Senin, 02 Februari 2015

HEBOH CHARLIE HEBDO


Oleh Syafruddin Muhtamar
 


Sepekan setelah seluruh dunia merayakan kedatangan tahun baru 2015, publik dikejutkan berita penyerangan sebuah kantor majalah satir di Prancis. 11 Januari ketika masih hangat suasana natal indah pada musim yang dingin di Eropa, 12 orang di dalam kantor Charlie Habdo harus meregang nyawa. Berondongan peluru menghujani rapat redaksi yang sedang berlangsung, tragedi berdarah tak terhindarkan. Serakan darah yang tumpah dan kesedihan setelahnya, menjadi noda bagi hikmat perayaan natal dunia di ujung tahun 2014 itu.

Sejenak dunia terhenyak. Setelah itu gelombang simpatik mengalir dari seluruh penjuru dunia. Simpati dan memberikan dukungannya kepada Charlie Habdo. Memaki dan melayangkan kutukannya pada pelaku kejahatan yang telah menimbulkan tragedi berdarah. Segera setelahnya, pihak keamanan memburu orang-orang yang dianggap bertanggungjawab atas kejadian keji tersebut. Tersebutlah dua nama paling mungkin jadi tersangka; Cherif Kouachi and Said Kouachi. Dua bersaudara ini yang kemudian diidentifikasi sebagai ‘muslim’ dan dicurigai berafilisai dengan kelompok teror paling mengerikan, ISIS atau Al Qaidah. Seorang nama perempuan, yang ditengarai istri dari salah seorang pelaku penembakan, dikejar dan dicurgai akan mencari perlindungan di hingga ke ‘markas’ ISIS.

Dan menyeruaklah di tengah publik dunia sebuah pandangan mainstrem; kelompok teror ‘muslim’ melakukan penyerangan bersenjata terhadap kantor majalah yang telah menghina nabi yang paling dimuliakan. Media-media dunia turut memberikan gambaran yang sama; telah terjadi serangan terhadap kebebasan berekspresi oleh satu elemen masyarakat yang ‘anti kebebasan’. Kebebasan berekspresi dilawan dengan ‘keimanan’ yang meneror. Dunia makin diyakinkan akan adanya elemen-elemen penggangu kebebasan masyarakat dunia. Dan karenanya juga mereka harus diperangi.
Publik dunia juga mengetahui bagaimana jejak ‘menghina’ Charlie Habdo sebagai majalah satir terhadap tokoh-tokoh suci, telah membuat sedih dan marah banyak kaum religius, terutama kaum muslim dunia. Kali ini Charlie Habdo membuat kehebohan baru diawal tahun baru 2015, dengan memuat kembali karikatur nabi suci dengan kesenonohan yang sulit diterima kaum beriman Islam.

Peradaban yang Membusuk
Fenomena satir Charlie Habdo dan pembunuhan atas penghinaan adalah satu gambar dari sebuah mozaik peradaban manusia yang tengah dalam masalah serius. Abad 21 adalah abad yang diklaim sebagai puncak emas peradaban moderen, kini nampaknya akan kembali meluncur ke titik nadir. Berbagai bencana dan tragedi kemanusiaan sebagai refleksi atas  ‘kecerdasan’ manusia moderen, baik mewujud lewat perang antar bangsa dan negara, kejahatan terorganisir, terorisme, penyakit, bencana alam, kemiskinan dan kemerosotan moral, memberi kita penglihatan atas sebuah peradaban yang tengah membusuk.

Jika sebuah apel yang segar dan tentu saja tanpa gangguan hama, akan nikmat bagi kita mengkonsumsinya, bahkan sebelum manis buah apel itu memasuki kerongkongan, pandangan kita telah dibuat senang akan buahnya yang montok. Namun dihadapan kita sekarang ini adalah apel yang digerogoti ulat penghancur buah.

Peradaban moderen atau katakanlah peradaban Barat karena modernisme ini mengakar pada ‘pandangan dunia’ Barat, adalah ‘satu-satunya’ peradaban yang berusaha menjelmakan dirinya dalam universalisme dengan beragam cara kepada seluruh bangsa-bangsa di dunia, 5 abad terakhir. Peradaban ini membawa mimpi agung yang ditandai dengan nama individualisme, liberalisme, konstitusi, hak asasi manusia, persamaan, kebebasan, demokrasi, dan tentu juga sekularisasi. Dan mengaraknya secara masif diabad global ini dengan kekuatan penuh dalam beragam instrumen kekuatan yang mungkin bisa dikerahkan, dari yang halus hingga yang paling kasar. Hasilnya tidak mengecewakan, sekarang mayoritas negara-negara dunia berpacu dan malu jika tidak memodernisasi dirinya.

Tetapi dari pusat-pusat peradaban ini, di negara-negara industri maju, terjadi proses melawan dirinya sendiri; mengobarkan perang demi menegakkan demokrasi di negeri-negeri jauh. Merontokkan kekuasaan yang dianggap penghalang tegaknya demokrasi Barat lewat peopel power. Setelah itu membiarkan perang saudara terjadi untuk melemahkan situasi nasional dan sekaligus sebagai pintu masuk untuk menancapkan kuku-kuku hegemoni lewat konstitusi. Pemakasaan kehendak atas suatu isu atau kepentingan strategis dan pengamanan atas kepentingan ini, seringkali tidak rasional. Sifat hegeminok dari ‘peradaban’ inilah yang sering memicu perlawanan dari suatu elemen masyarakat yang tidak menyetujui prinsip-prinsip dasar dan operasional dari peradaban yang akan diwujudkan secara universal oleh Barat ini.

Kita tidak ingin menyebut fenomena satir dan teror Charlie Habdo ini sebagai wujud dari apa yang sering disebut sebagai ‘benturan peradaban’. Nilai kebebasan berbenturan dengan nilai ‘keimanan’. Dalam kasus Charlie Habdo ini tidak ada benturan peradaban, yang ada adalah bahwa penomena itu mewakili fenomena lainnya mengenai peradaban mutakhir manusia tengah mengalami pembusukan. Dan bahwa teori benturan peradaban ini susah diterima akal yang baik. Yang ada adalah apel yang tumbuh dan mengakar dari bumi pemikiran Barat itu kini digerogoti bakteri dalam dirinya, yang membuat sebagian buah itu mulai membusuk diserang ‘irrasionalnya’ sendiri.

Kebebasan yang diusung peradaban moderen itu kini mulai menuai hama yang akan mengancam keberlangsungannya, hama itu adalah ‘imaji liar’ berbalut maksud diluar akal sehat yang disebutnya dengan kebebasan kreatif, seni dan keindahan. Menggambar senonoh pribadi yang dimuliakan oleh suatu ummat beragama, tentu adalah pelecehan, perendahan dan penghinaan. Dan pasti akan mengusik keimanan ummat yang ‘direndahkan’ ini. Manusia siapapun pasti akan mengutuk penghinaan.

Tetapi penghancuran membabibuta dan tindakan pembunuhan brutal sebagai respon atas penghinaan juga bukan tindakan orang beriman. Sepanjang sejarah kenabian Muhammad SAWW, dalam penghadapi segala situasi ktiris dalam penyebaran risalah Islam, sang Nabi tidak pernah melakukan tindakan pembunuhan atau memerintahkan pembunuhan ataupun penyiksaaan atas penghinaan yang diterimanya. Sifat mulia kenabian yang melekat dalam dirinya dan keyakinan dan kecintaan yang sempurna pada Allah SWT, telah mencegahnya mengambil tindakan tidak manusiawi kepada orang-orang yang menyakiti dan menghina dirinya.

Pembunuhan keji atas awak media satir Charlie Habdo juga bukanlah tindakan orang yang beriman pada kemuliaan sang Nabi. Kemarahan karena penghinaan terhadap kemuliaan nabi dapat dibenarkan, namun refleksi kemarahan yang penuh nafsu kebencian sama maknanya dengan pengingkaran atas kemuliaan suci kenabian Muhammad SAWW. Dapat kita simpulkan, serangan atas majalah Charlie Habdo yang tragis itu dengan atas nama ummat Islam, adalah sangat tidak bisa dibenarkan dan ditolak mentah-mentah oleh akal sehat. Peristiwa ini hanya bagian dari suatu proses dari peradaban dunia yang tengah merosot. Tidak terkelupas secuilpun kulit kemuliaan kenabian Muhammad SAWW dan tidak sedikitpun tergerus rahmatan lilalamin sebagai nilai-nilai universal Islam atas peristiwa itu.

Sekali lagi peristiwa itu hanya refleksi dari sebuah peradaban dunia yang sedang dalam kondisi membusuk dari dalam dirinya, karena termakan bakteri dari sifat-sifat anti peradaban.

Permainan di Luar Batas Peradaban

Fakta satir dari kebebasan berkreasi beberapa media massa di dunia dan terorisme global, adalah dua hal yang bertemu di titik watak yang sama, yaitu ‘melampauai batas’. Segala yang ‘melewati batas’ adala hal-hal yang telah lampaui sifat-sifat kemanusiaan, akal sehat dan keber-adab-an. Dan yang diluar batas kemanusiaan, rasionalitas dan adab adalah nafsu ‘kebinatangan’. Implementasinya tentu akan mengundang penghancuran dan keruntuhan hidup kemanusiaan.

Nilai-nilai kebebasan yang diusung peradaban moderen dalam batas rasional, manusiawi dan beradab, tentu sangat diharapkan. Dan mungkin akan semakin mengokohkan perjuangan untuk ‘menguniversalisasi’ nilai-nilai itu di antara bangsa-bangsa didunia, karena akan mendapat sokongan dan pengikut yang setia. Namun jika kebebasan itu telah melewati batas normalnya, melampaui garis toleransinya, maka inilah yang  akan menimbulkan situasi diluar harapan.

Terorisme sebagai jalan yang dipilih untuk menegaskan identitas masyarakat tertentu, juga adalah jalan yang melewati batas. Jika elemen itu menegaskan identitasnya sebagai ‘muslim’, maka ajaran Islam menentangnya. Tidak ada jalan teror bagi kesewenang-senangan yang dihadapai oleh masyarakat muslim. Nilai-nilai kebaikan Islam tidak membenarkan ‘tantangan’ yang menerpa jalanan sejarah peradaban yang dibangunanya, dihadapi dengan nafsu amarah yang membara. Ajaran Islam menghendaki pilihan-pilhan menghadapi tantangan kehidupannya harus jatuh ketangan rasional, manusiawi dan beradab. Diluar ini, hanya pilihan hewania. Dan terorisme bukanlah pilihan karena itu hanyalah tindakan kebiadaban.

Peradaban manusia moderen mutakhir yang demikian terobesi untuk menjadi universal, dalam perjalanannya telah membelit kakinya dengan mimpi-mimpi yang melambung diluar batas nalarnya sendiri. Mimpi-mimpi dalam kepentingan ekonomi dan politik global dalam semangat pengendalian yang masif, telah menimbulkan berbagai ‘permainan kontor’ untuk meloloskan ragam kepentingan itu. Terorisme ‘diciptakan’ sebagai anti tesis atas tesis ‘peradaban’ yang tengah dikembangkan. Dan satire yang ditampilkan juga bukanlah buah  dari nalar peradaban, tetapi suatu yang telah menyimpang dari poros peradabannya sendiri.

Satirisme dan terorisme sama-sama sebuah permainan yang merisaukan peradaban sesunguhnya yang dinginkan ummat manusia. Manusia moderen telah berani memasuki wilayah di luar batas rasionalitas, kemanusiaan dan keadabannya sendiri, sebagai wilayah agung sebuah peradaban, untuk memulai permainan yang dengan serius mereka mainkan dengan dalih menegakkan ‘peradaban’. Menghinaan yang ditampilkan sebagai seni dan kekebasan berekspresi dan balas dendam berutal atas nama pembelaa kemuliaan; sesuatu yang tidak mungkin kita benarkan, juga dengan dalih apapun.

Majalah satir Charlie Habdo yang nampaknya sengaja memilih waktu tepat untuk memuat kembali karikatur menghina itu, ditanggapi banyak pihak sebagai upaya provokatif. Memanfaatkan momen bulan kelahiran Nabi suci untuk menerbitkan edisi yang berdampak paling mengerikan sepanjang sejarah majalah tersebut, tentu dengan suatu pertimbangan. Juga serangan jitu pasca penerbitan itu, ketika jantung majalah tersebut sedang berdenyut dalam rapat redaksi. Banyak menimbulkan tanya publik kritis, bahwa peristiwa ini mengingatkan kita kembali pada ‘misteri’ 11 september tragedi WTC satu setengah dekade lalu.

Islamfhobia makin merebak dan menguat di Prancis pasca kejadian ini. Sesuatu yang mungkin dikehendaki dari permainan ini, dan makin melegamlah wajah masyarakat Islam dalam citra sebagai masyarakat ‘berbahaya’ dalam peradaban mutakhir. Dan Charlie Hebdo yang dikabarkan bermasalah dengan keuangan, kini merenggut keuntungan besar dibalik peristiwa ini, karena dalam suasana dukapun majalah ini tetap terbit dengan jumlah oplah yang fantastik, dan semua habis terjual. Simpati yang datang bergelombang dari seluruh penjuru dunia, dimanfaatkan sebagai momen penjualan paling menggiurkan. Permainan yang benar-benar menguntungkan. Duka yang berbalut manis.
  

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda