Sabtu, 07 Februari 2009

KONTRAK MORAL POLITIK BARU

Oleh Syafruddin Muhtamar

“Temukanlah cermin yang tepat untuk wajahmu”, kalimat ini adalah milik seorang pejalan spritual yang amat terkenal di dunia Islam. Kenapa senantiasa kaum bijaksanawan mengingatkan manusia untuk tahu diri, untuk mengenal siapa aku, untuk mengerti titik terdalam kita sebagai manusia. Mungkin karena mnusia memiliki kecenderungan utntuk menyimpang dari visi-visi edealitasnya sebagai manusia yang dicipta untuk memberi kemaslahatan kepada sebanyak-banyaknya manusia. Dan kalimat-kalimat bijak ini tidak keluar begitu saja dari mulut sang guru kehidupan ini. Kalimat ini adalah rangkaian dari pengetahuan mereka yang dalam sekaligus luas tentang makna dan juga terlebih tentang nilai.
Manusia dengan beragam predikat sosial yang disandang dalam kehidupan, tidak luput dari sebuah harapan suci untuk membangun kehidupan ini menurut ketentuan atau sistem yang tentu saja harus lahir dari sebuah kebenaran. Apakah kebenaran itu bersumber dari rasionalitas atau kebenaran yang besifat spritual. Artinya manusia senantiasa harus diingatkan akan tujuan mulia dari penciptaannya. Kerja-kerja mengingatkan inilah yang menjadi misi dari kaum yang tercerahkan ini. Seperti Jalaluddin Rumi yang mengingatkan kita dengan kalimat tersebut diatas, “Temukan cermin yang tepat untuk wajahmu”.
Kenapa kita harus menemukan cermin yang tepat untuk wajah kita sendiri. Apakah wajah yang kita pakai sekarang ini adalah bukan wajah kita yang sebenarnya, wajah lain yang hadir dan membuat kita asing dengan rupa itu. Sebuah penampakan yang kita kenakan kemana-mana dan menjadi siapa dalam kehidupan ini ternayata bukan milik kita. Kalau kita menyadarinya mungkin ada rasa malu yang datang menikam jiwa, namun bila kita tidak dihinggapi kesadaran sedikitpun tentang wajah lain kita itu maka kehidupan itu terus berjalan dengan penipuan diri tiada henti. Wajah lain itu telah membuat kita hidup dalam labirin ironi yang nampak gemerlap namun tidak lebih dari sebuah gerak akrobatik yang menyesatkan.
Mungkin renungan seperti inilah yang bisa kita petik dari berlalunya periode kampanye dan pemilihan presiden dan wakil presiden pada 5 mei lalu. Dimana masyarakat kita disihir dengan tontonan permainan hasrat manusiawi yang condong pada peminatan dan pengarapan kekuasaan, lewat berbagai macam aksi-aksi kampanye dalam setiap sudut dan ruang-ruang sosial yang ada. Nampak bahwa ruang-ruang sosial itu menjadi tempat berdagang para politisi, mereka menjual mimpi dan janji untuk merebut sepotong simpati agar bisa mengantar mereka merebut kedudukan politis dalam negara menjadi seorang presiden atau wakil presiden. Dan masyarakat yang tidak kritis seolah larut dalam pesta pegadaian mimpi-mimpi masa depan itu.
Dengan alasan demokrasi setiap orang berhak membela diri atas apa yang mereka lakukan dalam pesta rakyat 2004 ini. Namun terlepas dari asumsi ideal yang menopang pelaksanaan pemilu kali ini, tetaplah bahwa ada sisi-sisi lain yang perlu untuk terus dipertegas dan digali demi kebangkitannya, sebuah dimensi terdalam dari kehidupan sosial itu sendiri yakni moralitas, sikap religi dan perilaku etis yang bersandar pada kedalamam nilai-nilai fitrah sejarah dan kemanusiaan. Apa yang sangat hegemonik dari fenomena politik nasional akhir-akhir ini adalah ekternalisasi watak-watak manusia yang begitu berbusa-busa untuk berkuasa, untuk merebut keuntungan-keuntungan duniawi semata dalam proses politik tersebut.
Karena itu, dari lima calon presiden dan wakil presiden yang terjaring dan sementara menunggu proses selesainya pengitungan suara untuk mengetahui apakah mereka dipilih oleh suara mayoritas masyarakat untuk menduduki jabatan pemerintahan tertinggi dinegeri ini atau tidak, penting memikirkan sebuah kontrak moral untuk sebuah kehidupan politik baru, dimana hal ini selalu menjadi harapan tertinggi masyarakat luas. Apa yang tidak selesai pada masa lalu dan masih terus berlanjut hingga hari ini adalah masalah moralitas dan komitmen pada kebenaran ‘sejati’ dari pelaksana-pelaksana negara dalam merefleksikan kedaulatan rakyat yang dipercayakan kepada mereka untuk dikelolah. Yang terjadi salah disorientasi ketika kepercayaan rakyat itu masuk secara formal dalam lembaga-lembaga negara, ini terjadi karena watak kekuasaan yang melekat dalam struktur sosial itu.
Mental eksklusifitas senantisa tergambar di setiap penampilan orang-orang yang hidup dalam keseharian yang penuh dengan aroma birokratis di lembaga-lembaga formal negara. Apalagi pada lembaga-lembaga yang memegang otoritas tertentu dan strategis bagi kemajuan dan masa depan negara. Dengan mentalitas yang ekslusif ini, secara langsung mereka telah membuat jarak psikologis bahkan ideologis dengan masyarakat yang ada dalam tataran struktur sosial yang tidak formal, rakyat. Jarak ini tak jarak juga bersifat fisik, banyak pejabat-pejabat merasa enggan mengunjungi masyarakt kumuh atau mereka-mereka yang hidup di daerah-daerah terpencil. Sehingga tak heran jika masyarakat umum senantiasa merasa tidak dekat dengan pemimpin-peminpin yang mereka telah pilih dalam pesta suksesi nasional atau pemilu.
Artinya ada sisi gelap dibalik prosesi politik negara yang belum banyak disentuh secara serius, selain misalnya masalah-masalah yang nampak dipermukaan seprti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, korupsi, dan lain-lain. Sisi gelap ini bergerak tanpa wujud sebab sifatnya yang abstrak, dan tidak hanya menghantui sebuah sistem tetapi terlebih telah menjadi bagian yang merusak karakter ideal kemanusiaan manusia. Sisi gelap ini adalah watak kebinatangan yang melekat dalam jiwa manusia. Tidak ada yang mampu menglangi watak ini ketika ingin memunculkan dirinya lewat perilaku dalam setiap elemen kehidupan, selain ketika kia masih memiliki hasrat untuk berfikir demi memanusiakan atau mengilahiayan jiwa individual atau jiwa sosial yang terait dengan sebuah sisitem hidup.
Dalam lapangan politik, persiden dan wakil presiden yang kelak terpilih ini dengan jajaran kabinetnya maksimal harus memikirkan secara sungguh-sungguh tentang kontrak moral itu. Bahwa komitmen pengabdian yang selama ini di jejalkan di kepala-kepala ribuan orang dalam kampanye tidak menjadi sekedar pemanis dibibir saja, tetapi menjadi visi ideologis yang mengakar dalam jiwa pejabat baru ini. Sebagai sebuah kontrak yang bersifat moral atau spritual, tidaklah perlu untuk dituliskan sebagaimana mahasiswa yang menuliskan klausul-kalusul kontraknya diatas kertas untuk ditandatangani oleh para calon pemimpin itu di depan notaris. Dalam hal kontrak moral hal ini tidak menjadi kemutlakan yang harus dilakukan, sebab moralitas lebih menyangkut kesadaran dan pengetahuan individual. Lebih kepada hal bagaimana para calon atau pejabat itu tidak terbisa menginkari kebenaran jiwanya sendiri, tidak terbisa mengenakan topeng-topeng kemunafikan dalam kesehariannya. Dan menyangkut trackrecord sifat politik dimana mereka pada masa lalu tidak mendidik diri dalam kebohongan demi kebohongan untuk merebut keuntungan atau jabatan-jabatan terentu.
Para pejabat negara ini hanya perlu mengetahui dengan sepenuh pengetahuan dan kesadaran bahwa mereka adalah abdi masyarakat yang berkewajiban secara moral untuk memberi pendidikan politik yang manusiawi, bekerja menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya dengan konsisitensi yang tinggi pada kejujuran, keihlasan dan rasa tanggung jawab. Dan bahwa masyarakat adalah sumber inpirasi mereka dalam menyusun kebijakan-kebijakan, bukan pesanan asing yang datang dengan segunung duit dan kepentingan. Jadi kontak moral adalah pertemuan dua sisi terdalam jiwa sosial dalam struktur yang berbeda dalam sejarah; satu sisi harapan ideal masyarakat yang bersifat fitrawi dan di sisi lain adalah hasrat kebaikan yang melekat dalam sistem negara yang bersifat rasional. Secara sederhana bisa dikatakan kedua variabel ini harus bertemu dalam wajah aslinya masing-masing yang bersifat ‘suci’ itu, tanpa harus ada topeng-topeng yang mengelabui satu sama lain.

Makassar, 14 Juli 2004.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda