Sabtu, 07 Februari 2009

GELIAT CENDIKIAWAN DIGELANGGANG POLITIK KEKUASAAN

oleh Shaff Muhtamar
Adalah sebuah keberuntungan alamiah tersendiri bahwa Tuhan telah mengaruniahi kehidupan sejarah manusia dengan sosok-sosok individu yang memiliki kemampuan intlektual, moral dan religi. Keberadaan mereka membuat kehidupan manusia tetap ‘terkontrol’ dalam setiap gerak-gerak perjalanan sejarahnya. Semangat hidup dan pemikiran mereka yang unik dan otentik senantiasa menjadi nafas samannya. Dengan jiwa yang jernih dan tabiat yang tinggi, mereka seperti cahaya terang ditengah keremang-remangan harapan manusia.

Manusia yang secara fitrawih berkecenderungan pada kesempurnaan, baik dalam pengertiannya yang material maupun yang spritual, seringkali kecenderungan itu tidak dapat terwujud jika dalam kehidupan sosial tidak terdapat sistem atau individu yang mendukung harapan-harapan ideal itu. Artinya manusia senantiasa membutuhkan sesuatu diluar dirinya untuk sampai pada harapan atau cita-cita tertingginya.

Peran seorang cendikiawan-sebutan bagi orang-orang tercerahkan semangat dan pikirannya-amatlah penting dalam semua rana kehidupan. Harapan-harapan fitrah manusia itu juga adalah bagian paling tinggi dari cita-cita individualnya. Manusia-manusia yang telah ‘melahirkan kembali dirinya’ menjadi manusia sejati ini adalah teladan saman, panutan sejarah dan guru kehidupan. Mereka adalah penutur sekaligus pelaku hikma. Penyampai makna yang tiada letih mengunjugi manusia dalam berbagai cara, demi kemaslahatan manusia dan kehidupan itu sendiri.

Secara khusus mereka telah mendidik diri dalam laku pikir, perasaan, aktifitas dengan disiplin ketat. Mereka telah mengorbankan banyak hal untuk sebuah kesempurnaan diri kemanusiaannya, dengan pengetahuan dan pengalaman yang sedemikian lengkap. Sehingga setiap tindakan dan perkataan mereka adalah ‘kepastian-kepastian’ yang produktif dan mencerahkan. Dan pasti bahwa apa-apa yang telah menjadi perkataan dan perilaku mereka akan sangat berguna bagi kesempunaan kehidupan sejarah manusia. Sebab adalah takdir bagi kebedaraan meraka seperti itu adanya.

Manusia-manusia yang tercerahkan ini dengan sendirinya tidak terpisah dari keberadaan masyarakat atau kehidupan sosial pada umumnya. Keberadaan mereka tidak akan berarti apa-apa ketika mereka hanya menjadi penyepi di goa-goa dan padepokan atau hanya menikmati ‘kesempurnaan’ dirinya dalam kamar dengan segunung gagasan dalam kerta-kertas kerja yang terhambur dan dikelilingi setumpuk buku-buku klasik dan mutakhir tebal, serta menutup diri dibalik tembok-tembok akademik yang tebal dan kaku membiarkan ilmu itu berkarat bersama menara gadingnya. Karena mereka adalah pendidik sejati dan peserta didiknya adalah masyarakat manusia maka kehidupan sosial adalah rumah sejati mereka juga, tempat mereka mendidik masyarakatnya hingga kelak harapan tertinggi kemanusiaan sosial itu tergapai.

Seiring bergerak dan berubahnya saman, peran dan ‘sebutan-sebuatan’ kaum tercerahkan inipun turut berubah. Misalnya, ketika saman dipenuhi semangat kesucian wahyu-wahyu langit, mereka adalah nabi-nabi yang berperan mensucikan kembali manusia dan menskralisasi kehidupan sosial dalam batas-batas manusiawi dengan menjadikan kesempurnaan Tuhan sebagai dasar pijikan. Ketika saman tradisional itu berlalu dan digantikan saman baru yang disebut modern dengan cirinya yang pragmentatif, mereka adalah para filosof, para ahli-ahli ilmu pengetahuan rasional dalam segala bidang : tehnik, hukum, sosial, ekonomi, politik, kedokteran, sejarah, kebudayaan dan lain-lain, yang bekerja juga dalam keragaman bidang profesi menurut keahlian masing-masing.

Corak kenabian dalam fase tradisional dan mental ilmuan dalam kehidupan modern sungguh sangat berbeda dari sisi sublimitasnya. Nabi dan sifat-sifat kenabian yang melekat pada individu-individu pemegang otoritas pengetahuan pada masa awal itu adalah mereka yang mentalitas dan fisikal secara totalitas telah disiapkan hanya untuk mengabdi pada manusia dan kehidupannya. Dan adalah ‘pantangan’ dalam melakukan tugasnya sebagai pendidik sejati kemudian mereka mengharap atau meminta secuil keuntungan duniawi. Sikap seperti ini dianggap sebagai penghianatan pada diri sendiri, sebuah sikap yang hanya akan mengotori perjuangan bagi cita-cita mulia mereka, bahkan menjadi penghambat bagi kemajuan kualitas kesempurnaan kemanusiaannya sendiri.

Oriatarsi kerja-kerja intlektual dan sosial mereka adalah kemuliaan jiwa manusia, kesempurnaan tujuan sejarah, dan ‘melindungi’ kehidupan dari kehancuran dan kebinasan moral dan spritualnya, mereka tidak mengharapkan imbalan kesejahteraan material, sebab keseluruhan hidup mereka telah diabdikan untuk ibadah. Tah heran kemudian, apa yang mereka perjuangkan tidak membuat masyarakat kecewa dan keberhasilan mereka membangun sebuah masyarakat begitu membekas secara ideal pada setiap jiwa dan bahkan menjadi pilot project bagi komunitas masyarakat lainnya. Ada ketulus-ihlasan, ada kejujuran, ketegasan dan konsistensi dalam setiap upaya-upaya teoritis dan praktis mereka : sebuah kerja tanpa pretensi pada iming-iming kesemuan duniawi.

Sementara para Imuan dan Profesional modern tampaknya sangat berbeda dengan kenyataan orang-orang ‘berisi’ masa lampau. Semangat moderniats yang cenderung mengagungkan materialisme banyak mempengaruhi kerja-kerja kaum terdidik ini. Kalau para Ilmuan masa lalu ‘mengukur’ diri dan kerja mereka dengan amal dan peningkatan kualiatas jiwa, sementara Ilmuan saman modern ini lebih cenderung melihat proses kerja dan keberadaan mereka dari sisi banyaknya gaji, pasilitas yang diterima, jabatan-jabatan dan kesinambungan proyek-proyek. Mental pragmatis dan harapan-harapan kesejahteraan duniawi lebih dominan mewarnai hasrat kaum cendikiawan ini dalam pergaulan sosialnya.

Termasuk ketika para cendikiawan ini berlomba-lomba masuk dalam lingkaran politik kekuasaan. Mendukung sebuah rezim atau memihak pada sebuah kekuatan politik strategis. Mereka menyumbangkan segenap kemampuan pengetahuan untuk melegitimasi tindakan yang direfleksikan oleh sebuah lembaga politik, memberi landasan ilmiah sebagai basis poltik praktis sebuah sistem politik. Dan terkadang secara kolektiv menjadi kelompok think tank yang memberi analisis-analisis ilmiah bagi sebuah kelompok politik tertentu dalam rangka penyusunan sebuah kebijakan publik. Membantu memuluskan sebuah jalur kekuasaan dalam perebutan kursi otoritas tertinggi dalam struktur formal pemerintahan negara, sebagai tim sukses seorang calon presiden.

Semua ini tidak gratis, sumbangsi yang diberikan tidak cuma-cuma, dan setelah kerja itu seleasi pihak yang berasa dibantu harus mengerti kebutuhan kaum ‘terdidik’ ini. Barter kepentingan terkadang diakukan secara profesional lewat sebuah konsensus legal antara pihak-pihak tersebut. Terkadang juga ‘harga’ itu disepakati secara pertemanan, dimana kewajiban-kewajiban itu hanya perlu diingat dalam sikap saling percaya.
Mereka tidak lagi berfungsi sebagai penjaga moral masyarakat. Modal moral, kecerdasan inteleletual, sikap kritis dan independensi etis itu telah tergadai dengan kebutuhan-kebutuhan pragmatis manusiawi. Tujuan mulia yang pada awalnya bersemayam di dada mereka, kini telah terkaburkan oleh hasrat rendah dari eksitensi jiwa manusia. Mata awas akal dan hati mereka tersilaukan oleh gemerlap mimpi-mimpi kesejahteraan duniawi yang semu itu.


Makassar, 6 Juli 2004

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda