Revolusi dan Masyarakat Yang Sakit
Oleh Syafruddin Muhtamar
Tidak ada yang paling mengagetkan publik dalam proses pesta demokrasi langsung yang untuk kedua kalinya kita gelar di negeri ini, selain suara gemuruh ledakan bom di dua hotel mewah di Jakarta. Seketika denyut nadi kehidupan sosial kita terhenti sejenak, dihentak kejutan tak terduga dari sebuah peristiwa yang melawan rasa kemanusiaan. Kegiatan terorisme begitu kita menyebutnya. Kurang lebih empat tahun kehidupan berbangsa dan bernegara kita berjalan dalam iramanya yang dinamis tanpa ganguan tangan-tangan teroris yang mengerikan. Namun menjelang hajatan besar politik demokrasi yang kita gelar akan memperlihatkan hasilnya secara konstitutif lewat pengumuman KPU, mengenai siapa yang akan memimpin bangsa besar ini lima tahun kedepan. Tak dinyana, dinamika sosial dan politik kita mengalami dentuman keras teror dari orang tak bertanggungjawab. Tentu peristiwa itu mengundang simpati duka yang mendalam dari berbagai lapisan masyarakat bangsa.
Dan adalah pernyatan presiden Susilo Bambang Yudonono atas tragedi kemanusiaan tersebut, tak kalah menghentakkan publik ketika menyebut kata ‘Revolusi’ dalam salah satu deretan pada serangkaian panjang pernyataan beliau tentang ‘hal’ dibalik aksi teror di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton. Bapak presiden menyampaikan bahwa “ …. diketahui ada rencana untuk melakukan kekerasan dan tindakan melawan hukum berkaitan dengan hasil pemilu. Ada pula rencana untuk pendudukan paksa KPU, pada saat nanti hasil pemungutan suara diumumkan. Ada pernyataan, akan ada REVOLUSI jika SBY menang.” Pernyataan resmi presiden inipun menuai ragam tanggapan dari berbagai kalangan.
Dalam prediksi awam kita, kata revolusi dalam dikaitkan dengan peristiwa teror bom tersebut, adalah bahwa bakal terjadi suatu peristiwa yang lebih besar dan mungkin dalam suasana yang lebih mencekam pasca ledakan bom tersebut, yakni sebuah gerakan revolusi. Dalam benak historis pengetahuan kita, peristiwa revolusi itu adalah kejadian dahsyat dalam konteks politik kekuasaan yang menggerakkan seluruh energi sosial dalam melakukan perubahan fundamental pada seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa. Sebagaimana banyak peristiwa revolusi yang terjadi dalam sejarah politik klasik maupun modern masyarakat manusia. Peristiwa revlolusi dalam banyak fakta senantiasa bergandengan tangan dengan ceceran darah karena selalu menghendaki kematian manusia yang mencegangkan dan juga bergerak dalam rentang waktu yang panjang. Dalam sedikit fakta, revolusi terkadang bersanding mesrah dengan cinta kasih, tidak ada korban dan kekacauan yang berarti, semua berjalan dengan santun tanpa kebencian dan dendam.
Rasa terhentak kita sesunguhnya bukalah pada apakah revolusi yang dimanksud itu bakal terjadi atau tidak, namun lebih pada sebuah spektrum teror yang menyebar luas merasuk dalam benak psikis kita, bahwa ‘akan terjadi peristiwa lagi yang lebih besar dampak dalam kehidupan masyarakat, selain teror bom tersebut’. Sebuah peristiwa yang juga tidak masyarakat bisa duga, karena hanya aparat itelejen saja yang mungkin tahu. Teror bom yang memilukan perasaan kemanusiaan dan memicu rasa takut dan was-was bagi kita, kini spektrumnya telah meluas karena suatu ‘pediksi’ dari fakta-fakta intelejen yang diperoleh. Artinnya rasa takut dari kewaspadaan yang timbul seketika karena siyalemen dari kemungkinan terjadinya ‘Revolusi’ dinegeri ini mulai tertancap dalam psiko-publik, yang oleh karenanya publik selalu dalam rasa ketidakmenentuan akan situasi-situasi yang akan datang, khususnya menyangkut jalanya kehidupan politik dan keamanan serta kenyamanan sosial dan ekonomi.
Sulit membayangkan apa yang ada dalam benak Bapak presiden mengenai gambaran, makna dan bentuk revolusi yang disinyalemen akan terjadi ketika menyebutkan kalimat Akan ada revolusi jika SBY menang. Apakah revolusi yang dimaksud adalah sebagaimana teori umum yang kita fahami, yakni suatu perubahan sosial yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Dimana ukuran kecepatan perubahannya bersifat relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Atau yang dibayangkan Bapak presiden adalah suatu gerakan pemberontakan politik untuk merebut kekuasaan atau membuat keonaran dan meronrong kekuasaan yang sah dengan cara kekerasan. Pemberontakan dari segelintir kelompok yang dianggap kecewa atas hasil dari pesta demokrasi yang telah digelar tersebut.
Tidak ada yang secara pasti bisa menebak gambaran revolusi apa yang ada dalam benak predisen. Masyarakat tetap dalam kegelapan pemahaman mengenai peristiwa apa lagi yang akan terjadi pacsa ledakan bom kedua JW Marriot dan Ritz Carlton. Pernyataan resmi Bapak presiden yang disampaikan di depan istana itu telah menyisahkan bayang-banyang ketidakmengertian publik pada waktu-waktu akan datang pasca pemilu 2009 ini. Dan revolusi, mungkinkan?
Rasanya sulit membayangkan adanya revolusi di tanah air dalam pengertian yang sejati. Revolusi sebagaimana dalam kenyatannya selalu meghendaki prasyarat-prasyarat tertentu yang tidak hanya bersifat alamiah tetapi terlebih lagi sosiologis. Kalau sekedar bahwa elemen-elemen politik terentu bergerak dalam aksi-aksi terencana dalam sekala besar, belumlah tentu itu adalah syarat yang dikehendaki oleh revolusi. Hanya jika kemudian gerakan aksi demonstratif besar itu tidak terkendali maka akan berekses pada suatu bentuk chaos yang mungkin saja bakal meluas. Namun juga mungkin kesalahan jika kita menyebutnya suatu gerakan permulaan dari revolusi. Padahal hanyalah dampak sesaat dari suatu aksi yang memang direncanakan dan dirancang untuk menimbulkan kekacauan saja dalam masyarakat.
Alasan paling mendasar mengapa sulit membayangkan terjadinya revolusi dalam arti yang sebenarnya di tanah air adalah mind set kita. Setting pemikiran mayoritas masyarakat kita adalah hidup untuk makan. Tidak ada harapan bagi perubahan mendasar atau revolusi dari pola pikir dimana hidup hanya diorentasikan pada kepentingan perut semata. Revolusi harus berpijak pada mind set yang melampaui orientasi kemehawan duniawi tetapi menembus kewilayah yang kebersahajaannya bersifat spritual. Entah, apakah karena negara kita adalah negara berkategori berkembang atau terkebelakang sehingga setiap kita, oleh sistem yang dibangun pemerintah, masyarakat diorientasikan untuk dominan sejahtera secara ekonomi. Tak heran jika kemudian kita lebih menyukai hidup dalam sangkar emas pembangunan ketimbang memilih berjuang dalam kebebasan untuk hidup mandiri menjadi suatu bangsa besar yang kuat dari dalam dan disegani di luar.
Dalam konteks mind set seperti itu sesungguhnya masyarakat kita dalam keadaan sakit. Tidak banyak perubahan subtansial yang bisa diharapkan dari kesadaran masyarakat dengan model demikian ini. Perkembangan kebudayaan manusia takkan terjadi jika individu hanya terlibat dalam perjuangan untuk mengisi perut pada tingkat subsistensi semata, demikian ujar Ibnu Khaldhun. Mental kita lebih suka dimanja ketimbang survival menentukan nasib sendiri. Jadi adakah mungkin revolusi yang dapat terjadi ditengah kondisi kongnisi sosial semacam ini? Perubahan yang diinginkan masyarakat kita bukanlah yang bersifat revolusioner dalam pahamannya yang dalam, tetapi petumbuhan berkala dalam segala bidang terutama bidang kesejahteraan ekonomi yang direncanakan oleh pemerinahan yang sah. Bukan dari suatu sistem kekuatan yang bergerak liar di luar kesadaran masyarakat yang dominan.
Mayoritas kesadaran masyarakat kita telah dikristalkan dalam simbolitas kepemimpinan pada hasil setiap pemilu, khusunya pemilu pasca orde baru. Pemimpin yang terpilih adalah wujud keinginan dan kehendak mayoritas masyarakat dalam standar nilai demokrasi. Dan pastilah bahwa perubahan yang dikehendaki oleh pemerintah terpilih juga pasti harus sangat diinginkan oleh masyarakat. Maka jika pemerintah tidak menghendaki terjadinya revolusi, pastilah tidak akan ada revolusi, sebab cakrwala kita dalam pemilu saat ini setelah Quick Count menunjuk pemenang presiden dan wakil presiden dan setalah perhitungan resmi oleh KPU adalah masyarakakat adalah apa kata pemimpinnya. Sebab mereka telah memberikan keperjacayaan dan amanahnya untuk dipimpin.
Jadi masikah akan ada revolusi setelah teror di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton. Ataukah pernyataan resmi Bapak presiden tersebut hanyalah suatu segi dari seni berpolitik dalam kekuasaan. Bahwa mungkin ada kenikmatan tersendiri ketika dominasi yang ada, kita tegakkan setinggi-tingginya dihadapan para kompetitor politik kita. Dan pada saat yang sama kita merangkul perasaan masyarakat untuk bersama-sama menghadapi tantangan-tantangan besar yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini. Sehingga yang terjadi adalah kita menciptakan bayang-bayang ketakutan kita sendiri untuk kita perangi bersama-sama sembari mengendalikan arah sejarah dengan sedikit tebaran pesona kengerian.
Label: Politik
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda