Senin, 13 Agustus 2007

Mayarakat Yang Rindu Agama

Diam-diam masyarakat dunia saat ini makin gandrung dengan hal-hal yang berbauh agama dan spritualitas. Larisnya para motivator-motivator SDM yang mengajak masyarakat untuk berubah menjadi lebih baik dengan pendekatan moril, etika, dan nilai-nilai spritual, baik untuk bisnis maupun publik, dari organisasi hingga individual, bisa menjadi bukti, betapa masyarakat manusia tidak bisa melepaskan naluri kebertuhanannya.

Akhir-kahir ini banyak pakar SDM, para motivator sukses dan ahli-ahli manajemen, mencari, meneliti dan menjadikan studi kasus serta memuji pada Manager, CEO, Direktur dan apapun sebutan para pemimpin organisasi bisnis itu, yang sukses memimpin sebuah perusahaan dengan berbasis pada nilai-nilai moril, etika dan spritualitas. Pada leader ini ditempatkan sebagai manusia the best karena mampu terpilih sebagai manusia pilihan dari sekian banyak pimpinan organisasi bisnis.

Mereka menjadi manusia pilihan terbaik dalam lingkungan bisnis karena telah memperaktekkan kebenaran jiwa yang bersifat universal dalam lingkungan yang serba pragmatis dan berbasis pada keuntungan duniawi, dalam dunia bisnis. Apalagi bisnis dalam pengertiannya yang modern. Dalam dunia bisnis dianggap aneh seseorang ketika tidak berorintasi pada keuntungan materil.

Tetapi para pemimpin bisnis abad baru ini adalah berbeda sama sekali. Mereka tidak lagi mengarahkan organisasi bisnisnya pada pengejaran keuntungan demi keuntungan itu sendiri. Merka telah mengefektifkan organsiasi dan mengubah arah keuntungan untuk tujuan yang lebih muliah. Tujuan kemanusiaan dan tujuan moril, etik dan religius.

Mereka para pemimpin bisnis yang demikian inilah telah menjadi indikasi-indikasi dari masyarakat manusia yang sesungguhnya merindukan agama. Agama dalam pengertiannya yang tak terbatas.

Dalam masyarakat luaspun demikian adanya. Saat ini Dai, Ustad, Kiyai, Pendeta, pembicara agama dan sejenisnya menjadi laris manis. Masyarakat rela antri dan berdesak-desakan demi untuk mengisi kekosongan jiwa mereka. Kekosongan akan makna dan nilai-nilai tertinggi.

Terlepas gejala ini sekedar sebagai stimulan srituallisat saja, atau ikut-ikutan trand saja. Namun yang pasti sejarah telah menyimpan catatannya bahwa manusia tidak akan mungkin untuk dapat berpisah dengan Asal Muasalnya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda