Kamis, 31 Juli 2014

HARI KEMENANGAN

Oleh Syafruddin Muhtamar 

 

Hari Kemenangan adalah sebuah istillah populer ketika tiba waktu berlebaran bagi kaum muslim. Popularitas ini biasanya berlangsung seminggu sebelum dan sesudah waktu istimewa itu datang. Masyarakat muslim menyambutnya dalam beragam bentuk kegiatan harian. Disambut oleh hampir semua lapiran usia dalam masyarakat yang melaksanakan ibadah puasa. Kebahagiaan menjadi tanda utama dari semangat penyambutan dan dalam proses menjalankan ketika tiba waktu yang dinanti-nanti ini.

Hari kemenangan itu adalah Idul Fitri. Hari ketika kaum muslim mengakhiri ibadah puasa ramadhannya dengan seruan pujian mendalam atas kebesaran dan keagungan Tuhan Semesta Alam, dan ucapan kesukuran yang tiada batas atas nikmat dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hari dimana kesucian menjadi mahkota bagi hamba-hamba yang bersungguh-sungguh dalam sebulan ibadah ramadhan, mengerjakan sedemikian banyak dan khusyu, amalan-amalan yang dianjurkan, dari menahan diri dari makan dan minum, bertadarrusan, shalat malam yang panjang hingga doa-doa yang tiada henti terucap di bibir. Hari kemenangan itu lalu 'dirayakan' dalam Lebaran.

Berlebaran kemudian menjadi 'ritual' akhir pasca berpuasa sebulan penuh. Berlebaran bagi kaum muslimin, kemudian menjadi tradisi keagamaan yang feomenal, bukan hanya bagi masyarakat dunia, tetapi terutama pribadi-pribadi muslim yang menerimah ibadah ini secara tulus. Pada momen berlebaran inilah hari kemenangan itu 'dirayakan'.

Perayaan kemenangan ini, tidak hanya berhenti sebagai sebuah 'simbol', namun melampauinya dan menyusup hingga ke maknanya yang hakiki. Salah satu tanda yang 'unik' kita temukan adalah, adanya kecenderungan 'kekanak-kanakan' masyarakat muslim, memperbarui seluruh aksesoris yang ada, baik yang melekat di tubuhnya maupun dalam tempat tinggalnya. Sehingga menjelang lebaran, berbondong-bondong kita memenuhi tempat-tempat belanja dari pasar tradisional, mall, swalayan, supermarket hingga hipermarket. Ini demi memenuhi kebutuhan kita akan aksesoris-aksesoris baru itu. Tradisi berlebaran selalu didahului ritual belanja untuk pem-baru-an. Sesungguhnya ini hanyalah simbol, mengenai 'kelahiran' kembali di bulan suci ini. Setelah menjalankan ibadah sebulan penuh, manusia muslim kembali lahir dalam 'kefitrahannya'. Seluruh dimensinya mengalami pem-baru-an tersebut. Kita kembali fitrah.

Baju baru, kursi dan lemari baru, cet rumah yang baru, mobil baru dan semua yang baru yang kita miliki, hanyalah refleksi dari makna 'baru' yang sesungguhnya. Aksesoris ini merupakan penggambaran dari sebuah 'kedalaman tertentu' yang bersifat sejati dari hari kemenangan di bulan fitrah ini. Kesemarakan yang baru ini adalah perayaan kemenangan atas perjuangan yang 'melelahkan' hingga tiba waktu kemenangan yang ditunggu itu datang. Kesemarakan yang terjadi dalam momentum lebaran, dimana semangat kegembiraan menampakkan diri sedemikian vulgar dalam bentuknya yang paling 'ektrem', adalah perayaan kemenangan. 

Tentu saja kemenangan itu ada yang sejati dan ada yang 'main-main' alias semu semata, karena seringkali kita hanya menjadikan momen 'kemenangan' ini sebagai ajang 'pamer diri' saja. Mereka yang meraih kemenangan sejati kadang tidak nampak secara 'semarak' oleh mata, seringkali hanya terasa secara personal yang juga tidak terkatakan oleh bahasa dan penampilan-penampilan secara vulgar. Kemenangan sejati perayaannya tidak sebagaimana perayaan non sejati. Perayaan itu mungkin terjadi hanya dalam labirin hati yang suci. Hati yang mendapat rahmat Ilahi karena perjuangannya yang sungguh-sungguh di bulan ramadhan.

Apapun bentuk perayaan kemenangan pasca ibadah suci bulan ramadhan, bagi masyarakat muslim tradisi perayaan dalam bentuk berlebaran, akan selalu ada dalam segala dinamikanya. Satu hal yang tak akan tertolak oleh kaum muslim adalah rasa bahagia yang meruah dari setiap jiwa mereka. Kebahagiaan ini kemudian memicu rindu bagi mereka yang berjauhan dengan orang yang dikasihi, sehingga menimbulkan gelombang mudik disetiap tempat diseluruh penjuru dunia. Rasa rindu itu juga kemudian mewujud dalam ragam bentuk sillaturahmi antar saudara, keluarga, kerabat dan tetangga. Saling berbagi kebahagiaan dalam jamuan makanan-makanan khas setiap datang waktu lebaran. Dan paling subtansial adalah kerelaan untuk meminta dan saling memberi maaf antar sesama.

Telah datang lagi, hari kemenangan yang 1435 kalinya. Setiap kita akan menunggu kedatangannya pada setiap tahun yang menjelang, dengan doa-doa harapan kepada Sang Pemberi Kemenangan. Harapan yang tiada pupus setiap kita panjatkan untuk kembali menemui kebahagiaan sejati itu dalam melaksanakan ibadah suci ramadhan. 1435 sudah kita setia merayakan kemenangan setiap tahunnya. Sejarah dan nilai-nilai keislaman telah mengajarkan kepada kita betapa pentingnya berjuang mensucikan diri dalam ibdah untuk sebuah kemenangan yang hakiki.      




  



  

Label:

Selasa, 22 Juli 2014

DI JALUR GAZA TIADA UJUNG SENGSARA

Oleh Syafruddin Muhtamar

Duka kembali datang bagi warga Palestina. Bulan suci yang seharusnya dijalani dalam suka cita, tetapi ternoda keberutalan perang yang disulut Israel. Serangan udara menelan jiwa anak-anak tak berdosa, membunuh puluhan ibu dan orang-orang tua. Memorak-porandakan rumah dan gedung-gedung tempat tinggal mereka. Kesyahduan dan kekhusukan ibadah bulan suci raib bersama kecemasan, rasa takut dan ketakberdayaan yang melanda warga Palestina, terutama diwilayah Gaza. Agresi Israel penuh nafsu itu meronrong ketenangan dan kedamaian ibadah warga menjadi kengerian yang mencekam sepanjang hari.
Seluruh mata dunia membelalak, terkesima dan kemudian sayu kembali. PBB telah mengeluarkan suaranya membenarkan tindakan Israel, meskipun memberi ruang mungkin bagi pelangaran hukum perang. Negara ‘berlabel’ muslim berlombah-lombah menggalang bantuan kemanusiaan untuk meringankan derita warga korban keberutalan agresor zionis. Warga muslim memenuhi jalan-jalan kota, protes tindakan keji tentara Israel. Hal yang berulang-ulang terjadi sepanjang sejarah ‘perang’ Israel-Palestina. Namun derita warga Palestian tiada kunjung usai ditengah hiruk pikuk usaha perdamaian dan kemanusiaan dari berbagai bangsa-bangsa dunia.
Apakah sejarah akan melangggengkan derita itu hingga akhir hayatnya? Atau hingga Palestina hilang dari peta dunia, tanpa harus menunggu akhir sejarah? Sejarah pulalah akhirnya kelak akan menjawab. Selama ini warga dunia, hanya diliputi ketidakmengertian atas permusuhan ‘abadi’ ditanah arab itu. Sejarah keagamaan Musa pada masa silam yang panjang menjadi faktor kunci atas konflik yang terjadi akibat tangan-tangan manipulatif dari bangsa-bangsa yang serakah akan kekuasaan duniawi. Sejak mendeklarasikan negara 1948, Israel telah menduduki 70 % tanah Palestina sebagai wilayah pemerintahannya. Kehidupan warga Palestina semakin tersudut dalam wilayah yang semakin mengecil. Dan terus-menerus dalam penderitaan sepanjang penjajahan itu; blokade ekonomi dan pembatasan akses dengan tembok-tembok politik sepanjang perbatasan Negara makin memperburuk keadaan bangsa yang terjajah ini.
Perang mutakhir antara dua ‘seteru’ ini telah berlangsung hampir dua pekan puasa ramadhan. Tercatat hampir 200 warga palestina syahid, ratusan lainnya harus dirawat karena menderita luka dan banyak yang lainnya terpaksa mengungsi dalam perang di bulan suci ini. Hal yang sama dilakukan Israel dalam perang delapan hari 2012 lalu, yang banyak pihak menyebutnya sebagai genosida. Dan sebelumnya, pada tahun 2008-2009, angkara murka tentara Israel menewaskan 1.400 orang, 350 diantaranya anak-anak, lebih 5.000 orang terluka. Israel begitu bernafsu menghancurkan kehidupan warga Palestina, yang sekian lama tidak berdaya. Dan nampak perang kali inipun, tidak ada sinyalemen Israel akan menghentikan keberutalannya. Serangan udara yang digencarkan sejak awal, akan diperkuat dengan serangan darat. Jalur Gaza kali ini menjadi sasaran empuk untuk serangan kejam kesekilan kalinya.
Wilayah Gaza merupakan pilihan ‘pavorit’ tentara Israel karena menjadi basis utama kelompok Hamas, yang dalam garis perjuangannya hanya menghendaki ‘one state solution’ artinya tidak ada Negara Israel dalam benak mereka. Selain bahwa Negara Israel hanyalah bangsa menjajah yang harus enyah dari bumi Palestina. Agak sedikit berbeda dengan Fatah, kelompok perjuangan yang masih melihat kemungkinan ‘two state solution’ dalam garis perjuangnya. Namun dekade belakangan dalam pemerintahan Palestina, kedua kelompok perjuangan rakyat ini telah bersatu dan bahu-membahu membangun masa depan Negara, membangun kehidupan yang merdeka. Realitas ini membuat Israel kelabakan menghadapi kemungkinan kekuatan penyatuan tersebut. Refleksinya kemudian adalah perang brutal dan membabi buta.
Gaza lalu menjadi wilayah tragedi kemanusiaan. Di atas tanahnya seluas 365 kilometer pesegi, panjang 40 kilometer dan lebar 13 kilometer, warga hidup dalam ‘kesumpekan’ yang menekan jiwa dan raga karena kesengsaraan. Penjajahan Israel telah menjadikan Gaza bagaikan ‘penjara’, bahkan banyak menyebutnya sebagai ‘penjara terbesar dan terpanjang di dunia’. Hampir disebagian besar perbatasan wilayahnya tertutup tembok pembatas yang dibangun Israel. Menyebabkan warga hidup dalam kungkungan tembok kehidupan yang sempit dan tertutup. Pos-pos penjagaan bertebaran dimana-mana mengawasi warga Gaza yang ingin bepergian keluar wilayah. Kekebasan mereka demikian terampas oleh tentara-tentara Israel yang berjaga di seluruh perbatasan. Hampir setiap dekade udara langit Gaza dihiasi gunungan api dari ledakan bom serangan Israel yang tanpa ampun menghujam jantung kehidupan warga.
Penderitaan panjang bangsa Palestina, nampaknya terus akan menghiasi ruang-ruang baca dan ingatan kita. Seruan-seruan damai dunia Internasinal dari semua pihak yang berkompeten, diabaikan Israel bagai aroma angin tak sedap. Serangan keberutalan terus saja dipertontonkan dalam perang yang tidak seimbang. Jika menilik sejarah, rangkaian panjang tragedi kemanusiaan di Palestina, bermula juga dari sebuah ‘keberutalan’. Pengingkaran perjanjian tentang ‘penyerahan tanah jajahan kepada bangsa Arab’ (1915) oleh Inggris setelah perang dunia pertama, dan menyokong penuh deklarasi Balfour (1917) bagi ‘national home’ orang-orang Yahudi di tanah Palestina, adalah sebuah ‘keberutaalan’. Maka kesengsaraan Palestina adalah hasil dari warisan keberutalan demi keberutalan pihak-pihak tidak bertanggungjawab dalam sejarah dikawasan tersebut. Dan Israel telah menjadi monster pemangsa ‘abadi’ bagi kehidupan orang-orang Palestina disetiap masa.
Bagi Israel menyerang jalur Gaza sudah menjadi ritual pesta empat tahunan. Eskalasi serangan dan korban yang bergelimpangan mengggambarkan sikap Israel yang tanpa kemanusiaan meluhlantakkan kehidupan masyarakat yang tak berdaya. Israel sedemikian tidak perduli terhadap apapun dan siapapun demi ambisi membangun tanah airnya sendiri. Tanah air illegal yang dibangun dengan jeritan sengsara masyarakat Palestina bertahun-tahun. Derita kesengsaraan berulang-ulang yang masyarakat dunia saksikan sepanjang abad ini. Mungkinkah kelak suatu masa, sejarah akan memihak pada penderitaan itu dan menghentikan cucuran air mata kesedihan yang tiada pernah bisa tertahankan dari masyarakat Palestina?        

   



     


     
      

Label:

Senin, 21 Juli 2014

9 JULI 2014

Oleh : Syafruddin Muhtamar




Inilah salah satu takdir manusia yang sulit terhindarkan, dipilih atau memilih pemimpin.  Takdir dimensi kemasyarakatan dari hasrat kemanusiaan kita. Bagi kehidupan masyarakat kepemimpinan adalah mutlak adanya. Hanya cara kita dipilih atau menjadi pemilih pemimpin, menjadi berbeda-beda setiap sejarah dalam masyarakat. Sejarah masyarakat tradisional dan sejarah masyarakat moderen tentu saja memiliki polanya masing-masing. Sekarang ini momen-momen memilih pepimpin Negara telah berbeda sama sekali, sejak bangsa-bangsa memoles diri menjadi Negara moderen.
Dan akan tertulis dalam catatan politik moderen Republik Indonesia, tanggal 9 Juli 2014 sebagai hari bangsa Indonesia kembali menentukan kepemimpinan nasionalnya, menjelang usianya ke 71 tahun. Satu titik dari rangkain medio pilpres dalam rentang sejarah panjang tradisi pergantian kepeminpinan nasional republik ini. 9 Juli 2014 adalah waktu ketika siklus lima tahunan harapan masyarakat harus diputar lagi. Rakyat mempertaruhkan pilihannya untuk mimpi kehidupan masa depan yang lebih mensejahterakan dan membahagiakan. Seluruh asa menumpuk sesak pada jutaan kotak suara yang bersebaran pada ribuan bilik suara seluruh nusantara. 9 Juli 2014, segenap rakyat hanyut dalam ritme puncak pesta demokrasi tanah air. Prosesi politik moderen menjerat motiv tertinggi dari hakekat kewarganegaraan dalam pemilihan presiden dari bangsa besar ini. Rakyat tergerak dan tergiring untuk menggunakan hak politiknya tanpa rasa bosan meskipun ‘pesta demokrasi’ ini telah di selengarakan berkali-kali. Meskipun mungkin, juga berkali-kali janji-janji kampanye itu tertinggal dilangit-langit dusta, namun rakyat tiada pernah letih turut serta pada setiap momen pemilu dari republik tercinta ini.    
Inilah sihir dari pesta politik kepemimpinan abad modern. Ketika keterlibatan massa warganegara menjadi syarat mutlak penyelenggaraannya dan penentu utama keterpilihan seorang yang akan meduduki kursi kekuasaan formal. Maka selamanya prosesi politik demokrasi modern ini senantiasa meriah dan penuh hiruk pikuk sepanjang pelaksanaannya, terutama ketika dunia semakin mengeceil ‘ruangnya’ akibat revolusi tehnologi informasi dan komunikasi di abad mutakhir ini. Terasa seluruh posesi demokrasi politik ini tembus pandang, tidak ada lagi yang tersisah dalam persembunyian, seluruhnya transparan. Sifat dari transparansi ini yang mendorong semangat keterlibatan massa warga makin meningkat seiring waktu.
9 Juli 2014 juga menjadi puncak dari serangkaian usaha maksimal dari masing-masing capres dan cawapres. Telah dikerahkan seluruhnya, jiwa dan raga, peluh keringat dan harapan, waktu, uang dan doa-doa. Seluruhnya demi memenangkan dan mengambil hati rakyat seluruh nusantara. Ditengah masa menanti, mungkin saja Tuhan akan menjadi tumpuan harapan paling ‘pasti’, mereka akan banyak ‘mengunjungiNya’. Dan berharap dengan sangat Yang Kuasa menentukan takdir kemenenangannya atas diri mereka. Sesuatu yang almiah yang harus dilakukan manusia ketika mengalami ‘ketakberdayaan’. 9 Juli 2014 tentu saja Sang Pemilik langit dan bumi ini juga akan mentukan pilihannya, sebagai jawaban atas lontaran doa-doa capres dan cawapres tersebut. 
Tradisi politik pergantian penguasa pemerintahan modern republik ini, telah berlangsung dalam tiga gelombang sejarah. Disetiap lipatan gelombang itu tercatat tanggal-tanggal penting ketika secara ‘istemewa’ rakyat menentukan sendiri pemimpin bagi negerinya. Pilpres yang diselenggrakan 9 Juli 2014 menjadi sangat ‘istimewa’ karena menjadi kali ke tiga pilpres dilaksanakan dalam atmosfir demokrasi langsung di era reformasi ini. Berbeda pada sejarah sebelumnya, saat bangsa ini masih ‘belajar’ demokrasi, sehingga hasilnya seringkali ‘mengecewakan’. Namun sifat langsung demokrasi sekarang ini, tengah membangkitkan kembali optimisme dan kegairahan sesungguhnya bagi massa warga dalam konstalasi politik nasional.
Dan untuk pertama kalinya gairah itu sedemikian membuncah dalam momen pilpres kali ini. Dua pasang kandidiat (Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK) telah menyedot perhatian warga secara berimbang dan cenderung masif. Beberapa Windu belakangan ini, selama agenda-agenda resmi pilpres dimulai, suara-suara mengenai pilpres menggelayut hampir memenuhi seluruh ruang publik bahkan sampai ke sudut-sudut desa terpencil sekalipun. Ruang nusantara pada setiap hari begitu ramai dan seruh dibanjiri informasi mengenai sosok-sosok para kandidat.  Publik kita begitu keranjingan ketika tema wacananya menyangkut dua pasang kandidiat ini. Gairah berdemokrasi di era ini, betul-betul tengah mempertilhatkan bentuknya yang ideal. Fenomena ini juga mendesak para ‘kaum putih’ untuk meninggalkan kebiasaan ‘buruknya’ dan menetapkan diri menjadi bagian dari antrian warga pemilih. Mungkin saja era ‘golput’ akan berakhir setelah peristiwa penting ini.
Takdir menjadi pemilih dan dipilih akan kembali berbicara pada 9 Juli 2014. Hasilnya adalah kemenangan bagi warga bangsa tanpa terkecuali. Ibarat sebuah musim, setiap musim membawa dan menyimpan keindahan dan kesedihannya masing-masing. Kedatangan musim-musim ini bukanlah bencana bagi manusia. Setiap musim adalah tantangan alamiah yang harus dihadapi manusia. Tanggapan yang baik atau positif terhadap tantangan, akan samakin meninggikan derajat kualitas kehidupan manusia, demikian pula sebaliknya, tanggapan negatif hanya akan memperburuk situasi atau keadaan masyarakat manusia.
Pilpres 9 Juli 2014 ini juga demikian, hanyalah putaran limatahunan dari musim pemilu dalam semesta politik demokrasi modern republik ini. Semuanya ‘alamiah’ saja dalam pengertian, bahwa momen ini adalah momen rasional dari model atau sistem politik pemerintahan moderen kita yang memang harus terselenggara. Mengenai hiruk pikuk dan kegairahan yang terjadi, itu situasional saja karena memang terdapat faktor-faktor yang memicunya, terutama pribadi para kandidat, sitausi nasional dan global serta visi dan misi mereka. Maka patutlah kita bersuka pada kedua pasang kandidat dalam pilpres ini, ketika menyebut 9 Juli 2014, Prabowo mengatakan ini ‘hari kemenangan’ dan Jokowi menyebutnya ‘hari menggembirakan’.     

Label: