Selasa, 06 September 2022

CERITA INDAH DI KAHAYYA

Oleh: Syafruddin Muhtamar

Rasanya seperti sebuah kekagetan: menempuh perjalanan 40 km menuju Barat. Ke arah kaki gunung terbesar jazirah Sulawesi Selatan. Gunung Lompobattang yang berhimpit sisi gunung Bawakaraeng.






Menelusuri jalan berkelok-kelok. Jalanan seperti ular meliuk melingkar di pinggul gunung nan seksi. Terus menanjak, dan kadang-kadang landai di dataran pendek.

Menuju Kahayya untuk pertama kali. Perjalanan penuh rasa penasaran dan letupan-letupan ketakterdugaan. Menuju sebuah wilayah pegunungan tersembunyi. Jauh dari hiruk-pikuk kota yang riuh.









Penduduk desa yang ramah dan murah senyum. Hamparan sawah padi sedang menguning. Hutan-hutan pohon cengkeh, penuh bunga buah. Bentangan langit biru diatas alam berwarna hijau. Anak-anak sungai menempel di dinding-dinding bukit. Rasanya seperti pagar bidadari, menyambut langkah perjalanan di setiap perlintasan. 

Tak ketinggalan, hembusan angin gunung, menyempurnakannya dengan kesejukan yang lembut. Hutan-hutan bambu membawa desiran angin, menerpa wajah dan membuatnya bahagia.















Di kaki gunung Lompobattang yang bersisian gunung Bawakaraeng, di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,  dusun Kahayya mendekam diri: menyembunyikan keindahan wajahnya dari kejauhan. Posisinya berada di ketinggian 1400 dari permukaan laut. 

Didiami lebih dari seribu jiwa. Penduduk umumnya  berkebun kopi, sebagian menanam cengkeh, dan sebagian yang lain bertani sayur. Buah kopi adalah produk paling khas di wilayah Kahayya. 

















Menelusuri jalan menuju Kahayya, serasa sebuah perjalanan ke 'relung' bumi. Mungkin karena ini yang pertama kali. Hampir lebih satu dekade, tempat ini 'viral' dipublik. Namun, baru kali ini saya mengetahuinya. Kaum milenial yang gaul didunia maya, mungkin akan berkata, "kemana aje lu". hh..

Secara tidak sengaja, ketika berjumpa saudara ,yang juga datang berlibur mengujungi orang tua, bercerita mengenai kopi. Dia termasuk pengganderung minuman hitam-pahit ini. Menyebut tentang kopi Kahayya. Spontan, dia mengajak menikmati dan membeli kopi itu langsung ke tempat asalnya.

Keberadaan tempat asalnya, ada di sisi gunung tinggi. Dalam rengkuhan Lompobattang dan Bawakaraeng,  Kahayya seperti 'anak pingit' yang 'manja' dalam pelukkan Gunung berapi, yang tidak aktiv. 



Tiba di Kahayya, disambut insiden kecil. Ban belakang si roda dua yang ditunggangi, terseok dirumput licin. Bodi motor menyosor ke kanan, lalu membuang dirinya ditanah berlumut. Si kuda besi itu seperti lelah dan ingin rehat segera. 

Di perjalanan, berjumpa pengunjung lain yang hendak ke Kahayya. Uztad Syarif namanya, kami berkenalan. Sama-sama mengagumi keindahan Kahayya. Beliau berujar, "Ini baru di dunia, bagaimana nanti di Akhirat". 















"Mengerikan jika kita jatuh disini", lanjutnya. Beliau mengagumi ketinggian gunung dan membayangkan bahayanya. Jika orang jatuh bakal tidak hidup. Ini baru di dunia. "Bagaimana jika di akhirat, jatuh ke neraka lebih mengerikan lagi" tambahnya.

Sungguh luar biasa. Ada yang selalu mengikatNya melalui Bahaya murkaNya. Juga ada yang senantiasa mengingatNya, melalui Keindahan cinta dan kasih sayangNya. 

Terlintas tiba-tiba dibenak, al-Quran berkata: kemanapun engkau hadapkan wajah, di situlah wajah Allah. 
















Tiba di puncak Kahayya, di teras Donggia, saya menemukan 'alam mulia' dari wajahNya. Saya tidak ingin melewatkan tanpa zikir. Azanlah kemudian berlantun menelusur lembah-lembah di bawah Kahiyyah. 

Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah, firmanNya dalam kitab suci. Azan adalah tanda ibadah yang selalu segera harus dimulai. 

Alam semesta adalah tajalliNya (penampakanNya), maka siapa yang buta di dunia, dia juga tidak akan melihat diakhirat, kata para ahli hikmah.

Keheningan, ketinggian dan kesenyapan Kahayya dalam rupanya yang Indah, hanyalah simbol: bahwa manusia harus jauh dari hiruk pikuk duniawi agar bisa dekat dengan ketenangan ukhrawi.














Sunyi senyap alam, ibarat lorong 'tersebembunyi' untuk mengenali yang Sejati. Keindahan fisiknya, hanyalah fatarmorgana. Hanya dari jauh nampak cantik, dari dekat pesonanya lenyap. 

Menikmati keindahan Sejati, harus bisa berpisah dari yang fatamorgana. 

Seperti ketika menyeruput kopi Kahayya di teras Donggia. Nikmatnya menghapus dahaga perjalanan yang meletihkan. Derita perjalanan berubah bahagia di puncak bukit Donggia.
















Indah, nama yang meluncur dari bibir seorang gadis di depan kedai kopi.Ia memperkanlan diri sebagai pengelola tempat wisata Teras Donggia. Berbasa basi sejenak di pertemuan awal. Kami lalu memesan kopi khas dusun Kahayya. 

Sekarang menjadi lazim dalam merek produk dengan nama kopi Kahayya.

Nongkrong santai sambil ngopi. Panas kopi begitu cepat menghilang di udara dingin pegunungan.  Kopi hangat hanya dapat diseruput sesaat lamanya. Menikmati alam pegunungan asri, sambil becengkarama dengan saudara, yang datang dari jauh. 

Pertemuan yang hanya kapan-kapan waktu terjadi. Karena kami terpisah jarak tinggal yang berlintas selat Makassar. Suasana terasa sangat intens.



Indah bertutur banyak tentang tempat wisata yang dikelolanya. Dari banyak cerita Indah tentang Kahayya dan Donggia, yang menarik adalah historia tempat yang indah nan sejuk ini. 

Menurut Indah, tempat kaki berpijak ini, masih berkait dengan kisah-kisa orang tua dahulu kala di Donggia. Donggia sendiri menurutnya adalah batu di tempat paling tinggi, atau berada di atas ketinggian. Indah menunjukkan keberadaan batu bersejarah itu. Dan menceritakan fenomena mistis yang sering terjadi disekitarnya.

















Dari cerita Indah tentang batu tersebut, saya menemukan semacam lorong menuju masa silam. Masa ketika agama belum sesempurna sekarang (Islam agama yang sempurna dan di ridhoiNya). Batu itu kemungkinannya adalah 'tempat penyembahan' penganut animisme zaman lampau. 

Dimasa silam, manusia sudah meyakini adanya 'kekuatan maha Kuasa yang Gaib'. Dalam masyarakat Sulawei Selatan, dikenal keyakinan lampau dalam Attoriolong, yang berisi keyakinan spritual. Baik dalam corak Hindusime/Budhisme ataupun agama Tradisi. 



Di Donggia, Indah menyebut, "Di sini dulu ada semacam bangunan yang berbentuk Candi". "Sebagian masyarakat, terkadang masih sering datang ke sini dengan sesajen-sesajenan", lanjutnya. 

"Di Bali", tanggap saya, "keyakinan Tradisi mereka sudah menjadi way of life, keseharian mereka adalah ibadah penyembahan. Itulah mengapa Tradisi Bali tetap langgeng sampai sekarang. Tetapi oleh pemerintah, kehidupan mereka dijadikan sebagai obyek wisata", sambung saya.



Hampir semua wilayah Nusantara tersambung dengan kehidupan Tradisi. Sebagian kecil masih hidup dan sebagiannya lagi kini tinggal kenangan dalam wujud artefak-artefak. 

Tetapi di Kahayya, dengan teras Donggia-nya, keindahan alam menyapa ramah. Mengayun asa pengunjung seperti awan, yang mengambang di udara. Sepeti sebuah mimpi indah, yang entah datangnya darimana. 



Di Kahayya TanganNya Melambai
memandang sisi lain

Ada desir angin, melewati selah-selah gunung.
Singgah, dan hanya sebentar di dahan. 
Menyapa seekor burung yang mematung.
Angin dingin datang menyelimuti dengan lembut hampar padang rerumputan. 
Sangat lambat tetapi pasti.

Ada jeram mengalir deras, gemuruhnya mengetarkan jiwa.
Airnya tidak singgah dimanapun. Hanya menerjang dengan perkasa, bebatuan hitam yang berdiri menghadang. 
Ia ingin segera mengairi sawah dan kebun petani.

Gunung-gunung menjulang tinggi.
Menyembunyikan kepala dalam selimut tebal gumpalan awan putih.
Menempel sangat rapat, seperti sedang melindungi rahasia dan misteri.

Alam ada untuk manusia.
Manfaatnya menghidupkan.
Keindahannya, penghiburan bagi pandangan.
Rahasianya, pengetahuan bagi hati yang mencariNya.

Kata para Shalihin: ketahuilah diriNya melalui alam ciptaanNya.
Jika engkau memandang keindahan alamNya, maka ketahuilah Dia sedang melambaikan Tangan.
Maka pujilah Ia yang maha terpuji, agar hatimu dipenuhi rinduNya.

SM. 6/9/2022.



# Kredit Foto: Saifullah Muhtamar














0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda