MEMILIH MASYARAKAT TANPA KEKERASAN
“Amukan Raider Dahsyat”; judul berita headline harian Fajar edisi Kamis, 1 Desember 2005. Mungkin sebagian masyarakat pembaca sedikit terperangah menyimak isi berita tersebut, sebagian yang lain mungkin tidak perduli. Isi tulisan ini adalah bagian dari keadaan pembaca yang terperangah itu. Memang pada tingkat kesadaran tertentu, tindakan kekerasan akan membuat hati kita terhentak, tetapi pada kondisi tertentu pula, peristiwa itu sama sekali tidak menggugah kemanusiaan kita. Hanya yang pasti, kekerasan adalah perilaku yang mendapat banyak tantangan dari masyarakat. Sebab disadari sepenuhnya, tindakan tersebut tidak pernah secara substantif menyelesaikan persoalan manusia dalam kehidupan kemasyarakatannya.
Lalu mengapa dalam kehidupan sosial kita, di negeri hukum ini, tidak pernah sepi dari tontonan peristiwa dimana kekerasan adalah adegan utamanya. Terdapat daftar panjang tentang peristiwa kekerasan yang terjadi dalam beragam bentuk, beragam motif dan modus, beragam pelaku dan beragam akibat yang ditimbulkannya. Pada umumnya praktek kekerasan itu, secara faktual merupakan hal yang senantiasa menyertai zaman, sejarah dan kehidupan manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut telah menjadi fakta yang membenarkan tesis tentang kekerasan yang didefenisikan oleh banyak ahli. Kekerasan dianggap perilaku alamiah dan khas manusiawi. Sehingga tidak heran jika kenyataan kekerasan selalu hadir pada setiap ruang dan setiap waktu dalam kehidupan masyarakat. Disinyalir penyebabnya adalah watak agresif dalam diri manusia yang mengakar secara biologis dan psikis. Agresifitas yang sama, dimiliki pula oleh binatang, menurut para ahli tersebut.
Thomas Hobbes seorang ahli pikir, juga percaya bahwa manusia adalah mahluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irrasional, anarkis, saling iri dan saling benci sehingga menjadi jahat, kasar, buas dan pendek pikir. Sehingga Thomas menyebut manusia sebagai Homo Homini Lupus atau manusia yang memangsa sesamanya. Kecenderungan saling memangsa ini akan melibatkan tindakan kekerasan mematikan dan merusak.
Hal ini secara potensial berlaku pada pelaku penyerangan yang disertai pengrusakan kepada sekelompok masyarakat di Kabupaten Jeneponto, sebagaimana yang diberitakan koran ini beberapa waktu lalu. Peristiwa tersebut menggambarkan betapa watak agresifitas menjelma tindakan kekerasan terus terulang, sebagaimana peristiwa-peristiwa kekerasan lain yang telah mendahuluinya.
Kekerasan Terorganisir : Mengendalikan Kedestruktifan
Negara adalah organisasi masyarakat yang menjinakkan watak agresifitas manusia ke tingkat fungsi proporsional dan profesional. Pembentukan angkatan-angkatan bersenjata oleh negara-negara – bangsa di dunia, dalam pemahaman tertentu, adalah sebentuk upaya pengendalian kekerasan potensial yang dimiliki manusia untuk tujuan-tujuan ideal menurut filosofi pragmatisme tersendiri. Misalnya, negara dalam salah satu hakekat fungsi politiknya adalah melindungi dan menjamin keamanan seluruh kepentingan (hak) dan kekayaan masyarakatnya. Sehingga dibutuhkan badan-badan negara yang merepresentasikan kekuatan militer untuk menjamin kehidupan warga negara sekaligus menjaga eksistensi negara.
Organisasi kepolisian dan ketentaraan misalnya disetiap negara adalah lembaga-lembaga negara yang mengelola watak agresifitas dan potensi kekerasan sedemikian rupa sehingga dapat dikendalikan menurut fungsi dan tujuan ideal untuk sebagian harapan manusia. Fungsi, tujuan dan penggunaannya dikonsepsikan oleh negara dalam format yuridis dan regulasi-regulasi politik tertentu. Disinilah watak alamiah manusia itu sesungguhnya menemukan keterarahannya. Ketika semangat dan formalisme konstitusi menjadi rel pengendali watak yang memiliki kecenderungan destruktif ini. Hanya dalam kondisi-kondisi yang ditetapkan konstitusi, penggunaan tindakan kekerasan itu menjadi sah dan dibolehkan.
Namun dalam banyak realitas, keberadaan lembaga-lembaga militer tidak sepenuhnya terjamin dari bias penggunaan fungsi idealnya. Lembaga yang dalam dirinya menyatu semangat militerisme; dimana agresifitas dan kekuatan fisik menjadi sumberdaya utama secara internal, seringkali menjadi bagian utama dari lingkaran kekerasan yang dilakukan oleh penguasa politik negara, khususnya penguasa otoriter dan feodal.
Otoritas struktur politik negara selalu tergoda untuk menyelewengkan lembaga-lembaga pengamanan dan keamanan ini untuk tujuan kotor politiknya, karena kemampuan sumberdaya manusia yang terlatih dan mereka berhak memiliki dan menggunakan simbol-simbol kekerasan berupa senjata ringan hingga senjata berat. Atau karena ulah oknum-oknumnya yang tidak bertanggung jawab, menyalahgunakan kemampuan profesionalnya untuk tujuan-tujuan yang juga tidak bertanggung jawab. Sehingga penyelewengan-penyelewengan sepeti ini sering mencoreng nama baik korps dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga.
Penyalahgunaan kemampuan kemiliteran, baik oleh oknum aparat maupun sebab intervensi kepentingan politik kekuasaan, akan berakibat buruk pada banyak kondisi. Secara umum adalah terciptanya disharmonis dalam bidang kehidupan dimana penyelewengan ini dilakukan. Paling kritis adalah retaknya jalinan-jalinan ideal antar manusia, kelompok masyarakat ataupun antar grup kepentingan politik.
Masyarakat Tanpa Kekerasan
Fakta sejarah telah mengungkapkan betapa kekerasan menjadi momok mengerikan bagi harapan kebahagiaan masyarakat. Karena kekerasan tidak pernah aktual tanpa motif dasar yang merusak dan menghancurkan, sebaik dan seideal apapun tujuan dan alasan peruntukan tindakan tersebut. Sebab akibatnya senantiasa adalah penderitaan dan kerugian, meskipun tindakan itu memiliki akar dalam jiwa manusia, tidak serta-merta karena kealamiahannya lantas kita menjustifikasi seolah-olah potensinya sama sekali tidak bisa dimatikan.
Sejauh menyangkut jiwa, kehadiran manusia tidak melulu didominasi oleh watak destruktif, tetapi bersamaan itu hidup juga dalam jiwanya watak konstruktif. Malahan dalam pengetahuan para kaum Bijak, watak konstruktif sesungguhnya adalah lingkaran permanen yang melingkupi watak-watak lainnya. “Kebaikan adalah wajah asli dari manusia”, kata seorang guru spiritual. Hanya karena kemalasan manusia mengelola dan melatih kebaikan dirinya sehingga yang menonjol justru keburukannya saja.
Menciptakan masyarakat bebas kekerasan tidaklah semudah bagaimana kita menyaksikan kondisi masyarakat penuh praktek-praktek kekerasan. Namun demikian, cita-cita masyarakat tanpa kekerasan adalah harapan kolektif setiap komunitas manusia. Dalam kenyataan diketahui, kekerasan paling mengancam kehidupan masyarakat adalah kekerasan yang bersifat struktural, sebentuk kekerasan yang berlangsung secara sistemik, baik dengan berlatar belakang motif ekonomi, politik maupun kebudayaan. Kekerasan ini menimbulkan kerugian yang meluas dan penderitaan jangka panjang, seperti kemiskinan dan pengangguran, penindasan dan marjinalisasi. Sehingga terasa mutlak untuk melenyapkan segala bentuk kekerasan tersebut dengan mencerabut akarnya dalam jiwa manusia.
Disinilah urgensinya tokoh dan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penjaga moral, etika, keadilan dan spiritual masyarakat. Peran mereka sebagai pengingat dan pelaksana kebenaran dan kesejatian dituntut kejernihannya, sedemikian rupa, sehingga seluruh elemen masyarakat merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan kemurnian jiwa manusia, agar dengannya tercipta perilaku, akhlak dan moralitas yang merefleksikan watak fitrah kebaikannya. Sebab hidup ini dihadapkan pada dua pilihan utama; memilih menjadi orang berwajah manusia atau menjadi orang berwajah binatang. Meskipun demikian, ternyata ada juga yang membuat pilihan khusus yakni menjadi manusia berwajah malaikat.
Makassar, 4 Desember 2005
Label: Dunia sosial
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda