MEMBANGUN KAWASAN, MENGELOLA KEMISKINAN
Oleh Syafruddin Muhtamar
Menguatnya isu masyarakat warga atau civil society dalam dekade perubahan belakangan ini, memberi indikasi semakin meningkatnya peran aktif masyarakat dalam program pembangunan. Dimana pembangunan dalam beberapa hal tidak lagi dimonopoli birokrasi pemerintahan. Masyarakat telah terlibat secara luas, hal ini sebagai implementasi semangat partnership dan prinsip partisipatif. Namun demikian tidak serta-merta kebijakan pembangunan nasional, regional maupun lokal telah sepenuhnya berhasil, baik dari sisi ekonomi, politik apalagi sosial dan kebudayaan.
Realitas pembangunan yang diorientasikan pada laju pertumbuhan ekonomi pada periode-periode tertentu masa lalu – dan masih berlanjut hingga sekarang – cenderung menimbulkan ketimpangan. Karena manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat elit, sehingga menciptakan ruang kesenjangan sosial sangat lebar. Kondisi ini menyebabkan kemiskinan menjadi fenomena nyata sekaligus terselubung. Dan kemiskinan menjadi produk lain dari proses pembangunan yang bergerak menyimpang, baik karena penyimpangan paradigmatik maupun kesalahan fatal pengelolaan.
Masyarakat menyadari bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi selama ini ternyata semu. Malah menyisahkan pelik persoalan yang sulit teratasi seperti korupsi, praktek oligopoli dan mental interdependensi masyarakat golongan rendah. Ini semua adalah akibat praktek tata pemerintahan yang buruk (bad governance) birokrasi pembangunan yang kemudian menjalar menjadi lingkaran setan dalam sebuah sistem dan jaringan. Masalah ini sungguh pelik dan terus saja membelit pelaku-pelaku dan proses perubahan di negeri ini. Sehingga secara kritis - ideal, sulit kita menemukan indikator-indikator keberhasilan perubahan memadai dalam kehidupan masyarakat. Selain taburan angka-angka statistik tentang kemiskinan yang kita temukan dalam beragam perspektif pada semua kawasan nasional.
SKS (Sistem Keterjaminan Sosial)
Semua proses pembangunan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, pada dasarnya menjadikan fenomena kemiskinan sebagai hal yang diusahakan minimalisasinya, bahkan jika mungkin dihilangkan sama sekali. Kenyataannya, kemiskinan tetap melekat sebagai bagian tak terpisah dari kehidupan manusia. Hal ini secara alamiah menjadi tantangan pemikiran dan praksis dalam inisiatif-inisiatif penanggulangan dan penanganannya. Problem kemiskinan senantiasa membutuhkan ide dan kerja keras yang panjang – komprehensif, integral, berkelanjutan – sebab kemiskinan penuh kompleksitas dengan beraneka variabel mempengaruhinya.
Di Indonesia kita mengenal beberapa bentuk program pemerintah berkenaan penanganan kemiskinan. Program-program itu terkait dengan ragam bidang kehidupan masyarakat. Keragaman model dan sisitem program tersebut adalah usaha penyesuaian-penyesuaian atas problem dan karakteristik kemiskinan yang dihadapi. Dalam bidang sosial misalnya, ada sistem ketahanan sosial, yang merupakan pemikiran alternatif program pasca program jaring pengaman sosial (JPS). Exit strategy pasca – JPS, juga pemikiran alternatif dari JPS, baik dibidang pendidikan, kesehatan dan sosial.
Dibidang pertanian, program itu dikenal dengan sebutan-sebutan seperti sistem keamanan pangan dan sistem ketahanan pangan. Bahkan sejak 1980-an dibidang kesehatan telah dikembangkan sistem kewaspadaan gizi (SKG), sistem isyarat dini dan intervensi (SIDI), disusul sistem ketahanan pangan dan gizi (SKPG). Seiring dikembangkannya ragam indikator kemiskinan, dalam bidang ekonomi tercetus revolving fun atau program bantuan dana bergulir seperti IDT, bantuan langsung masyarakat (BLM) atau dana pinjaman kredit.
Pemikiran paling mutakhir tentang penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan adalah apa yang dikajikembangkan oleh Center for Regional Resource Development and Community Empowerment (CRESCENT) sebagai model sistem keterjaminan sosial (SKS). Model ini merupakan penyempurnaan dan pengembangan program-program sebelumnya agar lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Merubah kecenderungan program yang bersifat temporer, relatif dan kreatif ke arah sistem keterjaminan sosial terpadu yang preventif, proaktif dan berjangka panjang (long term sustainability).
Komponen utama dalam SKS adalah : (1) Berkembangnya sistem ketahanan sosial lokal, (2) Ketersediaan dana segar dan mandiri bagi masyarakat secara berkelanjutan di tingkat lokal, (3) mekanisme internal penanggulangan dampak kemiskinan dan ketidakberdayaan, (4) Integrasi pembangunan ekonomi lokal-nasional, terutama sistem pendidikan non formal – penyuluhan – bagi masyarakat dan (5) Sistem pemerintahan yang bersih – good governance – disertai kontrol sosial dan hukum yang berlaku efektif dan konsisten (Crescent, 2003).
Secara umum dijelaskan bahwa, sistem ini berorientasi pada pengembangan dua kondisi utama, yakni pengembangan pola ekonomi produktif dan pengembangan pola hibah. Hal ini berdasarkan realitas masyarakat, dimana golongan masyarakat miskin memiliki ketidakmapanan mendapatkan aset untuk usaha produktif, meskipun secara mental dan fisik mereka mampu bekerja dan berusaha meraih kesempatan kerja. Dan golongan masyarakat tak berdaya, baik secara ekonomi, fisik dan mental sehingga tidak mampu berusaha produktif. Kelompok terakhir ini disebut juga the poorest of the poor, sehingga tepat mendapat bantuan hibah berupa bantuan kesehatan, perawatan mental, dana riil beasiswa dan lain-lain.
Peran Pemerintah Daerah
Pemerintahan di kawasan lokal dan regional dengan sendirinya menjadi lingkungan strategi penanggulangan kemiskinan nasional. Peran pemerintah daerah menjadi sangat penting saat kewenangannya diperluas oleh pemerintah pusat untuk membangun daerahnya secara mandiri. Membangun menurut kondisi, inisiatif dan partisipasi masyarakat lokal.
Inklud dalam semangat dan tujuan otonomi daerah tersebut adalah seperti penciptaan politik demokratis, menciptakan sistem yang menjamin pemerataan dan keadilan, memungkinkan setiap daerah menggali potensi natural dan kulturalnya untuk menghadapi tantangan masa depan. Termasuk penerapan model penanganan kemiskinan yang menjamin kontinuitas kemandirian masyarakat golongan miskin dan kelompok tak berdaya.
Dalam model SKS, beberapa komponen utamanya memberi peluang pemerintah daerah untuk terlibat sebagai fasilitator penting. Dalam pengembangan pola ekonomi produktif misalnya, pemerintah daerah bertanggung jawab mengembangkan kondisi fasilitas sedemikian rupa sehingga iklim usaha kecil dan mikro berkembang sehat. Oleh sebab itu, pengembangan inovasi usaha oleh instansi sektoral adalah langkah tepat.
Pemerintah dalam sistem ini harus bertindak dalam prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterwakilan, integritas, solidaritas dan keberpihakan. Prinsip good governance merupakan salah satu penjamin moral keberhasilan penanggulangan kemiskinan dalam model sistem keterjaminan sosial ini. Prinsip-prinsip tersebut maksimal harus dijadikan nilai dasar oleh pemerintahan di daerah dalam pembangunan kawasannya sekaligus dalam proses pengelolaan problem kemiskinan yang dihadapi.
Sebab pada umumnya kemiskinan dalam masyarakat disebabkan oleh keserakahan sistem kekuasaan yang telah berlangsung lama. Keserakahan dibidang ekonomi, ketidakadilan dalam bidang politik, sosial dan hukum, ketidakmanusiaan sistem budaya dan sosial adalah sumber potensial berkembangsuburnya kemiskinan. Karenanya praktek-praktek tata pemerintahan yang baik di daerah harus memperhatikan mereka yang paling miskin marginal dalam program pembangunan. Ini urgen dalam mengangkat derajat sebuah golongan. Golongan yang telah dan senantiasa menjadi tumbal kerakusan sebuah jalinan kekuasaan yang korup.
Makassar, 2 Desember 2005
Label: Pembangunan dan Perubahan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda