PEMILU SEBAGAI AGENDA KEBUDAYAAN
Oleh Syafruddin Muhtamar
Setelah negara kita resmi secara politis memasuki tahap moderen dengan mengadakan pemilu pertama tahun 1955, sejak itulah kesadaran kolektif kita sebagai sebuah bangsa seharusnya menyadari jika prosesi politik itu merupakan sebuah prosesi budaya. Namun tidaklah mudah memutar memori kolektif masyarakat tentang apa yang dilakukannya, sebab semangat yang melingkupi kegiatan tersebut adalah semangat politik. Alih-alih menempelinya dengan predikat budaya, prosesi lima tahunan itu terus berlangsung dalam dinamika yang kental fenomena politiknya. Juga sedemikian masyarakat larut dalam pesta politik itu, terkadang keterlibatannya hanya sekedar refleksi dari sikap eforia saja; bahwa pemilu adalah agenda negara yang harus disukseskan.
Pemilu dalam terminologi politik lebih dipahami sebagai suatu cara yang melembaga dari serangkaian peristiwa dan perilaku politik dalam masyarakat yang terpercaya secara hukum dan konstitusi. Pemilu ini dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dalam sistem politik moderen, pemilu biasanya diadakan dalam waktu-waktu tertentu. Masyarakat moderen yang disebut-sebut menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, dengan sendirinya pemilu dianggap sebagai peristiwa politik yang prinsipil dan merupakan hak asasi dari warga negara. Oleh sebab itu dalam upaya pelaksanaan hak asasi itu, adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Selain mengagungkan HAM, masyarakat moderen juga sangat mendewakan demokrasi. Karena itu salah satu asas negara moderen adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Prinsip inipun berlaku dalam hajatan politik masyarakat moderen yang disebut pemilu. Rakyatlah yang paling berhak memilih dan menentukan pemimpin mereka sendiri. Dan pemilu adalah sistem dimana aspirasi dan keinginan itu diinstitusionalisasi untuk memproses pengangkatan seorang pemimpin bangsa atau negara. Adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan pada nilai-nilai HAM, jika pemerintah tidak mengadakan pemilu, termasuk pengingkaran terhadap sistem kehidupan masyarakat moderen.
Dengan demikian pemilu adalah hak politik warga negara yang mendasar bagi masyarakat moderen. Tidak mengherankan jika semangat politik dalam prosesi pemilu sangat menonjol. Dalam hal-hal tertentu, pemilu menjadi ajang perebutan kekuasaan bagi kelompok-kelompok dan orang-orang tertentu. Betapa tidak, momentum pemilu hanya berlangsung sekali dalam jangka waktu tertentu yang panjang, sebuah periode kekuasaan yang bisa dimanfaatkan untuk merenggut keuntungan. Berkuasa misalnya selama lima tahun, cukup untuk merebut potensi-potensi kekuasaan untuk berkuasa kembali selama lima tahun berikutnya. Spirit politik untuk berkuasa inilah yang sering mewarnai prosesi pemilu dihampir setiap negara moderen. Dan menjadi lumrah kekuasaan di negara-negara moderen cenderung menyimpang, sebab begitu banyaknya jaringan kepentingan yang menyokong kekuasaan tersebut. Terdapat nafsu yang sulit terkendalikan jika seseorang menduduki jabatan politik, apalagi jika kewenangannya begitu luas misalnya dalam skop negara. Hasrat untuk memiliki lebih dari apa yang telah ada, baik pada hal-hal yang bersifat kebendaan maupun yang berdimensi kejiwaan.
Dalam negara-negara yang telah kehilangan jiwa religius kebangsaannya, pemilu terkadang lebih disesaki oleh perilaku-perilaku politik yang mencerminkan hasrat untuk berkuasa. Ketimbang keinginan untuk secara ikhlas menjadi pelayan masyarakat. Fenomena politik untuk kekuasaan dalam pemahamannya yang negatif sering lebih menonjol dalam pemilu di negara yang telah tercerabut jati diri budayanya. Kualitas pemilu dalam konteks seperti itu selayaknya dinilai rendah, sebab energi politik yang dikerahkan lebih diarahkan untuk kekuasaan yang menyimpang. Masyarakat atau seluruh komponen bangsa terlibat dalam suatu prosesi politik yang tidak sehat, meskipun dalam negara yang dianggap sehat kehidupan demokrasinya sekalipun. Meskipun para pakar sering menyarankan untuk dikembangkannya budaya politik dalam setiap even-even politik yang diselenggarakan oleh negara. Namun terkadang saran seperti politik-moral, politik-etis dan hal-hal yang merujuk pada nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti kejujuran, keadilan, kerendahatian dan lain-lain, hanya terbentur tembok. Perilaku politisi dan para individu-individu yang diberi kompetensi oleh rakyat dalam pemilu tetap saja menjadikan jabatan, kekayaan dan penghargaan politis sebagai orientasi.
Artinya ketika pemilu sekedar dijadikan sebagai agenda politik semata, maka asumsi dasar dari keseluruhan peserta pemilu adalah keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk banyak uang dan keinginan-keinginan manusiawi lainnya yang bersifat partikular. Sehingga kepentingan besar yang esensial menjadi terbengkalai. Tidak jarang masa akhir sebuah kekuasaan hanya menyisakan masalah dan meninggalkan jejak-jejak kesengsaraan akut bagi rakyatnya sendiri. Dalam rentang waktu yang panjang, masyarakat kemudian terdidik untuk memahami politik sebagai kekuasaan; sebagai strategi untuk merebut jabatan; proses rekayasa dalam sebuah kompetisi politis untuk perebutan prestise; bahkan mungkin yang lebih parah, politik dimengerti sebagai trik untuk menguasai kehidupan. Sedemikian mirisnya jika pemilu semata-mata dimaknai sebagai peristiwa politik, karena secara langsung ia akan kehilangan makna kebudayaannya. Kehilangan makna kebudayaan dalam peristiwa-peristiwa politik seperti pemilu berarti politik bergerak sendiri tanpa nilai universal yang menyertainya. Penyimpangan dengan demikian menjadi wajar saja dalam perhelatan politik masyarakat itu.
Adalah sebuah kekeliruan mendasar jika pemilu yang sering disebut sebagai pesta rakyat atau pesta demokrasi itu, dilepaskan begitu saja dari frame kebudayaan. Artinya kebudayaan tidak berperan secara aktif dalam kegiatan politik itu. Membatasi ruang gerak kebudayaan dalam aktivitas politik pemilu, sesungguhnya juga membuat kegiatan politik pemilu itu kering dari sebuah nuansa estetika-moral-etis. Kebudayaan yang berorientasi pada pemanusiaan kehidupan dan sejarah, sangat mungkin untuk memberi sumbangsih besar terhadap kebiasaan demokrasi yang dinamakan pemilu itu. Bahwa pemilu tidak lagi sekedar sebuah perhelatan politis antar masyarakat, kelompok, orang-perorang dan kepentingan yang beragam. Namun pemilu telah sedemikian rupa mereduksi diri dalam bentuk perilaku kebudayaan; politik yang ada didalamnya akan lebih peka terhadap nilai kemanusiaan, kesemestaan bahkan mungkin keilahiyaan.
Mengingat bangsa kita adalah bangsa yang didalamnya terhimpun pulau-pulau budaya, bangsa yang akar kulturalnya adalah Tradisi. Dengan demikian kaya akan nilai-nilai kebudayaan yang tinggi. Nilai-nilai kebudayaan inilah kemudian yang harus dijadikan modal sosial bagi seluruh aktivitas politik yang berdenyut didalam tubuh yang disebut negara. Nilai-nilai kebudayaan itu harus menjadi muatan dalam kegiatan politik dalam pemilu, karena itu pemilu seharusnya tidak hanya diagendakan secara politik oleh negara tetapi seyogyanya diagendakan secara kultural oleh bangsa ini. Pemilu sebagai agenda kebudayaan akan lebih memperkaya batin sosial dari perilaku-perilaku politik yang bekerja dalam sejarah negeri ini.
17 Januari 2004
Label: Dunia kebudayaan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda