Sabtu, 07 Februari 2009

MENIMBANG MORAL CALON LEGISLATIF

Oleh Syafruddin Muhtamar

Pada akhirnya moral akan menjadi ukuran segala-galanya bagi eksistensi manusia. Orang sering mengatakan, baik atau tidaknya seorang bisa dilihat dari tindakan atau perilakunya. Tindakan atau perilaku inilah yang mengindikasikan moralitas. Moralitas meskipun menunjuk pada nilai yang abstrak, tetapi didalamnya terdapat kandungan pandangan hidup seseorang, yang akan mengarahkannya untuk memformulasi sebuah visi dan misi dalam kehidupan. Juga senantiasa terdapat dua kemungkinan dalam pandangan hidup seseorang, yakni nilai baik atau buruk. Pandangan hidup itu bernilai baik ketika ia selaras dengan fitrah kebaikan pada kehidupan dan kemanusiaan. Dan buruk ketika yang diperlihatkan sebaliknya, ia bertentangan dengan fitrah kemanusiaan dan kebaikan.
Moralitas dengan sendirinya terkait secara langsung dengan dimensi keyakinan atau kepercayaan pada determinasi-determinasi yang mengisyaratkan spiritualitas dan religi. Tingginya tingkat pengetahuan manusia pada hal-hal yang bersifat spiritual dan religi maka akan berbanding lurus dengan tingkat moralitasnya. Moralitas yang rendah juga menunjukkan keyakinan dan kepercayaan seseorang pada dogma-dogma sakral -spiritual dan religi, negatif. Keyakinan dan kepercayaan yang dimaksudkan disini bukan sekedar pengetahuan belaka tetapi lebih pada konsistensi dan komitmen dari sebuah pemahaman sakral. Sebab banyak manusia-manusia cerdas dengan pengetahuan tentang moralitas yang luas tetapi dalam praktek keseharian, mereka tidak memperlihatkan signifikasi dari pemahaman mereka, malah kemunafikannya saja yang nampak.
Sebuah bangsa yang menemui keruntuhannya juga tidak lepas dari moralitas. Kehancuran sebuah sistem kenegaraan pada hakekatnya juga bermula dari keroposnya moral yang ada didalamnya. Mental korup, kepribadian kolusif dan kebiasaan konco-koncoan adalah bagian dari moralitas yang berefek pada pengrusakan. Kerusakan yang ditimbulkannya pun tidak dalam skala kecil tetapi menyangkut sebuah sistem sosial, skala yang menyentuh hampir semua lapisan masyarakat. Krisis ekonomi misalnya (alasan populer untuk mengkritik) yang melanda negeri ini dan belum juga pulih. Jika ditelusuri ke akar permasalahannya maka kita akan menemukan moralitas merusak disana, moralitas yang menjadi slogan populer di era jatuhnya rezim Orde Baru; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kita telah banyak disodori fakta tentang betapa bobroknya perilaku orang-orang yang bertindak atas nama negara tetapi sejatinya menghancurkan negara.
Orang awam sering melemparkan pernyataan-pernyataan menggelitik seperti; “Katanya Indonesia banyak profesornya, banyak orang-orang pintarnya, ada ahli politiknya, ahli ekonominya dan macam-macam. Tetapi krisis dan kekacauan terjadi dimana-mana. Katanya kita punya tentara, punya polisi, punya jaksa dan hakim, buktinya kerusuhan berlanjut terus, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan setiap jam disiarkan televisi. Orang miskin makin melarat, orang kaya terus enak, tetapi kalau konglomerat atau keluarga pejabat dipenjara, biar saja. Susah kita maju karena yang kita pikirkan hanya perut saja; itupun perut sendiri bukan perut orang banyak. Kita orang miskin, anak-anak kita tidak bisa sekolah karena biaya sekolah mahal sekali. Lowongan pekerjaan hanya diisi orang-orang berijazah, akhirnya anak-anak kami terpaksa jadi penganggur, jadi preman, kalau bukan pengemis dan pengamen !”.
Pernyataan yang meskipun bernada awam ini, tetapi cukup memberi isyarat betapa moralitas busuk telah menjadi sumber petaka bagi sebuah sistem sosial secara menyeluruh, terkhusus pada elemen masyarakat bawah, yang secara struktural dan pengetahuan mengalami keterpinggiran begitu parah. Pesimisme yang tergambar dalam pernyataan awam itu, secara langsung atau tidak langsung merupakan bias dari sebuah kesalahan besar yang berlangsung secara sistemik bahkan menggejala sebagai sebuah budaya yang menyimpang, yang dilakukan orang-orang yang berada di pusat-pusat kekuasaan. Kesalahan pengelolaan negara (yang secara visioner diidealkan untuk kesejahteraan, keadilan dan kecerdasan masyarakat), tidak selalu sebagai kesalahan metodis, tetapi lebih sering dikarenakan oleh rusaknya moral aparatur negara. Kesalahan moral ini terkadang sangat sulit untuk disentuh oleh perangkat hukum, karena demikian abstraknya. Boro-boro menyebut yang abstrak, nyata sekalipun terkadang hukum tidak berkutik.
Ketika akhir-akhir ini fenomena pencalonan diri untuk menjadi anggota legislatif demikian marak, maka persoalan moralitas masing-masing calon legislatif akan mengalami ujian di medan politik. Morality capital yang dimiliki oleh calon, khususnya yang berkaitan dengan moral politik akan terdeteksi dan terukur oleh timbangan rasio publik atas apa yang mereka lakukan, dari sejak mereka menempuh mekanisme pencalonan diri dalam internal partai hingga mereka terpilih menjadi anggota lembaga legislatif. Calon legislatif dengan masa lalu yang buram secara moral baik dalam dunia politik maupun dalam kehidupan pada umumnya, sebaiknya secara moral pula mempertimbangkan diri untuk menjadi anggota legislatif. Karena watak yang telah mengakar dalam diri mereka itu hanya akan menambah beban bagi kondisi dan semakin mencemari iklim sosial yang telah buruk begini. Masyarakat telah menanggung beban politik, ekonomi, pendidikan dan hukum akibat buruknya moralitas mereka yang memegang otoritas kuasa, baik pada masa lalu maupun pada masa kini. Beban ini tidak hanya dirasakan secara fisikal tetapi juga merasuk secara psikologis dalam jiwa masyarakat.
Beberapa indikasi yang memberi data awal betapa miringnya moralitas calon legislatif, seperti kecenderungan memaksakan diri untuk merebut nomor jadi baik lewat jalan trans ekonomi-politik, maupun pengerahan massa untuk menekan dan perilaku-perilaku yang mencerminkan nafsu pada prestise dan kemewahan jabatan. Ini menunjukkan perilaku politik kita masih belum lepas dari krisis moral, sebab masih bertumpu pada hasrat kedudukan dan kekuasaan yang dibaliknya tersimpan harta dan wibawa. Hasrat ini sesungguhnya manusiawi, namun jika merebutnya dengan mengabaikan hukum-hukum moral-kemanusiaan, maka itulah yang tidak manusiawi. Publik yang tidak jeli akan realita ini, tetapi justru larut dalam dinamika kotor yang diciptakan oleh calon legislatif ini, maka inipun sebuah indikasi yang berbahaya. Karena secara umum akan menurunkan kualitas pemilu mendatang, mengingat sistem yang digunakan adalah pemilihan langsung. Akses publik secara langsung dan riil akan memberi pengaruh secara signifikan pada mutu pemilu yang akan diselenggarakan ini.
Kembali pada awal, bahwa moralitas adalah basis bagi kehancuran dan kebangkitan sebuah bangsa, maka seyogyanya isu moralitas menjadi agenda dari kampanye-kampanye yang dilakukan oleh partai yang terlibat pesta demokrasi kali ini. Moralitas seharusnya dijadikan isu sentral dalam suasana politik menuju pemilihan umum yang merupakan hajatan nasional. Keterlibatan publik secara maksimal, baik secara individual maupun berkelompok, harus mendesakkan kampanye moral ini hingga minimal bisa memberi stimulasi pada kesadaran kolektif tentang pentingnya sistem politik diisi oleh pigur-pigur politisi bersih (kalau tidak ingin menyebutnya suci) dan terbebas dari masa lalu yang kotor. Meskipun ini terasa sulit untuk dilakukan, sebab sistem politik kita terlanjur terjerembab dalam kubang nafsu kekuasaan duniawi, namun suka tidak suka masyarakat kita harus berani dan progresif untuk membentur tembok hitam politik itu dan membangun kebudayaan politik baru yang lebih memihak pada fitrah nurani manusia.

22 Januari 2004

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda