MASYARAKAT MODERN DAN STIMULASI SPIRITUAL
Karena manusia dan sejarahnya berada dalam arus relatifitas secara fenomenal, maka perubahan seringkali dianggap sebagai yang abadi itu sendiri. Karena itu pulalah para ahli memperkenalkan periode-periode sejarah manusia dalam tahap-tahap yang sering disebutnya sebagai pra-sejarah, sejarah klasik, moderen dan post-moderen. Manusia sebagai mahluk dengan keberadaan diri yang kompleks potensi, menjadi wajar jika sejarah kehidupannya penuh warna-warni. Warna-warni perilaku, kebiasaan, adat, budaya dan bahkan peradaban.
Manusia dengan kebebasan yang dimilikinya, berhak memikirkan dan melakukan apa saja untuk mencari dan menemukan masa depannya. Kebahagiaan sebagai wujud tertinggi pengharapan anak-anak manusia adalah nilai utama dari masa depan yang hendak diraihnya. Kecenderungan alamiah ini adalah khas manusiawi dan karena itulah individu dan komunitasnya membentuk oase kebudayaan atau peradabannya. Namun dalam beragam hal, komunitas manusia dari periode ke periode perkembangannya berbeda satu sama lain.
Sebagaimana tergambar jelas perbedaan itu dalam dua poros sejarah antara tradisional dan moderen. Dimana sejak awal modernisme diperkenalkan lewat berbagai kampanye; politik, ekonomi, budaya dan militer. Masyarakat seketika kehilangan kepercayaan pada tradisi mereka sendiri. Tradisi tempat dimana mereka selama ini memprosesi kehidupannya, mengambil citra dan identitas diri serta mengintegrasikan keberadaan mereka sebagai mahluk religius dan etis. Namun kemudian terbius dan terhipnotis oleh mahluk molek yang bernama modernitas.
Fakta migrasinya masyarakat dari selubung tradisionalitasnya ke kubangan baru modernitasnya, telah berlangsung sejak awal abad 17 dan menemukan puncaknya di abad 20 lalu. Meskipun secara global sebagian besar masyarakat moderen yang telah di titik kulminasi kemapanannya mulai bertransisi ke masa post-moderen (abad 21), tetapi dibeberapa wilayah lokal, masyarakat masih berlomba-lomba memodernisasi diri. Ini salah satu efek timpang gerakan perubahan yang disponsori oleh modernisme. Bahwa ada masyarakat yang telah melampaui batas-batas karakter modernitasnya, pada waktu yang bersamaan, sebagian masyarakat kita baru memasuki tahap kehidupan moderen.
Merosotnya Kualitas Hidup
Mimpi apa yang ditawarkan kehidupan moderen, sehingga sedemikian menyedot harapan begitu banyak masyarakat dunia. Sehingga masyarakat akan merasa rendah diri jika tidak masuk dalam barisan masyarakat moderen. Mereka akan kelihatan asing di tengah gelombang besar masyarakat yang berlomba-lomba memodernisasi diri. Arus kebudayaan massa telah membuat terpencil harapan, pikiran dan tindakan serta sikap masyarakat-masyarakat lama yang enggan ikut-ikutan. Terselip sepenggal harga diri kultural dan rasa malu pada prinsip-prinsip kebenaran dari kebudayaan tradisionalnya yang dipegang teguh. Meskipun harus diterpa tekanan perubahan baru yang datang bertubi-tubi.
Modernitas sebagaimana yang kita saksikan bersama; gemerlap kejayaan dan kemapanannya ditunjukkan oleh pertumbuhan dan perkembangan industri dan teknologi serta ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Kepesatan perkembangannya terkadang sulit terbendung oleh masyarakat moderen sendiri. Sehingga kemutakhiran produk-produk peradaban moderen; baik yang berupa teori-teori ilmiah, barang-barang industri dan teknologi serta capaian-capaian kebebasan individual, menjadi problem tersendiri dari peradaban yang dibangun dari semangat materialisme ini.
Masyarakat kebingungan sendiri mengikuti model, gaya dan citra dari barang-barang industri yang diproduksi secara massal dan dalam skala percepatan yang kadang sulit dikontrol. Karena kerangka orientasi masyarakat moderen adalah kebahagiaan material dalam segala dimensinya, maka watak dan mental konsumtif menjadi bagian yang tak terpisah dari kehidupan mereka. Perilaku konsumtif adalah unsur penting dari ritus moderen untuk mencari dan merasakan kebahagiaan. Dan selera adalah hal yang teramat potensial bagi komunitas produsen untuk mengendalikan konsumen dan meraup keuntungan tanpa batas dari ketergantungan yang diciptakannya. Ini hanya salah satu dinamika kehidupan moderen.
Hal lain yang paling nyata adalah merosotnya kualitas hidup. Masyarakat moderen yang secara mental dan spiritual terbentuk dan terpolakan dari nilai-nilai keduniaan. Seperti harapan untuk sekedar kaya raya dengan menumpuk-numpuk harta benda, semangat memperluas wilayah kekuasaan sekedar untuk berkuasa, semangat menciptakan karya-karya dan berprestasi sekedar untuk karya dan prestasi itu sendiri, kecenderungan popularitas untuk tujuan populer itu sendiri, dan harapan-harapan manusiawi yang tidak berdayaguna moral, sosial dan religius. Terbebaskan dari beban-beban nilai moral, etika dan religi adalah karakter dasar dari gerakan peradaban moderen. Meskipun pada abad post-moderen, gerakan ini mencoba memanipulasi nilai-nilai sakral tersebut dalam bentukan-bentukan yang serba mendua; antara yang sakral dan yang profan. Kebenaran sejati ditampilkan sekedar bahan rekreasi dengan membuat akrobatik mental untuk menghibur jiwa yang hampa.
Peran Spiritual
Di tengah kegamangan jiwa masyarakat moderen yang terperangkap dalam orientasi sakral, penting kemudian mengembalikan fungsi-fungsi spiritual setiap kerja-kerja duniawi. Bahwa membebaskan diri dari beban-beban nilai kesakralan adalah awal dari keterpenjaraan yang teramat menggetirkan. Sebab mungkin hasrat-hasrat rendah duniawi kita yang tersalurkan tanpa kendali demi kebahagiaan yang diinginkan, justru menjadi sumber ketidakbebasan kita secara spiritual. Sebagaimana bunuh diri, obat-obat terlarang, free seks dan perilaku-perilaku destruktif atau merusak lainnya dan menjadi pelarian diri. Dan telah menjadi salah satu sebab hancurnya sebuah generasi.
Penghayatan secara murni – tulus ikhlas - pada nilai-nilai agama, pada pandangan-pandangan moril dan aturan-aturan etis akan menjadi filter awal dalam proses pengendalian hasrat rendah duniawi. Dan memungkinkan proses sakralisasi atas segala tindak-tanduk duniawi yang hanya berkecenderungan menjebloskan manusia dalam kebahagiaan sesaat dan semu. Ketergelinciran masyarakat moderen ke pinggir lingkaran spiritualnya membutuhkan stimulasi moril-religius untuk mengembalikan kesadarannya ke titik pusat kebenaran suci.
Disinilah peran para pengemban misi-misi kesejatian dan kebenaran harus nyata dan aktif. Individu-individu dan institusi-institusi yang secara khusus mengambil peran sejarahnya dalam dimensi spiritual, moril dan etika untuk menolong masyarakat manusia dari kekhilafan orientasinya. Sesungguhnya telah dituntut oleh realitas sejarah bahwa ditengah persimpangan perjalanan sejarah umat manusia di milenium ketiga ini, mereka sedapat mungkin memperlihatkan peran-peran fungsionalnya. Tidak justru menjadi bagian problem dari peradaban itu sendiri, yang terjerembab dalam ragam kepalsuan-kepalsuan aksi yang menipu.
Makassar, 12 April 2005
Label: Dunia Islam
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda