KOLERASI PARADIGMATIK ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM DENGAN PANCASILA SEBAGAI GROUNDNORM
Oleh Syafruddin Muhtamar
1. Pengantar
Kita sering memperdebatkan mengenai problem utama manusia baik dia sebagai masyarakat maupun sebagai individu, apakah problemnya adalah nilai/ide/gagasan/konsep (dipersingkat menjadi kebutuhan jiwa) atau apakah problem kita satu-satunya hanyalah masalah bendawi/material/atau pisik (dipersingkat menjadi kebutuhan jasmani) saja?
Perdebatan ini telah berlangsung panjang dalam sejarah intelektualitas manusia, dibicarakan bukan hanya dari segi kedalammnya secara filosofis ataupun akademik, tetapi juga diperbincangkan secara ‘awam’ oleh masyarakat pada umunnya dalam kehidupan kita sebagai manusia yang memiliki kecenderungan alamiah untuk mempertanyakan beragam hal.
Namun tulisan ini tidak bermaksud untuk turut memperpanjang materi perdebatan mengenai apakah problematika manusia adalah sepotong idea tau sepotong roti? Faktanya manusia hidup dalam dua ranah itu secara tak terpisahkan. Ide merupakan atribusi dari jiwa kita, sementara ‘makan atau minum dan sex’ merupakan atribusi dari kebutuhan biologis kita. Dan dinamika sejarah kehidupan masyarakat justeru dipenuhi oleh kedua variabel subtansial tersebut. Bahkan sejarah bergerak dikarenakan oleh realisasi dari suatu ideologi ataupun pelaksanaan kebutuhan manusia akan benda-benda. Banyak sejarah bangsa-bangsa yang vakum atau berkembang pesat karena dorongan sepotong idea atau karena hasrat yang berlebihan terhadap kebendaan.
Hanya yang ingin ditekankan adalah mengenai ide-ide, gagasan dan konsep-konsep yang kemudian terformulasi dalam suatu ilmu pengetahuan maupun terkategori dalam aliran-aliran pemikiran, yang banyak mendapat respon dikalangan elit inteletual maupun pelajar diseluruh dunia. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah aliran-aliran kefilsafatan dalam bidang Filsafat Hukum dan ide-ide yang terformulasikan dalam ideologi Pancasila yang nilai-nilainya telah menjadi semacam groundnorm tersendiri dalam praktek kenegaraan dan kebangsaan Indonesia.
Kita memahami dalam dunia pengetahuan terjadi banyak sekali faksi-faksi pemikiran, baik dalam pokoknya maupun cabang-cabangya, baik yang menjadi mainstrem dan memperoleh banyak pengikut, maupun yang ‘tidak populer’ namun seringkali dirujuk sebagai sumber pemikiran. Banyak diantara aliran-aliran pemikiran itu mampu bertahan dan dapat menembus perubahan zaman, bahkan nama tokoh pencetusnya menjadi abadi sepanjang masa. Hal ini terjadi pada hampir semua kategori atau bidang ilmu pengetahuan, baik yang bercorak filosofis, sosial maupun yang sifatnya eksak.
Yang urgen dari aliran-aliran pemikiran tersebut telah turut berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan-perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat pada hampir seluruh lapisan masyarakat dunia. Ini menunjukkan betapa buah pemikiran yang mendalam dan mencakup secara meluas makna-makna kehidupan akan mampu member pengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
Sebelum lebih jauh kita menelisik hubungan paradigkmatik antara aliran-aliran dalam filsafat hukum dengan nilai-nilai pancasila penting bagi ulasan ini utuk kita mendeskripsi secara sederhana aliran-aliran filsafat hukum tersebut dalam beragam konteksnya baik histori maupun ketokohan serta postulat-postulat pemikiran mereka. Selain itu juga urgen untuk kita paparkan pancasila itu sebagai suatu kumpulan nilai-nilai yang bersifat groundnorm.
2. Aliran-Aliran Filsafat Hukum
Filsafat sebagai ilmu pengetahuan telah menempatkan dirinya sebagai ‘induk’ segala ilmu. Boleh dikatakan bahwa filsafat adalah tempat lahir segala pengetahuan dan ilmu. Mungkin karena sifatnya yang selalu mempertanyakan segala hal hingga kebatas-batas ‘tak tergingga’ secara mendalam untuk memperoleh kebenaran, sehingga filsafat telah memungkinkan lahirnya banyak ilmu pengetahuan bagi manusia, yang saat ini telah terfragmentasi dlam ragam cabang-cabang ilmu pengetahuan.
Salah satunya adalah lahirnya filsafat hukum sebagai konsekwensi keberadan filsafat sebagai ilmu dan realitas dunia hukum dalam masyarakat serta adanya ilmu pengetahuan mengenai hukum. Dari sisi defenisi, Filsafat hukum itu difahami sebagai cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
Dalam filsafat hukum kita juga mengenal beberapa aliran pemikiran yang telah mewarnai ilmu filsafat hukum dari waktu kewaktu. Banyak ahli yang berbeda pendapat mengenai aliran-aliran dalam filsafat hukum, misalnya Satjipto Rahardjo membagi aliran filsafat hukum ke dalam: Teori Yunani dan Romawi, Positivisme dan Utilitarianisme, hukum alam, teori hukum murni, pendekatan sejarah dan antropologis, pendekatan sosiologis. Sementara Soejono Soekanto membaginya kedalam aliran utilitarinisme, mazhab sejarah dan kebudayaan, mazhab formalitas, aliran realisme hukum, aliran sociological yurisprudence. Dan Lili Rasdji membaginya pada mazhab sejarah, aliran hukum alam, aliran hukum positif, sociological yurisprudence, pragmatic legal realism.
Pada dasarnya aliran-aliran filsafat hukum tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri. Sejarah perkembangan filsafat memberikan warna yang beragam dalam bertumbuhnya aliran-aliran filsafat berdasarkan tahapan periode perkembangan filsafat. Dan secara umum kita dapat menggolongkan aliran-aliran filsafat hukum itu kedalam beberapa bagian aliran-aliran penting sebagai berikut:
1. Aliran hukum alam
2. Positivisme hukum
3. Utilitarianisme
4. Mazhab sejarah
5. Sociological yurisprudence
6. Realisme hukum
7. Ajaran hukum bebas
Berikut adalah deskripsi singkat dari masing-masing aliran-aliran pemikiran tersebut diatas.
Aliran Hukum Alam
Sejak 2.500 tahun yang lalu perkembangan hukum alam telah dimulai. Berangkat dari cita-cita yang lebih tinggi. Para pemikir zaman dahulu umumnya menerima suatu hukum, yaitu hukum alam atau hukum kodrat. Berbeda dengan hukum positif sebagaimana diterima oleh orang dewasa ini, hukum alam yang diterima sebagai hukum tersebut bersifat tidak tertulis. Hukum alam ditanggapi tiap-tiap orang sebagai hukum oleh sebab menyatakan apa yang termasuk alam manusia sendiri, yaitu kodratnya.
Huijbers, membedakan penggunaan istilah hukum alam dengan hukum kodrat. Menurut Huijbers istilah yang benar untuk menyatakan hukum yang dimaksud adalah "hukum kodrat" dan bukan "hukum alam". Huijbers menggunakan istilah tersebut berdasarkan pengertian istilah latin lex naturalis (bhs. Inggris: natural law) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi "hukum kodrat" dan bukan lex naturae (bhs.Inggris: law of nature) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi "hukum alam". Secara panjang lebar Huijbers menerangkan sebagai berikut:. Lex natura e merupakan cara sega la yang ada berj alan sesuai dengan aturan semesta alam. Menurut para sofis Yunani (abad 5 SM) dan Thomas Hobbes, Ch. Darwin, H Spencer, dkk., hukum alam itu menguasai kehidupan manusia juga seperti makhluk hidup lainnya yang mengikuti kecenderungan-kecenderungan jasmaninya.
Sebaliknya, lex naturalis menandakan bahwa terdapat tuntutan fundamental dalam hidup manusia yang menjadi nyata dalam wujudnya sebagai makluk yang berakal budi. Dengan mengikuti lex naturalis manusia tidak mengikuti nalurinya yang irasional, melainkan pertimbangan akal budi dan rasa moral. Namun dalam lex naturalis juga diakui bahwa hukum yang dianut bukanlah kegiatan rasional melulu. Hukum itu merupakan bagian aturan alam semesta alam (natura) yang sebenarnya merupakan suatu keseluruhan kosmis yang penuh rahasia yang tidak dapat dijangkau oleh akal budi manusia.
Dalam Bahasa Indonesia, istilah "hukum alam" lebih menandakan lex naturae dalam arti yang umum, yaitu sebagai daya yang menyebabkan bahwa segala yang ada di dunia ini berjalan menurut aturan yang telah ditetapkan. Karenanya untuk mengungkapkan arti lex naturalis sebaiknya dipakai istilah lain yaitu hukum kodrat.
Hukum kodrat lebih kuat dari pada hukum positif, sebab menyangkut makna kehidupan manusia sendiri. Karenanya hukum itu mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai azas bagi hukum yang dirumuskan dalam undangundang tersebut. Dengan kata lain hukum adalah aturan, basis bagi aturan itu ditentukan dalarn aturan alamiah yang terwujud dalam kodrat manusia.
Beberapa tokoh hukum alam yang terkenal seperti pada Zaman klasik tokohnya adalah Aristoteles, pada Abad pertengahan tokohnya adalah Thomas Aquinas, pada Zaman rasionalisme tokonya adalah Hugo Grotius, pada Awal abad XX adalah Messner sebagai salah satu tokohnya.
Positivisme Hukum
Positivisme dalam pengertian modem adalah suatu sistem filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi. Dengan hubungan objektif fakta-fakta ini dan hukurn-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-asul tertinggi (Muslehuddin, 1991: 27). Dengan kata lain, positivisme merupakan sebuah sikap ilmiah, menolak spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Teori ini dikembangkan oleh August Comte, seorang sarjana Perancis yang hidup pada tahun 1798 hingga 1857.
Dimulai dengan pertengahan kedua abad ke-19, positivisme menjalar ke dalam segala cabang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan hukum. ia berusaha untuk mendepak pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai dari ilmu Yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa, dan mendobak tatanan hukum positif. Para positivis mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku; dan hukum positif disini adalah norma-norma yudisial yang dibangun oleh otoritas negara. la juga menekankan pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijaksanaan sosial dan cenderung mengidentifikasikan keadilan dengan legalitas, yaitu ketaatan kepada aturan-aturan yang ditentukan oleh negara.
Positivisme hukum ada 2 bentuk, yaitu positivisme yuridis dan positivisme sosiologis: a) Positivisme yuridis. Dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan postivisme yuridis adalah pembentukan struktur-struktur rasional system-sistem yuridis yang berlaku. Dalam praksisnya konsep ini menurunkan suatu teori bahwa pembentukan hukum bersifat professional yaitu hukum merupakan ciptaan para ahli hukum. b) Positivisme sosiologis. Dalam perspektif positivisme sosiologis, hukum dipandang sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Dengan demikian hukum bersifat terbuka bagi kehidupan masyarakat. Keterbukaan tersebut menurut positivisme sosiologis harus diselidiki melalui metode ilmiah. Tokohnya adalah Auguste Comte (1789/1857) yang menciptakan ilmu pengetahuan baru, sosiologi.
Sarjana yang membahas secara komprehensif sistem positivisme hukum analitik adalah John Austin (1790-1859), seorang yuris Inggris. la mendefinisikan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya. Sehingga karenanya hukum, yang dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya didasarkan pada ide-ide baik dan buruk, dilandaskan pada kekuasaan yang tertinggi (Friedmann, 1990: 258).
Utilitarianisme
Utilitarianisme lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini meletakkan kemanfaatan senagai tujuan hukum. Kemanfaatan diartikan sebagai kemanfaatan (happinnes). Jadi baik buruk atau adil tidak adil hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan pada manusia atau tidak.
Aliran ini tokohnya adalah Jeremy Bentham dan Rudolph Von Jhering. Jeremy Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan suatu yang kacau. Sumbangan terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang di pakai adalah “apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan”. Selanjutnya Betham mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.
Rudolph von Jhering, Ia dikenal dengan ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism. Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.
Mazhab Sejarah
Mazhab sejarah lahir sebagai reaksi atas tiga hal, yakni: rasionalisme abad ke-18, semangat revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya, dan reaksi terhadap pendapatyang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum, karena dianggap undang undang sudah dapat memecahkan semua permasalahan hukum.
Mazhab hukum historis lahir pada awal aabad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul: ‘Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenchaft’ (tentang seruan Zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Tokoh mazhab ini ialah F. Von Savigny dan Sir Henry Maine.
Friedrich Carl Von Savigny; Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat.
Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.
Sir Henry Maine; Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah dari suatu tata hukum dan dengan demikian mengembangkan pengertian, bahwa hukum itu merupakan suatu unikum. Keadaan yang demikian ini menyuburkan dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang bersifat anthropologis. Maine dianggap sebagai yang pertama-tama melahirkan karya yang demikan.
Maine mengatakan masyarakat ada yang “statis” dan ada yang “progresip”. Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu: fiksi, equity dan perundang-undangan. Perubahan masyarakat tidak selalu menuju kepada yang lebih baik. Perjalanan masyarakat menjadi proresip, disitu terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak.
Sociological Yurisprudence
Menurut lili rasjidi, Sociological Yurisprudence menggunakan pendekatan hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat.valiran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses dialektika anatara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah.
Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Eugen Ehrlich; Penulis yang pertama kali menyandang sosiolog hukum (Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912). Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Roscoe Pound; hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapr terpenuhi secara maksimal.
Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis(law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.
Realisme Hukum
Realism hukum berkembang dalam waktu bersamaan dengan Sociological Yurisprudence. Dalam pandangan kaum realism, hukum adalah haris dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas, keperibadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentian bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukumdan hasil hukum dalam kehidupan. Sehingga Karl L lewellyn mengatakan hal yang pokok dalam relisme hukum adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Tokoh yang terkenal dalamaliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn. Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka hakim itu lebih layak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilian, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan.
Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan tersebut.
Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suat dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Lebih jauh Karl Llewellyn menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum.
Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain; hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptkan oleh pengadilan.
Ajaran Hukum Bebas
Aliran ini merupakan penentang paling utama dan paling keras positivisme hukum. Aliran ini pertama kali muncul di jerman dan merupkan sisntesis dari proses dialektika antara ilmu hukum analitis dan ilmu hukum sosiologis.
Aliran ini berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.
3. Pancasila Sebagai Groundnorm
Bangsa ini barangkali patut berbangga dengan keberadaan pancasila sebagai ideologi dari Negara nusantara ini. Mungkin kita termasuk salah satu Negara-negara di dunia ini yang memiliki nilai-nilai khusus yang dasar-dasar historis dan antropologisnya berasal dari kehidupan khas kita sebagai sebuah bangsa timur. Nilai-nilai universal yang digali dari akar budaya dan adat istiadat dari masyarakat nusantara yang bhineka dalam ragam kehidupan.
Adalah pancasila sebagai nama yang dipilih oleh founding father Negara ini sebagai nama dari formulasi nilai-nilai tersebut sebagai suatu yang bersifat groundnorm. Pancasila dapat dipahami dari tiga sisi pengertian, yakni pengertiannya dari sisi etimologis, sisi historis dan sisi terminologis.
Dari sisi etimologis, pancasila bermakna ‘lima dasar’. Dari sisi historisnya pancasila dapat dipahami sebagai haril dari raangkaian sejarah panjang nusantara ini sejak mula kehidupan tradisionalnya hingga terbentuknya nusantara ini sebagai sebuah entitas dengan ciri modern sebagai sebuah Negara merdeka. Sementara dari sisi terminologis, pancasila dapat dipahami sebagai dasar Negara yang tercantum dalam konstitusi UUD1945 yang terdiri dari:
1. Ketuhanan yang maha esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh himat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari segi filosofis pancasila bersifat obyektif karena rumusan dari nilai-nilai pancasila hakekat maknanya yang dalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai; bahwa sebagai nilai, pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan dan keagamaan; dan bahwa pancasila dari segi ilmu hukum dianggap memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental sehingga merupakan sumber hukum positif.
Sebagai suatu nilai, pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan jika nilai-nilai itu dijabarkan dalam norma-norma, maka dapat meliputi: (1) norma moral, ini dapat diukur dari segi baik maupun buruk dari perilaku dari tingkah laku kita, (2) norma hukum, yaitu berupa sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
4. Analisis Hubungan Paradigmatik
Sebelum lebih lanjut, penting untuk kita memahami apa yang dimaksud dengan paradigmatik tersebut, dan apa yang kita maksudkan dengan hubungan. Hal ini agar kita memperoleh pandangan secara umum mengenai apa yang akan kita tuju. Karean tujuan tulisan ini adalah mencoba untuk menemukan titik-titik singgung ataupun pertautan atau hubungan nilai antara subtansi nilai yang ada dalam aliran-aliran filsafat dengan subtansi niali dari ideologi pancasila.
Dari pengertinnya PARADIGMA seringkali dimaknai sebagai gagasan dasar mengenai realitas yang menjadi basis konstruksi sebuah pandangan dunia. Sementara HUBUNGAN secara umum dipahami sebagai suatu yang menjadi kaitan antara dua hal berbeda ataupun dua hal yang sama. Itu adalah semacam defenisi operasional yang kita gunakan untuk mengetahui apa dan bagaimana hubungan aliran-aliran filsafat hukum itu dengan pancasila.
Analisis ini akan kita mulai dengan terlebih dahulu melakukan penglasifikasian mengenai standar nilai apa yang terdapat dalam masing-masing aliran pemikiran dalam filsafat hukum tersebut, termasuk menglasifikasikan standar nilai yang termaktub sebagai makna-makna dalam rumusan pancasila.
Sebagaimana kita ketahui pada bagian awal tulisan ini, bahwa aliran-aliran pemikiran yang terdapat dalam filsafat hukum digolongkan dalam: Aliran hukum alam, Positivisme hukum, Utilitarianisme, Mazhab sejarah, Sociological yurisprudence, Realisme hukum, dan Ajaran hukum bebas. Untuk mempermuda pengetahuan kita mengenai klasifikasi nilai pada masing-masing aliran, kita akan menggunakan tabelisasi sebagai berikut:
Sementara formulasi pancasila yang terdiri atas lima sila dengan spesifikasi makna masing-masing dapat kita tabelisasi sebagai berikut:
Dengan memperhatikan tabel-tabel diatas, secara komparatif kita bisa melihat kandungan-kandungan nilai dari aliran-aliran pemikiran tersebut. Deskripsi ini memberi gambaran kepada kita mengenai karakteristik masing-masing dari corak nilai pemikiran yang ada. Dan dari karakteristiknya kita dapat memahami kontektualisasi bagi penerapan nilai tersebut dalam sistem kehidupan masyarakat.
Dalam menarik hubungan paradigmatik antar aliran-aliran pemikiran itu dan pancasila sebagai groundnorm, kita harus memberi defenisi terlebih dahulu mengenai apa yang kita maksud dengan HUBUNGAN PARADIGMATIK . Sebagai mana telah kita buat defenisi operasional terhadap Hubungan dan Paradigmatik pada bagian terdahulu, maka kita dapat mendefinisikan hubungan paradigmatik itu sebagai persamaan atau perbedaan subtansi dari nilai pemikiran atau gagasan dasar yang ada.
Dalam konteks pengertian tersebut, sebenarnya kita secara terang dapat melihat perbedaan dan persamaan subtansi nilai dari masing-masing postulasi yang ada dalam kerangka-kerangka pemikiran dasar tersebut diatas. Namun pengertian HUBUNGAN PARADIGMATIK dalam tulisan ini, penulis ingin memaknainya sebagai sejauh mana kerangka dasar nilai-nilai pancasila sebagai ideologis bangsa ini dapat secara terbuka atau tertutup terhadap beragam aliran-aliran pemikiran yang tidak lahir dari sejarah pemikiran Indonesia, namun dari sejarah pemikiran dunia barat.
Kita memahami bahwa aliran-aliran pemikiran dalam filsafat hukum yang kita deskripsikan tersebut diatas basis peradaban yang melahirkannya adalah peradaban Negara barat, yang dalam banyak hal terdapat perbedaan paradigma dalam memandang kehidupan. Dalam hal inilah kita akan melihat hubungan paradigmatik yang dimaksud. Artinya sejauh mana dalam tataran pragmatis ajaran pancasila itu dapat menerima nilai-nilai ajaran dari pemikiran-pemikiran yang ada dalam dunia hukum.
Jika kita melihat realitas kehidupan hukum nasional kita yang menggunakan hukum positif sebagai sistem hukum dalam mengatur kehiduan berbangsa dan bernegara, maka sesengguhnnya kerangka ideologi kita telah memugkinkan hal tersebut secara subtansial dari nilai-nilai pancasila. Kita memahami pancasila adalah landasan filosofi bangsa dan jiwa dari proses implementasi sistem kenegaraan dan juga menjadi sumber hukum tertinggi, maka sesunguhnya nilai-nilai pancasila sebagai groundnorm memiliki sifat fleksibilats terhadap nilai-nilai pemikiran lain untuk saling berintegrasi maupun hidup berdampingan. Responsibilitas karena keluasan makna dan universalime dari sila-sila pancasila memungkinan formulasi ideologi ini menjadi sangat terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan adanya nilai-nilai lain yang mungkin hanya berbeda dari predikat namun secara subtasial nilai tidaklah jauh berbeda.
Jika dibuat kategorisasi, responsibilitas kerangka nilai pancasila terhadap kerangka-kerangka pemikiran lain, dapat kita bedakan bentuk respon itu dalam beberapa bentuk respon:
1. Respon secara aksiologis
2. Respon secara politis
3. Respon secara sosiologis
Secara aksiologis, kelihatannya nilai-nilai pancasila lebih bisa berkesesuaian dengan beberapa aliran-aliran pemikiran dalam filsafat hukum seperti: Aliran Hukum Alam, Mazhab Sejarah Dan Sociological Yurisprudence. Secara politis, dari fenomena yang ada, pancasila sebagai ideologi Negara telah memberi ruang implementatif yang lebih luas terhadap aliran Hukum Positif dan Realisme Hukum. Secara sosiologis, pragmatisme dan atau etika dari nilai-nilai pancasila akan mudah untuk merespon aliran-aliran pemikiran seperti Aliran hukum alam, Positivisme hukum, Utilitarianisme, Mazhab sejarah, Sociological yurisprudence, dan Realisme hukum.
5. Kesimpulan
Aliran-aliran pemikiran yang terdapat dalam filsafat hukum, telah memberi warna tersendiri bagi ragam sistem hukum dalam banyak bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali pada bangsa nusantara ini. Betapa besar dan mendalam secara sistemik pengaruh aliran-aliran itu sehingga sistem yang dilahirkannya mampu bertahan dalam rentang waktu yang panjang dalam sejarah manusia.
Dalam ranah akademik aliran-aliran pemikiran ini menemukan habitatnya untuk melakukan dialektika dalam ragam pemikiran lainnya, dalam rangka untuk memperkokoh sistem yang telah terbangun sebelumnya. Misalnya di neggara nusantara ini, yang mengadopsi sistem hukum eropa, maka seluruh materi pelajaran ilmu hukum yang dipelajari dalam level pendidikan tinggi didominasi aliran-aliran mainstream dari asal usul sistem hukum yang kita gunakan tersebut, yakni dunia barat. Maka dampaknya semakin kokolah sistem itu secara subtansial, karena telah dibenamkan secara logis, rasional, obyektif dalam kognisi kita sebagai warga bangsa atau para elit kita sebagai pelaku operasional Negara.
Nilai-nilai pancasila sebagai groundnorm telah menunjukkan sifat flesibilitasnya yang tinggi, tidak hanya keterbukaanya pada perubahan-perubahan kehidupan dunia yang terjadi yang memperngaruhi kehidupan nasional, tetapi juga responsibilitasnya terhadap ragam nilai-nilai kehidupan dunia yang turut memberi warna dalam kehidupan masyarakat kita, khusunya dalam bentuk sistem hukum.
Daftar Pustaka
- Prof. Dr. Sukarno Buraera, 2010,Filsafat Hukum, penerbit refleksi, makassar.
- Dr. Kaelan,M.S, 2004, pendidikan Pancasila, paradigma, Yogyakarta.
- http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum
- http://catatanseorangmahasiswahukum.blogspot.com/2010/01/aliran-aliran-pemikiran-dalam-filsafat.html
Label: Dunia Hukum, Filsafat Hukum
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda