Sabtu, 07 Februari 2009

MENGUKUR KEMENANGAN DENGAN ANGKA-ANGKA ATAU KERJA NYATA

 Oleh Syafruddin Muhtamar

Satu jam setelah batas waktu pemilihan tahap pertama berlalu, angka-angka tiba-tiba menjadi begitu ‘sakral’dan teramat penting artinya bagi partai-partai yang telah jauh-jauh sebelumnya mempersiapkan segala sesuatunya secara maksimal untuk memenangkan pemilu dan juga mereka yang telah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Angka-angka yang adalah hasil perhitungan suara pemilih itu akan menjadi semacam dewa penolong bagi individu dan organisasi partai yang juga dari sejak awal sangat berpengharapan untuk mendapatkan kedudukan politis dalam stuktur kenegaraan. Jumlah angkah-angka ini dalam tingkatan tertentu akan menentukan nasib mereka sebagai utusan rakyat yang akan mengemban amanah orang banyak.
Sepertinya tidak tersisa waktu bagi pengurus parpol dalam mengikuti gerak perubahan angka-angka lewat layar kaca. Mereka begitu antusias mengakses sumber-sumber keberuntungan itu, ini bisa dimaklumi sebagai rangkaian kerja-kerja manejerial untuk mengontrol sejauh mana nasib baik itu akan memihak pada mereka. Dan begitu besar harapan untuk mendapatkan jumlah angkah yang paling maksimal dalam pemilu kali ini sebab ini kan menjadi ukuran kemenangan politis vis a vis demokratis. Secara politis jumlah angka-angka itu akan menunjukkan besarnya kekuatan politik riil sebuah partai dalam dinamika politik pemilu yang sementara berlangsung, yang sekaligus menjadi rekomendasi untuk pengabdian pada negara yang berarti juga pengabdiannya pada rakyat.
Kwantitas angka-angka ini juga akan menjadi penentu sejauhmana partai-partai itu akan berperan besar dalam mengelolah kepentingan bangsa dan negara ini. Meskipun tidak dengan sendirinya angka-angka itu begitu saja memutuskan partai-partai sebagai pemenang dalam pemilu, sebab ada ikatan jerat-jerat konstitusi yang menjadi standar rasional secara hukum bagi kemenangan pemilu. Artinya kemenangan dan kekalahan dalam pemilu tidak dengan subyektivitas dari keberadaan angka-angka itu tetapi ditentukan oleh obyektivitas dari sebuah ketentuan hukum yang telah disepakati. Namun demikian kenyataan dari angka-angka tersebut tetap merupakan variabel utama bagi kemenangan sebuah intitusi politk masyarakat.
Bagi yang tidak terlalu berminat pada kepentingan politik, mungkin angka-angka yang di sebarkan secara merata oleh media massa itu terasa tidak ada yang teramat istimewa. Angka-angka itu hanya menunjukkan betapa masyarakat telah terlibat dalam kultur politik demokrasi yang di angendakan secara nasional dalam lima tahun sekali. Bahwa sebagian besar masyarakat telah menunjukkan hak politinya sebagai pemegang kedaulatan. Dan bahwa angka-angka itu menggambarkan betapa antusiasnya masyarakat menghendaki perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari masa sebelumnya. Namun juga angka-angka itu memiliki implikasi politik yang sangat berarti bagi masa depan masyarakat Indonesia untuk masa lima tahun kedepan. Paling tidak, parpol-parpol yang masuk urutan tertinggi dalam angka-angka suara mendapat hak istimewa dari rakyat untuk membuka lembaran baru masa depan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Sepertinya demokrasi politik dalam setiap pemilu selalu dimulai dari angka-angka perolehan suara. Kwantitas tertinggi atau terbanyak adalah ukuran dari fakta demokrasi yang dengannya berhak atas kekuasaan politik. Dengan hak itu, pemenang pemilu dianggap yang paling mendapat respon dari masyarakat pemilih untuk mengusung amanah orang banyak. Dan mereka yang mendapat sedikit suara dari masyarakat pemilih maka mereka harus siap menaggung kelalahan politis dengan lapang dada. Kekalahan politis dalam sebuah proses pemilu yang berlangsung dalam bayang-bayang katakutan dan tekanan dari kekuatan-kekuatan politik tertentu yang ingin mempertahankan status quo akan terasa berat meneima sebuah kekalahan. Sebab seluruh prosesi pemilu berlangsung dalam kecurangan demi kecurangan.
Tetapi dalam konteks pemilu berlangsung dalam suasana sosial yang berdeka, masyarakat mendapat ruang-ruang eksperif bagi aspirasi mereka, atmosfir politik yang relatif rileks tanpa interfensi dari kekuatan-kekuatan politik dominan dan nuansa kritik yang bebas serta kompetisi politik berlangsung dengan minimal kecurangan. Maka yang menang dan yang kalah menjadi hal yang bisa saja sebab semua prosesi berlangsung dengan kondisi yang mendekati ideal. Dan tidak akan terjadi ketegangan politik yang berarti yang akan mengarah pada konflik terbuka sesama kekuatan-kekuatan politik masyarakat yang berkompetisi. Bisa saja yang menang tidak dengan semena-mena akan memenopoli kekuasaan dan yang kalah akan secara elegan meneima kekalahan dan menjadi kekuatan oposisi sebagai penyeimbang dalam dinamika politik yang bakal berlangsung.
Namun demikian, apa-apa yang bersemangatkan politik tetap akan melahirkan kekecewaan-kekecewaan dan kesombongan-kesombongan tertentu ketika berada dalam keadaan kalah atau menang. Sebab tidak ada yang sungguh-sungguh tulus dan ihklas dalam kerja-kerja politik apalagi yang bersentuhan langsung dengan kekuasaan dengan segala keuntungan-keuntungannya. Kebanyakan kita menemukan fakta-fakta yang bertentangan dengan idealisme lembaga dan pribadi dalam realitas politik kekuasaan. Fakta-fakta penyimpangan lebih umum terjadi ketimbang fakta-fakta pengabdian idealisme. Mungkin karena kekuasaan, kedudukan, jabatan dan prestise politik sedemikian membius hasrat manusiawi kita yang rendah untuk menyalahgunakannya mengikuti selera subyektivitas manusia yang terkadang senang melakukan kemunafikan tanpa sadar.
Meskipun bangsa ini telah banyak kali melaksanakan tradisi demokrasi dalam lapangan politik, sejak setengah abad lalu dalam pemilu pertama 1955, tidak dengan sendirinya tradisi politik modern itu melahirkan simpul kesadaran baru yang matang tentang hakekat demokrasi. Ada fase sejarah yang panjang di negeri besar ini dimana makna demokrasi itu dilucuti hingga ke tingkat yang memalukan. Ketika demokrasi sekedar menjadi tameng kekuasaan yang berada dibawah bayang-bayang senjata dan sepatu laras militer.
Masyarakat disita hak kemerdekaannya dan penguasa menutup ruang-ruang ekspresi bagi aspirasinya hampir pada semua segmentasi kehidupan berbangsa. Kekuatan negara yang negatif begitu dominan mengontrol dan mengendalikan hasrat dan keinginan rakyat yang berada dalam arus bawah struktur sosial politik. Juga bahwa penguasa dalam penggalan sejarah ini begitu mengandalkan angka-angka suara pemilih pada setiap pemilu yang digelar. Juga mengukur demokrasi dari kwantitas angka-angka untuk mengklaim hak atas kedaulatan dari ‘kepercayaan’ yang diberikan oleh rakyat.
Betapa bahwa angka-angka suara dalam dalam setiap pemilu senantiasa menjadi titik mula bagi proses kehidupan berbangsa dan bernegara selanjutnya. Rekonstruksi kehidupan sosial-politik, recoveri kondisi prekonomian, revitalisasi denyut nadi kebudayaan, penegakan rasa keadilan masyarakat dan penciptaan keadaan pendidikan yang memihak pada masyarakat bawah bermula dari perolehan suara terbanyak yang telah dikategorisari secara konstitusi. Angka-angka politis ini menjadi sangat berpengaruh terhadap semangat kepentingan sebuah idealisme yang mereka telah sampaikan kepada masyarakat.
Segaligus menjadi alat uji bagi sebuah komitmen dan keteguhan mereka dalam memperlihatkan karya nyata dalam membangun masa depan masyarakat. Jika angka-angka itu kemudian ( karena kecilnya perolehan suara ) menciutkan nyali mereka untuk menunjukkan realitas pengabdiannya pada masyarakat, maka sungguh bahwa mereka tidak memiliki sama sekali kesadaran amanah dan secarah subtantif mereka akan sangat berbahaya bagi masa depan masyarakat yang diharapkan jika mendapat suara yang bisa membuat mereka duduk dalam struktur politik kenegaraan, sebab hasrat utama mereka hanya bertumpuh pada keutungan-keutungan subyektif dan tidak berorientasi pada kepentingan orang banyak.
Jadi jika angka-angka perolehan suara ini menjadi standar sebuah kemenangan politik maka nilai kultur politik demokrasi kita belumlah terlalu jauh beranjak dari keterpurukannya pada masa lalu. Selain bahwa semua elemen masyarakat telah mendapatkan hak partisipatifnya pada ruang-ruang politik yang memang sudah terbuka lebar ini. Sebab masih kencangnya arus ‘Berpolitik Untuk Berkuasa’ bukan ‘Berpolitik Untuk Mengabdi’.
Dan apakah angka-angka itu (selain mencerminkan fakta demokrasi secara material) juga mencerminkan semangat dan komitmen yang teguh sebagai pengemban amanah masyarakat secara keseluruhan? Adakah juga dibalik angka-angka itu sungguh-sungguh terkandung secara rasional nurani masyarakat sehingga tidak perlu lagi meragukan rasioanalitas di balik angka-angka yang ditampilkan layar komputer resmi milik penyelenggara pemilu. Kita akan mengetahui jawabannya segera setelah beroperasinya pemerintahan yang bakal terbentuk dari hasil hajatan demokrasi nasional tahun 2004 ini.


Makassar, 9 April 2004

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda