Sabtu, 07 Februari 2009

PEMILIH TANPA SUARA

Oleh Syafruddin Muhtamar

Golput (golongan putih) adalah sepenggal kata yang tidak pernah ketinggalan dalam keramaian lalu lintas wacana disetiap jelang pesta demokrasi di negara ini. Sepenggal kata yang mengisyaratkan beragam makna dan maksud. Golongan putih dalam persepsi umum dikaitkan langsung dengan politik, mengikat warga dan gerakannya secara historis bergandenan dengan peristiwa-peristiwa politik pemilu dan politik kekuasaan. Sejak awal kemunculannya pada sekitar pemilu tahun 70-an, fenomena golput telah menuai kritikan dari berbagai kalangan, baik yang beroposisi mendukung maupun penegasan tentang pengharamannya, termasuk juga pihak-pihak yang bersikap netral terhadapnya. Keberadaan gerakan ini telah menjadi gejala tersendiri dalam realitas politik kita dan memberi warna lain dalam kehidupan demokrasi.
Kecilnya kuantitas dari golongan ini, membuat kalangan netral beranggapan bahwa golput tidak perlu dipermasalahkan, sebab kekuatan yang dimilikinya tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap hasil pemilu. Namun mereka yang mendukung akan memformulasi gagasan bahwa pemilu adalah hak politik dalam demokrasi; setiap individu berhak untuk menggunakan hak politiknya. Sementara yang mengharamkan golput, lebih beranggapan bahwa prosesi pemilu harus terselenggara secara maksimal. Karena itu mereka yang dianggap oleh hukum sah sebagai pemilu wajib untuk menggunakan hak suaranya, sehingga kemenangan pemilu bisa diraih dengan meyakinkan dan kadar keabsahan pemilu menjadi lebih tinggi.
Sebagai bagian dari realitas politik, golput jelas memiliki latar belakang yang kemudian mencetuskan kelahirannya, selain bahwa gerakan inipun tidak lepas dari landasan. Argumentasi yang bisa menjadi visi ataupun misi dan pola pergerakan pada keterlibatannya dalam arena sosial-politik, serta dampaknya dalam kehidupan politik. Dalam upaya mengacu pada ketiga permasalahan pokok itu, menurut Arbi Sanit (1972 : 15), golput harus diamati sebagai gerakan protes. Sebagai salah satu bentuk dari gerakan masyarakat yang terkait erat dengan pertumbuhan penghayatan ide demokrasi politik, gerakan protes tidaklah merupakan perwujudan dari proses disorganisasi masyarakat apapun perubahan struktur internal kelompok utama masyarakat beserta posisinya didalam tatanan masyarakat. Ada tiga dasar dari gerakan protes.
Pertama adalah pencarian prinsip keteraturan masyarakat, keadilan dan legitimasi penguasa dalam kerangka nilai baru yang dapat diterima oleh strata yang luas. Kedua ialah memusatkan perhatian pada pembaruan masyarakat dalam segala aspek kehidupannya, khususnya pembentukan simbol bagi identitas pemersatu masyarakat dan ketiga adalah mengusahakan kemungkinan perwujudan kreatifitas dan kemanusiaan dalam kerangka pembagian kerja masyarakat. Secara menyeluruh tema-tema gerakan yang bersifat teknis tersebut, mengacu pada pelaksanaan demokrasi. Sebab tema-tema tersebut pada hakekatnya merupakan operasionalisasi demokrasi sebagaimana ditampilkan oleh aktivitas dan pemikiran gerakan protes.
Dalam perjalanannya, gerakan ini seringkali terombang-ambing diantara depolitisasi secara relatif dan pengasingan dari lembaga utama atau pusat kehidupan politik dan budaya di satu pihak, dan dari partisipasi langsung didalam perlawanan terhadap rezim yang sedang berkuasa dipihak lainnya. Sehingga menyebabkan terbatasinya dukungan dan kekuatan. Dalam kondisi seperti ini gerakan protes memilih bekerja sama dengan pihak ketiga untuk memperkuat bargaining position terhadap kelompok kuat yang dihadapi.
Seiring perkembangan kehidupan masyarakat, gerakan ini juga mengalami perubahan dalam perjalanannya, baik wujud kelompok atau gerakan, pola aksi dan bahkan ideologi mendapat penyesuaian berdasarkan perubahan masyarakat tersebut. Dari pemahaman seperti itu, bisa dikatakan bahwa golput adalah gerakan protes terhadap sebuah watak kekuasaan yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi serta gerakan perlawanan terhadap mentalitas politik tidak sehat yang diperlihatkan oleh para politisi. Sehingga berpotensi merusak sebuah kultur politik yang serius dan dewasa, atau gerakan pembangkangan terhadap sebuah konsensus politik yang dibangun diatas semangat politik yang tidak mendidik masyarakat luas, malah sebuah pembodohan. Asumsi seperti ini lebih bersifat politis ketimbang faktor-faktor lain yang juga memiliki kemungkinan untuk melahirkan orang-orang golongan putih, misalnya ekonomi, budaya, pendidikan dan psikologi.
Golput yang bernuansa politik lebih terasa pada individu-individu yang secara langsung bersentuhan dengan semangat dan praktek politik pada sentra-sentra kekuasaan yang tengah berlangsung. Maka memahami secara paradigmatik dan pragmatik fenomena politik yang sedang berjalan, sehingga karenanya mereka sadar menjadi golongan putih. Bagi mereka pilihan untuk tidak menggunakan hak suara dalam pemilu adalah pilihan rasional. Namun menjadi tidak rasional ketika pilihan subyektif itu dilembagakan dalam gerakan kampanye mengajak publik untuk melakukan hal yang sama. Sebab selain mengkhianati jiwa demokrasi, juga pada saat yang sama, hanya akan memperparah proses pendidikan politik masyarakat.
Selain mereka yang sadar menjadi golput, juga terdapat individu-individu yang secara tidak sadar memiliki pilihan yang sama. Pilihan mereka yang disebut terakhir ini lebih merupakan refleksi dari beban psikologi yang mereka alami, yakni kehilangan kepercayaan pada otoritas-otoritas tertentu yang secara ideal diharapkan mampu menjadi pelayan bagi banyak orang. Namun dalam praktek otoritas-otoritas ini (baik yang bersifat individual maupun institusional) melakukan penyimpangan yang merugikan masyarakat baik langsung atau tidak langsung. Sehingga dalam momentum-momentum tertentu gumpalan kekecewaan terhadap penegak hukum, mereka cenderung menyelesaikan masalah diluar sistem hukum yang berlaku, kekecewaan terhadap pelaku dan institusi politik, mereka menjadi apolitis, termasuk ikut berdiri dalam barisan golongan putih.
Meskipun golongan ini tidak menghimpun diri dalam gerakan yang terformat secara formal, tetapi secara umum mereka bekerja berdasarkan prinsip-prinsip pengorganisasian misalnya ada orang-orang yang dijadikan panutan atau tokoh yang secara tidak langsung berfungsi sebagai pemimpin, karena golongan ini lebih banyak diisi oleh kaum intelektual metropolitan. Terkesan ada pembagian kerja bagi individu-individu atau kelompok-kelompok yang terikat oleh tujuan yang sama, dalam melakukan sosialisasi gagasan berupa diskusi, seminar dan simposium.
Dikatakan Arbi Sanit, semula target golput adalah menggugah dasar atau sumber legitimasi penguasa dengan jalan mempengaruhi jumlah suara sah sehingga semua kontestan mengalami pengurangan pemilih yang berarti pemenangpun tidak mampu memberikan legitimasi yang kuat bagi penguasa. Tetapi target ini kemudian berkembang menjadi gugahan terhadap legitimasi sistem politik lewat upaya mempengaruhi jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya disamping jumlah suara sah. Sehingga kadar pemilu sebagai sub sistem yang menurun berimplikasi langsung kepada kadar legitimasi sistem politik. Namun begitu, golput belum sempat berkembang menjadi gerakan massa, sehingga kohesifitas keseluruhan pendukungnya belum cukup kuat untuk menghadapi reaksi balik penguasa melalui pemerintah yang dikerahkan secara sistemik dan menyeluruh (Ibid).
Sebagai bagian dari fenomena politik, golput juga tidak bisa dilepaskan dari perjuangan ke arah kehidupan yang lebih demokratis, bergerak bersama kelompok-kelompok lain meskipun dengan pola-pola kerja yang berbeda. Gerakan golput dimaksudkan sebagai pendidikan agar masyarakat bisa berpikir kreatif dan kritis dengan ceramah-ceramah dan diskusi-diskusi politik yang diadakan, bertukar pikiran secara terbuka, menjaga tradisi demokrasi melalui gerakan kultural ini bisa dilihat rumus-keberadaan mereka yang dideklarasikan tanggal 28 Mei 1971.
Sejak jatuhnya Suharto dari tampuk kekuasaannya, kondisi bangsa terus berlanjut dalam ketidakstabilan dengan seribu satu masalah yang bermunculan di sana-sini; masalah yang selama ini disembunyikan rezim Orde Baru. Dalam kondisi seperti itu institusi-institusi resmi negara kehilangan wibawa dan masyarakat menjadi tidak percaya pada lembaga-lembaga tersebut, sebab menguatnya korupsi, kolusi dan kejahatan lain yang merugikan orang banyak. Kebiasaan buruk pelaksana negara itu terus berlangsung dan mengesankan bahwa perilaku negatif itu menjadi hal yang wajar saja untuk dilakukan, sebab hampir semua orang melakukannya dengan wajah tanpa dosa.
Hal-hal semacam inilah yang berpotensi melahirkan perasaan kecewa dalam masyarakat. Sebab masyarakat telah mempercayakan dan mengangkat mereka sebagai wakil di lembaga negara dan pelayan di lembaga pemerintahan, tetapi nyatanya mereka menyelewengkan kepercayaan masyarakat. Tetapi mereka hanya menjadi wakil dan pelayan bagi diri sendiri, keluarga dan golongannya saja bukan untuk masyarakat luas. Wajar jika kemudian masyarakat mencabut dukungan kepada figur-figur yang telah mengkhianati kepercayaan itu. Masyarakat yang sakit hati, tanpa sadar akhirnya mengeneralisir ketidakpercayaannya sampai pada institusi atau lembaga.
Masyarakat, di negara manapun, pasti enggan selalu dibohongi serta dikhianati, sebab selain mengganggu eksistensi suatu masyarakat juga merusak sebuah tatanan dan sistem kehidupan sosial. Kehidupan masyarakat luas menjadi tidak harmonis, tidak tenteram, tidak adil dan tidak bersahaja jika ditengah-tengah mereka berkembang semangat ketidakpercayaan satu sama lain. Kecurigaan akan tumbuh subur di semua lini kehidupan, sehingga setiap usaha perbaikan dan kemajuan senantiasa terhambat geraknya. Menumbuhkan sikap dan semangat saling percaya bukanlah perkara gampang, hal itu butuh waktu panjang. Karena itu diharapkan pemilu yang akan datang ini tidak lagi memproduksi manusia-manusia pembohong dan pengkhianat terhadap rakyat pemilihnya, sehingga setiap lima tahun bisa berkurang barisan pemilih tanpa suara atau golput, dan sebaliknya membeludak akibat kejahatan politik yang merajalela.

8 Januari 2004

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda