STRATEGI KONSTITUTIF UNTUK REKONSTRUKSI MASA DEPAN BANGSA (Esey Sederhana Pendekatan ‘Futures Study’)
Oleh Syafruddin Muhtamar
Saat ini, jika diperbandingkan dengan masa lalu, sangatlah jauh berbeda. Segala hal dalam kehidupan kita banyak yang telah berubah. Dari kehidupan subtansial kita hingga kehidupan pragmatis kita telah berubah dalam suatu kecepatan yang mungkin tadak pernah terbayangkan sebelumnya. Kecepatan perubahan itu sedemikan akseleratifnya dan secara signifikan telah membentuk suatu kehidupan kita yang ‘baru’. Masyarakat yang tidak ‘siap’ menjadi kaget dan terperanngah diterpah arus gelombang perubahan yang datang bergulung-gulung seperti tanpa lelah. Masyarakat yang berkerja ‘ingsingt perdiksinya’ segera mengambil kuda-kuda persiapan menyambut gelombang perubahan itu. Maka kitapun menyaksikan banyak bangsa-bangsa berjalan tertatih-tatih di tengah derasnya perubahan dunia. Dan juga banyak bangsa-bangsa yang lainnya mampu secara lentur menempatkan dirinya dalam arus perubahan global ini.
Problem besar bangsa-bangsa diabad postmodern ini adalah perubahan dunia yang bergerak dan terus berdenyut dalam sistem globalisasi yang kelihatannya di rancang secara serius oleh Negara-negara elit dunia. Sistem global dengan segala kepentingan fundamentalnya mencoba mengintegrasikan Negara-bangsa di seluruh belahan bumi menjadi satu kesatuan dalam konesksitas nilai dan mekanisme kepentingan yang sama dalam orientasi utama kepentingan ekonomi. Problem besar itu muncul pada tahap ‘pra-koneksitas’, ketika masih berupa fenomena perubahan dramatis yang terjadi pada Negara-negara yang telah menjalin sinergi dalam konteks nilai-nilai global; perubahan ini kemudian menimbulkan dampak mendalam pada ragam kehidupan masyarakat bangsa lain yang masih dalam tahap penjajakan untuk menggabungkan diri kedalam sistem global. Melihat sedemikian obesesifnya sistem global ini, Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, maka terpaksa atau rela, mereka harus tetap terlibat dalam lingkaran globalisasi.
Yang menakutkan dari globalisasi sesunguhnya adalah ‘daya tekan’ yang dimilikinya bersifat ‘tanpa ampun’. Seluruh bidang-bidang kehidupan mengalami intervensi baik, secara langsung maupu tidak langsung melewati ragam saluran tehnis seperti kebijakan politik, mekanisme pasar, regulasi dan model-model kebudayaan, dalam rangka mengikutsertakan Negara-negara lainnya untuk ‘ambil bagian’ dalam globalisasi.
Akibatnya adalah banyak sistem-sistem kehidupan nasional suatu bangsa terpaksa harus menyesuaikan diri kepada suatu paradigma, model atau sistem yang tentu asing bagi sistem kehidupan mereka. Penyesuaian ini pastilah menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam ragam bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan juga bernegara. Sehingga muncul kecenderungan baru untuk melihat ulang cara pandang suatu bangsa atau visi suatu Negara tehadap realitas mutakhir. Reorientasi tujuan-tujuan fundamental hingga fragmatis menjadi kebutuhan mendesak suatu bangsa agar tidak terus menerus mendapat predikat ‘tertinggal’ dari Negara-negara elit pengusung globalisasi.
Globalisasi memperlihatkan dua dimensi utama, pertama dimensi ekonomi dan korporasi. Kedua, dimensi politik dan negara. Kedua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G 8 (sekarang G 20) melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC). Melalui mesin-mesin globalisasi itu, negara-negara maju ini semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber daya di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia. Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Problem-problem Awal: Perubahan dan Penumpukan norma-norma
Kita sebagai sebuah bangsa dan sebagai Negara tidak mungkin lagi menghindar dari dampak atau pengaruh langsung dari globalisasi atau menarik diri dari keterlibatan dalam sistemnya. Yang mendasar untuk kita pikirkan adalah sebuah stategi dasar, sebuah model atau bahkan mungkin suatu kerangka sistem nilai baru, yang dapat membuat kita terhindar dari ‘penjajahan tanpa senjata’ dari sistem global yang hegemonik. Seluruh potensi dan sumberdaya yang kita miliki harus digerakkan sampai batas-batas idealnya untuk merekonstruksi jalan masa depan bangsa nusantara kita ini. Dunia saat ini telah menjadi semacam panggung yang kestabilannya makin rapuh akibat nilai-nilai yang di utamakan hanya beroientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Buruknya, seluruh elemen kehidupan bangsa kita juga pelan-pelan mulai dipengaruhinya.
Dari perspektif hukum, tentu kita berpikir bagaimana memberdayakan seluruh sumber daya hukum kita dalam menghadapi masa depan yang serba tidak pasti itu. Perubahan sedemikian cepat sekali berganti dalam rentang waktu yang pendek. Problematika dalam ragam bidang kehidupan masyarakat sedemikian menumpuk untuk diatur dalam norma-norma hukum. Kompeksitas kehidupan yang terkait satu sama lain, dari dibidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, sampai budaya membuat penangangan kehidupan kekinian masyarkat kita menjadi cenderung complicated bahkan sophisticated; berbeda ketika masa masyarakat masih bersifat sederhana pada beberapa dekade lampau.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam kondisi dinamana Negara-negara satu sama lain saling terkoneksitas; praktek-praktek hukum suatu Negara akan cenderung mempengarui praktek hukum Negara lain. Dan kemungkinan model hukum suatu Negara akan menjadi model yang sama pada Negara yang lain. Menurutnya:
Hubungan saling pengaruh mempengaruhi itu, bahkan, bersifat lintas tradisi dan lintas sistem. Misalnya, konstitusi Negara-negara modern dewasa ini berisi banyak sekali prinsip-prinsip normatif yang satu sama lain saling mempengaruhi. Karena itu, sistem hukum di suatu Negara juga banyak meminjam dan menerima pengaruh dari Negara-negara lain.
Oleh sebab itu, pengetahuan kita tentang hukum kita sendiri tidak dapat lagi dilepaskan dari keharusan kita mengetahui bagaimana orang lain mengatur hal-hal yang sama dalam sistem hukum mereka. Perkembangan semacam ini tentu menambah kompleks permasalahan hukum yang dihadapi oleh setiap Negara, yang mengharuskan adalah reorientasi dalam cara pandang para sarjana hukum mengenai bagaimana cara mengelola sistem informasi hukum dan keadilan dengan sebaik-baiknya.
Kompleksitas yang mengepung kehidupan masyarakat kita akan berkonsekwensi suatu produksi norma yang terus-menerus, dan hal ini tentu akan menimbulkan penumpukan yang banyak peraturan-peraturan positivis, oleh Jimly Assidiqi disebutnya sebagai hiper-regulasi. Fenomena perubahan yang sedemikian deras dalam masyarakat yang juga telah masuk tahap hiper-modern, menimbulkan banyak problem-problem dalam dinamika kemasyarakatan yang oleh karenanya melahirkan kebutuhan-kebutuhan baru bagi pemegang otoritas dalam sistem kenegaraan untuk menanganinya dalam bentuk aturan-aturan formal.
Problem-problem ini terjadi tidak hanya dinegara-negara penganut civil law system namun juga di Negara-negara penghidmat common law system. Mereka, karena desakan ralaitas melakukan penyesuai-penyesuaian kondisi kehidupan yang terus berubah. Hal demikian dilakukan dalam kerangka ‘mengantisipasi masa depan’, sebab jika perubahan kodisi-kondisi ataupun realitas-realitas baru dengan bawaan masalah yang menyertainya itu tidak diatur maka, peluang terjadinya kesemrwawutan kehidupan masyarakat akan makin lebar. Jimly menggambarkannya sebagai berikut:
Gejala demikian terjadi di semua Negara, baik yang menganut tradisi ‘civil law’ maupun yang menganut tradisi ‘civil law’.Mengenai ha-hal yang pokok, seperti sistem pemilu, susunan dan kedudukan lembaga-lembaga Negara, dan sebagainya, di lingkungan Negara-negara ‘civil law’ tentu sejak lama sudah tertata sistemnya dengan baik. Karena itu, undang-undang baru di bidang-bidang yang bersifat pokok semacam itu sudah tidak pernah lagi dibuat orang. Akan tetapi, diluar soal-soal pokok semacam itu, setiap waktu, ada saja hal-hal baru yang perlu diatur dan dibuatkan undang-undangnya. Hal- hal yang dulunya tidak perlu diatur dalam undang-undang, sekarang timbul kebutuhan untuk mengaturnya dalam bentuk-bentuk, seperti larangan membunuh binatang. Larangan money-laundring, terorisme, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, di lingkungan Negara-negara ‘civil law’, undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang tertulis juga terus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan akan keteraturan hidup bersama.
Di kalangan Negara-negara ‘common law’ yang tidak terlalu mengandalkan peraturan dalam bentuk tertulis, sejak pertengahan abad ke-20 juga menghadapi kenyataan perlunya membuat aturan-aturan tertulis yang lebih banyak lagi. Karena itu, produksi undang-undang di Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’, dewasa ini, dapat dikatakan cenderung lebih banyak daripada produksi undang-undang di lingkungan negara-negara Eropah Kontinental yang menganut tradisi ‘civil law’. Karena itu, kecenderungan umat manusia untuk memproduksi peraturan, dari waktu ke waktu, terus saja berkembang, sehingga pada saatnya menimbulkan keadaan yang oleh Richard Susskind (The Future of Law) sebagai gejala “hyper-regulated society”.
Dalam pandangan pragmatis hukum, kita dapat mengatakan; akan banyak ketidakpastian yang akan terjadi dalam masyarakat, jika membiarkan banyak fenomena masalah baru tidak ‘dikendalikan hukum’, yang mana hal itu akan menjadi kondisi tidak kondusif bagi cita-cita ideal hukum maupun secara politis harapan ideal dari Negara. Maka oleh sebab itu tuntutan untuk memproduksi bentuk-bentuk aturan oleh Negara semakin tinggi di zaman abad mutahkir kini. Bahkan fenomena baru juga menunjukkan, elemen selain negara juga mengambil bagian dalam menyusun regulasi.
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa Memang benar bahwa di zaman globalisasi dewasa ini, telah berkembang pula gejala berkurangnya tuntutan akan peran Negara dalam membuat peraturan atau dalam melakukan tindakan-tindakan yang bersifat intervensionistik ke dalam dinamika kehidupan masyarakat dan ekonomi pasar. Sejak tahun 1970-an dan terutama sesudah runtuhnya komunisme di Eropah Timur, berkembang luas kritik-kritik mengenai kinerja Negara kesejahteraan (welfare states) yang dianggap terlalu banyak ikut campur dalam urusan masyarakat dan dunia usaha. Sebagai respons terhadap hal itu, sejak tahun 1970-an dan 1980-an muncul gelombang pengertian di seluruh dunia yang dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi. Dengan gelombang deregulasi itu, selintas dapat dikatakan, jumlah peraturan yang diproduksi Negara harus dikurangi agar tidak terlalu banyak. Namun, dalam praktik, jumlah norma aturan tersebut tidak menjadi berkurang secara drastis. Malahan, jumlah aturan tetap saja banyak dan semakin banyak, yaitu diproduksi oleh actor yang bereda. Jika sebelumnya, produksi peraturan resmi di monopoli oleh Negara, sekarang ‘civil society’ dan ‘market’ memproduksi pula aturan-aturannya sendiri. Banyak hal-hal yang dulunya harus diatur sendiri oleh negara, sekarang cukup oleh masyarakat atau dunia usaha sendiri. Pemerintah pun juga tidak lagi memonopoli kewenangna regulasi dalam melaksanakan ketentuan undang-undang. Sekarang sudah semakin banyak lembaga-lembaga negara yang bersifat independen yang diberi kewenangna tersendiri untuk memproduksi aturan-aturan di bidang tanggungjawabnya masing-masing.
Strategi Bagi Masa Depan: Mendayagunakan Sumberdaya Konstitutif
Mempertimbangkan Mengenai Masa Depan oleh bangsa-bangsa di dunia mulai mengejala seiring pertumbuhan yang pesat di dunia tehnologi dan industrialisasi. Era revolusi tehnologi yang memicu akslerasi industrialisasi telah berdampak pada kehidupan masyarakat dunia dalam skala luas. Dampaknya bukan hanya secara positif dari sisi ekonomi, namun juga berefek ganda dalam menciptaan ketidak seimbangan kehidupan dan arah kehidupan mengarah pada banyak ketidakpastian masa depan, akibat percepatan yang tak terkedali sebagai dampak dari proses industrialisasi besar-besaran.
Dalam kondisi demikian, kalangan terpelajar khususnya dinegara-negara industri maju mencoba merespons era yang berubah sedemikian cepat dengan sebuah model sains baru yang mereka sebut secara umum sebagai Studi Futuristik (Futures Study). Futures Study dianggap sebagai kebutuhan sebagai model untuk memikirkan masa depan ditengah banyak ketidakpastian yang dihadapai masyarakat dunia. Futures Study memandang realitas kekinian masyarakat sudah sangat memperihatinkan tidak hanya dalam konteks nilai tetapi juga level praktis. Dari sisi nilai; masyarakat telah mengalami pergeseran nilai-nilai lama dan tergantikan nilai-nilai baru. Sisi pragmatisnya; masyarakat ‘melahirkan’ diri dalam bentuk masyarakat-masyarakat baru yang tidak dikenali bentuknya sebelum ini, karena cirinya yang kompleks dan tehnologis. Eleonora B. Masini mengenai Futures Study ini mengatakan:
Futures Study merespon kebutuhan dalam era yang serba cepat dan diwarnai dengan perubahan-perubahan yang saling berhubungan (McHale 1969). Dalam menggambarkan perlunya memikirkan masa depan, Gaston Berger, futurolog Perancis, megatakan bahwa semakin cepat laju sebuah mobil, maka harus semakin jauh daya jangkau lampunya, agar mampu menghindari bahaya dan hambatan-hambatan lain yang mungkin akan muncul secara tak terduga. Kita menatap ke masa depan karena kita adala bagian dari rangkaian perubahan-perubahan yang saling terkait dan terjadi dengan cepat. Futures Study tidak sekedar sebagai sebuah kebutuhan, tetapi juga sebuah pilihan yang harus diambil setiap individu mapun masyarakat pada saat ini. Menentukan pilihan adalah satu hal yang sangat penting. Tak perduli apakah kita memikirkan masa depan atau tidak, memikirkan konsekwensi tindakan kita masa kini atau tidak (Godet 1979), ataupun sekedar berfikir tentang masa sekarang.
Apa itu masa depan? Dan secara ‘naluriah’ setiap kita sebagai individu dan sebagai bangsa punya pengharapan terhadap masa depan. Keputusan atau tindakan kita hari ini akan member dampak pada masa depan. Keputusan yang salah dan atau tindakan yang tidak benar turut mempengaruhi bentuk kehidupan masa depan. Menurut McHale, masa depan itu adalah symbol yang penitng dimana manusia dapat membuat masa kini diterima dan member arti bagi masa lampau. Apa yang McHale maksudkan adalah pengambilan keputusan dan memilih dimana posisi kita pada masa sekarang, kita mampu membuat kemungkinan untuk berkaitan dengan apa yang kita harapkan di masa mendatang.
Dan bagaimana jika dan apakah bisa konstitusi itu menjadi strategi dalam menghadapi, mengantisipasi dan merekonstruksi masa depan bangsa? Jika kita merujuk pada defenisi ‘masa depan’ tersebut sebagai dampak keputusan atau tindakan masa kini, maka arti keputusan dan tindakan ini mencakup pengertian yang luas, semua potensi dan dimensi dapat digerakkan dan diberdayakan untuk menjadi keputusan atau agar menjadi tindakan yang secara sadar kita pilih karena kita menghendakinya. Pilihan stategi itu bisa kita jatuhkan pada Dimensi Konstitusi. Memahami pilihan kita terhadap konstitusi sebagai strategi, maka harus dijabarkan lebih mendalam mengenai apa dan bagaimana terma konstitusi itu, baik sebagai sebagai ‘nilai-nilai maupun dalam fungsi tehnis-fragmatisnya.
Dari segi kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
Konstitusi secara umum dapat dipahami sebagai suatu pernyataan dan/atau praktek-praktek resmi mengenai Negara dalam segala dinamikanya, baik dari segi politik maupun hukum, dan menjadi dasar bagi pengorganisasian kepentingan-kepentingan prinsipil Negara. Sebagaimana yang disebutkan Brian Thompson, bahwa “a constitution is a document witcth contains the rule of the operation of an organization”. Terdapat beragam pengertian konstitusi, namun secara garis besar konstitusi dapat dipahami dalam dua garis utama, yakni konstitusi sebagai aturan dasar tertulis, dan konstitusi sebagai praktek atau kebiasaan tentang penyelenggaraan Negara.
Dalam hal ini Miriam Budiardjo menyebutkan, constitution yang diterjemahkan sebagai undang-undang dasar (UUD) adalah kultur Belanda dan Jerman; yang menganggap konstitusi itu sebagai naskah tertulis. Menyebut konstitusi hanya semata sebagai UUD sebenarnya ada kekurangan dan kesukaran sebab yang kita bayangkan langsung adalah suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan suatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peratutran, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Subtansi dari konstitusi adalah konsensus. Konsensus merupakan jaminan bagi tegaknya konstitusionalisme. Disaman modern kita mengenal ada tiga prinsip yang menjadi sandaran dari sebuah consensus , yakni: kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama, kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara, dan kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan. Ditambahkan selanjutnya oleh Jimly Assidiqie, bahwa konstitusi memiliki fungsi-fungsi fokok seperti: sebagai penentu dan pembatas kekuasaan organ Negara, pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara, pengatur hunbungan kekuasaan antar organ Negara dengan warga Negara, pemberi atau sumber legitimasi kekuasaan Negara, penyalur dan pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan asli ke organ Negara, simbol pemersatu, sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan, pusat upacara, sebagai sarana pengendalian masyarakat baik dalam arti sempit bidang politik, maupun dalam arti luas dalam bidang sosial dan ekonomi.
Di Negara nusantara ini, konstitusi dipahami sebagai UUD, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dalam bentuk kebiasaan penyelenggaraan kenegaraan. Apa yang penting kita lihat dari terma konstitusi ini adalah “aturan / kebiasaan dasar” dan “Negara”. Kedua variabel ini, dalam satu pengertian, akan membawa kita pada pemahaman mengenai maksud dari ‘istilah’ STATEGI KONSTITUTIF, yang kita gunakan dalam tulisan ini. Fungsi-fungsi dari konstitusi dalam satu bagian juga merupakan bagian yang penting terkait dengan terma ‘stategi’. Dan strategi sendiri akan coba kita jelaskan secara tersendiri.
Negara sebagaimana dipahami secara umum adalah organisasi masyarakat paling besar, bukan hanya secara tehnis tetapi juga kuat secara fundamental, karena didalamnya termuat kekuasaan-kekuasaan yang ‘masif’, berupa kekuasaan eksekutif, lelgislatif dan yudikatif. Sebagai organisasi, Negara, inklud dalam dirinya tujuan-tujuan atau harapan ideal dan mekanisme-mekanisme serta prosedural-prosedural. Dan konstitusi akan menjadi ‘rel’ terselenggaranya dan bekerjanya Negara untuk mencapai tujuan dan harapan ideal tersebut. Negara dengan legitimasi kekuasaan yang dimilikinya dengan sendirinya memiliki daya untuk menggerakkan potensi dan kekuatan yang ada dalam kekuasaannya untuk mencapai visi dan misi Negara. Negara dengan demikian adalah semacam alat yang digunakan manusia modern untuk mencapai tujuan hidupnya sebagai masyarakat.
Ada dua terma penting dari pembicaraan ini dalam hubungannya dengan startegi ‘masa depan’; pertama adalah konstitusi, dan kedua adalah Negara. Peranan dan fungsi dari sebuah konstitusi sebagai khas pada Negara-negara modern adalah vital dalam pengelolaan masa depan subtansial dari masyarakat. Dan Negara sebagai media mekanis bagi upaya-upaya pragmatis pencapaian tujuan masyarakat, memiliki peran urgen secara operasional yang memungkinkan pencapaian tujuan pada masa depan. Konstitusi memuat nilai dan paradigma/ideologi masyarakat dan Negara mengandung daya cipta untuk mewujudkan nilai-nilai dan paradigma/ideologi masyarakat secara nyata.
Oleh karena itu keberadaan konstitusi dan Negara menjadi urgen posisinya dalam mencapaian masa depan sebuah masyarakat. Bangunan dan wajah masyarakat masa depan secara relatif tercermin dalam subtansi konstitusi sebuah Negara dan juga dapat terindikasikan pada upaya atau tindakan-tindakan pemerintahan Negara dalam program-progam yang rencanakan maupun yang direalisasikan. Paling tidak dalam konteks ini, konstitusi sebuah Negara dapat dipertimbangkan sebagai sebuah Strategi Masa Depan, baik dalam pengertian mengikuti, mengantisipasi maupun menciptakan masa depan.
Jejak Historis dan Kebutuhan ‘redefenisi’ konstitusi
Kita mengetahui sejarah kelahiran ‘konstitusi’, apa setting sejarahnya, nilai-nilai yang melandasainya dalam sejarah tersebut dan motiv politik dari proses kelahirannya. Dan dari sejak kelahitan pertama kelahiran konstitusi hingga diabad modern saat ini; fungsi dan peranannya banyak mengalami pergeseran-pergeseran. Setting jerarah baru, nilai-nilai baru serta motiv-motiv baru, turut berperan dalam terjadinya pergeseran fungsi dan peran dari konstitusi ini.
Dari sisi histori konstitusi, dicatat oleh Prof. H. Dahlan Thaib bahwa fungsi dan peranan konstitusi dari waktu kewaktu berubah-ubah:
Pada masa peralihan dari Negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke Negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan peranannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti individualism, liberalism, universalisme dan demokrasi. Selanjutnya kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan ideologi yang melandasi Negara.
Dalam sejarahnya di dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas kewenangan penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang progresif dan militant, konstitusi menjadi alat rakyat untuk konsulidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk Negara. Berhubung dengan itu konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan Negara, dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.
Artinya perubahan peran dan fungsi konstitusi ‘bermotiv’ kontekstual. Ragam konteks dalam suatu masyarakat pada kurun masa tertentu secara langsung atau tak langsung mempengaruhi pergeseran fungsi dan peranan dari konstitusi. Sejatinya konstitusi baik dalam level ‘teoritis’ maupun tataran ‘praksis’ berbeda dari masa ke masa pada satu Negara dengan Negara lainnya. Poin kita pada sisi ini adalah bahwa konstitusi dalam ranah peradaban yang post-modern saat ini, relatif, harus mengelami ‘pergeseran-pergeseran’ baru, mengingat banyak dari fenomena sosial, politik, hukum , ekonomi dan sendi-sendi kehidupan lainnya juga telah ‘beroperasi’ pada situasinya yang ‘berbeda’ dan serba ‘baru’. Yang oleh karena itu membutuhkan ‘penyegaran konstitusi’ dalam segala pengertiannya. Sebagaimana dalam sejarahnya konstitusi merupakan respon akan apa kebutuhan ‘hari ini’ dari masyarakatanya. Situasi tradisional tentu saja berbeda dengan situasi modern dan post-modern dalam ragam nilai, praktek dan ‘tujuan-tujuan ideal’.
Sejarah kekinian kita yang bercorak ‘global civilization’ menuntut setiap bangsa yang untuk melakukan banyak penyesuaaian-penyusuaian dengan ‘situasi global’ dengan karakteristik nilai-nilainya, praktek-praktek seluruh level kehidupan internasionalnya serta harapan-hrapan universal yang ingin ditujunya. Penyesuaian dalam pengertian ini boleh bermakna mengikuti sepenuhnya, mengantisipasi dampaknya, mengikuti sebagian dan memberi warna ‘lokal’ pada sistem kita dan/atau melawan sistemnya dengan menampilkan sistem kita secara berbeda atau berlawanan. Pilihan-pilihan penyesuaian ini tentu jatuh pada ‘nilai-nilai’ yang kita anut dan pertimbangan rasional dalam segala dimensinya pada sistuasi masa kini dan kemungkinan tentang masa depan kita; dalam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa.
Dalam konteks itulah menurut hemat saya, kita membutuhkan penyegaran fundamental segala sendi kehidupan bernegara dan berbangsa kita; salah satunya adalah ‘meredefifnisi’ konstitusi sebagai langkah awal yang mendasar bagi pengoperasiannya secara stategis dimasa kini dalam situasi dunia yang serba ‘terhubung’. Dengan demikian kita dapat mempertimbangankan dimensi konstitusi sebagai sebagai STRATEGI bangsa dan Negara dalam lingkup ‘global civilization’.
Sifat konstitusi yang fundamental-mengikat terhadap bekerjanya Negara yang memiliki kekuasaan ini menjadi pertimbangan utama untuk menjadikan dimensi konstitusi sebagai sebuah strategi pencapaian masa depan masyarakat sebuah bangsa. Menyebut KONSTITUSI SEBAGAI STRATEGI tidak bermaksud mengecilkan makna konstitusi itu sendiri, mengingat strategi memiliki makna praktis dan tehnis. Konstitusi juga demikian halnya memiliki makna pragmtais dan tehnis dalam tataran fungsi dan peran. Sehingga menyebut konstitusi sebagai stategis tidak dengan sendirinya mengerdilkan makna konstitusi. Hanya bahwa dengan menggandenakannya dengan terma stategi, maka makna konstitusi menjadi lebih aplikatif dan operasional. Meskipun juga trategi tidak melulu hal-hal mengenai tetek-bengek tahnis dan praktis, tetapi juga nilai-nilai dasar dan bersiat visioner.
Lalu bagaimana memahami terma KONSTITUSI SEBAGAI STATEGI dalam me(re)konstruksi masa depan bangsa? Dari ragam pemaparan awal, kita dapat menjelaskan bahwa kontitusi dalam posisinya yang mendasar bagi pelaksanaan Negara memuat unsur paling mengikat dari nilai-nilai dasar sebuah bangsa dan tata cara pelaksanaan sebuah kekuasaan bagi cita-cita ideal masyarakat bangsa yang dilingkupinya. Dan strategi dipahami umum sebagai menggerakkan seluruh sumber daya potensial dan aktual dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Sementara masa depan bangsa adalah harapan ideal yang dicita-citakan oleh sebuah bangsa baik dalam bentuknya yang terencana (tertulis dalam ‘lembaran negara’) maupun sebagai cita-cita yang hidup secara sosial-kultural dalam kehidupan masyarakat sebagai paraktek-praktek kehidupan yang nyata. Dari pengertian-pengertian ini kita dalam membuat simpulan bahwa, yang dimaksud dengan Konstitusi Sebagai Strategi bagi masa depan bangsa adalah upaya menggerakkan semua elemen yang bersifat konstitutif yang potensial dan aktual untuk mewujudkan harapan masyarakat yang bersendikan nilai-nilai dasar mereka yang bersifat khas kebangsaan, yang dilakukan/diterapkan dalam situasi kekinian masyarakat nasional dan global. Secara sederhana kita dapat menamai strategi ini sebagai STRATEGI KONSTITUTIF.
Strategi Konstitutif Sebuah Diskurus Awal
Membicarakan masa depan kita tidak bisa melepas diri dari pembicaraan mengenai ketidakpastian. Dalam banyak hal, pada dekade mutahkir di Negara nusantara ini, ragam kondisi kehidupan masyarakat kita seolah-olah terobang-ambing dalam labirin ketidakpastian akibat derasnya perubahan situasi dunia dan seringkali tidak terprediksikan. Pemerintahan, juga dalam banyak hal, seringkali merespon situasi yang berubah dalam kelipatan pendek itu dengan respon ‘seadanya’ untuk sekedar menstabilkan situasi secara temporer. Dan kita mengetahui dampak dari respon itu tidak sedemikian signifikan terhadap kondisi yang betul-betul diinginkan. Hal ini terjadi pada hampir semua level pemerintahan, dan hanya mengesankan ‘ketidakmampuan negara’ dalam beretas jalan ‘baru’ menuju masa depan bangsa yang diiginkan.
Lalu apa yang mungkin bisa dilakukan ‘oleh’ Strategi Konstitutif ini dalam ranah kehidupan keindonesiaan kita pada masa mutakhir ini? Terlebih dahulu harus difahamkan bahwa, strategi konstitutif ini lebih berorientasi masa depan dari sisi vision, stategi yang secara khusus diterapkan dalam kondisi sosial, ekonomi, budya dan politik yang telah ‘tercemar’ dampak dari penerapan sistem global yang terus berlangsung sangat progresif dengan motivasi hegemonik dalam skala masif, saat ini. Masalah-masalah yang coba untuk di’tangani’ oleh strategi konstitutif ini adalah pengaruh kehidupan dan perubahan global yang secara langsung atau tidak langsung menyentuh kehidupan nasional kita dan berpeluang menggeser nilai-nilai dan praktek-parakter dasar yang secara khas milik kita sebagai sebuah masyarakat bangsa dengan segala keistimewaannya.
Berikut ini adalah gambaran kerangka dasar Strategi Konstitutif yang mencakup beberapa elemen pokok sebagai berikut:
1. Kesadaran mendalam akan eksistensi sejati kita sebagai sebuah bangsa dengan nilai-nilai dasar, kebudayaan yang khas, dan visi kebangsaan kita yang tercermin dalam sejarah kenusantaraan kita masa lampau dan fase kemoderenan kita dengan karakteristik Negara demokratis yang dibangun menurut nilai-nilai kebudayaan kita sendiri.
2. Memahami secara komprehensif dampak (baik dan buruk) dari penerapan sisitem global terhadap kehidupan masyarakat kita dalam semua lini kehidupan nasional kita.
3. Mengokohkan jati diri kebangsaan kita yang khas tersebut dalam UUD agar menjadi panduan ‘paradigmatik’ bagi upaya lanjutan yang bersifat integratif.
4. Meyiapkan kelembagaan yang kuat (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang visi misinya adalah turunan dari jiwa dan jati diri kebangsaan kita yang termaktub dalam UUD.
5. Produksi regulasi dan kebijakan non-regulatif merupakan terjemahan langsung dari kehendak UUD. (Prosesnya harus bebas dari elemen asing/inervensi)
6. Menyiapkan SDM pelaksana visi dan misi konstitutif dalam semua level birokrasi yang berintegritas moril kebangsaan.
Tentu saja gambaran umum ini membutuhkan penjelasan yang lebih jernih dan implementatif sehingga keseluruhan gambaran mengenai Strategi Konstutif dalam kelihtan secara utuh. Secara umum dapat kita katakan bahwa Strategi Konstutif akan menjadikan Negara sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh terhadap eksekusi stategi. Sesuai sifat konstitusi yang hanya bekerja dalam level organisasi Negara, maka Negara dalam segala pengertiannya menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan Strategi Konstitutif ini. Hal ini mengingat dampak sistem global skala pengaruhnya dalam bidang-bidang kehidupan nasional sangat luas dan dalam karena menyentuh semuah lapisan masyarakat, sehingga membutuhkan peran Negara secara sistemik. Hal lain juga karena sistem global ini merupakan interkoneksitas antar Negara-negara dalam semua lingkaran-lingkaran kawasan dunia, dimana Negara haruslah dominan fungsinya.
Daftar Pustaka
Adzkar Ahsinin, 2005, Ancaman Globalisasi Terhadap Implementasi Hukum Lingkungan :
Sebuah Tinjauan Perspektif Feminist Legal Theory, Jakarta.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Globalisasi, Hiperregulasi, Dan Masa Depan Peradilan Tata Usaha Negara, http://cakimptun4.wordpress.com/artikel/globalisasi-hiperregulasi-dan-masa-depan-peradilan-tata-usaha-negara/
Eleonora B. Masini, 2004, Studi Futuristik, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Prof. Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
Label: futures study, stategi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda