yang dibelanjakan pada masing-masing sektor sepanjang tahun.
Ada lapisan masyarakat yang terus menerus memproduksi barang-barang sebagai kebutuhan dan ada lapisan masyarakat yang lain yang juga secara kontinyu bertindak sebagai konsumen bagi barang-barang tersebut.

Dua bentuk variabel masyarakat modern ini melakukan interaksi timbal balik karena terikat kepentingan yang sama yakni kebutuhan untuk saling menghidupi. Roh masyarakat produsen ada ditangan masyarakat konsumen, sebaliknya hidup atau matinya masyarakat konsumen sangat tergantung pada ciptaan masyarakat produsen.

Dalam beberapa kasus masyarakat konsume, (menurut Rochberg-Halton), objek pembelian mungkin digunakan untuk memperoleh prestise melalui nilai tukar yang tinggi, khususnya yang terjadi dalam masyarakat dimana golongan aristokrat dan golongan kaya lama dipaksa untuk menampakkan kekuatan kepada kelompok kaya baru. Situasi yang sebaliknya dapat juga tampak dimana sebuah komoditas yang telah ada sebelumnya lepas status komoditasnya. Oleh karena itu hadiah dan benda-benda warisan tidak lagi dipandang sebagai benda yang dapat diperdagangkan dan benar-benar “tidak berharga” (dalam pengertian bahwa tidak pantas mempertimbangkan untuk menjualnya atau berupaya untuk menetapkan harga atas benda itu) untuk menyimbolkan hubungan personal yang erat serta untuk membangkitkan memori tentang seorang yang dicintai.

Ini menunjukkan bahwa konsumerisme telah menjadi semacam budaya yang terpatron sebagai gaya hidup kaum kota, hal ini sangat dimungkinkan secara ekonomi, karena standar kehidupan ekonomi perkotaan adalah menengah keatas yang ketika dikuantifikasi akan menunjukkan jumlah yang dominan dibanding kaum desa dengan tingkat ekonomi dikelas bawah. Jumlah yang dominan ini kemudian pada kelakuan budaya modern perkotaan terus mengalami peningkatan sehingga fakta budaya konsumerisme menjadi pemandangan yang “khusus” dan fenomenal.

Istilah gaya hidup (lifestyle) menurut Max Weber memiliki arti yang lebih terbatas pada gaya hidup khas dari kelompok status tertentu, dalam budaya konsumen kontemporer istilah ini mengkonotasikan individualitas, ekspresi-diri, serta kesadaran yang stilistik. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makan dan minum, rumah, kendaraan, pilihan liburan dan seterusnya dipandang sebagai indikator dari individualitas selera serta gaya dari pemilik atau konsumen. Berbeda dengan penyebutan tahun 1950-an sebagai era konformisme kelabu, masa ketika terjadinya konsumsi massa, perubahan dalam teknik produksi, segmentasi pasar serta tuntutan konsumen akan berbagai macam produk, sering dipandang sebagai mengakibatkan munculnya berbagai pilihan yang mungkin (yang mana manajemen itu sendiri menjadi bentuk seni) tidak hanya bagi kawula muda generasi post – 1960-an, tetapi terlebih pada usia menengah dan lanjut.
Bahwa konsumerisme sebagai sebuah bentuk kesadaran budaya, pada akhirnya tidak hanya menyentuh satu lapisan masyarakat dengan usia tertentu namun telah menghegemoni hampir semua lapisan masyarakat dengan berbagai macam usia dan dengan berbagai macam wilayah kebudayaan – geografis dengan bentuk implementasi yang berbeda-beda namun tetap dalam akar kebudayaan yang disebut konsumerisme itu tadi. Budaya konsumen juga secara terus menerus melakukan transformasi dari satu bentuk ke bentuk yang lain yang berbeda dari sebelumnya dengan mengikuti alur karakter, sifat perubahan-perubahan sejarah dan kebudayaan yang terjadi. Konsumerisme dalam budaya kuno memiliki wujud yang berbeda dengan pada saat kondisi modernitas menjadi sebuah entitas kehidupan global dan saat ini pun kembali bermetamorfosis untuk mencari baju kebudayaannya diera apa yang disebut banyak pakar kebudayaan sebagai era postmodernisme.

Posmodernisme adalah sebuah bentuk baru dari modernitas atau modernisme, kelahirannya – post modern – merupakan “bias” dari kejumudan kehidupan yang serba modern khususnya pada kehidupan barat dimana modernitas oleh para ahli disebut telah mengalami stagnasi sehingga terpaksa mencari bentuknya yang beda dan lain dari wujud modernitas.

Industri dalam modernitas disebut sebagai post-industri dalam terminologi postmodernisme, menurut Yasraf A Piliang, konsumerisme dalam era postmodernitas mengalami pengembangan yang begitu kompleks dan tidak lagi sesederhana pada era kuno dan modern. Di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika “kebutuhan” (need) melainkan logika “hasrat” (desire). Bila “kebutuhan” dapat dipenuhi – setidak-tidaknya secara parsial – melalui obyek-obyek, “hasrat”, sebaliknya, tidak pernah terpenuhi, oleh karena satu-satunya “obyek” yang dapat memenuhi hasrat (seksual) yang muncul secara bawah sadar pada tahap imajiner dan obyek hasrat ini telah hilang untuk selamanya, dan hanya dapat mencari subtitusi-subtitusinya dalam dunia obyek atau simbol-simbol yang dikonsumsi. Inilah yang dialami masyarakat konsumen pada era post-industri.

Mengkonsumsi sesuatu bukan lagi atas dasar kebutuhan praktis namun lebih pada pemenuhan hasrat-hasrat seksual yang begitu halus dalam citraan benda-benda sebagai pertanda dari hasrat tersebut. Mungkin inilah yang disebut penyakit hiper-konsumtif dalam budaya konsumen, hiper bukan hanya pada kuantitas tetapi juga pada kualitas (identik dengan hasrat). Manusia diarahkan oleh hasrat kebendaan secara berlebihan, akhirnya tidak terkontrol. Awalnya adalah hasrat untuk memiliki, menggunakan dan menguasai benda-benda, pada akhirnya watak produk yang mencitrakan hasratnya menjadi dominan kemudian mengendalikan manusia. Manusia konsumer kemudian pasif untuk sekedar menjadi obyek pengendalian dari masyarakat produsen yang menguasai pasar hasrat masyarakat. Manusia kemudian merasa asing, karena kehilangan sifat kebebasannya yang fitrawi oleh pemujaan merek-merek industri yang hegemonik.

Kepasifan manusia dalam masyarakat industri, menurut Erich Fromm, merupakan salah satu simptom dari seluruh sindrom yang sering disebut “sindrom keterasingan”. Menjadi pasif artinya, dia tidak menghubungkan dirinya sendiri dengan dunia secara aktif dan dipaksa untuk tunduk kepada berhala-hala dengan segala permintaannya. Dengan demikian dia merasa tidak berdaya, sendirian dan cemas. Dia mempunyai sedikit kesadaran integritas dan identitas diri. Konformitas nampaknya merupakan satu-satunya cara untuk menghindari kecemasan yang tak tertanggungkan dan celakanya, konformitas tidak selalu dapat meringankan kecemasan.

Label:

MEMILIH MASYARAKAT TANPA KEKERASAN

“Amukan Raider Dahsyat”; judul berita headline harian Fajar edisi Kamis, 1 Desember 2005. Mungkin sebagian masyarakat pembaca sedikit terperangah menyimak isi berita tersebut, sebagian yang lain mungkin tidak perduli. Isi tulisan ini adalah bagian dari keadaan pembaca yang terperangah itu. Memang pada tingkat kesadaran tertentu, tindakan kekerasan akan membuat hati kita terhentak, tetapi pada kondisi tertentu pula, peristiwa itu sama sekali tidak menggugah kemanusiaan kita. Hanya yang pasti, kekerasan adalah perilaku yang mendapat banyak tantangan dari masyarakat. Sebab disadari sepenuhnya, tindakan tersebut tidak pernah secara substantif menyelesaikan persoalan manusia dalam kehidupan kemasyarakatannya.
Lalu mengapa dalam kehidupan sosial kita, di negeri hukum ini, tidak pernah sepi dari tontonan peristiwa dimana kekerasan adalah adegan utamanya. Terdapat daftar panjang tentang peristiwa kekerasan yang terjadi dalam beragam bentuk, beragam motif dan modus, beragam pelaku dan beragam akibat yang ditimbulkannya. Pada umumnya praktek kekerasan itu, secara faktual merupakan hal yang senantiasa menyertai zaman, sejarah dan kehidupan manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut telah menjadi fakta yang membenarkan tesis tentang kekerasan yang didefenisikan oleh banyak ahli. Kekerasan dianggap perilaku alamiah dan khas manusiawi. Sehingga tidak heran jika kenyataan kekerasan selalu hadir pada setiap ruang dan setiap waktu dalam kehidupan masyarakat. Disinyalir penyebabnya adalah watak agresif dalam diri manusia yang mengakar secara biologis dan psikis. Agresifitas yang sama, dimiliki pula oleh binatang, menurut para ahli tersebut.
Thomas Hobbes seorang ahli pikir, juga percaya bahwa manusia adalah mahluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irrasional, anarkis, saling iri dan saling benci sehingga menjadi jahat, kasar, buas dan pendek pikir. Sehingga Thomas menyebut manusia sebagai Homo Homini Lupus atau manusia yang memangsa sesamanya. Kecenderungan saling memangsa ini akan melibatkan tindakan kekerasan mematikan dan merusak.
Hal ini secara potensial berlaku pada pelaku penyerangan yang disertai pengrusakan kepada sekelompok masyarakat di Kabupaten Jeneponto, sebagaimana yang diberitakan koran ini beberapa waktu lalu. Peristiwa tersebut menggambarkan betapa watak agresifitas menjelma tindakan kekerasan terus terulang, sebagaimana peristiwa-peristiwa kekerasan lain yang telah mendahuluinya.

Kekerasan Terorganisir : Mengendalikan Kedestruktifan
Negara adalah organisasi masyarakat yang menjinakkan watak agresifitas manusia ke tingkat fungsi proporsional dan profesional. Pembentukan angkatan-angkatan bersenjata oleh negara-negara – bangsa di dunia, dalam pemahaman tertentu, adalah sebentuk upaya pengendalian kekerasan potensial yang dimiliki manusia untuk tujuan-tujuan ideal menurut filosofi pragmatisme tersendiri. Misalnya, negara dalam salah satu hakekat fungsi politiknya adalah melindungi dan menjamin keamanan seluruh kepentingan (hak) dan kekayaan masyarakatnya. Sehingga dibutuhkan badan-badan negara yang merepresentasikan kekuatan militer untuk menjamin kehidupan warga negara sekaligus menjaga eksistensi negara.
Organisasi kepolisian dan ketentaraan misalnya disetiap negara adalah lembaga-lembaga negara yang mengelola watak agresifitas dan potensi kekerasan sedemikian rupa sehingga dapat dikendalikan menurut fungsi dan tujuan ideal untuk sebagian harapan manusia. Fungsi, tujuan dan penggunaannya dikonsepsikan oleh negara dalam format yuridis dan regulasi-regulasi politik tertentu. Disinilah watak alamiah manusia itu sesungguhnya menemukan keterarahannya. Ketika semangat dan formalisme konstitusi menjadi rel pengendali watak yang memiliki kecenderungan destruktif ini. Hanya dalam kondisi-kondisi yang ditetapkan konstitusi, penggunaan tindakan kekerasan itu menjadi sah dan dibolehkan.
Namun dalam banyak realitas, keberadaan lembaga-lembaga militer tidak sepenuhnya terjamin dari bias penggunaan fungsi idealnya. Lembaga yang dalam dirinya menyatu semangat militerisme; dimana agresifitas dan kekuatan fisik menjadi sumberdaya utama secara internal, seringkali menjadi bagian utama dari lingkaran kekerasan yang dilakukan oleh penguasa politik negara, khususnya penguasa otoriter dan feodal.
Otoritas struktur politik negara selalu tergoda untuk menyelewengkan lembaga-lembaga pengamanan dan keamanan ini untuk tujuan kotor politiknya, karena kemampuan sumberdaya manusia yang terlatih dan mereka berhak memiliki dan menggunakan simbol-simbol kekerasan berupa senjata ringan hingga senjata berat. Atau karena ulah oknum-oknumnya yang tidak bertanggung jawab, menyalahgunakan kemampuan profesionalnya untuk tujuan-tujuan yang juga tidak bertanggung jawab. Sehingga penyelewengan-penyelewengan sepeti ini sering mencoreng nama baik korps dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga.
Penyalahgunaan kemampuan kemiliteran, baik oleh oknum aparat maupun sebab intervensi kepentingan politik kekuasaan, akan berakibat buruk pada banyak kondisi. Secara umum adalah terciptanya disharmonis dalam bidang kehidupan dimana penyelewengan ini dilakukan. Paling kritis adalah retaknya jalinan-jalinan ideal antar manusia, kelompok masyarakat ataupun antar grup kepentingan politik.

Masyarakat Tanpa Kekerasan
Fakta sejarah telah mengungkapkan betapa kekerasan menjadi momok mengerikan bagi harapan kebahagiaan masyarakat. Karena kekerasan tidak pernah aktual tanpa motif dasar yang merusak dan menghancurkan, sebaik dan seideal apapun tujuan dan alasan peruntukan tindakan tersebut. Sebab akibatnya senantiasa adalah penderitaan dan kerugian, meskipun tindakan itu memiliki akar dalam jiwa manusia, tidak serta-merta karena kealamiahannya lantas kita menjustifikasi seolah-olah potensinya sama sekali tidak bisa dimatikan.
Sejauh menyangkut jiwa, kehadiran manusia tidak melulu didominasi oleh watak destruktif, tetapi bersamaan itu hidup juga dalam jiwanya watak konstruktif. Malahan dalam pengetahuan para kaum Bijak, watak konstruktif sesungguhnya adalah lingkaran permanen yang melingkupi watak-watak lainnya. “Kebaikan adalah wajah asli dari manusia”, kata seorang guru spiritual. Hanya karena kemalasan manusia mengelola dan melatih kebaikan dirinya sehingga yang menonjol justru keburukannya saja.
Menciptakan masyarakat bebas kekerasan tidaklah semudah bagaimana kita menyaksikan kondisi masyarakat penuh praktek-praktek kekerasan. Namun demikian, cita-cita masyarakat tanpa kekerasan adalah harapan kolektif setiap komunitas manusia. Dalam kenyataan diketahui, kekerasan paling mengancam kehidupan masyarakat adalah kekerasan yang bersifat struktural, sebentuk kekerasan yang berlangsung secara sistemik, baik dengan berlatar belakang motif ekonomi, politik maupun kebudayaan. Kekerasan ini menimbulkan kerugian yang meluas dan penderitaan jangka panjang, seperti kemiskinan dan pengangguran, penindasan dan marjinalisasi. Sehingga terasa mutlak untuk melenyapkan segala bentuk kekerasan tersebut dengan mencerabut akarnya dalam jiwa manusia.
Disinilah urgensinya tokoh dan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penjaga moral, etika, keadilan dan spiritual masyarakat. Peran mereka sebagai pengingat dan pelaksana kebenaran dan kesejatian dituntut kejernihannya, sedemikian rupa, sehingga seluruh elemen masyarakat merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan kemurnian jiwa manusia, agar dengannya tercipta perilaku, akhlak dan moralitas yang merefleksikan watak fitrah kebaikannya. Sebab hidup ini dihadapkan pada dua pilihan utama; memilih menjadi orang berwajah manusia atau menjadi orang berwajah binatang. Meskipun demikian, ternyata ada juga yang membuat pilihan khusus yakni menjadi manusia berwajah malaikat.

Makassar, 4 Desember 2005

Label:

GELIAT CENDIKIAWAN DIGELANGGANG POLITIK KEKUASAAN

oleh Shaff Muhtamar
Adalah sebuah keberuntungan alamiah tersendiri bahwa Tuhan telah mengaruniahi kehidupan sejarah manusia dengan sosok-sosok individu yang memiliki kemampuan intlektual, moral dan religi. Keberadaan mereka membuat kehidupan manusia tetap ‘terkontrol’ dalam setiap gerak-gerak perjalanan sejarahnya. Semangat hidup dan pemikiran mereka yang unik dan otentik senantiasa menjadi nafas samannya. Dengan jiwa yang jernih dan tabiat yang tinggi, mereka seperti cahaya terang ditengah keremang-remangan harapan manusia.

Manusia yang secara fitrawih berkecenderungan pada kesempurnaan, baik dalam pengertiannya yang material maupun yang spritual, seringkali kecenderungan itu tidak dapat terwujud jika dalam kehidupan sosial tidak terdapat sistem atau individu yang mendukung harapan-harapan ideal itu. Artinya manusia senantiasa membutuhkan sesuatu diluar dirinya untuk sampai pada harapan atau cita-cita tertingginya.

Peran seorang cendikiawan-sebutan bagi orang-orang tercerahkan semangat dan pikirannya-amatlah penting dalam semua rana kehidupan. Harapan-harapan fitrah manusia itu juga adalah bagian paling tinggi dari cita-cita individualnya. Manusia-manusia yang telah ‘melahirkan kembali dirinya’ menjadi manusia sejati ini adalah teladan saman, panutan sejarah dan guru kehidupan. Mereka adalah penutur sekaligus pelaku hikma. Penyampai makna yang tiada letih mengunjugi manusia dalam berbagai cara, demi kemaslahatan manusia dan kehidupan itu sendiri.

Secara khusus mereka telah mendidik diri dalam laku pikir, perasaan, aktifitas dengan disiplin ketat. Mereka telah mengorbankan banyak hal untuk sebuah kesempurnaan diri kemanusiaannya, dengan pengetahuan dan pengalaman yang sedemikian lengkap. Sehingga setiap tindakan dan perkataan mereka adalah ‘kepastian-kepastian’ yang produktif dan mencerahkan. Dan pasti bahwa apa-apa yang telah menjadi perkataan dan perilaku mereka akan sangat berguna bagi kesempunaan kehidupan sejarah manusia. Sebab adalah takdir bagi kebedaraan meraka seperti itu adanya.

Manusia-manusia yang tercerahkan ini dengan sendirinya tidak terpisah dari keberadaan masyarakat atau kehidupan sosial pada umumnya. Keberadaan mereka tidak akan berarti apa-apa ketika mereka hanya menjadi penyepi di goa-goa dan padepokan atau hanya menikmati ‘kesempurnaan’ dirinya dalam kamar dengan segunung gagasan dalam kerta-kertas kerja yang terhambur dan dikelilingi setumpuk buku-buku klasik dan mutakhir tebal, serta menutup diri dibalik tembok-tembok akademik yang tebal dan kaku membiarkan ilmu itu berkarat bersama menara gadingnya. Karena mereka adalah pendidik sejati dan peserta didiknya adalah masyarakat manusia maka kehidupan sosial adalah rumah sejati mereka juga, tempat mereka mendidik masyarakatnya hingga kelak harapan tertinggi kemanusiaan sosial itu tergapai.

Seiring bergerak dan berubahnya saman, peran dan ‘sebutan-sebuatan’ kaum tercerahkan inipun turut berubah. Misalnya, ketika saman dipenuhi semangat kesucian wahyu-wahyu langit, mereka adalah nabi-nabi yang berperan mensucikan kembali manusia dan menskralisasi kehidupan sosial dalam batas-batas manusiawi dengan menjadikan kesempurnaan Tuhan sebagai dasar pijikan. Ketika saman tradisional itu berlalu dan digantikan saman baru yang disebut modern dengan cirinya yang pragmentatif, mereka adalah para filosof, para ahli-ahli ilmu pengetahuan rasional dalam segala bidang : tehnik, hukum, sosial, ekonomi, politik, kedokteran, sejarah, kebudayaan dan lain-lain, yang bekerja juga dalam keragaman bidang profesi menurut keahlian masing-masing.

Corak kenabian dalam fase tradisional dan mental ilmuan dalam kehidupan modern sungguh sangat berbeda dari sisi sublimitasnya. Nabi dan sifat-sifat kenabian yang melekat pada individu-individu pemegang otoritas pengetahuan pada masa awal itu adalah mereka yang mentalitas dan fisikal secara totalitas telah disiapkan hanya untuk mengabdi pada manusia dan kehidupannya. Dan adalah ‘pantangan’ dalam melakukan tugasnya sebagai pendidik sejati kemudian mereka mengharap atau meminta secuil keuntungan duniawi. Sikap seperti ini dianggap sebagai penghianatan pada diri sendiri, sebuah sikap yang hanya akan mengotori perjuangan bagi cita-cita mulia mereka, bahkan menjadi penghambat bagi kemajuan kualitas kesempurnaan kemanusiaannya sendiri.

Oriatarsi kerja-kerja intlektual dan sosial mereka adalah kemuliaan jiwa manusia, kesempurnaan tujuan sejarah, dan ‘melindungi’ kehidupan dari kehancuran dan kebinasan moral dan spritualnya, mereka tidak mengharapkan imbalan kesejahteraan material, sebab keseluruhan hidup mereka telah diabdikan untuk ibadah. Tah heran kemudian, apa yang mereka perjuangkan tidak membuat masyarakat kecewa dan keberhasilan mereka membangun sebuah masyarakat begitu membekas secara ideal pada setiap jiwa dan bahkan menjadi pilot project bagi komunitas masyarakat lainnya. Ada ketulus-ihlasan, ada kejujuran, ketegasan dan konsistensi dalam setiap upaya-upaya teoritis dan praktis mereka : sebuah kerja tanpa pretensi pada iming-iming kesemuan duniawi.

Sementara para Imuan dan Profesional modern tampaknya sangat berbeda dengan kenyataan orang-orang ‘berisi’ masa lampau. Semangat moderniats yang cenderung mengagungkan materialisme banyak mempengaruhi kerja-kerja kaum terdidik ini. Kalau para Ilmuan masa lalu ‘mengukur’ diri dan kerja mereka dengan amal dan peningkatan kualiatas jiwa, sementara Ilmuan saman modern ini lebih cenderung melihat proses kerja dan keberadaan mereka dari sisi banyaknya gaji, pasilitas yang diterima, jabatan-jabatan dan kesinambungan proyek-proyek. Mental pragmatis dan harapan-harapan kesejahteraan duniawi lebih dominan mewarnai hasrat kaum cendikiawan ini dalam pergaulan sosialnya.

Termasuk ketika para cendikiawan ini berlomba-lomba masuk dalam lingkaran politik kekuasaan. Mendukung sebuah rezim atau memihak pada sebuah kekuatan politik strategis. Mereka menyumbangkan segenap kemampuan pengetahuan untuk melegitimasi tindakan yang direfleksikan oleh sebuah lembaga politik, memberi landasan ilmiah sebagai basis poltik praktis sebuah sistem politik. Dan terkadang secara kolektiv menjadi kelompok think tank yang memberi analisis-analisis ilmiah bagi sebuah kelompok politik tertentu dalam rangka penyusunan sebuah kebijakan publik. Membantu memuluskan sebuah jalur kekuasaan dalam perebutan kursi otoritas tertinggi dalam struktur formal pemerintahan negara, sebagai tim sukses seorang calon presiden.

Semua ini tidak gratis, sumbangsi yang diberikan tidak cuma-cuma, dan setelah kerja itu seleasi pihak yang berasa dibantu harus mengerti kebutuhan kaum ‘terdidik’ ini. Barter kepentingan terkadang diakukan secara profesional lewat sebuah konsensus legal antara pihak-pihak tersebut. Terkadang juga ‘harga’ itu disepakati secara pertemanan, dimana kewajiban-kewajiban itu hanya perlu diingat dalam sikap saling percaya.
Mereka tidak lagi berfungsi sebagai penjaga moral masyarakat. Modal moral, kecerdasan inteleletual, sikap kritis dan independensi etis itu telah tergadai dengan kebutuhan-kebutuhan pragmatis manusiawi. Tujuan mulia yang pada awalnya bersemayam di dada mereka, kini telah terkaburkan oleh hasrat rendah dari eksitensi jiwa manusia. Mata awas akal dan hati mereka tersilaukan oleh gemerlap mimpi-mimpi kesejahteraan duniawi yang semu itu.


Makassar, 6 Juli 2004

Label: