SERIBU NYAWA MUHAMMAD AMIR JAYA (Sekadar Pengantar Sederhana atas buku Kumpulan Puisi Jalan Sunyi Makassar-Tarakan)
Kembali sahabat ini memercayakan saya memberi semacam apresiasi terhadap karya-karyanya. Saya harus selalu menegaskannya mengapa saya menjadi pilihan, ditengah ketidaklayakan pribadi memberi pengantar pada penulis sastra yang telah malang melintang di dunianya puluhan tahun? Apakah sebab dianggap mampu menjaga rahasia sehingga dipercaya, atau karena ‘keluguan’ sehingga apakah mengungkapkan rahasia atau bukan itu sama saja, karena ‘diasumsikan’ tidak mengetahui apa yang diungkapkan? Hanya sang sastrawan sahabat ini yang tahu. Namun ketika beliau berencana mengumpulkan cerpenya dalam sebuah buku, naskahnya terlebih dahulu mampir ke email saya. Setelah beberapa kumpulan cerpen, puisi dan novel terbit tidak lama berselang sebelumnya, saya tiba-tiba melihat sosok penulis ini memiliki seribu nyawa dalam berkarya. Begitu produktifnya sehingga bahkan, wajah rubrik sastra koran lokal banyak dihiasi oleh karya-karyanya. Dan karena ketakberdayaan mengelak dari permintaannya, maka memberi ‘pengatar sederhana’ dibukunya ini saya sanggupi.
Dan izinkan saya memulainya dengan beberapa paragraf bertendensius ‘teoritis’ berikut ini, sebagai sebuah standing opinion: Selain di punggung pemimpin, pundak para sastrawan harapan manusia juga diletakkan secara ideal. Meskipun posisi karya sastra sepanjang zaman mengalami pasang surut. Namun keberadaan sastrawan tiada mati dan tanggungjawabnya terus menerus dituntut untuk senantiasa menabur cahaya ditengah kegelapan zaman. Menyuguhkan kegembiraan dan ketentraman jiwa terdalam, menawarkan dukungan pada penderitaan, menghadirkan penentangan pada kezaliman dan kesewenang-wenangan kekuasaan yang menghancurkan keadilan, memberikan pembebasan jiwa rendah, menabur pengetahuan bagi kebodohan dan kejumudan, dan memberikan penghiburan bagi duka kerinduan jiwa atas kesempurnaannya. Karenanya seorang yang mencemplungkan diri dalam oase kerja-kerja sastra, sejatinya haruslah seorang intelektual pada saat yang sama. Seorang intelektual adalah pribadi yang memiliki world view yang jelas dan matang atas realitas, yang dengannya ia memandang problem-problem dan remah-remah kehidupan yang akan ditulisnya. Yang dengannya pula ia memberikan jalan keluar ideal.
World view atau sebutlah dengan istilah paradigma, ini yang akan menjadi penentu kualitas renungan dan kematangan nilai intelektual yang ditawarkan penulis dalam karya-karya. Kedalaman intelktualisme seorang sastrawan akan memberi bobot berat pada setiap isu atau tema yang menjadi lahan garapan sang penulis. Iringan cita rasa seni tinggi juga akan memberikan dimensi tersendiri pada kesempurnaan keseluruhan citra sebuah karya. Dan tentu kematangan tehnikal melalui proses berkarya dalam rentang waktu panjang dalam berkarya, turut andil dalam kesempurnaan itu. Jadi keterpaduan atau perkawinan intlektualitas, cita rasa seni dan skil yang kuat yang dibutuhkan medan karya bersangkutan, adalah faktor-faktor penentu paripurnanya karya sastrawan.
Saya ingin berangkat dari pijakan-pijakan kecil ini sebagai pembaca awam terhadap karya-karya yang terhimpun dalam kumpulan cerita pendek (cerpen) ini. Ada 16 cerpen yang sahabat ini sodorkan untuk saya baca dan memberikan hasil bacaan saya, entah akan berfungsi sebagi ‘kritik’ atau sekadar semacam testimoni saja. Yang pertama saya lakukan ada membuat coreta-coretan tabel dengan menentukan beberapa kategori. Dalam kolom-kolom tabel itu saya masukkan judul-judul cerpen yang kira-kira relevan dengan kategori.
Tujuannya adalah untuk mengetahui jenis-jenis tema apa yang paling dominan penulis ini tulis, sebelum membaca isi cerpennya. Adapun kategori itu adalah religius, budaya-sosial-poltik, kehidupan remaja, keluarga, kriminal, asmara, non kategoris/tidak jelas. Dan setelah judul-judul itu saya masukkan dalam tabel sesuai kategorinya; saya menemunkan masing-masing 5 judul masuk kategori religius dan asmara, 2 judul kateori budaya, sosial, politik, 1 judul kategori kriminal dan 3 judul tidak masuk dalam kategori manapun.
Angka-angka ini bercerita bahwa nampaknya penulis menyukai dua tema besar secara sebanding, yakni tema religius dan asmara. Tentu ini hanya trik-trikan saja yang maksudnya menebak-nebak hoby penulis memilih tema atau isu, karena setiap pilhan tema adalah refleksi kesadaran penulis dari rahim obyektivitas proses pengetahuannya. Artinya ketika penulis bermaksud menulis tema religi dan atau asmara, maka akumulasi intelektualitas, cita rasa seni dan skil melebur menjadi satu dalam karya itu. Karya itulah yang akan menjelmakan world view sang penulis secara utuh.
Yang menarik hati pertama adalah cerpen Doa Penyair. Judul ini mengandung dua kata yang mewakili dua dunia sublim. Pertama agama dan kedua pribadi yang mengemban tugas penyampai. Pribadi yang mengemban fungsi sebagai transmisi kebenaran. Doa, dalam terminologi Islam adalah ‘senjata’ kaum muslim, media seorang hamba untuk memohon, meminta, menyeru, membuat pernyataan dan juga bertanya kepada Tuhannya. Dalam sebentuk komunikasi tidak biasa antara ‘yang tak berdaya’ dengan Yang Maha Berdaya, doa itu berlangsung. Penulis dalam cerpen ini, menggambarkan seorang penyair ‘berdoa’ kepada tuhannya dalam tafakkurnya. Keperihatinannya terhadap moral pemimpin dan penderitaan rakyat menjadi perhatian. Sang penyair merasa kehidupan bangsanya sudah hancur lebur, sehingga dalam satu munajatnya, secara khusus dia memohon kepada tuhannya agar keadaan bisa menjadi lebih baik. Kekhawatirannnya akan turunnya azab Tuhan sebagaimana dia baca dalam kitab suci, agar tidak diturunkan kepada negeri yang dinamai Indonesia. Ini adalah refleksi sang penulis atas realialitas kehidupan politik negerinya. Bahwa problem-problem sosial dan bencana nasional merupakan konsekwensi dari kehancuran moril pemimpin. Doa adalah hal yang mungkin dapat dilakukan untuk ‘melibatkan’ Yang Maha Kuasa untuk memperbaiki keadaan kehancuran yang terjadi.
Hanya saja world view penulis tentang dua terma utama dalam cerpen itu, yakni doa dan penyair tidak nampak terang. Penulis memperlakukan doa dengan biasa saja dan pribadi penyair juga dalam posisi yang sama. Teks doa yang dihaturkan sang penyair pada tuhannya rasanya tidak menyentuh nilai estetis, bahkan cenderung ‘tidak puitis’ bagi seorang yang bergelar penyair. Tidak terasa rintihan indah seorang yang berharap sungguh-sungguh pada Tuhan Junjungannya.
Tidak bermaksud membandingkan, saya teringat sepenggal doa cucu Rasululah SAW, ketika dia terpuruk di hadapan Kabbah dan mengeluhkan kondisi kehidupan masyarakatnya kepada Tuhan, dia mengawali doanya: “Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku / Mata banyak telah tertidur, bintang gemintang telah tenggelam / Tetapi Engkau Maharaja Yang Hidup dan Jaga / Tuhanku, raja-raja telah menutup pintu-pintu dan tirai telah membungkusnya / Tetapi pintu-Mu terbuka buat para peminta / ...[1]
Dia bukan ‘penyair’ tetapi doanya begitu indah. Mungkin karena espketasi saya pada penyair dalam cerpen ini sangat tinggi, sehingga saya menjadi teringat penggalan pembuka munajat penuh irama itu. Sang penyair dalam cerpen ini membuka doanya dengan kelemahan eksistensial ‘materialnya’, dan penegasannya pada ketidambaannya pada kekuasaan pada Yang Maha Mengetahui segalanya. Apakah ini trik sang pendoa, agar doanya diterima? Namun logika yang lazim bagi doa seorang hamba yang baik adalah mendahulukan ungkapan kelemahan spritual, dalam pengakuan dosa-dosa dan perasaan sangat jauh dari Tuhan. Saya kira Tuhan tidak membedakan hamba yang berdoa, orang miskin terluntah-luntah atau kaya dan berkuasa.
Tetapi kualitas doa dan kedekatan spritual antara jiwa hamba dengan ‘wujud mutlak’ adalah moril dari terkabulnya doa. Ini hanya perspektif saya. Dan cerpen Doa Penyair tidak menyiratkan perspektif teologis dari doa yang ‘baik’. Demikian pula sang pendoa sebagai hamba yang penyair. Penggambaran penulis tentang pribadi penyair, juga kurang ideal. Ada citra egoistik yang ditampilkan, ketika sang penyair mengklaim diri sebagai “lebih memiliki kepekaan batin dari anak bangsa lainnya”, dan tokoh penyair dalam cerpen ini menjadi kerdil hakekatnya dengan penggalan kalimat pendek itu. Perspektif ideal penulis tentang seorang penyair belum nampak maksimal.
Ada banyak terma yang bisa dipertajam dalam cerpen ini, namun karena tempat yang tidak mungkin, maka cukup dua terma besar ini yang dapat diulas secara sederhana. Oleh karena itu, yang sejak awal saya telah mengkategorikan cerpen ini sebagai cerpen religius, sebelum membaca isinya, akhirnya saya harus mengatakan bahwa cerpen ini masih membutuhkan menajaman untuk sampai pada kategori itu. Terutama karena perspektif ‘teologisnya’ masih sumir, belum mengental dalam pemaknaan-pemaknaan.
Namun bahwa penulis telah mengambil posisi untuk menegaskan pentingnya melibatkan Yang Maha Kuasa dalam segala aspek kehidupan termasuk urusan politik kekuasaan, maka cerpen Doa Penyair ini, menjadi semacam bias-bias kecil ditengah gemerlapnya sekularisme karya-karya seni kehidupan moderen. Saya menganggap ulasan kecil Doa Penyair ini menwakili kategori ‘religius’.
Dan untuk kategori asmara saya ter’kesima’ dengan judul Janda Perawan yang Dilempar Suaminya ke Luar Jendela. Judulnya menyektak logika normal kita. Saya membayangkan ini cerita amsara yang tragis. Dalam Janda Perawan yang Dilempar Suaminya ke Luar Jendela, seorang janda telah menghebohkan warga sebuah desa. Pernikahannya yang kedua membawa petaka bagi dirinya. Dia mengalami penderitaan teramat sangat karena kekerasan dari tangan ‘madunya’ yang tidak rela akan kehadirannya sebagai istri kedua. Setengah jalan cerita berisi narasi kekerasan terhadap sang janda, terutama setelah dia kerasukan roh jahat yang dikirim oleh sang ‘madu’. Dialog irasional antara sang janda dengan suaminnya berbuntut, dia harus dilemparkan secara sadis keluar jendela oleh sang suami yang tak tahan membentung amarah. Sang janda tiba-tiba menghilang dan warga bersyukur karena desa mereka menjadi terkenal seantero jagat karena peristiwa tragis itu. Tidak tanggung-tanggung dua kandidat preiden AS memberi komentar. Orang nomor satu di Republik ini juga penasaran setengah mati, hingga harus merepotkan orang nomor satu di Provinsi. Cerpen ini menghibur, dan mengumbar selera humur absurd kita. Ceritanya juga lumayan dinamis. Beberapa penggal cerita dimontase secara apik, sehingga satu sama lain nampak berhubungan. Tehnik ini jarang saya temukan dalam serangkaian cerpen-cerpen lainnya, yang cenderung flat sebagai ciri yang sering saya tangkap dalam mayoritas cerpen-cerpen M. Amir Jaya. Kali ini agak berbeda. Drama asmara keluarga yang tragis dipermainkan seolah hiburan. Penulis sepertinya menemukan ‘gaya baru’ menulis kisah-kisah realistisnya. Ada nuansa absusditas di dalamnya. Dan menjadi lucu karena apa yang tidak nyata seolah-olah nyata, apa yang tidak mungkin seolah-olah terjadi sungguhan. Mungkin karena kisahnya absurd sehingga mudah saja membuat kisah itu menjadi layaknya kisah film kartun anak-anak, seperi Tom and Jerry.
Namun susah kita menemukan ada perspektif penulis dalam cerpen ini. Tidak ada standing positioning penulis dalam ragam terma-terma penting dalam cerita tersebut. Selain bahwa adanya perubahan sebuah desa miskin terpencil di sebuah kabupaten yang mendadak terkenal dan dikunjungi banyak orang dan membuat warga sejahtera karenannya. Terma urgen seperti kekerasan terhadap perempuan, sikap apatis warga pada sebuah peristiwa sosial, praktek klenik mengirim doti-doti, dan pendapat tokoh-tokoh nasional dan internasional, terlewatkan begitu saja dan hanya berhenti sebagai penggal-penggal kisah hiburan.
Penulis tidak menawarkan sebuah world view atas sebuah realitas namun mengambil peran semata-mata menghibur saja. Saya kira dari segi tipologi trik bercerita cerpen ini ‘kuat’, terutama bagi pembaca yang memahami latarbelakang historis ceritanya. Dalam konteks bercerita model ini, susah mengharapkan pembaca untuk mengambil renungan dan hikma-hikma dibalik cerita, karena terlanjur terkesima dalam ketidakjelasan makna-makna logis sebuah peristiwa karena sifat ‘komedi’ absurditasnya.
Untuk masing-masing cerpen lainnya seperti Rumah Tuhan Al Fatihah, Do’a Akhir Tahun, Do’a Akhir Tahun, BH Monis, Air Mata Cinta, Sumur Jodoh, dan Senja di Bulan, serta yang lainnya, tentu punya kisahnya masing-masing. Sulit memberikan aprsesiasi secara utuh karena tempat yang terbatas, selain bahwa ada keterbatasan kemampuan kritis, makin membatasi ruang dan kinerja bagi apresiasi yang memadai untuk 16 cerpen yang terkumpul dalam buku ini.
Saya kira, akan sersisah ruang yang terbuka lebar bagi para pembaca untuk mengisi selebihnya dengan apresiasi masing-masing. Seribu nyawa Muhammad Amir Jaya, akan terus menghadirkan karya-karya yang khas milikinya di masa depan, dalam gaya, dalam tema dan kerangka nilai. Terutama untuk sampai pada karya-karya yang dinamiai karya religius, saya kira harus menyingsingkan lengan baju lebih tinggi lagi dan menyiapkan dengus nafas lebih panjang lagi untuk mengejar kualitas kategori itu.
Peran utama sastrawan sebagai ‘sang penyampai kebenaran’ tetap harus menjadi pegangan. Karena dalam setiap karya sastra juga berlaku rumus timbangan. Semakin berat muatan nilai kebenaran atau kebaikannya, maka akan semikin ringan nilai hiburannya. Dan sebaliknya makin berat hiburannya maka akan makin ringan muatan kebenaran dan kebaikannya. Ini timbangan untuk mengukur level idealitas sebuah karya. Jika seorang sastrawan senantiasa mengetahui tanggungjawabnya dalam kehidupan masyarakat, maka desakan untuk menghadirkan muatan nilai yang berat dalam karya akan senantasa menghantuinya. Ketimbang mengutamkan sekadar hiburan rendahan. Muatan nilai yang berat juga bermakna sebagai hiburan bagi jiwa terdalam. Wallahua’lam bissawab.
SM, September, 2016 ---
[1] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, 2011. Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (Sehimpunan Doa Munajat Terindah Sepanjang Zaman), Mizan, Bandung, hal. 7-8.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda