Oleh Syafruddin Muhtamar
Duka kembali
datang bagi warga Palestina. Bulan suci yang seharusnya dijalani dalam suka
cita, tetapi ternoda keberutalan perang yang disulut Israel. Serangan udara
menelan jiwa anak-anak tak berdosa, membunuh puluhan ibu dan orang-orang tua.
Memorak-porandakan rumah dan gedung-gedung tempat tinggal mereka. Kesyahduan
dan kekhusukan ibadah bulan suci raib bersama kecemasan, rasa takut dan
ketakberdayaan yang melanda warga Palestina, terutama diwilayah Gaza. Agresi
Israel penuh nafsu itu meronrong ketenangan dan kedamaian ibadah warga menjadi
kengerian yang mencekam sepanjang hari.
Seluruh mata
dunia membelalak, terkesima dan kemudian sayu kembali. PBB telah mengeluarkan
suaranya membenarkan tindakan Israel, meskipun memberi ruang mungkin bagi
pelangaran hukum perang. Negara ‘berlabel’ muslim berlombah-lombah menggalang
bantuan kemanusiaan untuk meringankan derita warga korban keberutalan agresor
zionis. Warga muslim memenuhi jalan-jalan kota, protes tindakan keji tentara
Israel. Hal yang berulang-ulang terjadi sepanjang sejarah ‘perang’
Israel-Palestina. Namun derita warga Palestian tiada kunjung usai ditengah
hiruk pikuk usaha perdamaian dan kemanusiaan dari berbagai bangsa-bangsa dunia.
Apakah sejarah
akan melangggengkan derita itu hingga akhir hayatnya? Atau hingga Palestina
hilang dari peta dunia, tanpa harus menunggu akhir sejarah? Sejarah pulalah
akhirnya kelak akan menjawab. Selama ini warga dunia, hanya diliputi
ketidakmengertian atas permusuhan ‘abadi’ ditanah arab itu. Sejarah keagamaan Musa
pada masa silam yang panjang menjadi faktor kunci atas konflik yang terjadi
akibat tangan-tangan manipulatif dari bangsa-bangsa yang serakah akan kekuasaan
duniawi. Sejak mendeklarasikan negara 1948, Israel telah menduduki 70 % tanah
Palestina sebagai wilayah pemerintahannya. Kehidupan warga Palestina semakin
tersudut dalam wilayah yang semakin mengecil. Dan terus-menerus dalam
penderitaan sepanjang penjajahan itu; blokade ekonomi dan pembatasan akses
dengan tembok-tembok politik sepanjang perbatasan Negara makin memperburuk
keadaan bangsa yang terjajah ini.
Perang mutakhir
antara dua ‘seteru’ ini telah berlangsung hampir dua pekan puasa ramadhan.
Tercatat hampir 200 warga palestina syahid, ratusan lainnya harus dirawat
karena menderita luka dan banyak yang lainnya terpaksa mengungsi dalam perang
di bulan suci ini. Hal yang sama dilakukan Israel dalam perang delapan hari
2012 lalu, yang banyak pihak menyebutnya sebagai genosida. Dan sebelumnya, pada
tahun 2008-2009, angkara murka tentara Israel menewaskan 1.400 orang, 350
diantaranya anak-anak, lebih 5.000 orang terluka. Israel begitu bernafsu
menghancurkan kehidupan warga Palestina, yang sekian lama tidak berdaya. Dan
nampak perang kali inipun, tidak ada sinyalemen Israel akan menghentikan
keberutalannya. Serangan udara yang digencarkan sejak awal, akan diperkuat
dengan serangan darat. Jalur Gaza kali ini menjadi sasaran empuk untuk serangan
kejam kesekilan kalinya.
Wilayah Gaza
merupakan pilihan ‘pavorit’ tentara Israel karena menjadi basis utama kelompok
Hamas, yang dalam garis perjuangannya hanya menghendaki ‘one state solution’
artinya tidak ada Negara Israel dalam benak mereka. Selain bahwa Negara Israel
hanyalah bangsa menjajah yang harus enyah dari bumi Palestina. Agak sedikit
berbeda dengan Fatah, kelompok perjuangan yang masih melihat kemungkinan ‘two
state solution’ dalam garis perjuangnya. Namun dekade belakangan dalam
pemerintahan Palestina, kedua kelompok perjuangan rakyat ini telah bersatu dan
bahu-membahu membangun masa depan Negara, membangun kehidupan yang merdeka.
Realitas ini membuat Israel kelabakan menghadapi kemungkinan kekuatan penyatuan
tersebut. Refleksinya kemudian adalah perang brutal dan membabi buta.
Gaza lalu
menjadi wilayah tragedi kemanusiaan. Di atas tanahnya seluas 365 kilometer
pesegi, panjang 40 kilometer dan lebar 13 kilometer, warga hidup dalam
‘kesumpekan’ yang menekan jiwa dan raga karena kesengsaraan. Penjajahan Israel telah
menjadikan Gaza bagaikan ‘penjara’, bahkan banyak menyebutnya sebagai ‘penjara
terbesar dan terpanjang di dunia’. Hampir disebagian besar perbatasan wilayahnya
tertutup tembok pembatas yang dibangun Israel. Menyebabkan warga hidup dalam
kungkungan tembok kehidupan yang sempit dan tertutup. Pos-pos penjagaan
bertebaran dimana-mana mengawasi warga Gaza yang ingin bepergian keluar
wilayah. Kekebasan mereka demikian terampas oleh tentara-tentara Israel yang
berjaga di seluruh perbatasan. Hampir setiap dekade udara langit Gaza dihiasi
gunungan api dari ledakan bom serangan Israel yang tanpa ampun menghujam
jantung kehidupan warga.
Penderitaan
panjang bangsa Palestina, nampaknya terus akan menghiasi ruang-ruang baca dan
ingatan kita. Seruan-seruan damai dunia Internasinal dari semua pihak yang
berkompeten, diabaikan Israel bagai aroma angin tak sedap. Serangan keberutalan
terus saja dipertontonkan dalam perang yang tidak seimbang. Jika menilik
sejarah, rangkaian panjang tragedi kemanusiaan di Palestina, bermula juga dari
sebuah ‘keberutalan’. Pengingkaran perjanjian tentang ‘penyerahan tanah jajahan
kepada bangsa Arab’ (1915) oleh Inggris setelah perang dunia pertama, dan
menyokong penuh deklarasi Balfour (1917) bagi ‘national home’ orang-orang
Yahudi di tanah Palestina, adalah sebuah ‘keberutaalan’. Maka kesengsaraan
Palestina adalah hasil dari warisan keberutalan demi keberutalan pihak-pihak
tidak bertanggungjawab dalam sejarah dikawasan tersebut. Dan Israel telah
menjadi monster pemangsa ‘abadi’ bagi kehidupan orang-orang Palestina disetiap
masa.
Bagi Israel
menyerang jalur Gaza sudah menjadi ritual pesta empat tahunan. Eskalasi
serangan dan korban yang bergelimpangan mengggambarkan sikap Israel yang tanpa
kemanusiaan meluhlantakkan kehidupan masyarakat yang tak berdaya. Israel
sedemikian tidak perduli terhadap apapun dan siapapun demi ambisi membangun
tanah airnya sendiri. Tanah air illegal yang dibangun dengan jeritan sengsara
masyarakat Palestina bertahun-tahun. Derita kesengsaraan berulang-ulang yang masyarakat
dunia saksikan sepanjang abad ini. Mungkinkah kelak suatu masa, sejarah akan
memihak pada penderitaan itu dan menghentikan cucuran air mata kesedihan yang
tiada pernah bisa tertahankan dari masyarakat Palestina?
Label: Dunia Islam
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda