HAK KULTURAL YANG TERSEPELEHKAN [ Melihat Sisi Lain Pelanggaran HAM Berat Abepura ]
Oleh Syafruddin Muhtamar
Adalah fakta yang tak teringkari bahwa telah terjadi pelanggaran berat atas kemanusiaan pada awal pekan bulan Desember 2000 di Abepura, Papua. Sebuah peristiwa yang cukup menggetarkan rasa kemanusiaan publik di akhir tahun itu dan menggugah kesadaran lain tentang betapa negara dengan seragam militerismenya telah dengan semena-mena melecehkan harkat dan martabat masyarakatnya sendiri. Sepengal kejadian yang merupakan rentetan dari kejadian-kejadian lain yang terjadi ditanah air sepanjang sejarahnya. Pelanggaran atas hak dasar kemanusiaan telah menjadi fenomena tersendiri dalam gerak historis republik ini, yang mulai terhampar secara telanjang dimata publik ketika rezim Suharto menemui keruntuhannya di pertegangan tahun 1998.
Kejadian yang melibatkan negara dalam sebuah peristiwa kekerasan misalnya, dimana kemudian masyarakat sipil yang banyak menjadi korban, senantiasa menimbulkan polemik sosial dalam memberi defenisi peristiwa tersebut. Perbedaan-perbedaan titik pandang pihak-pihak berkompeten dalam melihat obyektivitas seringkali lebih disebabkan dominannya semangat politik ketimbang semangat untuk secara sublim menungkap persoalan dari sisi hak-hak dasar kemanusiaan dalam pendekatan budaya atau hukum. Meskipun terkadang, ketika peristiwa itu telah masuk dalam kerangka hukum, publik sering kali terkecoh melihat prosesi dan hasil akhir persidangan oleh karena intervensi kekuasaan politik negara adalah hal yang juga tak terhindarkan dalam sistem hukum kita, seperti hantu yang gentayangan intervensi itu menyelusup ke hampir semua celah kemungkinan yang ada.
Artinya negara dengan dengan seluruh sub sistem yang ada didalamnya, dalam dirinya sendiri, seperti memiliki kekebalan spesial dari berbagai macam tuntutan kejahatan yang diarahkan kepadanya. Terdapat sebuah sistem perlindungan atau saling melindungi ketika negara berhadapan dengan masyarakatnya yang menuntutnya untuk duduk di kursi pesakitan sebagai pihak yang harus mengakuai kesalahannya. Apalagi misalnya yang duduk di pesakitan itu adalah apatur yang sunguh-sungguh memiliki wibahah politik dan struktural, maka sistem itu akan bekerja secara ketat untuk membebaskan yang bersangkutan dari tuduhan-tuduhan hukum yang berpotensi untuk mencemarkan wibawahnya di mata negara meski tidak di mata rakyat.
Misalnya dalam konteks pengadilan HAM Apebura yang digelar di Makassar sejak maret lalu yang hingga kini telah meleawi 4 kali persidangan, memperlihatkan bahwa masih rentannya pengadilan ini dari ketidak-fair-an ketika melihat komposisi JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang oleh Kejaksaan Agung turut melibatkan beberapa orang oditur militer. Kenyataan ini semakin menguatkan asumsi publik bahwa peradilan belum terbebas sama sekali dari beragam intervensi kekuatan-kekuatan lain di luar sistem hukum itu sendiri. Kita bisa memprediksi dengan praktek-praktek seperti ini, bahwa masa depan peradilan kita khususnya yang menangani pelanggaran-pelanggaran HAM, masih dalam labirin ketidak pastian.
Terlepas dari proses hukum kasus Abepura yang memiliki potensi untuk berjalan pinjang itu, ada hal yang patut menjadi perhatian kita sebagai manusia Indonesia. Bahwa apa yang terjadi di negeri Papua itu, selain sebagai pelanggaran hukum juga terlebih harus difahami bahwa peristiwa tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap sebuah peradaban, ketika terdapat fakta-fakta akan penyepelehan atas hak-kak kultural masyarakat Papua. Masyarakat Papua yang keseluruhan sistem sosialnya termasuk dalam icon kebudayaan nasional, secara pelan-pelan telah memprosesi diri-kulturalnya masuk dalam sebuah kehidupan peradaban yang lebih sempurna dengan revitalisasi nilai-nilai lokal dalam kerja adaptasi dengan kehidpan modern. Bahwa sistem lokal yang memiliki nilai-nilai agung coba untuk ditransformasi dalam sistem yang lebih terbuka bagi kemungkinan-kemungkina inovasi dan kerativitas sosial, politik, ekonomi dan pendidikan.
Sebab bagiamanapun, jejak tradisionalitas masyarakat Papua sangat tidak wajar untuk dipisahkan dari sistem kemasyarakatannya, termasuk dibeberapa wilayah tradisional di nusantara. Mencerabut akar tradisi sebuah masyarakat yang telah melekat dalam eksistensi sejarah dan kehidupan sosialnya adalah sangat tidak arif, apalagi misalnya dengan alasan politis dengan asumsi kemajuan dan perkembangan, namun dibalik itu tidak lebih sebuah kerja eksploitasi untuk keutungan-keutungan elitis. Meskipun negara memiliki beban-beban sosial untuk memajukan dan mensejahterakan masyaraktanya, namun tetap harus diingat bahwa sebuah masyarakat, apalagi misalnya yang berkategori masyarakat adat, memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu baik dari sisi kultural dengan niali-nialai luhur yang ada di dalamnya, juga bahwa komunitas adat mendapat perlakuan elegan dari kesadaran dunia berupa perlindungan keadilan akan keberadaan mereka.
Sekedar menyebut contoh, misalnya Resolusi Majelis Umum PBB dalam Declaration on the Right of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguisti, disebutkan antara lain : Bahwa negara harus melindungi eksistensi dan identitas bangsa atau etnis, budaya, agama dan bahasa dari kelompok-kelompok minoritas yang ada dalam wilayah mereka masing-masing dan harus mendorong kondisi-kondisi untuk meningkatkan identitas tersebut (pasal 1 ayat 1) dan bahwa mereka berhak untuk menikmati budaya mereka sendiri dan terbebas dari diskriminasi apapun, berhak secara efektif untuk terlibat dalam kehidupan publik, berhak secara aktif untuk terlibat dalam keputusan-keputusan nasional, berhak mendirikan dan memelihara perhimpunannya sendiri tanpa diskriminasi apapun (pasal 2 ayat 1-4).
Negara kita yang juga terlibat dalam lalulintas pergaulan internasional, seharusnya memaknai semangat perlindungan hak-hal dasar kultural sebuah komunitas adat dalam resolusi itu. Negara-negara yang dengan sadar melanggar norma etis dunia itu, jelas dengan sendirinya akan merusak citra negaranya sendiri di mata Internasional. Kesadaran perlindungan atas hak-hak komunitas yang terposisikan marjinal atau minoritas ini, yang umumnya di alami oleh kelompok-kelompok adat atau peradaban tradiosional, sesungguhnya adalah sebuah kesaradan fitrah manusiawi yang teraktualisasi dalam kontak-kontrak sosial dengan maksud untuk terus menjaga sejarah peradaban manusia agar tetap dalam rel-rel kemanusiaannya.
Negara lewat kaki tangan militeristiknya yang dengan semena-mena, meskipun dengan alasan hukum politik stabilitas, telah memporak-porandakan sebuah jalinan sosio-kultural sebuah masyarakat adat atau tradisional hanya karena masyarakat tersebut mengeskperikan hak-hak kulturalnya akbat penindasan sistematis yang telah melangsung lama, maka negara tanpa sadar telah mengembangbiakkan potensi konflik yang tak terhingga, bahwa konflik yang ada sebelumnya dan belum terselesaikan akan semakin bertambah baik secara kualitas maupun kuantitas seiring bangkitnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak dasar kemanusiaannya. Negara dalam kondisi seperti ini sejatinya telah menjadi terhukum dalam benak moral kemanusiaan masyarakat dan sejarah.
Karena itu kasus Abepura yang telah menyeret beberapa petinggi di kepolisian untuk duduk di pesakitan, selayaknya menjadi kasus terakhir pelanggran HAM berat di negeri ini. Masyarakat telah dihinggapi kejenuhan pandang, dengar dan rasa akan fakta dan realitas kekerasan aparat negara terhadap rakyatnya sendiri. Masyarakat sulit untuk terdidik menjadi lebih dewasa ketika negara hanya mempertontonkan hasrat kekuasaan yang penuh nafsu otoritarianisme. Dan telah saatnya para elit negara untuk tidak sekedar mengelurkan kebijakan buta dalam menangani masalah yang terjadi di tanah Papua, sebab sejarah tidak pernah melewatkan sekecil apaun kejahatan yang dilakukan oleh tangan-tangan yang melepaskan diri dari tanggung jawab kemanusiaannya.
Makassar, 11 Agustus 2004.
Label: Dunia HAM
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda