GELOMBANG PERUBAHAN BARU, MITOS ATAU REALITAS (Jelang Pemerintahan Baru 2004 – 2009)
Oleh Syafruddin Muhtamar
Banyak orang memandang pesimis realitas bangsa ini, dengan beranggapan bahwa tidak ada yang berubah sejak dulu hingga kini : bahwa kesalahan, kejahatan dan kegagalan pada masa lalu terus saja berlangsung dengan bentuknya yang berbeda-beda. Korupsi, kolusi, nepotisme dan pelanggaran HAM berpindah dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain dalam ragam warna-warninya, disegala tempat dan disegala waktu. Pesimisme ini nampak logis ketika kita melihat kenyataan yang ada, baik di pusat-pusat pemerintahan maupun di tingkat lokal; bukan hanya eksekutif dan yudikatif tetapi yang mencekam akhir-akhir ini adalah legislatif dengan rekor korupsi massalnya.
Catatan kegagalan masa lalu telah banyak terekam dalam benak sebagian masyarakat, sehingga terkadang menimbulkan rasa pesimistis dan berpengharapan agar adanya perubahan baru yang penuh arti. Sebagai masyarakat atau warga negara sebuah bangsa yang besar dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang memadai, dengan modal nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh kebudayaan masa lalu, dengan tekad dan semangat para pendiri bangsa dan harapan-harapan ideal para generasi muda, maka menjadi sangat wajar juga jika ada pengharapan akan datangnya pembaharu baru dalam sistem dan perilaku kebangsaan dan kebernegaraan kita ini.
Sepertinya memang bangsa ini terus saja terbelit seribu satu masalah pada seluruh lapisan kehidupan sosial. Teror bom di gedung Kedutaan Besar Australia di Jakarta beberapa waktu lalu menambah belitan masalah itu, dan kejadian ini cukup ironis sebab baru saja Kapolri menyatakan Indonesia pada umumnya dan Jakarta khususnya dalam kondisi aman saat hearing di DPR, tiba-tiba terdengar kabar ledakan bom tersebut. Ini indikator betapa ada sistem yang tidak bekerja maksimal dalam tubuh negara kita. Juga menunjukkan dalam beberapa hal, bangsa ini mengalami reduksi kekuatan dan kebesarannya sehingga masalah datang begitu mudah.
Juga pada saat yang sama, senantiasa muncul pertanyaan besar dan mendasar : Bagaimana bangsa ini bisa keluar dari kemelut krisis multidimensial yang menggerogotinya? Sistem apa yang harus diterapkan agar problem-problem bangsa yang belum teratasi ini dapat menemukan solusinya? Sikap dan nilai-nilai apa yang mesti dianjurkan dan diimplementasikan sehingga kesulitan-kesulitan fundamental negeri ini dapat diselesaikan tanpa harus menimbulkan atau menelan korban-korban? Siapa figur atau sosok tokoh pemimpin dan bagaimana karakter, kepribadian atau catatan masa lalu yang harus dicitrakan dan diperlihatkan kepada masyarakat supaya harapan perubahan dapat terwujudkan?
Pertanyaan terakhir ini, telah ‘dijawab’ sendiri oleh masyarakat bangsa ini sejak putaran pertama pemilihan presiden, ketika beberapa calon presiden (capres) yang ikut berkompetisi dalam perebutan hati nurani rakyat untuk dapat memenangkan kursi tertinggi eksekutif, harus tereliminasi dan rela atas kenyataan bahwa mayoritas rakyat belum menghendakinya. Sehingga dua capres yang berhasil lolos masuk dalam putaran kedua pemilu kali ini, juga kembali harus teruji kualitas karakter, kepribadian, visi dan misi serta kesiapan mereka untuk memimpin bangsa dan negara ini dalam kurun waktu lima tahun kedepan. Hak konstitusi masyarakatlah dan semangat nuraninya akan menentukan siapa yang paling layak untuk dipercayakan amanah harapan dan cita-cita orang banyak sebagai presiden.
Antara Mitos dan Realitas
Aura gelombang perubahan yang akhir-akhir ini disuarakan oleh masyarakat pada banyak forum dialog baik yang digelar secara formal atau tidak, baik di jalan-jalan dengan aksi demonstrasi maupun di atas panggung pertemuan untuk suatu pendeklarasian komunitas dukungan, terasa begitu kental dan mengisyaratkan sebuah pengharapan besar akan perubahan bagi bangsa dan negara. Masyarakat, kelompok dan tokoh-tokoh pendukung masing-masing capres menebarkan visi dan misi, poin-poin janji dan mimpi-mimpi perubahan pada masa depan. Pengharapan perubahan itu menghinggapi setiap kesadaran dan pengetahuan kita layaknya mitos yang disebarkan untuk membesarkan perasaan dan hati kita yang terus-menerus krisis di segala lini kehidupan dari dimensi sosial, politik, hokum, ekonomi dan pendidikan sampai kebudayaan.
Fase antara kampanye pemilu capres putaran pertama hingga kampanye putaran kedua, masyarakat kita dikepung oleh mitos-mitos tentang perubahan kehidupan Indonesia yang lebih baik, tentang Indonesia yang lebih makmur, berkeadilan, bebas dari kemiskinan dan pengangguran, pendidikan yang memihak pada rakyat, bersih dari terorisme dan steril dari kejahatan para koruptor dan lain-lain sebagainya. Imajinasi sosial larut dan terbuai dalam wacana mimpi-mimpi yang indah dan ideal. Fase ini juga secara spontan melahirkan semangat euphoria oleh sebagian besar masyarakat dalam merefleksikan dukungan dan minat mereka pada salah satu sosok calon pemimpin pemerintahan. Dan tak jarang keterbuaian seperti ini akan menimbulkan ketidakrasionalan ketika menentukan pilihan calon pemimpin, bahkan mungkin saja melahirkan kekecewaan ketika, mitos perubahan menuntut realitas.
Karena itu penting bagi presiden terpilih masa pemerintahan 2004-2009 nanti untuk memahami akar mitos perubahan yang terlanjur telah tertanam di benak dan pikiran masyarakat mayoritas pemilih selama masa-masa kampanye. Hal ini penting agar sistem kebernegaraan dan keberbangsaan tetap berjalan dalam keseimbangannya, bahwa janji-janji perubahan yang terangkum dalam visi dan misi serta program-program yang dicanangkan sebagai mitos, sedapat mungkin terwujud dalam seluruh dimensi realitas kehidupan masyarakat. Sebab betapa kecewanya masyarakat pemilih yang telah memberikan kepercayaannya secara demokratis dan konstitusional, namun pada akhirnya harapan perubahan yang telah dijanjikan dulu tergantikan oleh kepentingan lain dari segelintir orang atau kelompok kepentingan yang berhasrat pada kekuasaan dan penumpukan kekayaan.
Sehingga gelombang perubahan baru yang dinantikan oleh masyarakat bangsa dari pemimpin pemerintahan baru ini, tidak sekedar menjadi mitos yang melangit dan mengawang-awang, tetapi harus nampak dalam realitas sosial sebagai perwujudan janji yang jujur dan ikhlas. Sebuah perwujudan yang lahir karena komitmen pengabdian sebagaimana yang telah dicitrakan dan digembar-gemborkan selama masih menjadi calon pemimpin. Masyarakat telah memperlihatkan keteguhan dan komitmennya untuk memilih pemimpinnya sendiri, janganlah pemimpin baru ini kemudian memperlihatkan hal yang sebaliknya. Sebab sejarah akan senantiasa mencatat segala keburukan dan kebaikan yang diperbuat oleh manusia untuk kemudian dibeberkannya pada rentetan sejarah yang lain.
Makassar, 16 September 2004
Label: Dunia Politik
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda