Selasa, 26 Agustus 2014

SEJARAH KEMERDEKAAN


Oleh Syafruddin Muhtamar
 
 
Ada yang senantiasa semarak diperingati oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia dengan kegembiraan dan keharuan yang bercampur. Sebuah acara yang diagendakan secara matang dan kadang dilakukan besar-besaran, melibatkan seluruh warga bangsa dengan pemerintah sebagai ‘panitia’ utama. Itulah hiruk-pikuk peringatan hari kemerdekaan. Seluruh negara-negara dunia dengan penanggalan hari kemerdekaan masing-masing, setiap tahunnya menyelenggarakan HUT dengan kegembiraan dan keharuannya masing-masing. Mengenang masa-masa penuh heroik dan patriotik dimasa lalu, menjadi ‘santapan wajib’ generasi pelanjut kemerdekaan, dimasa kini.

Dan tentu saja, setiap negara memiliki sejarah kemerdekaannya sendiri-sendiri yang berbeda. Setiap tahun sejarah itu diperingati dalam bentuk upacara dan pesta rakyat yang beraneka, secara simbolik ingin mengulang semangat perjuangan di masa-masa sulit, ketika merebut kemerdekaan bagi dari tangan penjajah untuk negara dan bangsa mereka. Generasi tua yang masih hidup akan bernostalgia, terutama para pelaku sejarah kemerdekaan. Wajah-wajah mereka biasanya menghiasi media massa menjadi tokoh yang akan ‘bercerita’ kembali tentang suka duka berujuang ketika merebut kemerdekaan. Generasi pelanjut ‘sibuk’ menonjolkan prestasi sebagai wujud tanggungjawab mengisi kemerdekaan, dan sekaligus sebentuk ‘ucapan’ terimakasih bagi para pejuang kemerdekaan yang telah mengorbangkan jiwa dan raga mereka.

Sebab yang Menyedihkan
Masyarakat dunia ketika menapaki era modernisme, kehidupan mereka banyak mengalami perubahan dramatis. Salah satunya yang paling fenomenal dan monumental adalah dalam bidang politik kekuasaan, yakni bergesernya sistem pemerintahan raja-raja ke model kepemimpinan modern; presiden atau perdana menteri. Banyak masyarakat yang mengalami ‘penderitaan’ saat harus menerima perubahan ini, manakala tradisi harus ‘lenyap’ dan digantikan kehidupan baru modernisme. Beberapa elemen penting kehidupan ‘masalalu’ harus ditanggalkan demi masa depan modern yang dianggap membawa mimpi kehidupan lebih baik. Bahkan tidak jarang nyawa menjadi taruhan bagi kehidupan baru itu.

Kehadiran semangat modernisme sejak abad 16/17 berwujud pada kehendak bagi bangsa-bangsa untuk semakin ‘mensejahterahkan dan memakmurkan diri’. Dunia tradisional tidak memberikan ‘kemewahan hidup’, karenanya kehadiran modernisme disambut ‘gegap gempita’. Salah satu pelaksanaan kehendak untuk ‘mensejahterahkan dan memakmurkan diri’ untuk semakin memodernisasi diri adalah melalui imprealisme. Imprealisme terjelma dalam bentuk kolonialisasi. Dan kolonialisasi inilah kemudian yang menimbulkan ‘kekacauan’ dalam kehidupan masyarakat yang masih teguh memegang nilai-nilai tradisinya. Bangsa-bangsa yang melakukan pendudukan untuk menjajah ini datang dengan semangat modernisasi, sebagaimana mereka telah menjadi ‘moderen’ lebih dahulu. Mereka juga bermaksud dalam proses imprealisme itu melakukan modernisasi atas kehidupan masyarakat tradisional.

Dan kita boleh mengatakan, sesungguhnya imprealisme dalam bentuknya yang nyata sebagai kolonialisasi adalah ‘sebab yang menyedihkan’ bagi bangsa-bangsa yang mengalami penjajahan. Di wilayah-wilayah pendudukan ini, bangsa imperialis tidak hanya menguras sumber-sumber kekayaan ekonomi, memaksa penduduk melakukan kerja tanpa konpensasi kesejahteraan, tetapi juga paling fatal adalah kaum penjajah ini sedemikian rupa berusaha merubah sistem hidup masyarakat setempat dengan nilai-nilai moderen yang mereka bawa.

Penjajahan inilah yang secara pasti menimbulkan ketidakmerdekaan bagi kehidupan masyarakat sebuah bangsa. Penderitaan pisik dan psikis adalah wujud dari ketidakmerdekaan itu. Pengalaman penderitaan yang panjang dalam kolonialisasi inilah pula yang mendorong motivasi masyarakat pribumi untuk merebut kembali kemerdekaan mereka. Sebagaimana kondisi merdeka mereka sebelum bangsa penjajah itu datang menguasai wilayahnya. Sepanjang sejarah kolonialisme dunia fakta-fakta penderitaan ini, berbicara.

Dalam sejarah kolonialisme inilah sejarah kemerdekaan mengambil bagiannya yang penting. Kesengsaraan hidup dalam penguasa penjajah yang terjadi merata diwilayah-wilayah pribumi, pada akhirnya menimbulkan semangat ‘senasib sependeritaan’, perasaan ini kemudian memicu motiv untuk berjuang mencari kemerdekaan dari kungkungan penjajahan bangsa lain. Perjuangan ini awalnya tidak terorganisir, seiring makin sadarnya mereka akan pentingnya kemerdekaan, perjuangan itu kemudian mengambil bentuk yang lebih rapi dalam organisasi ‘perang’ lebih mantap.

Dan diujung perjuangan kemerdekaan ini, setelah keberhasilan mengusir para kaum penjajah dari tanah air pribumi, para pejuang ini kemudian bersepakat untuk memperkokoh ‘benteng pertahanan’ kehidupan masyarakat mereka dalam oraganisasi yang disebut Negara. Terbentuknya Negara bagi bangsa-bangsa pribumi juga merupakan buah dari perjuangan atas kemerdekaan. Sistem kolonial diganti dan model tradisional juga sekaligus dihilangkan dalam praktek kekuasaan politik. Negara tidak harus dipimpin langsung oleh raja, tetapi pemimipinnya harus dipilih oleh masyarakat atau rakyat sebaga ‘memilik’ bangsa ini. Bersama Negara rakyat kemudian menata ulang kembali kehidupannya dalam nafas kehidupan yang merdeka.

Dunia Tanpa Imperialisme
Sejarah kemerdekaan sebuah bangsa seringkali terjalin utuh dengan sejarah imprealisme. Karena imprealisme, perjuangan kemerdekaan terjadi diseluruh belahan bumi. Keduanya merupakan bagian tak terpisah. Sulit membayangkan dunia tanpa praktek imprelisme itu. Tidak pada periode kuno maupun era modern saat ini, imprelisme telah menjadi bagian tertentu dalam sejarah ummat manusia. Sehingga perebutan kembali kemerdekaan dan pendririan Negara ‘baru’ juga akan menjadi warna lain dari sejarah imprelisme ini. Artinya yang lain, jika dunia tanpa imprelisme, mungkin juga tidak ada heroisme dalam patriotisme perjuangan kemerdekaan. Dunia akan menjadi sunyi dari hingar bingar peringatan hari kemerdekaan.

Kenyataannya imprealisme ini terus saja menjadi denyut dalam tubuh sejarah ummat manusia. Tidak ada akhir bagi praktek imprealisme ini. Memang kita tidak lagi menyaksikan ‘pendudukan’ secara masif oleh negara-negara adi kuasa atas negara kecil. Namun model imprealisme baru telah ‘berkembang’ dalam bentuknya yang tidak lagi ‘kasar’ tetapi lebih ‘lunak,’ karena telah memasuki rana legal lewat ‘konstitusi negara’ dan kebijakan-kebijakan pemerintah negara-negara yang dulu yang pernah menjadi koloni kamum imprealis itu. Ini terutama terjadi pada negara-negara yang distempeli label ‘negara ke tiga’.

Apa jadinya jika dunia tempat kita bermukim ini, sungguh-sungguh tanpa penjajahan. Manusia tentu akan hidup layaknya di negeri surga. Tidak ada eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah, kesejahteraan terdistribusi rata atas semua golongan, keadilan dinikmati semua lapisan dan kesempatan maju dan berkembang terbuka lebar bagi bangsa manapun, paling mendasar adalah tidak ada lagi keserakahan dan iri hati antar sesama ummat manusia. Pastilah bayangan ini utopia. Manusia memiliki dalam jiwanya potensi melakukan kejahatan dan juga kebaikan. Imprealisme berakar pada jiwa jahat manusia, meskipun kaum imprealis ini mampu menyusun retorika indah membenarkan penguasaan manusia atas manusia lainnya, dan bahkan mengkonstruksi logika untuk ‘melegalkan’ tindakan ‘ilegal’ itu. Jadi, jangan pernah berkesimpulan bahwa diabad mutakhir saat ini imprelisme telah berakhir sama sekali.

Namun jika kita meneruskan hayalan ini, maka tentu tidak ada perayaan HUT kemerdekaan bagi negara-negara yang ditimpa kemalangan sebab imprealisme. Tidak perlu hening cipta atas jasa-jasa pahlawan dan pesta rakyat untuk mensimbolisasi semangat perjuangan masa lampau. Karena seluruh hidup kita adalah kemerdekaan sepenuhnya.      


Makassar, Agustus 2014  

Label:

Jumat, 08 Agustus 2014

HANTU GENTAYANGAN ISIS

Oleh Syafruddin Muhtamar


Ada hantu yang baru lahir dalam sejarah terorisme. Keberadaanya sedemikian mengguncang denyut kehidupan masyarakat muslim, bukan hanya wilayah kelahirannya di Timur Tengah, namun juga ummat muslim dunia umumnya. Adalah ISIS (Islamic State in Iraq and al-Syam) hantu teror baru pasca Al Qaeda yang fenomenal itu, dalam sejarah teror global, menjadi icon teror termutakhir dalam jagat perteroran dunia. Klaimnya akan pemerintahan Islam bagi masyarakat muslim seluruh dunia dengan bentang kekuasaan dari Iraq hingga Suriah, telah memaksa ummat muslim lainnya untuk memberikan baiatnya kepada Abu Bakar Al Baghdadi sebagai khalifah Daulah Islam yang mereka angkat. Ketakutan telah melanda masyarakat di sekitar dan dalam wilayah kekuasaan mereka. Sepakterjangnnya yang mengerikan dalam mengerjakan apa yang mereka namakan ‘menjalankan misi suci pemerintahan Islam’ melawan musuh-musuh Allah, telah menimbulkan antipati bagi sebagian besar kaum muslim. Bahkan klaim ‘status’ mereka sebagai Daulah Islmiah, meragukan.

Kekerasan dan pembunuhan adalah cara-cara yang diandalkan, diutamakan dalam menegakkan Daulah Islamiah yang mereka klaim itu. Cara-cara ini tidak hanya telah menumpahkan darah saudara-saudara muslim mereka, namun juga menyengsarakan masyarakat umum lainnya dan tentu sangat mencoreng serta mengotori wajah Islam yang sesungguhnya. ‘Kekhalifaan’ beringas yang mereka jalankan membuat banyak pengamat curiga akan keberadaan mereka. Bahwa mereka tidak lebih sekedar ‘chaki’ si boneka yang berwajah hantu dengan semangat membunuh paling dingin, didesain untuk menimbulkan huru-hara di ‘perkampungan’ kaum muslim.

Analis mengatakan, ISIS adalah bentukan lembaga-lembaga intelejen internasional yang bertujuan melindungi kepentingan mereka secara sepihak, dengan sengaja mengorbankan kepentingan kedamaian, kesejahteraan dan keadilan ummat manusia secara umum, terutama secara khusus ummat muslim. Kekuatan ‘kuasa dunia’ tengah dan terus akan memainkan permainannya dalam rangka menegakkan angkara murka dimuka bumi dengan wajah bertopeng manis. Dengan memanfaatkan kemampuan ‘rahasia’, para ‘pengendali’ dunia merancang permainan seolah sebuah takdir semesta, yang kemudian pihak merekalah yang akan keluar sebagai pemenang di ujung rancangan permainan tersebut. Tidak perduli sejauh apa kehancuran, kemerosotan dan huru-hara terhadap kehidupan manusia yang ditimbulkan oleh desain permainan ini. Bahkan mungkin efek destruktif inillah yang justru jadi motiv utama permainan, sekaligus dengan demikian akan membentengi dan menjaga kepentingan entitas elit-elit ‘kuasa dunia’.

Saat ini dunia tengah dalam permaianan yang sungguh berbahaya dalam sejarah manusia. Bersengketa, berkonflik dan berseteru adalah permainan yang demikan digandungi diakhir zaman ini oleh bangsa-bangsa dunia. Dampaknya bisa kita lihat pada setiap kawasan-kawasan benua bumi, senanatiasa diguncang perang, penderitaan dan kesengsaraan merajalela. Seolah tidak ada lagi tempat aman buat manusia dimuka bumi. Seluruhnya telah menjadi medan perang dalam segala bentuk dan dinamikanya. Bagi kaum muslim di abad mutakhir sejarahnya, terorisme telah menjadi momok bagi kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Tidak hanya melemahkan dari ‘dalam’ namun juga menekan dari ‘luar’. Dan paling berat adalah menanggug citra sebagai agama ‘teroris’ di mata masyarakat dunia, dan dampak psikologis yang ditumbulkannya, yakni semakin hilangnya ‘selera’ berislam secara bersungguh-sungguh. ‘Keseriusan’ berislam seringkali menimbulkan ketakuan terhadap tuduhan sebagai ‘teoris’.

Keberadaan kelompok teror global era pimpinan Osama Bin Laden yang ‘spektakuler’, cukup menimbulkan sindrom ‘lemah selerah’ bagi kaum muslim yang ingin menjalankan nilai-nilai keislamannya secara lebih ‘serius’. Kali ini setelah ‘proyek teror Al Qaeda’ mulai meredup, permainan itu kembali dilanjutkan dengan membuat icon teror baru bernama ISIS. Hantu teror baru ini bergentayangan, diseantero ‘perkampungan sejarah’ muslim dengan bendera baru bernama ‘daulah Islmia ISIS’. Proyek permainan teror baru kembali digelar oleh para ‘kuasa dunia’ untuk terus menciptakan ‘takdir’ kemenangan mereka sendiri, dengan membentuk boneka imut bernama ISIS. Menebar kengerian dimana-mana, khusunya diwilayah yang mereka kuasai, hadir laksana hantu-hantu gentayangan di wilayah-wliayah berpenduduk muslim besar seperti di Indonesia. Mereka menyebar hampir di setiap provinsi menggalang kekuatan secara sembunyi-sembunyi, meskipun menghadapi penentangan secara resmi dari pemerintah dan oleh ormas-ormas Islam seluruh tanah air. Kalangan Islam tanah air beranggapan, keberadaan ISIS di nusantara akan menjadi pemancing dan penyebab meluasnya pertentangan, konflik dan pertikaian antar umat.

Keberadaan hantu teror baru ini ditanah air, secara tegas ditolak kaum muslimin terutama karena akan mancabik-cabik kedamaian, persatuan dan ketenangan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya dalam konteks kepentingan ummat muslim, namun juga urusan dan kepentingan nasional. Dalam beberapa dekade terakhir, puncak isu terorisme telah menimbulkan kegoncangan tersendiri bagi kaum muslim tanah air. Ketidaknyamanan ‘sebagai Islam’ merupakan buah langsung dari proyek teror global yang dirancang secara apik oleh ‘kuasa dunia’ secara ‘rahasia’. Sehingga pemberantasan terhadap terorisme menjadi salah satu program penting pemerintahan bidang keamanan dan menciptakan kesibukan tersendiri yang nampak ‘dramatis’. Dan sikap eforia kelompok-kelompok Islam berbasis aksis radikalisme atas ‘terbentuknya kekhalifaan dan daulah Islam’ dan simpati terhadap telah ‘diteggakannya syariat Islam’ versi ISIS  akan menjadi potensi yang menyuburkan agenda teror diseantero dunia muslim termasuk di tanah nusantara ini.


Eksistensi ISIS yang lebih ganas dari pendahulunya Al Qaeda akan menambah runyam perjalanan sejarah kehidupan ummat Islam yang mengemban amanat qurani rahmatan lilalamin. Hantu-hantu ISIS yang bergentayangan itu setiap saat mengacam prinsip-prinsip dasar kelembutan/rahmat bagi semesta alam. Yang jahat tetap akan jujur memperlihatkan wajahnya yang sebenarnya, yang baik demikian pula, akan menampakkan rupanya dengan jujur dan mungkin lugu.    

Label: