Oleh Shaff Muhtamar
Barangkali kita tidak akan pernah menemukan gerakan masyarakat muslim sungguh-sungguh menemui jalan buntu dalam beragam konteks sejarah untuk menegakkan nilai-nilai keyakinannya. Hal ini terlihat secara gamblang dari sejarah perjalanannya, dari awal kelahiran pada fase klasik hingga pada alur moderen saat ini. Nilai-nilai keyakinan Islam tumbuh dan berkembang dalam beragam karakter sosial, kultur dan politik komunitas masyarakat manusia. Meskipun kita menemukan informasi : dalam beberapa rentang waktu, Islam sebagai peradaban mengalami tidur panjang. Khususnya ketika Westernisasi melanda seluruh penjuru dunia
Islam dan beberapa perang klasik yang memporak-porandakan kekayaan peradabannya.
Andaikata, menurut Afif Muhammad, Baghdad tidak jatuh ke tangan pasukan Tartar tahun 1258 Masehi, yang disusul dengan penghancuran pusat-pusat keilmuan dikota tersebut, dan andaikata bangsa Barat tidak menemukan jalur perdagangan laut abad ke 15, entah seperti apa hebatnya dunia Islam saat ini. Sayangnya, sejarah tidak bisa diajak berandai-andai. Ia adalah fakta, yang karena itulah ia disebut sejarah, dan jarum jam tidak bisa diputar mundur.
Pun sejarah pulalah yang membentangkan faktanya bahwa Islam tidak hanya mengalami masa-masa kemunduran, tetapi juga telah bangkit kembali memprosesi sejarahnya ke arah fajar peradaban baru. Lewat tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida di Mesir, Sultan Mahmud II di Turki, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan Ali Jinnah di India dan Pakistan. Perjalanan sejarah dunia Islam berdenyut kembali di atas panggung peradaban dunia. Kebangkitan paling mutakhir di abad moderen adalah Gerakan Revolusi Islam oleh Ayatullah Khomeini di Iran.
Pembaharuan-pembaharuan yang terjadi dalam dunia Islam tidak memiliki format dan metode gerakan perubahan yang seragam antar negeri-negeri muslim. Selain beragamnya aliran-aliran pemikiran politik, teologi, gagasan yuridis dan respon-tafsir atas realitas kekinian dan masa lalu (sebagai bagian dari kejayaan peradaban Islam), juga karena dinamika, karakter dan sifat masalah yang dihadapi baik internal maupun eksternal berbeda satu sama lain.
Warisan kekayaan budaya masa silam dunia Islam, baik berupa pemikiran, determinasi legal dan simbol-simbol kultural dalam ragam problematika yang dihadapi pada masa kini. Pada gilirannya membuat masyarakat muslim memiliki sumber inspirasi perubahan, kemajuan yang sedemikian potensial dan tiada pernah kering. Selalu saja lahir bentuk-bentuk tafsiran segar dan konstruktif atas problem kekinian yang dihadapi oleh masyarakat muslim dalam berbagai sisi-sisi kehidupannya. Sehingga memungkinkan peradabannya terus bergerak secara pasti menuju kesempurnaannya.
Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia kurang lebih memiliki keunikan tersendiri dalam sejarah perkembangan masyarakat muslimnya. Menurut Nurcholis Majid, bangsa yang paling sedikit mengalami Arabisasi dibanding negara-negara muslim besar lainnya. Namun dalam beberapa dekade terakhir pandangan ini sedikit banyaknya terbantah. Oleh fenomena dimana simbolitas-simbolitas kultur Arab hadir dalam ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat muslim sebagai bagian integral kebudayaan Islam Indonesia.
Gerakan pembaharuan Islam di tanah air teridentifikasi dalam beragam pola dan metode. Ada komunitas yang menggunakan gerakan kultural dalam promosi keislaman karena latar historis komunitasnya yang bersifat tradisional, lain komunitas juga menjadikan pendidikan sebagai variabel utama dalam prosesi kebangkitan masyarakat Islam. Dan yang paling menonjol pada paruh waktu belakangan adalah gerakan Islam politik, dengan menjadikan konstitusi dan legislasi sebagai poros utama proses Islamisasi di tanah air.
Islamisasi secara konstitusional ini sesungguhnya bukanlah pola gerakan masyarakat Islam Indonesia yang sama sekali baru. Pada masa-masa awal perpolitikan nasional, perjuangan penegakan syariat Islam oleh partai-partai dan kelompok-kelompok Islam telah muncul sebagai gerakan politik Islam signifikan. Namun di bawah rezim Orde Baru, partai-partai Islam tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai agen Islamisasi secara baik. Sebab birokrasi pemerintahan mengambil alih peran partai-partai Islam memperjuangkan syariat Islam.
Namun ketika rezim Soeharto ambruk, terlihat maraknya kembali kebangkitan peran partai dan kelompok-kelompok Islam memperjuangkan syariat Islam lewat jalur konstitusi dan legislasi. Jalur-jalur konstitusi dan legislasi ini teramat penting bagi mereka agar mendapat payung formal dalam gerakan Islamisasi. Ciri khas dari gerakan ini adalah dikedepankannya isu syariat Islam. Selain partai, juga terdapat kelompok-kelompok Islam non partai yang getol memperjuangkan syariat Islam secara konstitusional.
Isu syariat Islam memiliki daya tahan tersendiri dalam gerakan politik Islam. Sebab determinasi masyarakat Islam yang berkembang secara politis adalah masyarakat yang menjadikan sistem syariat sebagai legislasi dan konstitusi bagi proses kehidupan masyarakatnya. Daya tahan isu ini, merupakan juga akibat dari kegagalan-kegagalan historis perjuangan politis agen-agen struktural Islamisasi pada periode-periode sebelumnya. Khususnya yang diemban oleh partai-partai. Misalnya gagalnya gerakan politik Piagam Jakarta dan kegagalan dalam proses amandemen pasal 29 UUD pada sidang tahunan MPR beberapa waktu lalu. Karena itu konstitusionalisasi syariat Islam adalah misi yang belum tuntas.
Beberapa kelompok gerakan kemudian mendesakkan adanya kebijakan otonomi khusus di wilayah-wilayah tertentu untuk penegakan syariat Islam. Masa Islam dalam periode-periode tertentu dimobilisasi atau memobilisasi diri untuk melakukan rembuk akbar tentang keberlanjutan agenda besar penegakan syariat Islam. Rembuk akbar terkadang mencetuskan rekomendasi-rekomendasi yuridis untuk pemerintah daerah dan legislatif bagi produk-produk kebijakan lebih lanjut. Antusiasme gerakan Islam konstitusional nampak sedemikian tinggi. Hal ini mungkin karena jalur pergerakannya ada di medan politik dimana semangat pragmatis kadang-kadang menjadi hal yang sulit terhindarkan.
Demikianlah bahwa gerakan Islam Konstitusional mencoba memasukkan kekuatan wahyu lewat formulasi-formulasi nilainya dalam suatu kerangka formal dalam negara. Sebuah wujud respon masyarakat muslim atas problem-problem yang dihadapinya, meskipun pilihan itu penuh hiruk-pikuk dan rawan penyimpangan; sebagaimana orang sering menyebut politisasi agama. Tetapi sikap konsistensi para penggeraknya telah menepis anggapan tersebut. Setiap kitapun tahu bahwa agama mempunyai tujuan universal dan bahkan bersifat eskatologis, sementara politik tujuannya hanya berhenti pada dimensi-dimensi terbatas, pendek dan partikular.
Jadi gerakan Islam Konstitusional hanyalah bagian-bagian kecil dari gerakan pengharapan masyarakat muslim dan cita ideal dari agama yang dibawa Nabi Muhammad ini. Karena itu fenomena pergerakannya bukanlah gambaran dari keseluruhan gerakan perubahan dan pembaharuan masyarakat muslim yang ada. Hanya yang terpenting adalah penciptaan keseiramaan gerakan antar ragam komunitas-komunitas muslim, dengan tidak mempersoalkan bentuk komunitas dan metode gerakan.
Akan naif rasanya, jika proses mengembalikan peradaban Islam dalam panggung sejarah dunia, nasional maupun lokal terselip semangat heroisme - ingin dianggap paling berperan, paling berjasa dan terdepan - dalam membangun dunia Islam untuk suatu tujuan-tujuan kuasa – formal atau keuntungan-keuntungan politis lainnya. Dan hanya akan menutup pintu-pintu dialog dan konsolidasi antar ragam kelompok-kelompok muslim yang juga menanggung beban spiritual dan moral bagi kebangkitan peradaban Islam.
Makassar, 7 April 2005
Label: Dunia Islam
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda