Menanti Al-Mahdi di Jalan Naqsyabandi
Layaknya dalam kisah percintaan klasik. Qais terpisah dari kekasihnya Laila, menjadi majenun. Lalu memilih puncak bukit dekat rumah Laila, disebuah gubuk. Didekatnya mengalir anak-anak sungai melitasi rumah Laila. Pada air sungai, Qais berkisah tentang kepedihan berpisah. Berharap air yang mengalir itu, menyampaikan rindunya kepada Laila, agar dapat berjumpa.
Laila telah membuatnya majenun. Hanya Laila mengobat kemajenunan Qais, sang pecinta sejati. Terpisah dari kekasih, dan menangung derita penantian adalah takdir bagi pencinta pada kekasih Sejati.
Di abad ke 10 M, Muhammad al-Mustafah SAW adalah kekasih yang dinanti. Para pencintanya menempuh jalan kerinduan sangat panjang dan meletihkan. Sejak kabar kedatangannya, disampaikan oleh Nabi Isa AS di Abad 1 M. Kerinduan itu menempuh waktu 1000 tahun untuk sampai pada sang Kekasih.
Yang menanti dan tidak berjumpa, karena usia yang tidak mungkin, ketulusannya menunggu akan disamakan dengan kebahagiaan perjumpaan. Keberuntungannya sama dengan yang sampai masa kedatangan dan berjumpa sang pembawa cahaya, Nabi SAW. Penutup para Nabi.
Menunggu dan mengharapkan kedatangan utusanNya dengan cinta dan rindu adalah usaha yang diberkahi. Adalah Sayyidina Salman al-Farisi menempuh jalan terjal untuk dapat menemui sang utusan. Hingga harus diperjualbelikan sebagai budak demi untuk sampai di tempat, dimana ada kabar keberadaan Nabi SAW.
Dan di kota suci Madina Ia bertemu dengan mahluk Tuhan paling mulia itu. Di hadapannya Ia mengucap syhadat dan melepas keyakinan lamanya sebagai Majusi dan Kristen. Pencariannya berbuah berkah, Sayyidina Salman al-Farisi kemudian menjadi salah satu sahabat utama Rasulullah SAW.
Dan kekasihnya itu, memberi padanya gelar sebagai: imam, bendera dari bendera-bendera, sang pewaris Islam, hakim yang bijaksana, ulama yang alim dan mejadi ahlulbait Nabi SAW. Sang utusan, memberkahinya dengan kemuliaan itu, karena jalan pencariannya yang berat menuju Kebenaran Sejati.
Sayyidina Salman al-Farisi adalah salah seorang dari jalur utama silsilah keemasan tariqah Naqsyabandiyah. Persis dibawah Sayyidina Abu Bakar ass-Shiddiq. Beliau menjadi salah satu simpul utama spritualisme di jalan Naqsyabandi.
Ketinggian posisi rohaninya disisi Rassullulah SAW dan dihadirat ALLAH SWT, memberi inspirasi rohani bagi para pencinta utusanNya di jalan ini. Naqsyabandi adalah sebuah jalan. Jalan kerohanian Islam.
Nama jalan ini diambil dari salah seorang tokoh yang mengikuti ‘jalan lurus’ spritualisme Islam, Muhammad Baha’uddin Syah Naqsyaband. Jalan yang diperolehnya melalui guru-guru mulia yang tersambung kepada Sayyidina Abu Bakar ass-Shiddiq (ra), salah seorang pewaris utama spritualisme Rasululah SAW.
Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani, menyebut ada 41 ‘jalan’ yang diwariskan Nabi Mulia SAW. Satu jalan dari jalur Sayyidina Abu Bakar ass-Shiddiq dan 40 ‘jalan’ lainnya dari Imam Ali Karamllahu Wajehahu. Satu jalan dari jalur Sayyidina Abu Bakar ass-Shiddiq itulah tariqah Naqsyabadiyah.
Dan diakhir zaman ini, jalan Naqsyabandi adalah jalan menanti sahibu zaman al-Mahdi AS.
Maulana syekh Khalid al-Baghdadi, maulana syekh Abdullah Faiz ad-Daqestani dan maulana syekh Muhammad Nazim al-Haqqani adalah guru-guru agung di jalur Naqasyabandi. Memperkenalkan penantian dan pengaharapan akan kehadiran Muhammad al-Mahdi AS sebagai kewajiban moril secara terbuka kepada muridnya, kepada seluru manusia.
Dalam sebuah syuhbah, syekh Hisyam Kabbani menyebut, saat ini mengapa banyak ulama ahlul sunah wal jama’ah tidak berbicara tentang Imam Mahdi as, sementara syiah menerimanya dan menjadi bagian dari Islam, tetapi ahlul sunah jamaah membuat bagian-bagian terpisah. Siapa ulama ahlul sunah jamaah saat ini yang bicara tentang Imam Mahdi AS, sangat sedikit, sebagian terbesar hanyalah para ulama tasawuf / para ahli sufi sementara sebagian besarnya lupa untuk membicarakan Imam Mahdi AS.
Syekh Muhammad Nazim al-haqqani menyatakan, jalan Naqsyabandi telah dipilih sebagai satu gerbong lokomotif penantian kedatangan Imam akhir zaman, al-Mahdi AS. Beberapa wali agung dari jalan ini telah dianugerahi perjumpaan dengan sang Imam di ‘alam gaibNya’, khususnya syekh Khalid al-Baghdadi dan syekh Abdullah Faiz ad-Daqestani dengan membawa serta murid-murid utama, untuk menerima baiyat.
Bagi segian besar orang, ‘berat’, menerima informasi mengenai ‘telah berjumpa’ dengan al-Mahdi AS, sebelum turun perintah tampil, dari Yang Mengutus-nya.
Namun dalam 'logika' tasawuf, hal semacam ini dapat diterima dengan baik. Ajaran Islam mengehedaki pegikutnya memiliki Iman sejati. Keimanan sejati akan mengantar pada penerimaan kalimat suci al-Quran secara umum, secara khusus kabar akan kedatangan al-Mahdi AS.
Keimanan sejati, juga memungkinkan perjumpaan dengan sang Utusan. Manusia-manusia agung dalam jalan Naqsyabandi, yang diberkahi makrifatullah sebagai waliNya, (sebagian) akan diberi ‘jalan pertemuan’, sebelum kehadiran sang utusan. Sebagai rahmatNya, untuk memberi bukti atas keberadaan sang utusan yang digaibkan. Dan sedang menungguh perintah penugasanNya.
Di abad ke 10, sang Nabi akhir zaman SAW dinanti dan ditunggu-tunggu. Di abad 20 ini, khalifah terakhir ummat manusia, al-Mahdi As, juga diharapkan kedatangannya, segera.
Para pencinta Kesejatian dan perindu Kemuliaan, menjadi Qais yang merindu pada Laila. Perih derita terasa dalam hasrat menanti. Nestapa, meremukkan dada dalam asa penungguan. Namun takdir kehadiranya tetap diatas tanganNya secara mutlak.
Di jalan Naqsyabandi, nafas berkembus lirih menyanyikan lagu rindu dalam zikir-zikir yang panjang. Bersama dendang merdu shalawat al-Mahdi. Di jalan itu, sang pembimbing manusia ke jalan Haq di akhir zaman, tiada henti mendengungkan dalam lingkaran syuhbahnya mengenai cahaya yang dinanti, di akhir zaman ini.
Sang pembinbing tiada letih, dengan segenap daya upaya mengajak manusia, kembali kepada yang Haq. Dalam labirin dunia yang gelap dari cahaya keimanan sejati ini. Dunia akhir zaman menjelang kedatangan utusanNya yang terakhir.
Sampai detik akhir ketika nafas hendak berpisah dari raganya, syekh yang mulia lahir dan batin itu, maulana Muhammad Nazim Adil al-Haqqani, tetap mengisyaratkan kewajiban menunggu sang utusan akhir zaman.
Dalam suara lirih, beliau berujar: Insyaa-Allah kalian akan bahagia dengan Sayyidina al-Mahdi AS dan kalian harus berdoa sebagi hamba yang lemah. Selama tujuh puluh tahun saya menanti, membuat diri saya siap untuk menyambutnya ketika beliau datang. Selama tujuh puluh tahun saya mendengar tentang beliau, hati saya dipenuhi dengan cinta dan pelayanan terhadapnya! Jika seseorang berniat ingin bertemu Mahdi AS tetapi dia telah meninggal maka dia akan dihidupkan kembali untuk bersama Mahdi as, jika mereka berdoa: Ya Allah biarkan aku menjadi pendukung Mahdi AS, kemudian dia meninggal maka Allah akan menghidupkan dia bersama Mahdi AS.
Kegelapan menyeluruh telah menyelimuti dunia di akhir zaman. Seperti awan hitam yang menghampar tebal menutupi semua udara di langit. Siap menumpah hujan yang membawa banjir bencana dan membawa serta getir bagi hati yang membangkang padaNya.
Kedatangan al-Mustafa SAW disambut zaman gelap gulita moral manusia jahiliyah, kemudian diterangiNya melalui utusanNya yang lemah lembut itu. Kedatangan al-Mahdi AS, juga didahului kegelapan yang melanda hidup manusia modern. Tenggelam dalam materialisme dan penolakan terhadap perintah dan larangan suciNya.
Karenanya, akan didatangkan utusan yang membawa cahayaNya, untuk menerangi kegelapan itu. Sang utusan adalah kahlifah Rasulullah SAW bagi ummatnya, bagi ummat manusia pada jelang waktu dunia berakhir, dialah Muhammad al-Mahdi AS.
Melalui berkah wali-wali agung di jalan Naqsabandi, pewaris semangat Salman al-Farisi dalam percarian dan penantian utusaNya, semoga pula menetes kepada setiap jiwa yang berdiri di jalan ini sepanjang hayatnya. Menyerahkan dirinya sebagai hamba bagi urusan al-Mahdi AS, jika tiba saatnya.
Sepenggal kisah surgawi akan dipertotonkanNya di ujung waktu dunia, sebagai karunia dan penetapan janjiNya pada hamba-hamba yang tulus di jalan lurus.
#Narasi di Ujung Senja (inspirasi dari syuhbah-syuhah syekh Nazim al-Haqqani tentang Imam Mahdi AS)
SM, Rabiul Awal, 1443 H.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda