Oleh Syafruddin
Muhtamar
Sepekan setelah seluruh dunia
merayakan kedatangan tahun baru 2015, publik dikejutkan berita penyerangan
sebuah kantor majalah satir di Prancis. 11 Januari ketika masih hangat suasana natal
indah pada musim yang dingin di Eropa, 12 orang di dalam kantor Charlie Habdo harus
meregang nyawa. Berondongan peluru menghujani rapat redaksi yang sedang
berlangsung, tragedi berdarah tak terhindarkan. Serakan darah yang tumpah dan
kesedihan setelahnya, menjadi noda bagi hikmat perayaan natal dunia di ujung
tahun 2014 itu.
Sejenak dunia terhenyak. Setelah
itu gelombang simpatik mengalir dari seluruh penjuru dunia. Simpati dan
memberikan dukungannya kepada Charlie Habdo. Memaki dan melayangkan kutukannya
pada pelaku kejahatan yang telah menimbulkan tragedi berdarah. Segera
setelahnya, pihak keamanan memburu orang-orang yang dianggap bertanggungjawab
atas kejadian keji tersebut. Tersebutlah dua nama paling mungkin jadi tersangka;
Cherif Kouachi and Said Kouachi. Dua bersaudara ini yang kemudian
diidentifikasi sebagai ‘muslim’ dan dicurigai berafilisai dengan kelompok teror
paling mengerikan, ISIS atau Al Qaidah. Seorang nama perempuan, yang ditengarai
istri dari salah seorang pelaku penembakan, dikejar dan dicurgai akan mencari perlindungan
di hingga ke ‘markas’ ISIS.
Dan menyeruaklah di tengah publik
dunia sebuah pandangan mainstrem; kelompok teror ‘muslim’ melakukan penyerangan
bersenjata terhadap kantor majalah yang telah menghina nabi yang paling
dimuliakan. Media-media dunia turut memberikan gambaran yang sama; telah
terjadi serangan terhadap kebebasan berekspresi oleh satu elemen masyarakat
yang ‘anti kebebasan’. Kebebasan berekspresi dilawan dengan ‘keimanan’ yang
meneror. Dunia makin diyakinkan akan adanya elemen-elemen penggangu kebebasan
masyarakat dunia. Dan karenanya juga mereka harus diperangi.
Publik dunia juga mengetahui bagaimana
jejak ‘menghina’ Charlie Habdo sebagai majalah satir terhadap tokoh-tokoh suci,
telah membuat sedih dan marah banyak kaum religius, terutama kaum muslim dunia.
Kali ini Charlie Habdo membuat kehebohan baru diawal tahun baru 2015, dengan
memuat kembali karikatur nabi suci dengan kesenonohan yang sulit diterima kaum
beriman Islam.
Peradaban yang Membusuk
Fenomena satir Charlie Habdo dan
pembunuhan atas penghinaan adalah satu gambar dari sebuah mozaik peradaban
manusia yang tengah dalam masalah serius. Abad 21 adalah abad yang diklaim sebagai
puncak emas peradaban moderen, kini nampaknya akan kembali meluncur ke titik
nadir. Berbagai bencana dan tragedi kemanusiaan sebagai refleksi atas ‘kecerdasan’ manusia moderen, baik mewujud
lewat perang antar bangsa dan negara, kejahatan terorganisir, terorisme, penyakit,
bencana alam, kemiskinan dan kemerosotan moral, memberi kita penglihatan atas
sebuah peradaban yang tengah membusuk.
Jika sebuah apel yang segar dan
tentu saja tanpa gangguan hama, akan nikmat bagi kita mengkonsumsinya, bahkan
sebelum manis buah apel itu memasuki kerongkongan, pandangan kita telah dibuat
senang akan buahnya yang montok. Namun dihadapan kita sekarang ini adalah apel
yang digerogoti ulat penghancur buah.
Peradaban moderen atau katakanlah
peradaban Barat karena modernisme ini mengakar pada ‘pandangan dunia’ Barat,
adalah ‘satu-satunya’ peradaban yang berusaha menjelmakan dirinya dalam
universalisme dengan beragam cara kepada seluruh bangsa-bangsa di dunia, 5 abad
terakhir. Peradaban ini membawa mimpi agung yang ditandai dengan nama
individualisme, liberalisme, konstitusi, hak asasi manusia, persamaan,
kebebasan, demokrasi, dan tentu juga sekularisasi. Dan mengaraknya secara masif
diabad global ini dengan kekuatan penuh dalam beragam instrumen kekuatan yang
mungkin bisa dikerahkan, dari yang halus hingga yang paling kasar. Hasilnya
tidak mengecewakan, sekarang mayoritas negara-negara dunia berpacu dan malu
jika tidak memodernisasi dirinya.
Tetapi dari pusat-pusat peradaban
ini, di negara-negara industri maju, terjadi proses melawan dirinya sendiri;
mengobarkan perang demi menegakkan demokrasi di negeri-negeri jauh. Merontokkan
kekuasaan yang dianggap penghalang tegaknya demokrasi Barat lewat peopel power.
Setelah itu membiarkan perang saudara terjadi untuk melemahkan situasi nasional
dan sekaligus sebagai pintu masuk untuk menancapkan kuku-kuku hegemoni lewat
konstitusi. Pemakasaan kehendak atas suatu isu atau kepentingan strategis dan
pengamanan atas kepentingan ini, seringkali tidak rasional. Sifat hegeminok
dari ‘peradaban’ inilah yang sering memicu perlawanan dari suatu elemen
masyarakat yang tidak menyetujui prinsip-prinsip dasar dan operasional dari
peradaban yang akan diwujudkan secara universal oleh Barat ini.
Kita tidak ingin menyebut
fenomena satir dan teror Charlie Habdo ini sebagai wujud dari apa yang sering
disebut sebagai ‘benturan peradaban’. Nilai kebebasan berbenturan dengan nilai ‘keimanan’.
Dalam kasus Charlie Habdo ini tidak ada benturan peradaban, yang ada adalah bahwa
penomena itu mewakili fenomena lainnya mengenai peradaban mutakhir manusia
tengah mengalami pembusukan. Dan bahwa teori benturan peradaban ini susah
diterima akal yang baik. Yang ada adalah apel yang tumbuh dan mengakar dari bumi
pemikiran Barat itu kini digerogoti bakteri dalam dirinya, yang membuat
sebagian buah itu mulai membusuk diserang ‘irrasionalnya’ sendiri.
Kebebasan yang diusung peradaban
moderen itu kini mulai menuai hama yang akan mengancam keberlangsungannya, hama
itu adalah ‘imaji liar’ berbalut maksud diluar akal sehat yang disebutnya dengan
kebebasan kreatif, seni dan keindahan. Menggambar senonoh pribadi yang
dimuliakan oleh suatu ummat beragama, tentu adalah pelecehan, perendahan dan
penghinaan. Dan pasti akan mengusik keimanan ummat yang ‘direndahkan’ ini.
Manusia siapapun pasti akan mengutuk penghinaan.
Tetapi penghancuran membabibuta
dan tindakan pembunuhan brutal sebagai respon atas penghinaan juga bukan
tindakan orang beriman. Sepanjang sejarah kenabian Muhammad SAWW, dalam
penghadapi segala situasi ktiris dalam penyebaran risalah Islam, sang Nabi
tidak pernah melakukan tindakan pembunuhan atau memerintahkan pembunuhan
ataupun penyiksaaan atas penghinaan yang diterimanya. Sifat mulia kenabian yang
melekat dalam dirinya dan keyakinan dan kecintaan yang sempurna pada Allah SWT,
telah mencegahnya mengambil tindakan tidak manusiawi kepada orang-orang yang
menyakiti dan menghina dirinya.
Pembunuhan keji atas awak media
satir Charlie Habdo juga bukanlah tindakan orang yang beriman pada kemuliaan
sang Nabi. Kemarahan karena penghinaan terhadap kemuliaan nabi dapat dibenarkan,
namun refleksi kemarahan yang penuh nafsu kebencian sama maknanya dengan
pengingkaran atas kemuliaan suci kenabian Muhammad SAWW. Dapat kita simpulkan,
serangan atas majalah Charlie Habdo yang tragis itu dengan atas nama ummat
Islam, adalah sangat tidak bisa dibenarkan dan ditolak mentah-mentah oleh akal
sehat. Peristiwa ini hanya bagian dari suatu proses dari peradaban dunia yang
tengah merosot. Tidak terkelupas secuilpun kulit kemuliaan kenabian Muhammad
SAWW dan tidak sedikitpun tergerus rahmatan lilalamin sebagai nilai-nilai
universal Islam atas peristiwa itu.
Sekali lagi peristiwa itu hanya
refleksi dari sebuah peradaban dunia yang sedang dalam kondisi membusuk dari
dalam dirinya, karena termakan bakteri dari sifat-sifat anti peradaban.
Permainan di Luar Batas Peradaban
Fakta satir dari kebebasan
berkreasi beberapa media massa di dunia dan terorisme global, adalah dua hal
yang bertemu di titik watak yang sama, yaitu ‘melampauai batas’. Segala yang
‘melewati batas’ adala hal-hal yang telah lampaui sifat-sifat kemanusiaan, akal
sehat dan keber-adab-an. Dan yang diluar batas kemanusiaan, rasionalitas dan
adab adalah nafsu ‘kebinatangan’. Implementasinya tentu akan mengundang
penghancuran dan keruntuhan hidup kemanusiaan.
Nilai-nilai kebebasan yang
diusung peradaban moderen dalam batas rasional, manusiawi dan beradab, tentu
sangat diharapkan. Dan mungkin akan semakin mengokohkan perjuangan untuk
‘menguniversalisasi’ nilai-nilai itu di antara bangsa-bangsa didunia, karena
akan mendapat sokongan dan pengikut yang setia. Namun jika kebebasan itu telah
melewati batas normalnya, melampaui garis toleransinya, maka inilah yang akan menimbulkan situasi diluar harapan.
Terorisme sebagai jalan yang
dipilih untuk menegaskan identitas masyarakat tertentu, juga adalah jalan yang
melewati batas. Jika elemen itu menegaskan identitasnya sebagai ‘muslim’, maka
ajaran Islam menentangnya. Tidak ada jalan teror bagi kesewenang-senangan yang
dihadapai oleh masyarakat muslim. Nilai-nilai kebaikan Islam tidak membenarkan
‘tantangan’ yang menerpa jalanan sejarah peradaban yang dibangunanya, dihadapi
dengan nafsu amarah yang membara. Ajaran Islam menghendaki pilihan-pilhan
menghadapi tantangan kehidupannya harus jatuh ketangan rasional, manusiawi dan
beradab. Diluar ini, hanya pilihan hewania. Dan terorisme bukanlah pilihan
karena itu hanyalah tindakan kebiadaban.
Peradaban manusia moderen mutakhir
yang demikian terobesi untuk menjadi universal, dalam perjalanannya telah
membelit kakinya dengan mimpi-mimpi yang melambung diluar batas nalarnya
sendiri. Mimpi-mimpi dalam kepentingan ekonomi dan politik global dalam
semangat pengendalian yang masif, telah menimbulkan berbagai ‘permainan kontor’
untuk meloloskan ragam kepentingan itu. Terorisme ‘diciptakan’ sebagai anti
tesis atas tesis ‘peradaban’ yang tengah dikembangkan. Dan satire yang
ditampilkan juga bukanlah buah dari
nalar peradaban, tetapi suatu yang telah menyimpang dari poros peradabannya
sendiri.
Satirisme dan terorisme sama-sama
sebuah permainan yang merisaukan peradaban sesunguhnya yang dinginkan ummat
manusia. Manusia moderen telah berani memasuki wilayah di luar batas
rasionalitas, kemanusiaan dan keadabannya sendiri, sebagai wilayah agung sebuah
peradaban, untuk memulai permainan yang dengan serius mereka mainkan dengan
dalih menegakkan ‘peradaban’. Menghinaan yang ditampilkan sebagai seni dan
kekebasan berekspresi dan balas dendam berutal atas nama pembelaa kemuliaan; sesuatu
yang tidak mungkin kita benarkan, juga dengan dalih apapun.
Majalah satir Charlie Habdo yang
nampaknya sengaja memilih waktu tepat untuk memuat kembali karikatur menghina
itu, ditanggapi banyak pihak sebagai upaya provokatif. Memanfaatkan momen bulan
kelahiran Nabi suci untuk menerbitkan edisi yang berdampak paling mengerikan
sepanjang sejarah majalah tersebut, tentu dengan suatu pertimbangan. Juga
serangan jitu pasca penerbitan itu, ketika jantung majalah tersebut sedang
berdenyut dalam rapat redaksi. Banyak menimbulkan tanya publik kritis, bahwa
peristiwa ini mengingatkan kita kembali pada ‘misteri’ 11 september tragedi WTC
satu setengah dekade lalu.
Islamfhobia makin merebak dan
menguat di Prancis pasca kejadian ini. Sesuatu yang mungkin dikehendaki dari
permainan ini, dan makin melegamlah wajah masyarakat Islam dalam citra sebagai
masyarakat ‘berbahaya’ dalam peradaban mutakhir. Dan Charlie Hebdo yang
dikabarkan bermasalah dengan keuangan, kini merenggut keuntungan besar dibalik
peristiwa ini, karena dalam suasana dukapun majalah ini tetap terbit dengan
jumlah oplah yang fantastik, dan semua habis terjual. Simpati yang datang
bergelombang dari seluruh penjuru dunia, dimanfaatkan sebagai momen penjualan
paling menggiurkan. Permainan yang benar-benar menguntungkan. Duka yang
berbalut manis.
Label: Dunia Islam, peradaban