Selasa, 22 Juli 2014

DI JALUR GAZA TIADA UJUNG SENGSARA

Oleh Syafruddin Muhtamar

Duka kembali datang bagi warga Palestina. Bulan suci yang seharusnya dijalani dalam suka cita, tetapi ternoda keberutalan perang yang disulut Israel. Serangan udara menelan jiwa anak-anak tak berdosa, membunuh puluhan ibu dan orang-orang tua. Memorak-porandakan rumah dan gedung-gedung tempat tinggal mereka. Kesyahduan dan kekhusukan ibadah bulan suci raib bersama kecemasan, rasa takut dan ketakberdayaan yang melanda warga Palestina, terutama diwilayah Gaza. Agresi Israel penuh nafsu itu meronrong ketenangan dan kedamaian ibadah warga menjadi kengerian yang mencekam sepanjang hari.
Seluruh mata dunia membelalak, terkesima dan kemudian sayu kembali. PBB telah mengeluarkan suaranya membenarkan tindakan Israel, meskipun memberi ruang mungkin bagi pelangaran hukum perang. Negara ‘berlabel’ muslim berlombah-lombah menggalang bantuan kemanusiaan untuk meringankan derita warga korban keberutalan agresor zionis. Warga muslim memenuhi jalan-jalan kota, protes tindakan keji tentara Israel. Hal yang berulang-ulang terjadi sepanjang sejarah ‘perang’ Israel-Palestina. Namun derita warga Palestian tiada kunjung usai ditengah hiruk pikuk usaha perdamaian dan kemanusiaan dari berbagai bangsa-bangsa dunia.
Apakah sejarah akan melangggengkan derita itu hingga akhir hayatnya? Atau hingga Palestina hilang dari peta dunia, tanpa harus menunggu akhir sejarah? Sejarah pulalah akhirnya kelak akan menjawab. Selama ini warga dunia, hanya diliputi ketidakmengertian atas permusuhan ‘abadi’ ditanah arab itu. Sejarah keagamaan Musa pada masa silam yang panjang menjadi faktor kunci atas konflik yang terjadi akibat tangan-tangan manipulatif dari bangsa-bangsa yang serakah akan kekuasaan duniawi. Sejak mendeklarasikan negara 1948, Israel telah menduduki 70 % tanah Palestina sebagai wilayah pemerintahannya. Kehidupan warga Palestina semakin tersudut dalam wilayah yang semakin mengecil. Dan terus-menerus dalam penderitaan sepanjang penjajahan itu; blokade ekonomi dan pembatasan akses dengan tembok-tembok politik sepanjang perbatasan Negara makin memperburuk keadaan bangsa yang terjajah ini.
Perang mutakhir antara dua ‘seteru’ ini telah berlangsung hampir dua pekan puasa ramadhan. Tercatat hampir 200 warga palestina syahid, ratusan lainnya harus dirawat karena menderita luka dan banyak yang lainnya terpaksa mengungsi dalam perang di bulan suci ini. Hal yang sama dilakukan Israel dalam perang delapan hari 2012 lalu, yang banyak pihak menyebutnya sebagai genosida. Dan sebelumnya, pada tahun 2008-2009, angkara murka tentara Israel menewaskan 1.400 orang, 350 diantaranya anak-anak, lebih 5.000 orang terluka. Israel begitu bernafsu menghancurkan kehidupan warga Palestina, yang sekian lama tidak berdaya. Dan nampak perang kali inipun, tidak ada sinyalemen Israel akan menghentikan keberutalannya. Serangan udara yang digencarkan sejak awal, akan diperkuat dengan serangan darat. Jalur Gaza kali ini menjadi sasaran empuk untuk serangan kejam kesekilan kalinya.
Wilayah Gaza merupakan pilihan ‘pavorit’ tentara Israel karena menjadi basis utama kelompok Hamas, yang dalam garis perjuangannya hanya menghendaki ‘one state solution’ artinya tidak ada Negara Israel dalam benak mereka. Selain bahwa Negara Israel hanyalah bangsa menjajah yang harus enyah dari bumi Palestina. Agak sedikit berbeda dengan Fatah, kelompok perjuangan yang masih melihat kemungkinan ‘two state solution’ dalam garis perjuangnya. Namun dekade belakangan dalam pemerintahan Palestina, kedua kelompok perjuangan rakyat ini telah bersatu dan bahu-membahu membangun masa depan Negara, membangun kehidupan yang merdeka. Realitas ini membuat Israel kelabakan menghadapi kemungkinan kekuatan penyatuan tersebut. Refleksinya kemudian adalah perang brutal dan membabi buta.
Gaza lalu menjadi wilayah tragedi kemanusiaan. Di atas tanahnya seluas 365 kilometer pesegi, panjang 40 kilometer dan lebar 13 kilometer, warga hidup dalam ‘kesumpekan’ yang menekan jiwa dan raga karena kesengsaraan. Penjajahan Israel telah menjadikan Gaza bagaikan ‘penjara’, bahkan banyak menyebutnya sebagai ‘penjara terbesar dan terpanjang di dunia’. Hampir disebagian besar perbatasan wilayahnya tertutup tembok pembatas yang dibangun Israel. Menyebabkan warga hidup dalam kungkungan tembok kehidupan yang sempit dan tertutup. Pos-pos penjagaan bertebaran dimana-mana mengawasi warga Gaza yang ingin bepergian keluar wilayah. Kekebasan mereka demikian terampas oleh tentara-tentara Israel yang berjaga di seluruh perbatasan. Hampir setiap dekade udara langit Gaza dihiasi gunungan api dari ledakan bom serangan Israel yang tanpa ampun menghujam jantung kehidupan warga.
Penderitaan panjang bangsa Palestina, nampaknya terus akan menghiasi ruang-ruang baca dan ingatan kita. Seruan-seruan damai dunia Internasinal dari semua pihak yang berkompeten, diabaikan Israel bagai aroma angin tak sedap. Serangan keberutalan terus saja dipertontonkan dalam perang yang tidak seimbang. Jika menilik sejarah, rangkaian panjang tragedi kemanusiaan di Palestina, bermula juga dari sebuah ‘keberutalan’. Pengingkaran perjanjian tentang ‘penyerahan tanah jajahan kepada bangsa Arab’ (1915) oleh Inggris setelah perang dunia pertama, dan menyokong penuh deklarasi Balfour (1917) bagi ‘national home’ orang-orang Yahudi di tanah Palestina, adalah sebuah ‘keberutaalan’. Maka kesengsaraan Palestina adalah hasil dari warisan keberutalan demi keberutalan pihak-pihak tidak bertanggungjawab dalam sejarah dikawasan tersebut. Dan Israel telah menjadi monster pemangsa ‘abadi’ bagi kehidupan orang-orang Palestina disetiap masa.
Bagi Israel menyerang jalur Gaza sudah menjadi ritual pesta empat tahunan. Eskalasi serangan dan korban yang bergelimpangan mengggambarkan sikap Israel yang tanpa kemanusiaan meluhlantakkan kehidupan masyarakat yang tak berdaya. Israel sedemikian tidak perduli terhadap apapun dan siapapun demi ambisi membangun tanah airnya sendiri. Tanah air illegal yang dibangun dengan jeritan sengsara masyarakat Palestina bertahun-tahun. Derita kesengsaraan berulang-ulang yang masyarakat dunia saksikan sepanjang abad ini. Mungkinkah kelak suatu masa, sejarah akan memihak pada penderitaan itu dan menghentikan cucuran air mata kesedihan yang tiada pernah bisa tertahankan dari masyarakat Palestina?        

   



     


     
      

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda