Jumat, 21 Januari 2011

STRATEGI KONSTITUTIF UNTUK REKONSTRUKSI MASA DEPAN BANGSA (Esey Sederhana Pendekatan ‘Futures Study’)

Oleh Syafruddin Muhtamar

Saat ini, jika diperbandingkan dengan masa lalu, sangatlah jauh berbeda. Segala hal dalam kehidupan kita banyak yang telah berubah. Dari kehidupan subtansial kita hingga kehidupan pragmatis kita telah berubah dalam suatu kecepatan yang mungkin tadak pernah terbayangkan sebelumnya. Kecepatan perubahan itu sedemikan akseleratifnya dan secara signifikan telah membentuk suatu kehidupan kita yang ‘baru’. Masyarakat yang tidak ‘siap’ menjadi kaget dan terperanngah diterpah arus gelombang perubahan yang datang bergulung-gulung seperti tanpa lelah. Masyarakat yang berkerja ‘ingsingt perdiksinya’ segera mengambil kuda-kuda persiapan menyambut gelombang perubahan itu. Maka kitapun menyaksikan banyak bangsa-bangsa berjalan tertatih-tatih di tengah derasnya perubahan dunia. Dan juga banyak bangsa-bangsa yang lainnya mampu secara lentur menempatkan dirinya dalam arus perubahan global ini.

Problem besar bangsa-bangsa diabad postmodern ini adalah perubahan dunia yang bergerak dan terus berdenyut dalam sistem globalisasi yang kelihatannya di rancang secara serius oleh Negara-negara elit dunia. Sistem global dengan segala kepentingan fundamentalnya mencoba mengintegrasikan Negara-bangsa di seluruh belahan bumi menjadi satu kesatuan dalam konesksitas nilai dan mekanisme kepentingan yang sama dalam orientasi utama kepentingan ekonomi. Problem besar itu muncul pada tahap ‘pra-koneksitas’, ketika masih berupa fenomena perubahan dramatis yang terjadi pada Negara-negara yang telah menjalin sinergi dalam konteks nilai-nilai global; perubahan ini kemudian menimbulkan dampak mendalam pada ragam kehidupan masyarakat bangsa lain yang masih dalam tahap penjajakan untuk menggabungkan diri kedalam sistem global. Melihat sedemikian obesesifnya sistem global ini, Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, maka terpaksa atau rela, mereka harus tetap terlibat dalam lingkaran globalisasi.

Yang menakutkan dari globalisasi sesunguhnya adalah ‘daya tekan’ yang dimilikinya bersifat ‘tanpa ampun’. Seluruh bidang-bidang kehidupan mengalami intervensi baik, secara langsung maupu tidak langsung melewati ragam saluran tehnis seperti kebijakan politik, mekanisme pasar, regulasi dan model-model kebudayaan, dalam rangka mengikutsertakan Negara-negara lainnya untuk ‘ambil bagian’ dalam globalisasi.

Akibatnya adalah banyak sistem-sistem kehidupan nasional suatu bangsa terpaksa harus menyesuaikan diri kepada suatu paradigma, model atau sistem yang tentu asing bagi sistem kehidupan mereka. Penyesuaian ini pastilah menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam ragam bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan juga bernegara. Sehingga muncul kecenderungan baru untuk melihat ulang cara pandang suatu bangsa atau visi suatu Negara tehadap realitas mutakhir. Reorientasi tujuan-tujuan fundamental hingga fragmatis menjadi kebutuhan mendesak suatu bangsa agar tidak terus menerus mendapat predikat ‘tertinggal’ dari Negara-negara elit pengusung globalisasi.

Globalisasi memperlihatkan dua dimensi utama, pertama dimensi ekonomi dan korporasi. Kedua, dimensi politik dan negara. Kedua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G 8 (sekarang G 20) melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s), kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC). Melalui mesin-mesin globalisasi itu, negara-negara maju ini semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber daya di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia. Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.

Problem-problem Awal: Perubahan dan Penumpukan norma-norma
Kita sebagai sebuah bangsa dan sebagai Negara tidak mungkin lagi menghindar dari dampak atau pengaruh langsung dari globalisasi atau menarik diri dari keterlibatan dalam sistemnya. Yang mendasar untuk kita pikirkan adalah sebuah stategi dasar, sebuah model atau bahkan mungkin suatu kerangka sistem nilai baru, yang dapat membuat kita terhindar dari ‘penjajahan tanpa senjata’ dari sistem global yang hegemonik. Seluruh potensi dan sumberdaya yang kita miliki harus digerakkan sampai batas-batas idealnya untuk merekonstruksi jalan masa depan bangsa nusantara kita ini. Dunia saat ini telah menjadi semacam panggung yang kestabilannya makin rapuh akibat nilai-nilai yang di utamakan hanya beroientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Buruknya, seluruh elemen kehidupan bangsa kita juga pelan-pelan mulai dipengaruhinya.

Dari perspektif hukum, tentu kita berpikir bagaimana memberdayakan seluruh sumber daya hukum kita dalam menghadapi masa depan yang serba tidak pasti itu. Perubahan sedemikian cepat sekali berganti dalam rentang waktu yang pendek. Problematika dalam ragam bidang kehidupan masyarakat sedemikian menumpuk untuk diatur dalam norma-norma hukum. Kompeksitas kehidupan yang terkait satu sama lain, dari dibidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, sampai budaya membuat penangangan kehidupan kekinian masyarkat kita menjadi cenderung complicated bahkan sophisticated; berbeda ketika masa masyarakat masih bersifat sederhana pada beberapa dekade lampau.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam kondisi dinamana Negara-negara satu sama lain saling terkoneksitas; praktek-praktek hukum suatu Negara akan cenderung mempengarui praktek hukum Negara lain. Dan kemungkinan model hukum suatu Negara akan menjadi model yang sama pada Negara yang lain. Menurutnya:
Hubungan saling pengaruh mempengaruhi itu, bahkan, bersifat lintas tradisi dan lintas sistem. Misalnya, konstitusi Negara-negara modern dewasa ini berisi banyak sekali prinsip-prinsip normatif yang satu sama lain saling mempengaruhi. Karena itu, sistem hukum di suatu Negara juga banyak meminjam dan menerima pengaruh dari Negara-negara lain.
Oleh sebab itu, pengetahuan kita tentang hukum kita sendiri tidak dapat lagi dilepaskan dari keharusan kita mengetahui bagaimana orang lain mengatur hal-hal yang sama dalam sistem hukum mereka. Perkembangan semacam ini tentu menambah kompleks permasalahan hukum yang dihadapi oleh setiap Negara, yang mengharuskan adalah reorientasi dalam cara pandang para sarjana hukum mengenai bagaimana cara mengelola sistem informasi hukum dan keadilan dengan sebaik-baiknya.
Kompleksitas yang mengepung kehidupan masyarakat kita akan berkonsekwensi suatu produksi norma yang terus-menerus, dan hal ini tentu akan menimbulkan penumpukan yang banyak peraturan-peraturan positivis, oleh Jimly Assidiqi disebutnya sebagai hiper-regulasi. Fenomena perubahan yang sedemikian deras dalam masyarakat yang juga telah masuk tahap hiper-modern, menimbulkan banyak problem-problem dalam dinamika kemasyarakatan yang oleh karenanya melahirkan kebutuhan-kebutuhan baru bagi pemegang otoritas dalam sistem kenegaraan untuk menanganinya dalam bentuk aturan-aturan formal.
Problem-problem ini terjadi tidak hanya dinegara-negara penganut civil law system namun juga di Negara-negara penghidmat common law system. Mereka, karena desakan ralaitas melakukan penyesuai-penyesuaian kondisi kehidupan yang terus berubah. Hal demikian dilakukan dalam kerangka ‘mengantisipasi masa depan’, sebab jika perubahan kodisi-kondisi ataupun realitas-realitas baru dengan bawaan masalah yang menyertainya itu tidak diatur maka, peluang terjadinya kesemrwawutan kehidupan masyarakat akan makin lebar. Jimly menggambarkannya sebagai berikut:
Gejala demikian terjadi di semua Negara, baik yang menganut tradisi ‘civil law’ maupun yang menganut tradisi ‘civil law’.Mengenai ha-hal yang pokok, seperti sistem pemilu, susunan dan kedudukan lembaga-lembaga Negara, dan sebagainya, di lingkungan Negara-negara ‘civil law’ tentu sejak lama sudah tertata sistemnya dengan baik. Karena itu, undang-undang baru di bidang-bidang yang bersifat pokok semacam itu sudah tidak pernah lagi dibuat orang. Akan tetapi, diluar soal-soal pokok semacam itu, setiap waktu, ada saja hal-hal baru yang perlu diatur dan dibuatkan undang-undangnya. Hal- hal yang dulunya tidak perlu diatur dalam undang-undang, sekarang timbul kebutuhan untuk mengaturnya dalam bentuk-bentuk, seperti larangan membunuh binatang. Larangan money-laundring, terorisme, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, di lingkungan Negara-negara ‘civil law’, undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang tertulis juga terus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan akan keteraturan hidup bersama.
Di kalangan Negara-negara ‘common law’ yang tidak terlalu mengandalkan peraturan dalam bentuk tertulis, sejak pertengahan abad ke-20 juga menghadapi kenyataan perlunya membuat aturan-aturan tertulis yang lebih banyak lagi. Karena itu, produksi undang-undang di Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’, dewasa ini, dapat dikatakan cenderung lebih banyak daripada produksi undang-undang di lingkungan negara-negara Eropah Kontinental yang menganut tradisi ‘civil law’. Karena itu, kecenderungan umat manusia untuk memproduksi peraturan, dari waktu ke waktu, terus saja berkembang, sehingga pada saatnya menimbulkan keadaan yang oleh Richard Susskind (The Future of Law) sebagai gejala “hyper-regulated society”.
Dalam pandangan pragmatis hukum, kita dapat mengatakan; akan banyak ketidakpastian yang akan terjadi dalam masyarakat, jika membiarkan banyak fenomena masalah baru tidak ‘dikendalikan hukum’, yang mana hal itu akan menjadi kondisi tidak kondusif bagi cita-cita ideal hukum maupun secara politis harapan ideal dari Negara. Maka oleh sebab itu tuntutan untuk memproduksi bentuk-bentuk aturan oleh Negara semakin tinggi di zaman abad mutahkir kini. Bahkan fenomena baru juga menunjukkan, elemen selain negara juga mengambil bagian dalam menyusun regulasi.
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa Memang benar bahwa di zaman globalisasi dewasa ini, telah berkembang pula gejala berkurangnya tuntutan akan peran Negara dalam membuat peraturan atau dalam melakukan tindakan-tindakan yang bersifat intervensionistik ke dalam dinamika kehidupan masyarakat dan ekonomi pasar. Sejak tahun 1970-an dan terutama sesudah runtuhnya komunisme di Eropah Timur, berkembang luas kritik-kritik mengenai kinerja Negara kesejahteraan (welfare states) yang dianggap terlalu banyak ikut campur dalam urusan masyarakat dan dunia usaha. Sebagai respons terhadap hal itu, sejak tahun 1970-an dan 1980-an muncul gelombang pengertian di seluruh dunia yang dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi. Dengan gelombang deregulasi itu, selintas dapat dikatakan, jumlah peraturan yang diproduksi Negara harus dikurangi agar tidak terlalu banyak. Namun, dalam praktik, jumlah norma aturan tersebut tidak menjadi berkurang secara drastis. Malahan, jumlah aturan tetap saja banyak dan semakin banyak, yaitu diproduksi oleh actor yang bereda. Jika sebelumnya, produksi peraturan resmi di monopoli oleh Negara, sekarang ‘civil society’ dan ‘market’ memproduksi pula aturan-aturannya sendiri. Banyak hal-hal yang dulunya harus diatur sendiri oleh negara, sekarang cukup oleh masyarakat atau dunia usaha sendiri. Pemerintah pun juga tidak lagi memonopoli kewenangna regulasi dalam melaksanakan ketentuan undang-undang. Sekarang sudah semakin banyak lembaga-lembaga negara yang bersifat independen yang diberi kewenangna tersendiri untuk memproduksi aturan-aturan di bidang tanggungjawabnya masing-masing.
Strategi Bagi Masa Depan: Mendayagunakan Sumberdaya Konstitutif
Mempertimbangkan Mengenai Masa Depan oleh bangsa-bangsa di dunia mulai mengejala seiring pertumbuhan yang pesat di dunia tehnologi dan industrialisasi. Era revolusi tehnologi yang memicu akslerasi industrialisasi telah berdampak pada kehidupan masyarakat dunia dalam skala luas. Dampaknya bukan hanya secara positif dari sisi ekonomi, namun juga berefek ganda dalam menciptaan ketidak seimbangan kehidupan dan arah kehidupan mengarah pada banyak ketidakpastian masa depan, akibat percepatan yang tak terkedali sebagai dampak dari proses industrialisasi besar-besaran.

Dalam kondisi demikian, kalangan terpelajar khususnya dinegara-negara industri maju mencoba merespons era yang berubah sedemikian cepat dengan sebuah model sains baru yang mereka sebut secara umum sebagai Studi Futuristik (Futures Study). Futures Study dianggap sebagai kebutuhan sebagai model untuk memikirkan masa depan ditengah banyak ketidakpastian yang dihadapai masyarakat dunia. Futures Study memandang realitas kekinian masyarakat sudah sangat memperihatinkan tidak hanya dalam konteks nilai tetapi juga level praktis. Dari sisi nilai; masyarakat telah mengalami pergeseran nilai-nilai lama dan tergantikan nilai-nilai baru. Sisi pragmatisnya; masyarakat ‘melahirkan’ diri dalam bentuk masyarakat-masyarakat baru yang tidak dikenali bentuknya sebelum ini, karena cirinya yang kompleks dan tehnologis. Eleonora B. Masini mengenai Futures Study ini mengatakan:

Futures Study merespon kebutuhan dalam era yang serba cepat dan diwarnai dengan perubahan-perubahan yang saling berhubungan (McHale 1969). Dalam menggambarkan perlunya memikirkan masa depan, Gaston Berger, futurolog Perancis, megatakan bahwa semakin cepat laju sebuah mobil, maka harus semakin jauh daya jangkau lampunya, agar mampu menghindari bahaya dan hambatan-hambatan lain yang mungkin akan muncul secara tak terduga. Kita menatap ke masa depan karena kita adala bagian dari rangkaian perubahan-perubahan yang saling terkait dan terjadi dengan cepat. Futures Study tidak sekedar sebagai sebuah kebutuhan, tetapi juga sebuah pilihan yang harus diambil setiap individu mapun masyarakat pada saat ini. Menentukan pilihan adalah satu hal yang sangat penting. Tak perduli apakah kita memikirkan masa depan atau tidak, memikirkan konsekwensi tindakan kita masa kini atau tidak (Godet 1979), ataupun sekedar berfikir tentang masa sekarang.

Apa itu masa depan? Dan secara ‘naluriah’ setiap kita sebagai individu dan sebagai bangsa punya pengharapan terhadap masa depan. Keputusan atau tindakan kita hari ini akan member dampak pada masa depan. Keputusan yang salah dan atau tindakan yang tidak benar turut mempengaruhi bentuk kehidupan masa depan. Menurut McHale, masa depan itu adalah symbol yang penitng dimana manusia dapat membuat masa kini diterima dan member arti bagi masa lampau. Apa yang McHale maksudkan adalah pengambilan keputusan dan memilih dimana posisi kita pada masa sekarang, kita mampu membuat kemungkinan untuk berkaitan dengan apa yang kita harapkan di masa mendatang.

Dan bagaimana jika dan apakah bisa konstitusi itu menjadi strategi dalam menghadapi, mengantisipasi dan merekonstruksi masa depan bangsa? Jika kita merujuk pada defenisi ‘masa depan’ tersebut sebagai dampak keputusan atau tindakan masa kini, maka arti keputusan dan tindakan ini mencakup pengertian yang luas, semua potensi dan dimensi dapat digerakkan dan diberdayakan untuk menjadi keputusan atau agar menjadi tindakan yang secara sadar kita pilih karena kita menghendakinya. Pilihan stategi itu bisa kita jatuhkan pada Dimensi Konstitusi. Memahami pilihan kita terhadap konstitusi sebagai strategi, maka harus dijabarkan lebih mendalam mengenai apa dan bagaimana terma konstitusi itu, baik sebagai sebagai ‘nilai-nilai maupun dalam fungsi tehnis-fragmatisnya.

Dari segi kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.

Konstitusi secara umum dapat dipahami sebagai suatu pernyataan dan/atau praktek-praktek resmi mengenai Negara dalam segala dinamikanya, baik dari segi politik maupun hukum, dan menjadi dasar bagi pengorganisasian kepentingan-kepentingan prinsipil Negara. Sebagaimana yang disebutkan Brian Thompson, bahwa “a constitution is a document witcth contains the rule of the operation of an organization”. Terdapat beragam pengertian konstitusi, namun secara garis besar konstitusi dapat dipahami dalam dua garis utama, yakni konstitusi sebagai aturan dasar tertulis, dan konstitusi sebagai praktek atau kebiasaan tentang penyelenggaraan Negara.

Dalam hal ini Miriam Budiardjo menyebutkan, constitution yang diterjemahkan sebagai undang-undang dasar (UUD) adalah kultur Belanda dan Jerman; yang menganggap konstitusi itu sebagai naskah tertulis. Menyebut konstitusi hanya semata sebagai UUD sebenarnya ada kekurangan dan kesukaran sebab yang kita bayangkan langsung adalah suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan suatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peratutran, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Subtansi dari konstitusi adalah konsensus. Konsensus merupakan jaminan bagi tegaknya konstitusionalisme. Disaman modern kita mengenal ada tiga prinsip yang menjadi sandaran dari sebuah consensus , yakni: kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama, kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara, dan kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan. Ditambahkan selanjutnya oleh Jimly Assidiqie, bahwa konstitusi memiliki fungsi-fungsi fokok seperti: sebagai penentu dan pembatas kekuasaan organ Negara, pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara, pengatur hunbungan kekuasaan antar organ Negara dengan warga Negara, pemberi atau sumber legitimasi kekuasaan Negara, penyalur dan pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan asli ke organ Negara, simbol pemersatu, sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan, pusat upacara, sebagai sarana pengendalian masyarakat baik dalam arti sempit bidang politik, maupun dalam arti luas dalam bidang sosial dan ekonomi.

Di Negara nusantara ini, konstitusi dipahami sebagai UUD, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dalam bentuk kebiasaan penyelenggaraan kenegaraan. Apa yang penting kita lihat dari terma konstitusi ini adalah “aturan / kebiasaan dasar” dan “Negara”. Kedua variabel ini, dalam satu pengertian, akan membawa kita pada pemahaman mengenai maksud dari ‘istilah’ STATEGI KONSTITUTIF, yang kita gunakan dalam tulisan ini. Fungsi-fungsi dari konstitusi dalam satu bagian juga merupakan bagian yang penting terkait dengan terma ‘stategi’. Dan strategi sendiri akan coba kita jelaskan secara tersendiri.

Negara sebagaimana dipahami secara umum adalah organisasi masyarakat paling besar, bukan hanya secara tehnis tetapi juga kuat secara fundamental, karena didalamnya termuat kekuasaan-kekuasaan yang ‘masif’, berupa kekuasaan eksekutif, lelgislatif dan yudikatif. Sebagai organisasi, Negara, inklud dalam dirinya tujuan-tujuan atau harapan ideal dan mekanisme-mekanisme serta prosedural-prosedural. Dan konstitusi akan menjadi ‘rel’ terselenggaranya dan bekerjanya Negara untuk mencapai tujuan dan harapan ideal tersebut. Negara dengan legitimasi kekuasaan yang dimilikinya dengan sendirinya memiliki daya untuk menggerakkan potensi dan kekuatan yang ada dalam kekuasaannya untuk mencapai visi dan misi Negara. Negara dengan demikian adalah semacam alat yang digunakan manusia modern untuk mencapai tujuan hidupnya sebagai masyarakat.

Ada dua terma penting dari pembicaraan ini dalam hubungannya dengan startegi ‘masa depan’; pertama adalah konstitusi, dan kedua adalah Negara. Peranan dan fungsi dari sebuah konstitusi sebagai khas pada Negara-negara modern adalah vital dalam pengelolaan masa depan subtansial dari masyarakat. Dan Negara sebagai media mekanis bagi upaya-upaya pragmatis pencapaian tujuan masyarakat, memiliki peran urgen secara operasional yang memungkinkan pencapaian tujuan pada masa depan. Konstitusi memuat nilai dan paradigma/ideologi masyarakat dan Negara mengandung daya cipta untuk mewujudkan nilai-nilai dan paradigma/ideologi masyarakat secara nyata.

Oleh karena itu keberadaan konstitusi dan Negara menjadi urgen posisinya dalam mencapaian masa depan sebuah masyarakat. Bangunan dan wajah masyarakat masa depan secara relatif tercermin dalam subtansi konstitusi sebuah Negara dan juga dapat terindikasikan pada upaya atau tindakan-tindakan pemerintahan Negara dalam program-progam yang rencanakan maupun yang direalisasikan. Paling tidak dalam konteks ini, konstitusi sebuah Negara dapat dipertimbangkan sebagai sebuah Strategi Masa Depan, baik dalam pengertian mengikuti, mengantisipasi maupun menciptakan masa depan.

Jejak Historis dan Kebutuhan ‘redefenisi’ konstitusi

Kita mengetahui sejarah kelahiran ‘konstitusi’, apa setting sejarahnya, nilai-nilai yang melandasainya dalam sejarah tersebut dan motiv politik dari proses kelahirannya. Dan dari sejak kelahitan pertama kelahiran konstitusi hingga diabad modern saat ini; fungsi dan peranannya banyak mengalami pergeseran-pergeseran. Setting jerarah baru, nilai-nilai baru serta motiv-motiv baru, turut berperan dalam terjadinya pergeseran fungsi dan peran dari konstitusi ini.

Dari sisi histori konstitusi, dicatat oleh Prof. H. Dahlan Thaib bahwa fungsi dan peranan konstitusi dari waktu kewaktu berubah-ubah:

Pada masa peralihan dari Negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke Negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan peranannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti individualism, liberalism, universalisme dan demokrasi. Selanjutnya kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan ideologi yang melandasi Negara.

Dalam sejarahnya di dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas kewenangan penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang progresif dan militant, konstitusi menjadi alat rakyat untuk konsulidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk Negara. Berhubung dengan itu konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan Negara, dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.


Artinya perubahan peran dan fungsi konstitusi ‘bermotiv’ kontekstual. Ragam konteks dalam suatu masyarakat pada kurun masa tertentu secara langsung atau tak langsung mempengaruhi pergeseran fungsi dan peranan dari konstitusi. Sejatinya konstitusi baik dalam level ‘teoritis’ maupun tataran ‘praksis’ berbeda dari masa ke masa pada satu Negara dengan Negara lainnya. Poin kita pada sisi ini adalah bahwa konstitusi dalam ranah peradaban yang post-modern saat ini, relatif, harus mengelami ‘pergeseran-pergeseran’ baru, mengingat banyak dari fenomena sosial, politik, hukum , ekonomi dan sendi-sendi kehidupan lainnya juga telah ‘beroperasi’ pada situasinya yang ‘berbeda’ dan serba ‘baru’. Yang oleh karena itu membutuhkan ‘penyegaran konstitusi’ dalam segala pengertiannya. Sebagaimana dalam sejarahnya konstitusi merupakan respon akan apa kebutuhan ‘hari ini’ dari masyarakatanya. Situasi tradisional tentu saja berbeda dengan situasi modern dan post-modern dalam ragam nilai, praktek dan ‘tujuan-tujuan ideal’.

Sejarah kekinian kita yang bercorak ‘global civilization’ menuntut setiap bangsa yang untuk melakukan banyak penyesuaaian-penyusuaian dengan ‘situasi global’ dengan karakteristik nilai-nilainya, praktek-praktek seluruh level kehidupan internasionalnya serta harapan-hrapan universal yang ingin ditujunya. Penyesuaian dalam pengertian ini boleh bermakna mengikuti sepenuhnya, mengantisipasi dampaknya, mengikuti sebagian dan memberi warna ‘lokal’ pada sistem kita dan/atau melawan sistemnya dengan menampilkan sistem kita secara berbeda atau berlawanan. Pilihan-pilihan penyesuaian ini tentu jatuh pada ‘nilai-nilai’ yang kita anut dan pertimbangan rasional dalam segala dimensinya pada sistuasi masa kini dan kemungkinan tentang masa depan kita; dalam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa.

Dalam konteks itulah menurut hemat saya, kita membutuhkan penyegaran fundamental segala sendi kehidupan bernegara dan berbangsa kita; salah satunya adalah ‘meredefifnisi’ konstitusi sebagai langkah awal yang mendasar bagi pengoperasiannya secara stategis dimasa kini dalam situasi dunia yang serba ‘terhubung’. Dengan demikian kita dapat mempertimbangankan dimensi konstitusi sebagai sebagai STRATEGI bangsa dan Negara dalam lingkup ‘global civilization’.

Sifat konstitusi yang fundamental-mengikat terhadap bekerjanya Negara yang memiliki kekuasaan ini menjadi pertimbangan utama untuk menjadikan dimensi konstitusi sebagai sebuah strategi pencapaian masa depan masyarakat sebuah bangsa. Menyebut KONSTITUSI SEBAGAI STRATEGI tidak bermaksud mengecilkan makna konstitusi itu sendiri, mengingat strategi memiliki makna praktis dan tehnis. Konstitusi juga demikian halnya memiliki makna pragmtais dan tehnis dalam tataran fungsi dan peran. Sehingga menyebut konstitusi sebagai stategis tidak dengan sendirinya mengerdilkan makna konstitusi. Hanya bahwa dengan menggandenakannya dengan terma stategi, maka makna konstitusi menjadi lebih aplikatif dan operasional. Meskipun juga trategi tidak melulu hal-hal mengenai tetek-bengek tahnis dan praktis, tetapi juga nilai-nilai dasar dan bersiat visioner.

Lalu bagaimana memahami terma KONSTITUSI SEBAGAI STATEGI dalam me(re)konstruksi masa depan bangsa? Dari ragam pemaparan awal, kita dapat menjelaskan bahwa kontitusi dalam posisinya yang mendasar bagi pelaksanaan Negara memuat unsur paling mengikat dari nilai-nilai dasar sebuah bangsa dan tata cara pelaksanaan sebuah kekuasaan bagi cita-cita ideal masyarakat bangsa yang dilingkupinya. Dan strategi dipahami umum sebagai menggerakkan seluruh sumber daya potensial dan aktual dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Sementara masa depan bangsa adalah harapan ideal yang dicita-citakan oleh sebuah bangsa baik dalam bentuknya yang terencana (tertulis dalam ‘lembaran negara’) maupun sebagai cita-cita yang hidup secara sosial-kultural dalam kehidupan masyarakat sebagai paraktek-praktek kehidupan yang nyata. Dari pengertian-pengertian ini kita dalam membuat simpulan bahwa, yang dimaksud dengan Konstitusi Sebagai Strategi bagi masa depan bangsa adalah upaya menggerakkan semua elemen yang bersifat konstitutif yang potensial dan aktual untuk mewujudkan harapan masyarakat yang bersendikan nilai-nilai dasar mereka yang bersifat khas kebangsaan, yang dilakukan/diterapkan dalam situasi kekinian masyarakat nasional dan global. Secara sederhana kita dapat menamai strategi ini sebagai STRATEGI KONSTITUTIF.

Strategi Konstitutif Sebuah Diskurus Awal

Membicarakan masa depan kita tidak bisa melepas diri dari pembicaraan mengenai ketidakpastian. Dalam banyak hal, pada dekade mutahkir di Negara nusantara ini, ragam kondisi kehidupan masyarakat kita seolah-olah terobang-ambing dalam labirin ketidakpastian akibat derasnya perubahan situasi dunia dan seringkali tidak terprediksikan. Pemerintahan, juga dalam banyak hal, seringkali merespon situasi yang berubah dalam kelipatan pendek itu dengan respon ‘seadanya’ untuk sekedar menstabilkan situasi secara temporer. Dan kita mengetahui dampak dari respon itu tidak sedemikian signifikan terhadap kondisi yang betul-betul diinginkan. Hal ini terjadi pada hampir semua level pemerintahan, dan hanya mengesankan ‘ketidakmampuan negara’ dalam beretas jalan ‘baru’ menuju masa depan bangsa yang diiginkan.

Lalu apa yang mungkin bisa dilakukan ‘oleh’ Strategi Konstitutif ini dalam ranah kehidupan keindonesiaan kita pada masa mutakhir ini? Terlebih dahulu harus difahamkan bahwa, strategi konstitutif ini lebih berorientasi masa depan dari sisi vision, stategi yang secara khusus diterapkan dalam kondisi sosial, ekonomi, budya dan politik yang telah ‘tercemar’ dampak dari penerapan sistem global yang terus berlangsung sangat progresif dengan motivasi hegemonik dalam skala masif, saat ini. Masalah-masalah yang coba untuk di’tangani’ oleh strategi konstitutif ini adalah pengaruh kehidupan dan perubahan global yang secara langsung atau tidak langsung menyentuh kehidupan nasional kita dan berpeluang menggeser nilai-nilai dan praktek-parakter dasar yang secara khas milik kita sebagai sebuah masyarakat bangsa dengan segala keistimewaannya.

Berikut ini adalah gambaran kerangka dasar Strategi Konstitutif yang mencakup beberapa elemen pokok sebagai berikut:
1. Kesadaran mendalam akan eksistensi sejati kita sebagai sebuah bangsa dengan nilai-nilai dasar, kebudayaan yang khas, dan visi kebangsaan kita yang tercermin dalam sejarah kenusantaraan kita masa lampau dan fase kemoderenan kita dengan karakteristik Negara demokratis yang dibangun menurut nilai-nilai kebudayaan kita sendiri.
2. Memahami secara komprehensif dampak (baik dan buruk) dari penerapan sisitem global terhadap kehidupan masyarakat kita dalam semua lini kehidupan nasional kita.
3. Mengokohkan jati diri kebangsaan kita yang khas tersebut dalam UUD agar menjadi panduan ‘paradigmatik’ bagi upaya lanjutan yang bersifat integratif.
4. Meyiapkan kelembagaan yang kuat (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang visi misinya adalah turunan dari jiwa dan jati diri kebangsaan kita yang termaktub dalam UUD.
5. Produksi regulasi dan kebijakan non-regulatif merupakan terjemahan langsung dari kehendak UUD. (Prosesnya harus bebas dari elemen asing/inervensi)
6. Menyiapkan SDM pelaksana visi dan misi konstitutif dalam semua level birokrasi yang berintegritas moril kebangsaan.

Tentu saja gambaran umum ini membutuhkan penjelasan yang lebih jernih dan implementatif sehingga keseluruhan gambaran mengenai Strategi Konstutif dalam kelihtan secara utuh. Secara umum dapat kita katakan bahwa Strategi Konstutif akan menjadikan Negara sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh terhadap eksekusi stategi. Sesuai sifat konstitusi yang hanya bekerja dalam level organisasi Negara, maka Negara dalam segala pengertiannya menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan Strategi Konstitutif ini. Hal ini mengingat dampak sistem global skala pengaruhnya dalam bidang-bidang kehidupan nasional sangat luas dan dalam karena menyentuh semuah lapisan masyarakat, sehingga membutuhkan peran Negara secara sistemik. Hal lain juga karena sistem global ini merupakan interkoneksitas antar Negara-negara dalam semua lingkaran-lingkaran kawasan dunia, dimana Negara haruslah dominan fungsinya.

Daftar Pustaka

Adzkar Ahsinin, 2005, Ancaman Globalisasi Terhadap Implementasi Hukum Lingkungan :
Sebuah Tinjauan Perspektif Feminist Legal Theory, Jakarta.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Globalisasi, Hiperregulasi, Dan Masa Depan Peradilan Tata Usaha Negara, http://cakimptun4.wordpress.com/artikel/globalisasi-hiperregulasi-dan-masa-depan-peradilan-tata-usaha-negara/
Eleonora B. Masini, 2004, Studi Futuristik, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Prof. Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.

Label: ,

Sabtu, 08 Januari 2011

KOLERASI PARADIGMATIK ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM DENGAN PANCASILA SEBAGAI GROUNDNORM

Oleh Syafruddin Muhtamar

1. Pengantar

Kita sering memperdebatkan mengenai problem utama manusia baik dia sebagai masyarakat maupun sebagai individu, apakah problemnya adalah nilai/ide/gagasan/konsep (dipersingkat menjadi kebutuhan jiwa) atau apakah problem kita satu-satunya hanyalah masalah bendawi/material/atau pisik (dipersingkat menjadi kebutuhan jasmani) saja?

Perdebatan ini telah berlangsung panjang dalam sejarah intelektualitas manusia, dibicarakan bukan hanya dari segi kedalammnya secara filosofis ataupun akademik, tetapi juga diperbincangkan secara ‘awam’ oleh masyarakat pada umunnya dalam kehidupan kita sebagai manusia yang memiliki kecenderungan alamiah untuk mempertanyakan beragam hal.

Namun tulisan ini tidak bermaksud untuk turut memperpanjang materi perdebatan mengenai apakah problematika manusia adalah sepotong idea tau sepotong roti? Faktanya manusia hidup dalam dua ranah itu secara tak terpisahkan. Ide merupakan atribusi dari jiwa kita, sementara ‘makan atau minum dan sex’ merupakan atribusi dari kebutuhan biologis kita. Dan dinamika sejarah kehidupan masyarakat justeru dipenuhi oleh kedua variabel subtansial tersebut. Bahkan sejarah bergerak dikarenakan oleh realisasi dari suatu ideologi ataupun pelaksanaan kebutuhan manusia akan benda-benda. Banyak sejarah bangsa-bangsa yang vakum atau berkembang pesat karena dorongan sepotong idea atau karena hasrat yang berlebihan terhadap kebendaan.

Hanya yang ingin ditekankan adalah mengenai ide-ide, gagasan dan konsep-konsep yang kemudian terformulasi dalam suatu ilmu pengetahuan maupun terkategori dalam aliran-aliran pemikiran, yang banyak mendapat respon dikalangan elit inteletual maupun pelajar diseluruh dunia. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah aliran-aliran kefilsafatan dalam bidang Filsafat Hukum dan ide-ide yang terformulasikan dalam ideologi Pancasila yang nilai-nilainya telah menjadi semacam groundnorm tersendiri dalam praktek kenegaraan dan kebangsaan Indonesia.

Kita memahami dalam dunia pengetahuan terjadi banyak sekali faksi-faksi pemikiran, baik dalam pokoknya maupun cabang-cabangya, baik yang menjadi mainstrem dan memperoleh banyak pengikut, maupun yang ‘tidak populer’ namun seringkali dirujuk sebagai sumber pemikiran. Banyak diantara aliran-aliran pemikiran itu mampu bertahan dan dapat menembus perubahan zaman, bahkan nama tokoh pencetusnya menjadi abadi sepanjang masa. Hal ini terjadi pada hampir semua kategori atau bidang ilmu pengetahuan, baik yang bercorak filosofis, sosial maupun yang sifatnya eksak.

Yang urgen dari aliran-aliran pemikiran tersebut telah turut berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan-perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat pada hampir seluruh lapisan masyarakat dunia. Ini menunjukkan betapa buah pemikiran yang mendalam dan mencakup secara meluas makna-makna kehidupan akan mampu member pengaruh terhadap kehidupan masyarakat.

Sebelum lebih jauh kita menelisik hubungan paradigkmatik antara aliran-aliran dalam filsafat hukum dengan nilai-nilai pancasila penting bagi ulasan ini utuk kita mendeskripsi secara sederhana aliran-aliran filsafat hukum tersebut dalam beragam konteksnya baik histori maupun ketokohan serta postulat-postulat pemikiran mereka. Selain itu juga urgen untuk kita paparkan pancasila itu sebagai suatu kumpulan nilai-nilai yang bersifat groundnorm.


2. Aliran-Aliran Filsafat Hukum

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan telah menempatkan dirinya sebagai ‘induk’ segala ilmu. Boleh dikatakan bahwa filsafat adalah tempat lahir segala pengetahuan dan ilmu. Mungkin karena sifatnya yang selalu mempertanyakan segala hal hingga kebatas-batas ‘tak tergingga’ secara mendalam untuk memperoleh kebenaran, sehingga filsafat telah memungkinkan lahirnya banyak ilmu pengetahuan bagi manusia, yang saat ini telah terfragmentasi dlam ragam cabang-cabang ilmu pengetahuan.

Salah satunya adalah lahirnya filsafat hukum sebagai konsekwensi keberadan filsafat sebagai ilmu dan realitas dunia hukum dalam masyarakat serta adanya ilmu pengetahuan mengenai hukum. Dari sisi defenisi, Filsafat hukum itu difahami sebagai cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.

Dalam filsafat hukum kita juga mengenal beberapa aliran pemikiran yang telah mewarnai ilmu filsafat hukum dari waktu kewaktu. Banyak ahli yang berbeda pendapat mengenai aliran-aliran dalam filsafat hukum, misalnya Satjipto Rahardjo membagi aliran filsafat hukum ke dalam: Teori Yunani dan Romawi, Positivisme dan Utilitarianisme, hukum alam, teori hukum murni, pendekatan sejarah dan antropologis, pendekatan sosiologis. Sementara Soejono Soekanto membaginya kedalam aliran utilitarinisme, mazhab sejarah dan kebudayaan, mazhab formalitas, aliran realisme hukum, aliran sociological yurisprudence. Dan Lili Rasdji membaginya pada mazhab sejarah, aliran hukum alam, aliran hukum positif, sociological yurisprudence, pragmatic legal realism.
Pada dasarnya aliran-aliran filsafat hukum tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri. Sejarah perkembangan filsafat memberikan warna yang beragam dalam bertumbuhnya aliran-aliran filsafat berdasarkan tahapan periode perkembangan filsafat. Dan secara umum kita dapat menggolongkan aliran-aliran filsafat hukum itu kedalam beberapa bagian aliran-aliran penting sebagai berikut:
1. Aliran hukum alam
2. Positivisme hukum
3. Utilitarianisme
4. Mazhab sejarah
5. Sociological yurisprudence
6. Realisme hukum
7. Ajaran hukum bebas
Berikut adalah deskripsi singkat dari masing-masing aliran-aliran pemikiran tersebut diatas.
Aliran Hukum Alam
Sejak 2.500 tahun yang lalu perkembangan hukum alam telah dimulai. Berangkat dari cita-cita yang lebih tinggi. Para pemikir zaman dahulu umumnya menerima suatu hukum, yaitu hukum alam atau hukum kodrat. Berbeda dengan hukum positif sebagaimana diterima oleh orang dewasa ini, hukum alam yang diterima sebagai hukum tersebut bersifat tidak tertulis. Hukum alam ditanggapi tiap-tiap orang sebagai hukum oleh sebab menyatakan apa yang termasuk alam manusia sendiri, yaitu kodratnya.

Huijbers, membedakan penggunaan istilah hukum alam dengan hukum kodrat. Menurut Huijbers istilah yang benar untuk menyatakan hukum yang dimaksud adalah "hukum kodrat" dan bukan "hukum alam". Huijbers menggunakan istilah tersebut berdasarkan pengertian istilah latin lex naturalis (bhs. Inggris: natural law) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi "hukum kodrat" dan bukan lex naturae (bhs.Inggris: law of nature) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi "hukum alam". Secara panjang lebar Huijbers menerangkan sebagai berikut:. Lex natura e merupakan cara sega la yang ada berj alan sesuai dengan aturan semesta alam. Menurut para sofis Yunani (abad 5 SM) dan Thomas Hobbes, Ch. Darwin, H Spencer, dkk., hukum alam itu menguasai kehidupan manusia juga seperti makhluk hidup lainnya yang mengikuti kecenderungan-kecenderungan jasmaninya.

Sebaliknya, lex naturalis menandakan bahwa terdapat tuntutan fundamental dalam hidup manusia yang menjadi nyata dalam wujudnya sebagai makluk yang berakal budi. Dengan mengikuti lex naturalis manusia tidak mengikuti nalurinya yang irasional, melainkan pertimbangan akal budi dan rasa moral. Namun dalam lex naturalis juga diakui bahwa hukum yang dianut bukanlah kegiatan rasional melulu. Hukum itu merupakan bagian aturan alam semesta alam (natura) yang sebenarnya merupakan suatu keseluruhan kosmis yang penuh rahasia yang tidak dapat dijangkau oleh akal budi manusia.

Dalam Bahasa Indonesia, istilah "hukum alam" lebih menandakan lex naturae dalam arti yang umum, yaitu sebagai daya yang menyebabkan bahwa segala yang ada di dunia ini berjalan menurut aturan yang telah ditetapkan. Karenanya untuk mengungkapkan arti lex naturalis sebaiknya dipakai istilah lain yaitu hukum kodrat.

Hukum kodrat lebih kuat dari pada hukum positif, sebab menyangkut makna kehidupan manusia sendiri. Karenanya hukum itu mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai azas bagi hukum yang dirumuskan dalam undangundang tersebut. Dengan kata lain hukum adalah aturan, basis bagi aturan itu ditentukan dalarn aturan alamiah yang terwujud dalam kodrat manusia.

Beberapa tokoh hukum alam yang terkenal seperti pada Zaman klasik tokohnya adalah Aristoteles, pada Abad pertengahan tokohnya adalah Thomas Aquinas, pada Zaman rasionalisme tokonya adalah Hugo Grotius, pada Awal abad XX adalah Messner sebagai salah satu tokohnya.

Positivisme Hukum

Positivisme dalam pengertian modem adalah suatu sistem filsafat yang mengakui hanya fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi. Dengan hubungan objektif fakta-fakta ini dan hukurn-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-asul tertinggi (Muslehuddin, 1991: 27). Dengan kata lain, positivisme merupakan sebuah sikap ilmiah, menolak spekulasi-spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Teori ini dikembangkan oleh August Comte, seorang sarjana Perancis yang hidup pada tahun 1798 hingga 1857.

Dimulai dengan pertengahan kedua abad ke-19, positivisme menjalar ke dalam segala cabang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan hukum. ia berusaha untuk mendepak pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai dari ilmu Yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-ilmu ini pada analisa, dan mendobak tatanan hukum positif. Para positivis mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku; dan hukum positif disini adalah norma-norma yudisial yang dibangun oleh otoritas negara. la juga menekankan pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijaksanaan sosial dan cenderung mengidentifikasikan keadilan dengan legalitas, yaitu ketaatan kepada aturan-aturan yang ditentukan oleh negara.

Positivisme hukum ada 2 bentuk, yaitu positivisme yuridis dan positivisme sosiologis: a) Positivisme yuridis. Dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan postivisme yuridis adalah pembentukan struktur-struktur rasional system-sistem yuridis yang berlaku. Dalam praksisnya konsep ini menurunkan suatu teori bahwa pembentukan hukum bersifat professional yaitu hukum merupakan ciptaan para ahli hukum. b) Positivisme sosiologis. Dalam perspektif positivisme sosiologis, hukum dipandang sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Dengan demikian hukum bersifat terbuka bagi kehidupan masyarakat. Keterbukaan tersebut menurut positivisme sosiologis harus diselidiki melalui metode ilmiah. Tokohnya adalah Auguste Comte (1789/1857) yang menciptakan ilmu pengetahuan baru, sosiologi.

Sarjana yang membahas secara komprehensif sistem positivisme hukum analitik adalah John Austin (1790-1859), seorang yuris Inggris. la mendefinisikan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya. Sehingga karenanya hukum, yang dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya didasarkan pada ide-ide baik dan buruk, dilandaskan pada kekuasaan yang tertinggi (Friedmann, 1990: 258).



Utilitarianisme

Utilitarianisme lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini meletakkan kemanfaatan senagai tujuan hukum. Kemanfaatan diartikan sebagai kemanfaatan (happinnes). Jadi baik buruk atau adil tidak adil hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan pada manusia atau tidak.

Aliran ini tokohnya adalah Jeremy Bentham dan Rudolph Von Jhering. Jeremy Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan suatu yang kacau. Sumbangan terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang di pakai adalah “apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan”. Selanjutnya Betham mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.

Rudolph von Jhering, Ia dikenal dengan ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism. Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.

Mazhab Sejarah

Mazhab sejarah lahir sebagai reaksi atas tiga hal, yakni: rasionalisme abad ke-18, semangat revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya, dan reaksi terhadap pendapatyang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum, karena dianggap undang undang sudah dapat memecahkan semua permasalahan hukum.

Mazhab hukum historis lahir pada awal aabad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul: ‘Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenchaft’ (tentang seruan Zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Tokoh mazhab ini ialah F. Von Savigny dan Sir Henry Maine.

Friedrich Carl Von Savigny; Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat.

Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.

Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.

Sir Henry Maine; Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah dari suatu tata hukum dan dengan demikian mengembangkan pengertian, bahwa hukum itu merupakan suatu unikum. Keadaan yang demikian ini menyuburkan dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang bersifat anthropologis. Maine dianggap sebagai yang pertama-tama melahirkan karya yang demikan.

Maine mengatakan masyarakat ada yang “statis” dan ada yang “progresip”. Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu: fiksi, equity dan perundang-undangan. Perubahan masyarakat tidak selalu menuju kepada yang lebih baik. Perjalanan masyarakat menjadi proresip, disitu terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak.

Sociological Yurisprudence

Menurut lili rasjidi, Sociological Yurisprudence menggunakan pendekatan hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat.valiran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses dialektika anatara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah.

Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Eugen Ehrlich; Penulis yang pertama kali menyandang sosiolog hukum (Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912). Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Roscoe Pound; hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapr terpenuhi secara maksimal.

Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis(law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.

Realisme Hukum

Realism hukum berkembang dalam waktu bersamaan dengan Sociological Yurisprudence. Dalam pandangan kaum realism, hukum adalah haris dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas, keperibadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentian bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukumdan hasil hukum dalam kehidupan. Sehingga Karl L lewellyn mengatakan hal yang pokok dalam relisme hukum adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.

Tokoh yang terkenal dalamaliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn. Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka hakim itu lebih layak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilian, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan.

Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan tersebut.
Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suat dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Lebih jauh Karl Llewellyn menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum.

Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain; hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptkan oleh pengadilan.

Ajaran Hukum Bebas

Aliran ini merupakan penentang paling utama dan paling keras positivisme hukum. Aliran ini pertama kali muncul di jerman dan merupkan sisntesis dari proses dialektika antara ilmu hukum analitis dan ilmu hukum sosiologis.

Aliran ini berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.


3. Pancasila Sebagai Groundnorm
Bangsa ini barangkali patut berbangga dengan keberadaan pancasila sebagai ideologi dari Negara nusantara ini. Mungkin kita termasuk salah satu Negara-negara di dunia ini yang memiliki nilai-nilai khusus yang dasar-dasar historis dan antropologisnya berasal dari kehidupan khas kita sebagai sebuah bangsa timur. Nilai-nilai universal yang digali dari akar budaya dan adat istiadat dari masyarakat nusantara yang bhineka dalam ragam kehidupan.
Adalah pancasila sebagai nama yang dipilih oleh founding father Negara ini sebagai nama dari formulasi nilai-nilai tersebut sebagai suatu yang bersifat groundnorm. Pancasila dapat dipahami dari tiga sisi pengertian, yakni pengertiannya dari sisi etimologis, sisi historis dan sisi terminologis.
Dari sisi etimologis, pancasila bermakna ‘lima dasar’. Dari sisi historisnya pancasila dapat dipahami sebagai haril dari raangkaian sejarah panjang nusantara ini sejak mula kehidupan tradisionalnya hingga terbentuknya nusantara ini sebagai sebuah entitas dengan ciri modern sebagai sebuah Negara merdeka. Sementara dari sisi terminologis, pancasila dapat dipahami sebagai dasar Negara yang tercantum dalam konstitusi UUD1945 yang terdiri dari:
1. Ketuhanan yang maha esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh himat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari segi filosofis pancasila bersifat obyektif karena rumusan dari nilai-nilai pancasila hakekat maknanya yang dalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai; bahwa sebagai nilai, pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan dan keagamaan; dan bahwa pancasila dari segi ilmu hukum dianggap memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental sehingga merupakan sumber hukum positif.
Sebagai suatu nilai, pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan jika nilai-nilai itu dijabarkan dalam norma-norma, maka dapat meliputi: (1) norma moral, ini dapat diukur dari segi baik maupun buruk dari perilaku dari tingkah laku kita, (2) norma hukum, yaitu berupa sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
4. Analisis Hubungan Paradigmatik

Sebelum lebih lanjut, penting untuk kita memahami apa yang dimaksud dengan paradigmatik tersebut, dan apa yang kita maksudkan dengan hubungan. Hal ini agar kita memperoleh pandangan secara umum mengenai apa yang akan kita tuju. Karean tujuan tulisan ini adalah mencoba untuk menemukan titik-titik singgung ataupun pertautan atau hubungan nilai antara subtansi nilai yang ada dalam aliran-aliran filsafat dengan subtansi niali dari ideologi pancasila.

Dari pengertinnya PARADIGMA seringkali dimaknai sebagai gagasan dasar mengenai realitas yang menjadi basis konstruksi sebuah pandangan dunia. Sementara HUBUNGAN secara umum dipahami sebagai suatu yang menjadi kaitan antara dua hal berbeda ataupun dua hal yang sama. Itu adalah semacam defenisi operasional yang kita gunakan untuk mengetahui apa dan bagaimana hubungan aliran-aliran filsafat hukum itu dengan pancasila.

Analisis ini akan kita mulai dengan terlebih dahulu melakukan penglasifikasian mengenai standar nilai apa yang terdapat dalam masing-masing aliran pemikiran dalam filsafat hukum tersebut, termasuk menglasifikasikan standar nilai yang termaktub sebagai makna-makna dalam rumusan pancasila.

Sebagaimana kita ketahui pada bagian awal tulisan ini, bahwa aliran-aliran pemikiran yang terdapat dalam filsafat hukum digolongkan dalam: Aliran hukum alam, Positivisme hukum, Utilitarianisme, Mazhab sejarah, Sociological yurisprudence, Realisme hukum, dan Ajaran hukum bebas. Untuk mempermuda pengetahuan kita mengenai klasifikasi nilai pada masing-masing aliran, kita akan menggunakan tabelisasi sebagai berikut:



Sementara formulasi pancasila yang terdiri atas lima sila dengan spesifikasi makna masing-masing dapat kita tabelisasi sebagai berikut:



Dengan memperhatikan tabel-tabel diatas, secara komparatif kita bisa melihat kandungan-kandungan nilai dari aliran-aliran pemikiran tersebut. Deskripsi ini memberi gambaran kepada kita mengenai karakteristik masing-masing dari corak nilai pemikiran yang ada. Dan dari karakteristiknya kita dapat memahami kontektualisasi bagi penerapan nilai tersebut dalam sistem kehidupan masyarakat.

Dalam menarik hubungan paradigmatik antar aliran-aliran pemikiran itu dan pancasila sebagai groundnorm, kita harus memberi defenisi terlebih dahulu mengenai apa yang kita maksud dengan HUBUNGAN PARADIGMATIK . Sebagai mana telah kita buat defenisi operasional terhadap Hubungan dan Paradigmatik pada bagian terdahulu, maka kita dapat mendefinisikan hubungan paradigmatik itu sebagai persamaan atau perbedaan subtansi dari nilai pemikiran atau gagasan dasar yang ada.

Dalam konteks pengertian tersebut, sebenarnya kita secara terang dapat melihat perbedaan dan persamaan subtansi nilai dari masing-masing postulasi yang ada dalam kerangka-kerangka pemikiran dasar tersebut diatas. Namun pengertian HUBUNGAN PARADIGMATIK dalam tulisan ini, penulis ingin memaknainya sebagai sejauh mana kerangka dasar nilai-nilai pancasila sebagai ideologis bangsa ini dapat secara terbuka atau tertutup terhadap beragam aliran-aliran pemikiran yang tidak lahir dari sejarah pemikiran Indonesia, namun dari sejarah pemikiran dunia barat.

Kita memahami bahwa aliran-aliran pemikiran dalam filsafat hukum yang kita deskripsikan tersebut diatas basis peradaban yang melahirkannya adalah peradaban Negara barat, yang dalam banyak hal terdapat perbedaan paradigma dalam memandang kehidupan. Dalam hal inilah kita akan melihat hubungan paradigmatik yang dimaksud. Artinya sejauh mana dalam tataran pragmatis ajaran pancasila itu dapat menerima nilai-nilai ajaran dari pemikiran-pemikiran yang ada dalam dunia hukum.

Jika kita melihat realitas kehidupan hukum nasional kita yang menggunakan hukum positif sebagai sistem hukum dalam mengatur kehiduan berbangsa dan bernegara, maka sesengguhnnya kerangka ideologi kita telah memugkinkan hal tersebut secara subtansial dari nilai-nilai pancasila. Kita memahami pancasila adalah landasan filosofi bangsa dan jiwa dari proses implementasi sistem kenegaraan dan juga menjadi sumber hukum tertinggi, maka sesunguhnya nilai-nilai pancasila sebagai groundnorm memiliki sifat fleksibilats terhadap nilai-nilai pemikiran lain untuk saling berintegrasi maupun hidup berdampingan. Responsibilitas karena keluasan makna dan universalime dari sila-sila pancasila memungkinan formulasi ideologi ini menjadi sangat terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan adanya nilai-nilai lain yang mungkin hanya berbeda dari predikat namun secara subtasial nilai tidaklah jauh berbeda.

Jika dibuat kategorisasi, responsibilitas kerangka nilai pancasila terhadap kerangka-kerangka pemikiran lain, dapat kita bedakan bentuk respon itu dalam beberapa bentuk respon:
1. Respon secara aksiologis
2. Respon secara politis
3. Respon secara sosiologis

Secara aksiologis, kelihatannya nilai-nilai pancasila lebih bisa berkesesuaian dengan beberapa aliran-aliran pemikiran dalam filsafat hukum seperti: Aliran Hukum Alam, Mazhab Sejarah Dan Sociological Yurisprudence. Secara politis, dari fenomena yang ada, pancasila sebagai ideologi Negara telah memberi ruang implementatif yang lebih luas terhadap aliran Hukum Positif dan Realisme Hukum. Secara sosiologis, pragmatisme dan atau etika dari nilai-nilai pancasila akan mudah untuk merespon aliran-aliran pemikiran seperti Aliran hukum alam, Positivisme hukum, Utilitarianisme, Mazhab sejarah, Sociological yurisprudence, dan Realisme hukum.

5. Kesimpulan
Aliran-aliran pemikiran yang terdapat dalam filsafat hukum, telah memberi warna tersendiri bagi ragam sistem hukum dalam banyak bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali pada bangsa nusantara ini. Betapa besar dan mendalam secara sistemik pengaruh aliran-aliran itu sehingga sistem yang dilahirkannya mampu bertahan dalam rentang waktu yang panjang dalam sejarah manusia.
Dalam ranah akademik aliran-aliran pemikiran ini menemukan habitatnya untuk melakukan dialektika dalam ragam pemikiran lainnya, dalam rangka untuk memperkokoh sistem yang telah terbangun sebelumnya. Misalnya di neggara nusantara ini, yang mengadopsi sistem hukum eropa, maka seluruh materi pelajaran ilmu hukum yang dipelajari dalam level pendidikan tinggi didominasi aliran-aliran mainstream dari asal usul sistem hukum yang kita gunakan tersebut, yakni dunia barat. Maka dampaknya semakin kokolah sistem itu secara subtansial, karena telah dibenamkan secara logis, rasional, obyektif dalam kognisi kita sebagai warga bangsa atau para elit kita sebagai pelaku operasional Negara.

Nilai-nilai pancasila sebagai groundnorm telah menunjukkan sifat flesibilitasnya yang tinggi, tidak hanya keterbukaanya pada perubahan-perubahan kehidupan dunia yang terjadi yang memperngaruhi kehidupan nasional, tetapi juga responsibilitasnya terhadap ragam nilai-nilai kehidupan dunia yang turut memberi warna dalam kehidupan masyarakat kita, khusunya dalam bentuk sistem hukum.



Daftar Pustaka

- Prof. Dr. Sukarno Buraera, 2010,Filsafat Hukum, penerbit refleksi, makassar.
- Dr. Kaelan,M.S, 2004, pendidikan Pancasila, paradigma, Yogyakarta.
- http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum
- http://catatanseorangmahasiswahukum.blogspot.com/2010/01/aliran-aliran-pemikiran-dalam-filsafat.html

Label: ,