ETOS KEMANDIRIAN KAWASAN LOKAL
Oleh Syafruddin Muhtamar
Sejak lama benak publik telah mengenal istilah pembangunan. Dan dalam beberapa periode pemerintahan nasional mereka merasakan nikmat dan tidak nikmatnya proses pembangunan itu. Meskipun hakekat pembangunan diperuntukkan bagi kemaslahatan warga masyarakat seluruhnya. Tetapi seringkali proses pembangunan dalam taraf implementasi melenceng dari substansinya, menjadi realitas ketidakadilan. Praktek-praktek ketimpangan pembangunan ini banyak ditemukan pada periode ketika kekuasaan politik nasional berlangsung secara otoritarian.
Paradigma pembangunan pra-reformasi dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas, sedikit banyak telah memberi pengaruh bagi perubahan sosial yang terjadi hingga kini. Production Centered Development Approach yang dikembangkan, secara strategik memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada birokrasi pemerintah. Pemerintah memegang kendali dalam penyelenggaraan program-program pembangunan. Masyarakat sekedar menjadi obyek belaka dari proses kebijakan pemerintah.
Aplikasi model yang demikian tidak jarang menghasilkan praktek pembangunan yang bukan saja mengabaikan, tetapi juga menurunkan kemampuan masyarakat dalam pemecahan masalah melalui inisiatif lokal. Dan bahkan menciptakan ketergantungan masyarakat kepada birokrasi-birokrasi terpusat. Birokrasi yang memiliki daya absorbsi sumberdaya sangat besar, tetapi tidak memiliki kepekaan untuk menanggapi kebutuhan lokal. Strategi ini pada hakekatnya condong pada praktek assistencialism yakni praktek memandang masyarakat sebagai obyek asistensi atau obyek bantuan. Praktek ini pada gilirannya akan menurunkan martabat manusia dan menciptakan keadaan yang counter productive (Hotman, M, 1997).
Sumber Daya Kreatif
Kawasan lokal yang mengalami subordinasi selama beberapa dekade pemerintahan, mendapat peluang segar yang dilegitimasi secara yuridis-politis lewat undang-undang pemerintahan di daerah. Mandat dari regulasi ini adalah memberi kesempatan pada pemerintahan lokal untuk memandirikan daerahnya dalam ragam urgensi. Kebijakan otonomi daerah ini memberi pertanda awal bergesernya kesenjangan distribusi kekuasaan dalam proses pembangunan. Sekaligus membuka peluang hilangnya praktek “dominasi-subordinasi”, sehingga kawasan lokal tidak lagi dianggap sebagai wilayah koloni oleh pemerintah pusat. Kultur politik pemerintahan demokrasi juga nampak tercermin dari kebijakan nasional tersebut.
Walaupun kenyataannya, refleksi pragmatis atas paradigma otonomi daerah mengalami distorsi tafsiran oleh elit pemerintah lokal. Otonomi daerah dalam praktek awalnya condong pada perlombaan memperkaya daerah dengan memberi beban irrasional pada pundak masyarakat. Prinsipnya adalah kumpulkan uang sebanyaknya nanti baru dipikirkan penggunaannya. Elit-elit lokal juga bersaing memperebutkan posisi politik strategis untuk memperkaya diri dan golongan; ini tercermin jelas dalam proses pilkada. Sederhananya, otonomi daerah seolah-olah milik primordial segelintir elit-inisiator lokal yang penggunaannya dilakukan sekehendak mereka sendiri.
Artinya lebih jauh, bahwa kawasan lokal belum memiliki kesiapan memadai untuk merespon kewenangan lokal yang diberikan fleksibel oleh regulasi yang ada. Sehingga kecenderungan implementasinya distortif. Arah kemandirian lokal yang diharapkan, kemudian terhambat, oleh sebab kendala dasar yang dihadapi yakni lemahnya sumberdaya manusia.
Idealnya ketika kebijakan otonomi daerah mulai digulirkan, agen-agen perubahan lokal secara bersama-sama melakukan pemetaan sumberdaya kreatif lokal. Sumber-sumber kreatif lokal yang dimaksud adalah segala sumberdaya yang berkorelasi aktif, produktif dan potensial terhadap peluang yang menjamin kepastian kemandirian lokal. Kawasan lokal sangat kaya akan sumber-sumber kreatif ini. Tidak perlu menyebutkan angka-angka statistik untuk mengetahui sumberdaya alamnya yang melimpah, dari pertanian, kelautan hingga pertambangan. Kasat mata telah memperlihatkan sumber berkelimpahan itu.
Disamping sumber kreatif tersebut, terdapat sumber kreatif mendasar lainnya yang tiada kalah penting. Yakni kognisi dan value yang hidup dalam lapisan sosial masyarakat lokal. Kognisi ini meliputi harapan, keinginan, kebutuhan dan pikiran-pikiran masyarakat yang juga bagian integral dari proses pembangunan lokal. Dan value adalah kearifan lokal sebagai sumber kecerdasan publik lokal. Dalam konteks tertentu konsep-konsep mereka tentang pemberdayaan manusia dan pemanfaatan alam telah teruji dan terbukti menimbulkan equilibrium dalam kehidupan sosial mereka.
Sejauh menyangkut kemandirian lokal, maka porsi sumber-sumber daya lokal menjadi fokus orientasi dalam arah kemajuan pembangunan di daerah. Amanah regulasi tentang pemerintahan di daerah juga menekankan pada pelibatan maksimal potensi lokal dalam aneka aspeknya. Mulai dari aspirasi atau inisiatif, personalitas hingga yang pasti, sumber-sumber ekonominya. Pelibatan publik lokal secara partisipatif menurut sumberdaya kreatif yang dimilikinya adalah tuntutan tak terelakkan dalam mendorong terbangun-ciptanya kemandirian kawasan lokal.
Hal ini berkesesuaian dengan kearifan global dalam prinsip-prinsip Good Governance, yang antara lain memberi titik berat pada pola public participation and responsiveness. Tata pemerintahan yang baik adalah sistem yang memberi peluang maksimal pada publik dari beragam latar belakang untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, menurut kapasitas dalam partisipasi konstruktif. Dan seluruh proses pemerintahan berkewajiban memberi respon pelayanan pada semua pihak yang berkepentingan. Sebab yang paling berkepentingan dalam proses pembangunan untuk perubahan dan kemajuan, baik nasional maupun lokal, adalah warga masyarakat.
Karena itu dalam konteks kemandirian kawasan lokal, warga masyarakat dan realitas kehidupannya yang berada pada kawasan bersangkutan adalah sumber tertinggi dari harapan, visi dan orientasi, arah perkembangan dan kemajuan kawasan. Ini adalah substansi dari prinsip kemandirian lokal, agar masa depan masyarakat kawasan lokal lebih makmur, lebih terbuka, lebih adil dan lebih demokratis. Dan bisa setara serta kompetitif dengan kawasan lain yang telah lebih dahulu berkembang dan bertumbuh. Seperti kawasan Barat Indonesia yang relatif menikmati kemajuan lebih dibanding kawasan pada bagian Timur Indonesia.
Praktek Etos
Dalam satu pengertian, etos adalah sikap mental dan kepercayaan dasar terhadap prinsip-prinsip ideal yang diyakini mampu membawa kehidupan manusia pada puncak keberhasilan, kebahagiaan, kemakmuran dan kejayaan. Etos dengan demikian berkaitan dengan semangat jiwa untuk menghasilkan kualitas. Proses awalnya berlangsung secara internal dalam benak kesadaran manusia, hingga terwujud dalam bentuk perilaku. Perilaku yang diproduksinya adalah menjadi syarat utama suatu keberhasilan.
Etos jika dikaitkan dengan kemandirian kawasan lokal, maka aspek pertama yang harus disentuh perhatian adalah para agen-agen perubahan pada pemerintahan lokal. Agen perubahan ini bisa bersifat formal (negara) maupun non formal (masyarakat). Personalitas yang terikat sistem organisasi untuk perubahan tersebut harus senantiasa melakukan internalisasi nilai-nilai dan prinsip dasar yang akan memberi motif atas tindakan dan perilaku kebijakan perubahan yang akan diprogram dan diimplementasikan. Nilai dan prinsip dasar ini merupakan benang merah dari amanah publik lokal yang dibebankan, baik secara ideal maupun praksis, pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif maupun secara tidak langsung pada kelompok-kelompok kritis seperti NGO (non Goverment organitation).
Para inisiator, motivator dan pelaku perubahan ini, secara sublim mutlak mengetahui dan memahami prinsip-prinsip etos; seperti ketulusan atau keikhlasan pelayanan dan pengabdian masyarakat, konsistensi dan komitmen pada pelaksanaan amanah, bertanggungjawab atas masa depan kawasan lokal, profesional dan penguasaan secara detil ilmu yang dibutuhkan bagi kemandirian masyarakat, kerja keras dan disiplin secara proporsional bagi akselerasi kemajuan kawasan dan menganggap kerja perubahan sebagai ibadah. Prinsip-prinsip etos ini jika serius dipraktekkan oleh para agen perubahan akan menjamin tercapainya kemandirian kawasan lokal. Dan memungkinkan tertutupnya kesempatan pada praktek-praktek penyelewengan yang bisa merusak secara keseluruhan program yang dijalankan.
Etos ini adalah fundamen bagi terjaminnya kemandirian kawasan lokal yang dicita-citakan. Good Governance, pluralisme, penegakan hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi adalah kualitas-kualitas capaian dan buah yang harus dikejar oleh gerak kawasan lokal. “Maka jika ingin buah yang berkualitas maka uruslah akarnya”, kata seorang guru etos.
Makassar, 26 November 2005
Label: Pembangunan dan Perubahan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda