Senin, 10 Desember 2007

DICEKAM KESEDIHAN YANG TIBA-TIBA

Oleh : Shaff Muhtamar

Kesedihan datang tiba-tiba, mencekik lehermu digelap malam yang kelam ketika seluruh penghuni rumahmu mati dalam tidurnya. Apa yang bisa kita lakukan, saat sepenggal kesedihan menyelinap begitu saja dalam rumah jiwa kita. Kita tidak pernah mengetahui peristiwa apa di masalalu yang mengirimkannya, atau harapan masadapen yang melemparkannya begitu saja dikepala kita. Gelap, seperti ketika ruangan sel sorang teroris dipecahkan bohlamnya dan kable listrik dicabut paksa untuk menghentikan sumber cahaya ke dalamnya. Kita tidak pernah mengetahuinya, tidak ada tanda sedikitpun mengenai kedatangan kesedihan itu. Mungkin Karena kita ini adalah mahluk modern yang berdandan rapi selalu dalam pesta peradaban yang gemerlap menyambut kerajaan ide-ide yang kita susun dari kayu bakar pengemis tua dari hutan sebelah kota kita. Belantara hutan yang dibuat dari ramuan sejarah masah silam dan hanya ada seorang tua rentah di sana sebagai penghuninnya.

Mungkin kita sendiri tidak mengerti dengan apa yang kita bicarakan ini, oleh karena kita adalah mahluk yang selalu disibuki dengan salon yang mengurusi setiap lemak menempel di kujur tubuh. Saya ulangi, kita sedang membicarakan kesedihan tiba-tiba yang datang dan mencekik lehermu saat semua orang lumpuh untuk menolongmu. Dan bukan masa lalu atau masa depan yang mengirimkannya pada kita. O aku terhempas sendirian dalam kesedihan yang tiba-tiba, jiwaku layu meski musim ini hujan turun setiap jam, dingin meninabobokan setiap jiwa dipagi buta hingga petang lagi, dan manusia hanya tidur saja kerjannya sepanjang sejarah modern ini. Kota tumbuh menjadi hutan rimba metropolitan hingga megapolitan, dan manusia-manusia berbondong-bondong menyewa dokter pribadi untuk membunuh seluruh penyakit yang ada dalam dirinya. Kita mengharapakan keabadian, ya keabadian.

Manusia modern mengharap keabadian seperti seekor singa yang terluka melolong panjang dipadang salju kebodohannya menyeret merah darahnya dan membentuk lukisan yang persis seperti sebuah wajah anak-anak yang tertawa menertawai temannya yang kalah dalam sebuah permainan. Tetapi ini bukannlah kesedihan yang kita maksud itu, yang telah beruba menjadi sebuah tangan hitam yang dengan sekuat tenaga mencekik leher kita saat tak seorangpun memiliki kesanggupan untuk menolongmu. Apalagi kalo bukan kesedihan sejarah manusia modern yang mengharap cinta namun yang tersisa hanyalah kemarahan dan wajah yang suram tersedia dimeja perjamuan. Pesta sudah hampir usai kawan, kedatanganmu keperjamuan keabadian terlalu terlambat. Mengapa engkau terlalu lama berdandan kawan? Seluruh anggur telah aku tumpah keperut pengemis tua dan seluruh makanan telah aku larung ke setiap tangan yang menegadah dipinggir jalan kota megapolitannmu. Sori…. Bukan aku yang melakukannya, tapi kebodohannmu yang telah berkarat karena setiap detik selalu saja kamu terlambat tiba disetiap perjamuan keabadian yang diselenggarakan oleh semesta. Jangan tertalu banyak menggunakan deodoran, farmum, bedak, celak dan gincu. Ingat jalan diluar selalu macet.
Biarlah kalo kita selau tidak mengerti dengan apa yang kita bicarakan sendiri. Sebab takdir kebodohan memang hanya dialamatkan pada jiwa binatang berkaki dua ini. Dan bagaimana dengan kesedihan yang tiba-tiba itu. Begini, bayangkan bahwa kita berada di keramaian mall, seluruh kecantikan bersileweran di depan mata, seluruh kemewahan berlalu lalang didepan dada, seluruh kebohongan dibungkus dengaan senyum dan dandanan, seluruh kejujuran menjadi tidak pernah kita pahami, kita dikepung keindahan bunga-bunga plastik yang tumbuh dengan pohon tanpa akar dan kita seolah berada di surga dunia yang paling mewah. Tetapi jiwamu melanyang dalam sebuah wilayah yang asing sama sekali, sebuah wilayah yang pengetahuan dan pemahamanmu tidak sanggup mejamanya. Disana kamu teringat pacarmu yang pertama yang memutuskanmu karena lebih mencintai seorang lelaki pemabuk dari pada kamu yang beriman, teringat wajah ibumu yang meninggal saat melahirkan adik bungsumu, teringat peristiwa ketika kamu dihina sebagai orang miskin dan diusir dari sebuah pesta perjamuan keluarga, terkenang saat pertama kali kamu bekerja dan gaji pertamamu engaku belikan baju batik untuk ayahmu yang sepanjang hayatnya belum perna batik menyelimuti badannya, terkenang ketika selama lima tahun tiada perna sekalipun harapanmu tercapai dan terkenang ketika kamu berdoa dan menit berikutnya doamu dikabulkan.

Semua kenangan itu tiba-tiba saja membuatmu sedih. Tidak ada alasan yang paling bertanggungjawab mengapa kita bersedih. Mall biasanya tempat untuk tertawa-tawa, tempat untuk menyegarkan kembali perasaan yang loyo selama seharian bekerja, tempat untuk menghibur perasaan yang tidak menentu. Tetapi justru kita dipertemukan sebuah lubang kesedihan yang panjang. Sebuah kesedihan yang datang tiba-tiba dan menjelma sebuah bayangan hantu yang mengerikan dan memaksa kita berlari tiada arah dalam ketakutan yang paling menakutkan. Kita menabrak apa saja dihadapan kita dan hantu itu semakin memerah matanya. Seolah bergalon-galon bara api kemarahan tersimpan di bola matanya dan segera menumpahkannya pada dirimu. Kita yang terus berlari itu pada akhirnya tertantuk jua kaki ini disebuah danau yang tenang, sepoi-sepoi angin merebahkan dirinya dihelai-helai daun pohon dan rerumputan dan sang hantu menjelma air dengan riak air kecil memenuhi danau itu. Dari rasa takut yang tak tertahankan kini rongga dada kita dipenuhi penyesalan paling dalam. Pelan-pelan kesedihan meyembul dipermukaan seperti nenek tua yang bungkuk dengan tongkat kayu rapuh, baju compang-camping, wajahnya penuh guratan-guratan ibah, datang kepadamu dengan sebuah tempayam tanah liat yang berlumut, bersimpuh dan memohon sesuatu kepada kita.

Itulah kesedihan yang kita bicarakan, kita mungkin hampir-hampir tidak mengerti dengan semua ini, maka maklumilah karena kita masyarakat modern. Inilah kesedihan yang sesungguhnya, kesedihan yang nyata dan paling sah dari semuah kesedihan yang ada dan pernah dirasakan oleh manusia, bahwa kita tidak pernah mengatahui pembicaraan yang menggunakan bahasa dari ‘planet lain’. Karena kita adalah masyarakat modern. Masyarakat yang hanya mampu berumah di awan tetapi meskipun dilangit tingkat pertama sekalipun tidak mampu kita cium aroma mawar yang tumbuh ditamannya yang telah di tanam oleh tangan-tangan suci masa lalu ketika aroma kemenyan dan dupa tidak seperti yang kita temui saat ini, tetapi adalah yang otak dan hatinya terpaut dalam sebuah tali yang mengikat mereka kesurga setiap saat, setiap tarikan nafas mereka.

Maaf yah… Gue lagi sedih nih.
Enak juga melampiaskan kesedihan lewat tulisan… PLONG!

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda