Senin, 16 November 2020

SERIBU NYAWA MUHAMMAD AMIR JAYA (Sekadar Pengantar Sederhana atas buku Kumpulan Puisi Jalan Sunyi Makassar-Tarakan)

     

oleh: Syafryddin Muhtamar

Kembali sahabat ini memercayakan saya memberi semacam apresiasi terhadap karya-karyanya. Saya harus selalu menegaskannya mengapa saya menjadi pilihan, ditengah ketidaklayakan pribadi memberi pengantar pada penulis sastra yang telah malang melintang di dunianya puluhan tahun? Apakah sebab dianggap mampu menjaga rahasia sehingga dipercaya, atau karena ‘keluguan’ sehingga apakah mengungkapkan rahasia atau bukan itu sama saja, karena ‘diasumsikan’ tidak mengetahui apa yang diungkapkan? Hanya sang sastrawan sahabat ini yang tahu. Namun ketika beliau berencana mengumpulkan cerpenya dalam sebuah buku, naskahnya terlebih dahulu mampir ke email saya. Setelah beberapa kumpulan cerpen, puisi dan novel terbit tidak lama berselang sebelumnya, saya tiba-tiba melihat sosok penulis ini memiliki seribu nyawa dalam berkarya. Begitu produktifnya sehingga bahkan, wajah rubrik sastra koran lokal banyak dihiasi oleh karya-karyanya. Dan karena ketakberdayaan mengelak dari permintaannya, maka memberi ‘pengatar sederhana’ dibukunya ini saya sanggupi.    

Dan izinkan saya memulainya dengan beberapa paragraf bertendensius ‘teoritis’ berikut ini, sebagai sebuah standing opinion:  Selain di punggung pemimpin, pundak para sastrawan harapan manusia juga diletakkan secara ideal. Meskipun posisi karya sastra sepanjang zaman mengalami pasang surut. Namun keberadaan sastrawan tiada mati dan tanggungjawabnya terus menerus dituntut untuk senantiasa menabur cahaya ditengah kegelapan zaman. Menyuguhkan kegembiraan dan ketentraman jiwa terdalam, menawarkan dukungan pada penderitaan, menghadirkan penentangan pada kezaliman dan kesewenang-wenangan kekuasaan yang menghancurkan keadilan, memberikan pembebasan jiwa rendah, menabur pengetahuan bagi kebodohan dan kejumudan, dan memberikan penghiburan bagi duka kerinduan jiwa atas kesempurnaannya. Karenanya seorang yang mencemplungkan diri dalam oase kerja-kerja sastra, sejatinya haruslah seorang intelektual pada saat yang sama. Seorang intelektual adalah pribadi yang memiliki world view yang jelas dan matang atas realitas, yang dengannya ia memandang problem-problem dan remah-remah kehidupan yang akan ditulisnya. Yang dengannya pula ia memberikan jalan keluar ideal. 

World view atau sebutlah dengan istilah paradigma, ini yang akan menjadi penentu kualitas renungan dan kematangan nilai intelektual yang ditawarkan penulis dalam karya-karya. Kedalaman intelktualisme seorang sastrawan akan memberi bobot berat pada setiap isu atau tema yang menjadi lahan garapan sang penulis. Iringan cita rasa seni tinggi juga akan memberikan dimensi tersendiri pada kesempurnaan keseluruhan citra sebuah karya. Dan tentu  kematangan tehnikal melalui proses berkarya dalam rentang waktu panjang dalam berkarya, turut andil dalam kesempurnaan itu. Jadi keterpaduan atau perkawinan intlektualitas, cita rasa seni dan skil yang kuat yang dibutuhkan medan karya bersangkutan, adalah  faktor-faktor penentu paripurnanya karya sastrawan. 

Saya ingin berangkat dari pijakan-pijakan kecil ini sebagai pembaca awam terhadap karya-karya yang terhimpun dalam kumpulan cerita pendek (cerpen) ini. Ada 16 cerpen yang sahabat ini sodorkan untuk saya baca dan memberikan hasil bacaan saya, entah akan berfungsi sebagi ‘kritik’ atau sekadar semacam testimoni saja. Yang pertama saya lakukan ada membuat coreta-coretan tabel dengan menentukan beberapa kategori. Dalam kolom-kolom tabel itu saya masukkan judul-judul cerpen yang kira-kira relevan dengan kategori. 

Tujuannya adalah untuk mengetahui jenis-jenis tema apa yang paling dominan penulis ini tulis, sebelum membaca isi cerpennya. Adapun kategori itu adalah religius, budaya-sosial-poltik, kehidupan remaja, keluarga, kriminal, asmara, non kategoris/tidak jelas. Dan setelah judul-judul itu saya masukkan dalam tabel sesuai kategorinya; saya menemunkan masing-masing 5 judul masuk kategori religius dan asmara, 2 judul kateori budaya, sosial, politik, 1 judul kategori kriminal dan 3 judul tidak masuk dalam kategori manapun. 

Angka-angka ini bercerita bahwa nampaknya penulis menyukai dua tema besar secara sebanding, yakni tema religius dan asmara. Tentu ini hanya trik-trikan saja yang maksudnya menebak-nebak hoby penulis memilih tema atau isu, karena setiap pilhan tema adalah refleksi kesadaran penulis dari rahim obyektivitas proses pengetahuannya. Artinya ketika penulis bermaksud menulis tema religi dan atau asmara, maka akumulasi intelektualitas, cita rasa seni dan skil melebur menjadi satu dalam karya itu. Karya itulah yang akan menjelmakan world view sang penulis secara utuh. 

Yang menarik hati pertama adalah cerpen Doa Penyair. Judul ini mengandung dua kata yang mewakili dua dunia sublim. Pertama agama dan kedua pribadi yang mengemban tugas penyampai. Pribadi yang mengemban fungsi sebagai transmisi kebenaran. Doa, dalam terminologi Islam adalah ‘senjata’ kaum muslim, media seorang hamba untuk memohon, meminta, menyeru, membuat pernyataan dan juga bertanya kepada Tuhannya. Dalam sebentuk komunikasi tidak biasa antara ‘yang tak berdaya’ dengan Yang Maha Berdaya, doa itu berlangsung. Penulis dalam cerpen ini, menggambarkan seorang penyair ‘berdoa’ kepada tuhannya dalam tafakkurnya. Keperihatinannya terhadap moral pemimpin dan penderitaan rakyat menjadi perhatian. Sang penyair merasa kehidupan bangsanya sudah hancur lebur, sehingga dalam satu munajatnya, secara khusus dia memohon kepada tuhannya agar keadaan bisa menjadi lebih baik. Kekhawatirannnya akan turunnya azab Tuhan sebagaimana dia baca dalam kitab suci, agar tidak diturunkan kepada negeri yang dinamai Indonesia. Ini adalah refleksi sang penulis atas realialitas kehidupan politik negerinya. Bahwa problem-problem sosial dan bencana nasional merupakan konsekwensi dari kehancuran moril pemimpin. Doa adalah hal yang mungkin dapat dilakukan untuk ‘melibatkan’ Yang Maha Kuasa untuk memperbaiki keadaan kehancuran yang terjadi. 

Hanya saja world view penulis tentang dua terma utama dalam cerpen itu, yakni doa dan penyair tidak nampak terang. Penulis memperlakukan doa dengan biasa saja dan pribadi penyair juga dalam posisi yang sama. Teks doa yang dihaturkan sang penyair pada tuhannya rasanya tidak menyentuh nilai estetis, bahkan cenderung ‘tidak puitis’ bagi seorang yang bergelar penyair. Tidak terasa rintihan indah seorang yang berharap sungguh-sungguh pada Tuhan Junjungannya. 

Tidak bermaksud membandingkan, saya teringat sepenggal doa cucu Rasululah SAW, ketika dia terpuruk di hadapan Kabbah dan mengeluhkan kondisi kehidupan masyarakatnya kepada Tuhan, dia mengawali doanya: “Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku / Mata banyak telah tertidur, bintang gemintang telah tenggelam / Tetapi Engkau Maharaja Yang Hidup dan Jaga / Tuhanku, raja-raja telah menutup pintu-pintu dan tirai telah membungkusnya / Tetapi pintu-Mu terbuka buat para peminta / ...[1] 

Dia bukan ‘penyair’ tetapi doanya begitu indah. Mungkin karena espketasi saya pada penyair dalam cerpen ini sangat tinggi, sehingga saya menjadi teringat penggalan pembuka munajat penuh irama itu.  Sang penyair dalam cerpen ini membuka doanya dengan kelemahan eksistensial ‘materialnya’, dan penegasannya pada ketidambaannya pada kekuasaan pada Yang Maha Mengetahui segalanya. Apakah ini trik sang pendoa, agar doanya diterima? Namun logika yang lazim bagi doa seorang hamba yang baik adalah mendahulukan ungkapan kelemahan spritual, dalam pengakuan dosa-dosa dan perasaan sangat jauh dari Tuhan. Saya kira Tuhan tidak membedakan hamba yang berdoa, orang miskin terluntah-luntah atau kaya dan berkuasa. 

Tetapi kualitas doa dan kedekatan spritual antara jiwa hamba dengan ‘wujud mutlak’ adalah moril dari terkabulnya doa. Ini hanya perspektif saya. Dan cerpen Doa Penyair tidak menyiratkan perspektif teologis dari doa yang ‘baik’. Demikian pula sang pendoa sebagai hamba yang penyair. Penggambaran penulis tentang pribadi penyair, juga kurang ideal. Ada citra egoistik yang ditampilkan, ketika sang penyair mengklaim diri sebagai “lebih memiliki kepekaan batin dari anak bangsa lainnya”, dan tokoh penyair dalam cerpen ini menjadi kerdil hakekatnya dengan penggalan kalimat pendek itu. Perspektif ideal penulis tentang seorang penyair belum nampak maksimal. 

Ada banyak terma yang bisa dipertajam dalam cerpen ini, namun karena tempat yang tidak mungkin, maka cukup dua terma besar ini yang dapat diulas secara sederhana. Oleh karena itu, yang sejak awal saya telah mengkategorikan cerpen ini sebagai cerpen religius, sebelum membaca isinya, akhirnya saya harus mengatakan bahwa cerpen ini masih membutuhkan menajaman untuk sampai pada kategori itu. Terutama karena perspektif ‘teologisnya’ masih sumir, belum mengental dalam pemaknaan-pemaknaan. 

Namun bahwa penulis telah mengambil posisi untuk menegaskan pentingnya melibatkan Yang Maha Kuasa dalam segala aspek kehidupan termasuk urusan politik kekuasaan, maka cerpen Doa Penyair ini, menjadi semacam bias-bias kecil ditengah gemerlapnya sekularisme karya-karya seni kehidupan moderen. Saya menganggap ulasan kecil Doa Penyair ini menwakili kategori ‘religius’. 

Dan untuk kategori asmara saya ter’kesima’ dengan judul Janda Perawan yang Dilempar Suaminya ke Luar Jendela. Judulnya menyektak logika normal kita. Saya membayangkan ini cerita amsara yang tragis. Dalam Janda Perawan yang Dilempar Suaminya ke Luar Jendela, seorang janda telah menghebohkan warga sebuah desa. Pernikahannya yang kedua membawa petaka bagi dirinya. Dia mengalami penderitaan teramat sangat karena kekerasan dari tangan ‘madunya’ yang tidak rela akan kehadirannya sebagai istri kedua. Setengah jalan cerita berisi narasi kekerasan terhadap sang janda, terutama setelah dia kerasukan roh jahat yang dikirim oleh sang ‘madu’. Dialog irasional antara sang janda dengan suaminnya berbuntut, dia harus dilemparkan secara sadis keluar jendela oleh sang suami yang tak tahan membentung amarah. Sang janda tiba-tiba menghilang dan warga bersyukur karena desa mereka menjadi terkenal seantero jagat karena peristiwa tragis itu. Tidak tanggung-tanggung dua kandidat preiden AS memberi komentar. Orang nomor satu di Republik ini juga penasaran setengah mati, hingga harus merepotkan orang nomor satu di Provinsi. Cerpen ini menghibur, dan mengumbar selera humur absurd kita. Ceritanya juga lumayan dinamis. Beberapa penggal cerita dimontase secara apik, sehingga satu sama lain nampak berhubungan. Tehnik ini jarang saya temukan dalam serangkaian cerpen-cerpen lainnya, yang cenderung flat sebagai ciri yang sering saya tangkap dalam mayoritas cerpen-cerpen M. Amir Jaya. Kali ini agak berbeda. Drama asmara keluarga yang tragis dipermainkan seolah hiburan. Penulis sepertinya menemukan ‘gaya baru’ menulis kisah-kisah realistisnya. Ada nuansa absusditas di dalamnya. Dan menjadi lucu karena apa yang tidak nyata seolah-olah nyata, apa yang tidak mungkin seolah-olah terjadi sungguhan. Mungkin karena kisahnya absurd sehingga mudah saja membuat kisah itu menjadi layaknya kisah film kartun anak-anak, seperi Tom and Jerry. 

Namun susah kita menemukan ada perspektif penulis dalam cerpen ini. Tidak ada standing positioning penulis dalam ragam terma-terma penting dalam cerita tersebut. Selain bahwa adanya perubahan sebuah desa miskin terpencil di sebuah kabupaten yang mendadak terkenal dan dikunjungi banyak orang dan membuat warga sejahtera karenannya. Terma urgen seperti kekerasan terhadap perempuan, sikap apatis warga pada sebuah peristiwa sosial, praktek klenik mengirim doti-doti, dan pendapat tokoh-tokoh nasional dan internasional, terlewatkan begitu saja dan hanya berhenti sebagai penggal-penggal kisah hiburan. 

Penulis tidak menawarkan sebuah world view atas sebuah realitas namun mengambil peran semata-mata menghibur saja. Saya kira dari segi tipologi trik bercerita cerpen ini ‘kuat’, terutama bagi pembaca yang memahami latarbelakang historis ceritanya. Dalam konteks bercerita model ini, susah mengharapkan pembaca untuk mengambil renungan dan hikma-hikma dibalik cerita, karena terlanjur terkesima dalam ketidakjelasan makna-makna logis sebuah peristiwa karena sifat ‘komedi’ absurditasnya. 

Untuk masing-masing cerpen lainnya seperti Rumah Tuhan Al Fatihah, Do’a Akhir Tahun, Do’a Akhir Tahun, BH Monis, Air Mata Cinta, Sumur Jodoh, dan Senja di Bulan, serta yang lainnya, tentu punya kisahnya masing-masing. Sulit memberikan aprsesiasi secara utuh karena tempat yang terbatas, selain bahwa ada keterbatasan kemampuan kritis, makin membatasi ruang dan kinerja bagi apresiasi yang memadai untuk 16 cerpen yang terkumpul dalam buku ini. 

Saya kira, akan sersisah ruang yang terbuka lebar bagi para pembaca untuk mengisi selebihnya dengan apresiasi masing-masing. Seribu nyawa Muhammad Amir Jaya, akan terus menghadirkan karya-karya yang khas milikinya di masa depan, dalam gaya, dalam tema dan kerangka nilai. Terutama untuk sampai pada karya-karya yang dinamiai karya religius, saya kira harus menyingsingkan lengan baju lebih tinggi lagi dan menyiapkan dengus nafas lebih panjang lagi untuk mengejar kualitas kategori itu.   

Peran utama sastrawan sebagai ‘sang penyampai kebenaran’ tetap harus menjadi pegangan. Karena dalam setiap karya sastra juga berlaku rumus timbangan. Semakin berat muatan nilai kebenaran atau kebaikannya, maka akan semikin ringan nilai hiburannya. Dan sebaliknya makin berat hiburannya maka akan makin ringan muatan kebenaran dan kebaikannya. Ini timbangan untuk mengukur level idealitas sebuah karya. Jika seorang sastrawan senantiasa mengetahui tanggungjawabnya dalam kehidupan masyarakat, maka desakan untuk menghadirkan muatan nilai yang berat dalam karya akan senantasa menghantuinya. Ketimbang mengutamkan sekadar hiburan rendahan. Muatan nilai yang berat juga bermakna sebagai hiburan bagi jiwa terdalam. Wallahua’lam bissawab.   


SM, September, 2016 --- 

[1] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, 2011. Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (Sehimpunan Doa Munajat Terindah Sepanjang Zaman), Mizan, Bandung, hal. 7-8.

Minggu, 15 November 2020

LARIBETA ANWAR NASYARUDDIN, HISTORIAH MANUSIA MERDEKA (REMAH CERITA LOKAL MENOLAK TAKLUK)

Shaff Muhtamar 

Veteran Itu, Keturunan Laribeta, sebuah cerita pendek (Cerpen) terbitan koran Fajar edisi, minggu 1 September 2019. Membacanya, mengingatkan kita akan tiga hal dalam sejarah panjang penjajahan negeri ini: perjuangan dengan segala deritanya, pahlawan dengan segala pujiannya dan kemerdekaan dengan segala kebahagiaannya. Sebuah karya sastra selayaknya dipandang sebagai tonggak bagi pengingatan. Karena kealpaan kita adalah akibat ingatan bersembunyi dibalik gulita. Kembalinya ingatan ibarat kembalinya cahaya kesadaran diri. Sastra dalam segala bentuknya sedapat mungkin mengambil posisi sebagai percusuar ditengah lautan yang hadir memberikan pengingatan-pengingatan itu. Pengingat bagi jiwa terdalam manusia. Dalam kesadaran inilah saya membaca Veteran Itu, Keturunan Laribeta. Sehigga, jika terdapat penilaian atas karya ini, ini sifatnya impersonik semata-mata.

Penulisnya, Anwar Nasyruddin, memusatkan cerita pada ‘nostalgia’ abad 18 Mappesonang, mengenai perjuangan gigih leluhurnya melawan nafsu kuasa bangsa imperium Belanda. Leluhurnya adalah pemegang waris kerajaan kecil di sebuah wilayah pesisir. Akibat sikap agresor kaum kulit putih itu, kearajaan kecil ini takluk, sebagian keturunan kerajaan menolak takluk dan hengkang dari pesisir menuju hutan pengunungan, membuka wilayah bagi kehidupan baru dengan tetap dalam semangat merdeka tiada mati sejak awal. Disinilah sebutan laribeta kemudian mengambil tempat pada jiwa mereka. Yang menurut penulisnya, laribeta adalah semangat menolak takluk dalam cekram tangan penjajah, meskipun meninggalkan tanah lahir. Cerita berakhir ketika si tokoh aku diajak Mappesonang yang tokoh veteran itu ziarah ke makam leluhur orang-orang laribeta. Dan nostalgia tetang perjuangan melawan agresor berhenti dalam kebangaan bersama senyum jiwa yang tiada pernah dijajah.

Substansi cerita sesungguhnya laur biasa, karena menyangkut jiwa manusia-manusia merdeka. Namun bangunan setingnya belum menunjukkan ‘alur historis’ sebenarnya. Corak lokal yang sejak awal ingin dikenalkaan penulisnya, hanya berhenti pada nama tokoh utama, dan menjadi mengendur karena tidak memastikan ‘tempat-tempatnya’ dalam sebutan lokal. Lokalitas dalam nama maupun tempat seharusnya mendapat porsi dominan sehingga cerita ini menujukkan khas suatu sejarah di “Sulawesi Selatan”.  Mengingat sumbernya adalah narasi lokal tentang sebuah kerajaan kecil di pesisir Sulawesi Selatan yang diabad 18 menjadi korban imperium  agresor Belanda ketika itu, maka kekentalan aroma khas ‘Bugis-Makassar’ harus dapat terasa dalam cerita ini.

Sebagai cerpen bernafas sejarah, Veteran Itu, Keturunan Laribeta ini, belum dapat sepenuhnya menunjukkan eksistensinya sebagai ‘cerpen sejarah’ secara tehnis. Namun bahwa pilihan tema garapan, penulisnya dapat dikatakan memiliki tingkat ‘renungan’ memadai karena telah memperkenalkan istilah Laribeta dalam makna freedom from escape, meminjam istilah Erich Fromm, dari labirin sastra bersetting sejarah lokal perjuangan kemerdekaan. Pilihan ini dapat membawa kita kepada renungan lebih jauh, mengenai pentingnya ‘mengingat kembali’ masa silam demi ‘masa depan’. Bahwa penjajahan ‘masa silam’ adalah pengalaman yang mengajarkan pentingnya kemerdekaan ‘masa depan’. Bahwa berlari dari kenyataan penderitaan penjajahan adalah kehormatan bagi jiwa yang, hakikatnya senantiasa merdeka.

 

SM, Makassar, 4 September 2019

  


TANTANGAN KREATIVITAS MASA PANDEMI COVID-19 Sebuah Pandangan Umum*

 Syafruddin Muhtamar

* Disampaikan pada talkshow Literasi di Perpustakaan Daerah Sulsel

Pengantar

Sudah hampir setahun, sejak desember 2019, dunia diterpa glombang pandemi yang cukup menggoncang. Sebuah virus, yang kemudian diberi nama Covid-19, berkeliaran secara ‘gaib’ disekitar kita dan megancam kesahatan manusia setiap saat. Selama kurun waktu, sampai saat ini, dunia mengalami semacam krisis kesehatan yang mengkawatirkan, karena bukan hanya mengancam nyawa penduduk bumi, tetapi implikasinya pada bidang kehidupan lainnnya, cukup serius.

Pada bidang ekonomi misalnya. Pertumbuhan ekonomi negeri ini anjlok sejak pandemi, banyak perusahan tidak bisa beropresai, gelombang PHK tidak terhidarkan. Dan pengangguran menjadi masalah baru yang harus ditangani. Fenomena ini tidak hanya di negeri kita, tetapi hampir merasa secara global. Laporan lembaga keuangan dunia menyebut nampak pandemi ini telah membuat dunia global mengalami kerugian besar dan menyeret ekonomi dunia ke jurang krisis. Bidang sosial dan politk juga tak luput dari paparan pandemi Covid-19 ini. Bagaimana agenda-agenda politik Negara banyak yang mengalami hambatan, hingga mengganggu program-program politik nasional maupun internasional. Bidang sosial misalnya, nampaknya bagi kaum perempuan atau ibu-ibu rumah tangga, yang harus menanggung beban baru sebagai ‘guru’ dirumah, selain dalam menjalankan tugas pokoknya mengasuh anak, mengurus suami dan apalagi juga jika sambil bekerja.

Tetapi sesunguhnya, menurut hemat penulis, jika berbicara mengenai tantangan era pandemi ini yang terberat adalah implikasi psikologisnya, dari bagaimana sebaran virus ini ditangani. Physical dan social distancing adalah salah satu cara yang digunakan untuk memutus matarantai penyeraran virus tersebut. Pada situasi ketika kita ‘tiba’tiba’ harus distop berinteraksi sesama manusia, dimana interaksi adalah nature kita sebagai mahluk sosial, dengan segala kebaikan dan kemanfaatannya, dan dipaksa harus berpisah dari community atau gerombolan/kerumunan kita, menjadi individu-individu dalam radius ‘dirumah saja’. Ini menimbulkan shock. Apalagi dengan pemutusan hubungan ini juga menimbulkan pemutusan penghasilan dan silaturahmi.  Physical dan social distancing secara regulatif untuk sementara ‘mengamputasi’ nature sosial kita untuk menjadi hanya sekedar individu saja.

Pada sisi ini saya kira tantangan kreatifitas di masa pandemi ini dapat dilihat atau dapat muncul. Pembatasan fisik dan sosial ini, secara sains medis, memang harus dilakukan karena merupakan cara ampuh dalam memotong pergerakan si tuan Covid-19 ini. Dan tentu sebagai warga Negara kita harus patuh demi kebaikan bersama. Dan tentu kebijakan Physical dan social distancing ini hanya untuk sementara waktu saja, sampai masa pandemi berakhir.

Tantangan dan Kreatifitas

Ada dua kata kunci, berkenaan tema ini, yakni kata tantangan dan kreatifitas. Berkaitan dengan dua kata kunci itu, menarik untuk menyebut teori Challenge and Respons – nya Alrnold Toynbee, seorang sejearawan dunia. Teorinya tentang Tantangan dan Tanggapan. Teori ini tentang perubahan peradaban sebenarnya, tetapi kita coba juga gunakan dalam bentuk tafsiran, terhadap dua kata kunci yang kita diskusikan ini.

Menurut Toynbee, manusia itu sesungguhnya berdampingan secara alamiah dengan Tantangan dalam kehidupannya. Kemajuan dan kemunduran kehidupan itu bergantung dari Respon manusia atas tantangan kehidupannya. Kemajuan peradaban modern sekarang ini adalah buah dari cara manusia merespon tantangan alam dan sosialnya. Artefak-artefak industri dengan segala instrument tehnologisnya, dari yang sederhana sampai yang kompleks di era internet dan digitalisasi, sesungguhnya wujud dari repon kreatif manusia terhadap tantangan kehidupan.

Jadi pada hakikatnya tantangan itu bisa menghasilkan suatu bentuk kretaifitas. Merujuk pada arti kata kreatiif sebagai memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk mencipta, maka kehadiran tatangan dalam kehidupan kita, dapat dikatakan berkah atau rahmat, karena akan menstimulan merangsang lahirnya daya-daya kreasi/cipta dari manusia. Dan kemajuan peradaban modern atau post modern yang kita nikmati sekarang ini, tidak bisa dipungkiri merupakan hasil sebuah kreatifitas. Daya cipta kitalah yang menjadi sebab elementer terbentunya kemegaham peradaban modern ini.

Oleh karena itu Tantangan dan Kreatifitas, sesungguhnya berjalan seiring, terapi bersyarat: tergantung dari sejauhmana manusia mendayagunakan potesi kreatifnya terhadap tantangan yang ada. Daya cipta ini bersifat potensial yang melekat sebagai nature manusia. Sehingga dengan demikian mengaktualkan potensialitas ini merupakan kewajiban, kewajiban moril manusiawi kita. Siapa yang tidak kreatif berarti tidak melaksanakan kewajiban morilnya sebagai manusia, yang diberikan sebagai rahmat oleh Tuhan dengan daya cipta tersebut.

Apa yang kita bisa bayangkan jika potensi daya cipta yang ada ini dibiarkan mengganggur dan terparkir sebagai benda antik, yang cantik tetapi tidak bermanfaat. Saya kira kita akan mendapati kehidupan ini penuh dengan kesuraman, bahkan mungkin akan tercerabutnya kehidupan dan digantikan kematian sejarah. Sejarah akan berhenti bergerak jika tidak ada penciptaan-penciptaan, jika tidak ada kreasi-kresi dalam kehidupan ini. Kehidupan ini menjadi seorang wanita yang kehilangan pesona kecantikannya, atau lelaki yang kehilangan pesona keperkasaannya.

Maka bagi pribadi yang memahami hakikat dirinya sebagai mahluk creator / sang pencipta, maka dia akan memakmurkan buminya, kehidupannya dengan ciptaannya yang memiliki nilai manfaat bagi dunianya dan akhiratnya. Mengapa kita harus mengikutkan kehidupan setelah kehidupan di dunia ini? Karena ini menyangkut pemberian dari yang Maha Pemurah kepada kita berupa daya kreatif/cipta itu. Mengimplementasikan daya cipta itu berarti berarti wujud syukur kita atas rahmay-Nya. Maka rahmat daya cipta itu juga harus diorientasikan pada kehidupan yang mengandung makna-makna surgawi.

Jika orentasi kita dalam kreativitas sebatas pada kreativitas itu sendiri, terbatas hanya untuk kemanfaatan finansial, atau popularitas, puji-pujian dan penghargaan masyarakat maka sesungguhnya kita telah menyalahi tujuan tertinggi dari pemberian daya cita itu kepada kita, sebagai rahmatnya. Karena tuhan menghendaki kita bisa menempati kehidupan bahagia di surga dengan rahmat daya cipta itu.

Orang bilang bekerja itu ibadah. Bekerja pada hakikatnya mencipta, maka siapa yang kretaif dengan intensi yang konsisten baik dalam menghadapi tantangan berat dan dinamis maupun yang biasa saja, itu berarti kita sedang beribadah. Maka berbanyaknya ibadah dengan terus berkarya ditengah pandemi ini.

Oleh karena itu dapat dikatakan relasi atau hubungan antara Tantangan dan Kreatifitas bersifat causalitas, memiliki hubungan sebab akibat. Keberadaan Tantangan karena mengendanki adanya Respon atau Tanggapan berupa kreatifitas, agar kehidupan ini dapat berjalan terus.

Kemajuan Tehnologi dan Kreatifitas Literasi Tanpa Batas

Merujuk pada arti literasi sebagai kemampuan individu berkenaan dengan membaca, menulis, menghitung dan memecahkan masalah yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, maka jika dikaitkan dengan kemajuan tehnologi modern di bidang informasi dan komunikasi, dapat dilihat dunia literasi ini berkembang dalam kreativitas tanpa batas. Coba kita perhatikan tehnologi menulis dan membaca, dari zaman pra sejarah hingga era sejarah, dari zaman klasik hingga era post-modern. Dunia literasi mengikuti proses perubahan ini melalui kemajuan tehnologi dibidang informasi dan komunikasi, baik secara revolutif maupun evolutiv.

Jadi dari sisi tehnologi, tidak ada alasan bagi kemunduruan kreatifitas literasi, dalam rangka lebih memajukan kehidupan dan peradaban manusia lebih bermakna. Dengan tehnologi informasi dan komunikasi itu, dunia literasi memiliki aksesibiltas yang signifikan karena keberadaan High Tech. inilah yang dikenal sekarang dengan istilah Literasi Tehnologi, ketika tehnologi informasi dan komunikasi dipandang sebagai kemapuan mendorong pemecahan masalah dengan berbasis ilmu pengetahuan.

Maka dengan kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi, interaksi fisik dan sosial yang ‘dilarang’ pada masa pandemi bisa diatasi dengan interaksi didunia maya melalaui jaringan vitual internet. Sehingga ‘jarak jauh’ di dunia fisik bisa menjadi ‘dekat’ di dunia maya. Revolusi tehnologi dunia maya sekarang menjadi ‘dewa penolong’ bagi usaha kreatif manusia menghadapi pembatasan fisik dan sosial saat ini. Ada banyak contoh saya kira bagaimana dunia internet sekarang ini menjadi mega solusi di masa-masa pandemi.

Berkenaan dengan konteks kreatifitas menulis sebagai seniman di bidang sastra atau penulis secara umum dalam bidang ilmu pengetahuan, maka tidak alasan untuk mandeq dengan kebijakan lockdown di masa pandemi ini. Seperti yang telah disebut awal bahwa, seorang kreator sejati mengetahui kewajibannya untuk memberi respon atas tantangan yang dihadapinya, dengan tetap bekerja dengan mendayagunakan daya ciptanya, menghasilkan karya-karya yang berkualitas.

Katanya, makin keras ombak yang dihadapi seorang pelaut, maka makin mudah baginya meraih predikat sebagai pelaut ulung. Tidak ada pelaut ulung jika belum pernah berhadapan ganasnya amukan badai gelombang di lauatan lepas yang mengancam jiwa.

Kesimpulan

Tantangan berkreativitas di era pandemi ini harus dipandang sebagai rahmat. Dengan begitu kita memiliki modalitas emosional dalam menghadapi masa-masa pandemi. Terkadang pemilik alam ini punya cara tersendiri untuk memberikan pendidikan pada mahluk-mahluk yang ada di dalamnya. Dengan anjuran agar kita ‘tetap dalam rumah’ kita bisa mengambil hikmah bahwa, seharusnya kita belajar untuk melihat dalam rumah kita yang sejati ‘rumah kalbu’ rumah sejati bagi setiap insan, yang isinya adalah cahaya-cahaya kebaikan ilahiyah. Kalau selama ini kita terlalu sering ‘diluar rumah’, artinya kita lebih banyak berorientasi ke hal-hal yang bersifat kebendaan sehingga lupa, yang rohani yang ada di dalam rumah kalbu kita itu. Tuhan mungkin ingin kita banyak berkontemplasi mengingat diri-Nya, ditengah kesibukan kita mengejar reski, kita melupakan Pemilik reski.

Tantangan dan kreatifitas adalah dua hal yang tak terpisahkan. Relasinya bersifat causalitas. Hubungannya seperti antara pertanyaan dan jawaban, kedua-duanya tidak bisa bersidir sendiri-sendiri, tetapi satu kerpaduan yang harmonis. Menghilangkan salah satunya merupakan kepincangan atau kecacatan eksistensial.

Literasi tehnologi merupakan solusi kreatif di era pandemi. Maka harus kita manfaatkan sebagai wadah bagi daya kreatif kita dalam menyiapkan dan menghasilkan karya-karya yang tidak hanya menimbulkan manfaat bagi kehidupan di dunia tetapi juga di akhirat.

Makassar, 25 September 2020