Qasidah Marwah Binti Muhammad Idris I (Mengenang dalam Haul 40 hari)
Kisahmu bermula pada tangisan pertama, pada bumi fana. Dalam lembut gendongan tangan ibunda Sitti Hawang. Kecupan bibir suci Ayah Muhammad Idris, disertai suara azan dalam gelombang udara yang datar. Oh ibu.. engkau putri dari dua pribadi yang menawan harkat dan martabat rohaninya. Engkau buih putih mengalir dari mata air sungai yang jenih dan bening warnanya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
Alhamudillah, Allahu Haq
Tiada pernah engkau berlepas tangan dari kasih sayang ayah-ibumu, hingga rambutmu berjuntai memanjang sebagai gadis yang segara akan dipinang kekasih hati. Keriangan gadis desa yang tumbuh bersama pohon-pohon rindang, bukit, sungai dan sawah-sawah menghijau bersama kenangan suka duka saudara-saudari yang penuh perhatian.
Dua pribadi telah menjagamu dalam doa sepanjang sujudnya, dalam perhatian moral agama sepanjang hayatnya. Tiada letih semangat jiwa mereka mengharapkan kebahagiaamu dunia dan akhirat. Ayah dan Ibumu merangkul seluruh jiwa anak-anaknya hingga ke dalam kalbunya yang tak berbatas. Beruntunglah wahai engkau Ibu dengan seluruh sudaramu dalam sulaman cinta keduanya, kakek dan nenek kami: Muhammad Idris dan Sitti Hawang.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
Alhamudillah, Allahu Haq
Jelang waktu dhuhur, takdir pernikahan telah ditentukan bagimu. Matahari segera menarik garis lurus dari langit ke bumi. Seorang pemuda, yang telah berusia, melalui ibundanya, memintamu menjadi pendampingnya seumur hidupnya sebagai istri-kekasih hati. Ar-rahim mengikatkan cintanya di antara pangkal hatinya dan dasar sanubarimu. Kenduri cinta dimulai dalam persta penuh sahaja. Marwah binti Muhammad Idris dan Muhammad Tahir Bin Haji Nurdin, bernaung dalam kerudung cinta pernikahan. Burung-burung putih terbang rendah di pematang, kepak sayapnya berlagu nanyian asmara alam semesta.
Dari rahimmula kelak enam anak akan menjadi asuhan kasih sayangmu: syafruddin muhtamar, musrifawati muhtamar, zulkarnain muhtamar, saifullah muhtamar, fahrur rasyid muhtamar dan ifrahwati muhtamar. Buah cintamu kini tumbuh dalam asuhan rembulan cintamu dan kekasihmu. Seperti bunga jingga yang engkau tanam dalam pot berwarna putih diteras rumah, engkau telah menjaga dan merawatnya sepenuh jiwa.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
Alhamudillah, Allahu Haq
Desiran ombak laut Makassar menghempas dinding dermaga, menjadi saksi abadi keberangkatamu mengarungi samudara cinta bersama kekasihmu, menuju tanah Melayu. Angin membawa nyanyian burung-burung laut mengiri kesedihanmu berpisah untuk pertamakailnya dengan simpul kasihsayangmu, ditanah Bugis. Dalam kesendirian kenangannya, ibumu pernah melintas di laut tempatmu meninggalkannya, ia berkata: “ke’dini i marwah lao, nahilaika”.
Demi abdi pada suami-kekasih, telah menguatkan hatimu menjemput masa depan di tanah rantau. Labu’ni essoe, turunni iddanie, turu toni bosie. Senja datang diringi rintik hujan kesedihan, berpisah dengan kedua orang tua untuk waktu yang tiada tentu, membuatmu kedua kakimu makin dalam tenggelam di parit-parit hakikat kehidupan.
Seekor burung bertengger sendiri di ujung sebatang kayu tertancap sendirian di ujung dermaga tua. Senja segera penjemputnya untuk kembali berkumpul dengan kawanannya dalam selimut dingin malam yang temaram cahanya bulan.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
Alhamudillah, Allahu Haq
Purnama terbit dan tenggelam sepanjang masa di tanah Melayu. Waktu berarak di awan putih antara tanah rantau dan kampung lahir. Rindu tak terbendung dalam genanangan masa yang panjang. Empat buah cintamu yang masih mungil menghibur rindumu yang mengalir terbawa arus sungai Kampar diantara pulau Kijang dan di ujung Tanjung hingga parit tigabelas.
Tetapi kesedihanmu selalu musnah dalam lingkaran kasih sayang seluruh keluarga yang meyertai kepergianmu di rana rantau. Bagaikan ratu, engkau anggun disinggasanmu, semua orang menyerahkan tangan pertolongannya dengan ikhlas untukmu. Hingga anakmu yang lahir ditimang sejak hari pertama hingga 40 hari lamanya dalam pangkuan kasih mereka. O tradisi kasih sayang yang membahagiakan, betapa lembut asal usulmu, ar-rahim.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
Alhamudillah, Allahu Haq
Seperti ruas bambu yang terpotong menjadi seruling, ditanah Melayu bunyi rindu seruling bambu mendayu menyayat hati. Begitu kuat hasrat untuk kembali ke rumpun asli, di tanah Bugis. Karena kematian ibu tercinta (Sitti Hawang) terkabar terbawa angin barat, kesedihan membadai. Takdir berdendang: aku telah meninggalkamu ke tanah rantau, kini engkau meninggalkanku dan tiada lagi bisa berjumpa. Kematian selalu menjadi rahasia yang tak terjamah.
Seperti derita ruas babu yang terbuang dari rumpunnya, suaranya selalu melengkingkan rindu untuk kembali kerumpunnya. Kematian ibu adalah juga ‘kerinduan’ untuk kembali, dan ‘kesendirianmu’ juga adalah kerinduan untuk kembali ke tanah lahir, meskipun tanpa kehadiran ibu lagi.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
Alhamudillah, Allahu Haq
Di ujung jalan kehidupanmu, dikampung halaman tanah Bugis. ALLAH ar-rahman dan ar-rrahim, telah memilihmu untuk masuk dalam lingkaran kasih sayangNya. Dia ‘menyembunyikanmu’ dari manusia dan pergaulannya dari hiruk pikuk masyarakat yang duniawi. Dia membawamu ke dekatNya melalui cara yang dipilihNya. Layaknya sebuah khalwat, seperti Rasulullah Muhammad SAW yang ‘disembunyikan’ dalam gua Hira. Dipisahkan dari ‘dunia’ untuk diberikan rahmat, taufiq dan hidayah. Disembunyikan untuk dilahirkan kembali. Dan tiada kelahiran baru tanpa tanggungan rasa derita. Dan tiada dertia yang yang paling berat kecuali yang pernah dialamai al-mustafah, Muhammad SAW.
Terasa terngiang ditelinga dentingan-dentingan tasbih di jemarimu yang melingkar. Saban waktu membasahi bibirmu dengan namaNya senantiasa. Terkadang terlalu berat jalanNya untuk ditempuh, dia telah membuatmu ‘putus asa’ untuk sampai kepadanNya, sambil memandangimu dengan senyumanNya. Betapa kuasa Dia akan segala sesuatu. Betapa takdir hanyalah permainan agungNya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
Alhamudillah, Allahu Haq
O betapa pemurah Tangan yang telah mendidikmu dalam ‘persebunyian’ selama 2 musim haji berlalu itu. Selama dua musim kemarau dan dua musim hujan silih berganti, tiada yang lain selain menghadapkan wajahmu ke wajahNya.. Ketika usai pendidikan, ia telah menghadiakan namaNya yang paling halus di ujung nafasmu, ketika engkau hendak menjumpaiNya di akhir hayat duniawi: AAA.. (ALIF-rahasia).. namaNya engkau ucap tanpa sebutan.. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Seperti pagi di waktu idul fitri, dedaunan senyap, udara setenang tidur bayi, cuaca sejuk menyapa kulit, matahari menutupi diri dengan awan cahayanya lembut hinggap di rerumputan. Lalu menjelang waktu ashar, hujan ditupahkan secara perlahan dari langit. Rahmat telah dilimpahkan. Bumi menjadi kuyup sesat lamanya. Begitulah semesta mengantarmu pulang dan menyambutmu kembali.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
Alhamudillah, Allahu Haq
Shaff Muhtamar, Zukhijjah, 1442 H.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda