MENAKAR GAYA HIDUP KONSUMERISME
Oleh Shaff Muhtamar
Ada gejala manusiawi yang tidak bisa terhindarkan oleh setiap orang, yakni hasrat untuk memiliki sesuatu. Dari awal sejarah manusia hingga akhir sejarah itu sifat memiliki ini tidak akan pernah terpisah dari manusia, karena sifat itu berakar dalam watak yang ada sejak kita keluar dari rahim ibu. Watak ini sebentuk warisan kemanusiaan yang inheren dalam jiwa setiap individu.
Hasrat memiliki nampaknya suatu yang lumrah-lumrah saja dalam kehidupan sosial kita; untuk hidup kita harus memiliki benda-benda, diatas hasrat kepemilikan ini terdapat hasrat untuk dapat menikmati benda-benda yang dimiliki itu. Nampak pula secara gamblang dalam realitas kebudayaan modern, bahwa yang tidak mempunyai apa-apa maka ia bukanlah apa-apa. Dalam kebudayaan seperti ini manusia diukur atas apa yang dimilikinya terhadap material dan ukuran kebendaan ini pulalah sebagai penentu stratifikasi sosial.
Dalam pergaulan sosial dewasa ini, fakta kehidupan modern adalah hal yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya dan kehadirannya telah sangat mendominasi wilayah-wilayah kebudayaan seperti di kota-kota besar, dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara global. Harapan akan sebuah masyarakat yang modern selalu menjadi impian indah setiap negara yang merasa tertinggal dari kompetisi modernisasi masyarakat yang dikembangkan oleh negara-negara besar dan telah maju. Namun fakta kehidupan modern pulalah menunjukkan adanya bias-bias kebudayaan yang berkecenderungan pada proses penghancuran nilai-nilai sejati kemanusiaan, religi, moral dan etika bahkan estetika.
Konsumerisme sebagai salah satu idiom kebudayaan modern merupakan respon budaya terhadap industrialisasi sebagai realitas dominan dalam kebudayaan modern. Dalam pandangan Mike Featherstone, bahwa dalam industri terdapat “logika kapital” dan dimungkinkan pula untuk menyatakan “logika konsumsi” yang menunjukkan pada cara-cara terstruktur secara sosial dimana benda-benda digunakan untuk membatasi hubungan sosial. Untuk berbicara tentang konsumsi benda-benda, kita harus menyembunyikan berbagai macam benda yang dikonsumsi atau dibeli ketika semakin banyak aspek waktu libur ditandai dengan pembelanjaan komoditas.
Pembicaraan mengenai konsumsi ini pun menyembunyikan kebutuhan untuk membedakan antara benda konsumsi tahan lama (consumer durables) yaitu benda-benda yang kita gunakan untuk aktivitas hidup dan bersenang-senang seperti lemari es, mobil, hi-fi, kamera dan benda-benda konsumsi tidak tahan lama (consumer non-durables) seperti makanan, minuman, pakaian, produk-produk perawatan tubuh serta perubahan dalam proporsi penghasilan yang dibelanjakan pada masing-masing sektor sepanjang tahun.
Ada lapisan masyarakat yang terus menerus memproduksi barang-barang sebagai kebutuhan dan ada lapisan masyarakat yang lain yang juga secara kontinyu bertindak sebagai konsumen bagi barang-barang tersebut.
Dua bentuk variabel masyarakat modern ini melakukan interaksi timbal balik karena terikat kepentingan yang sama yakni kebutuhan untuk saling menghidupi. Roh masyarakat produsen ada ditangan masyarakat konsumen, sebaliknya hidup atau matinya masyarakat konsumen sangat tergantung pada ciptaan masyarakat produsen.
Dalam beberapa kasus masyarakat konsume, (menurut Rochberg-Halton), objek pembelian mungkin digunakan untuk memperoleh prestise melalui nilai tukar yang tinggi, khususnya yang terjadi dalam masyarakat dimana golongan aristokrat dan golongan kaya lama dipaksa untuk menampakkan kekuatan kepada kelompok kaya baru. Situasi yang sebaliknya dapat juga tampak dimana sebuah komoditas yang telah ada sebelumnya lepas status komoditasnya. Oleh karena itu hadiah dan benda-benda warisan tidak lagi dipandang sebagai benda yang dapat diperdagangkan dan benar-benar “tidak berharga” (dalam pengertian bahwa tidak pantas mempertimbangkan untuk menjualnya atau berupaya untuk menetapkan harga atas benda itu) untuk menyimbolkan hubungan personal yang erat serta untuk membangkitkan memori tentang seorang yang dicintai.
Ini menunjukkan bahwa konsumerisme telah menjadi semacam budaya yang terpatron sebagai gaya hidup kaum kota, hal ini sangat dimungkinkan secara ekonomi, karena standar kehidupan ekonomi perkotaan adalah menengah keatas yang ketika dikuantifikasi akan menunjukkan jumlah yang dominan dibanding kaum desa dengan tingkat ekonomi dikelas bawah. Jumlah yang dominan ini kemudian pada kelakuan budaya modern perkotaan terus mengalami peningkatan sehingga fakta budaya konsumerisme menjadi pemandangan yang “khusus” dan fenomenal.
Istilah gaya hidup (lifestyle) menurut Max Weber memiliki arti yang lebih terbatas pada gaya hidup khas dari kelompok status tertentu, dalam budaya konsumen kontemporer istilah ini mengkonotasikan individualitas, ekspresi-diri, serta kesadaran yang stilistik. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makan dan minum, rumah, kendaraan, pilihan liburan dan seterusnya dipandang sebagai indikator dari individualitas selera serta gaya dari pemilik atau konsumen. Berbeda dengan penyebutan tahun 1950-an sebagai era konformisme kelabu, masa ketika terjadinya konsumsi massa, perubahan dalam teknik produksi, segmentasi pasar serta tuntutan konsumen akan berbagai macam produk, sering dipandang sebagai mengakibatkan munculnya berbagai pilihan yang mungkin (yang mana manajemen itu sendiri menjadi bentuk seni) tidak hanya bagi kawula muda generasi post – 1960-an, tetapi terlebih pada usia menengah dan lanjut.
Bahwa konsumerisme sebagai sebuah bentuk kesadaran budaya, pada akhirnya tidak hanya menyentuh satu lapisan masyarakat dengan usia tertentu namun telah menghegemoni hampir semua lapisan masyarakat dengan berbagai macam usia dan dengan berbagai macam wilayah kebudayaan – geografis dengan bentuk implementasi yang berbeda-beda namun tetap dalam akar kebudayaan yang disebut konsumerisme itu tadi. Budaya konsumen juga secara terus menerus melakukan transformasi dari satu bentuk ke bentuk yang lain yang berbeda dari sebelumnya dengan mengikuti alur karakter, sifat perubahan-perubahan sejarah dan kebudayaan yang terjadi. Konsumerisme dalam budaya kuno memiliki wujud yang berbeda dengan pada saat kondisi modernitas menjadi sebuah entitas kehidupan global dan saat ini pun kembali bermetamorfosis untuk mencari baju kebudayaannya diera apa yang disebut banyak pakar kebudayaan sebagai era postmodernisme.
Posmodernisme adalah sebuah bentuk baru dari modernitas atau modernisme, kelahirannya – post modern – merupakan “bias” dari kejumudan kehidupan yang serba modern khususnya pada kehidupan barat dimana modernitas oleh para ahli disebut telah mengalami stagnasi sehingga terpaksa mencari bentuknya yang beda dan lain dari wujud modernitas.
Industri dalam modernitas disebut sebagai post-industri dalam terminologi postmodernisme, menurut Yasraf A Piliang, konsumerisme dalam era postmodernitas mengalami pengembangan yang begitu kompleks dan tidak lagi sesederhana pada era kuno dan modern. Di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika “kebutuhan” (need) melainkan logika “hasrat” (desire). Bila “kebutuhan” dapat dipenuhi – setidak-tidaknya secara parsial – melalui obyek-obyek, “hasrat”, sebaliknya, tidak pernah terpenuhi, oleh karena satu-satunya “obyek” yang dapat memenuhi hasrat (seksual) yang muncul secara bawah sadar pada tahap imajiner dan obyek hasrat ini telah hilang untuk selamanya, dan hanya dapat mencari subtitusi-subtitusinya dalam dunia obyek atau simbol-simbol yang dikonsumsi. Inilah yang dialami masyarakat konsumen pada era post-industri.
Mengkonsumsi sesuatu bukan lagi atas dasar kebutuhan praktis namun lebih pada pemenuhan hasrat-hasrat seksual yang begitu halus dalam citraan benda-benda sebagai pertanda dari hasrat tersebut. Mungkin inilah yang disebut penyakit hiper-konsumtif dalam budaya konsumen, hiper bukan hanya pada kuantitas tetapi juga pada kualitas (identik dengan hasrat). Manusia diarahkan oleh hasrat kebendaan secara berlebihan, akhirnya tidak terkontrol. Awalnya adalah hasrat untuk memiliki, menggunakan dan menguasai benda-benda, pada akhirnya watak produk yang mencitrakan hasratnya menjadi dominan kemudian mengendalikan manusia. Manusia konsumer kemudian pasif untuk sekedar menjadi obyek pengendalian dari masyarakat produsen yang menguasai pasar hasrat masyarakat. Manusia kemudian merasa asing, karena kehilangan sifat kebebasannya yang fitrawi oleh pemujaan merek-merek industri yang hegemonik.
Kepasifan manusia dalam masyarakat industri, menurut Erich Fromm, merupakan salah satu simptom dari seluruh sindrom yang sering disebut “sindrom keterasingan”. Menjadi pasif artinya, dia tidak menghubungkan dirinya sendiri dengan dunia secara aktif dan dipaksa untuk tunduk kepada berhala-hala dengan segala permintaannya. Dengan demikian dia merasa tidak berdaya, sendirian dan cemas. Dia mempunyai sedikit kesadaran integritas dan identitas diri. Konformitas nampaknya merupakan satu-satunya cara untuk menghindari kecemasan yang tak tertanggungkan dan celakanya, konformitas tidak selalu dapat meringankan kecemasan.
Label: Dunia kebudayaan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda