Oleh Syafruddin Muhtamar
Ada yang senantiasa semarak
diperingati oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia dengan kegembiraan dan
keharuan yang bercampur. Sebuah acara yang diagendakan secara matang dan kadang
dilakukan besar-besaran, melibatkan seluruh warga bangsa dengan pemerintah
sebagai ‘panitia’ utama. Itulah hiruk-pikuk peringatan hari kemerdekaan.
Seluruh negara-negara dunia dengan penanggalan hari kemerdekaan masing-masing,
setiap tahunnya menyelenggarakan HUT dengan kegembiraan dan keharuannya
masing-masing. Mengenang masa-masa penuh heroik dan patriotik dimasa lalu, menjadi
‘santapan wajib’ generasi pelanjut kemerdekaan, dimasa kini.
Dan tentu saja, setiap
negara memiliki sejarah kemerdekaannya sendiri-sendiri yang berbeda. Setiap
tahun sejarah itu diperingati dalam bentuk upacara dan pesta rakyat yang
beraneka, secara simbolik ingin mengulang semangat perjuangan di masa-masa
sulit, ketika merebut kemerdekaan bagi dari tangan penjajah untuk negara dan
bangsa mereka. Generasi tua yang masih hidup akan bernostalgia, terutama para
pelaku sejarah kemerdekaan. Wajah-wajah mereka biasanya menghiasi media massa
menjadi tokoh yang akan ‘bercerita’ kembali tentang suka duka berujuang ketika
merebut kemerdekaan. Generasi pelanjut ‘sibuk’ menonjolkan prestasi sebagai
wujud tanggungjawab mengisi kemerdekaan, dan sekaligus sebentuk ‘ucapan’
terimakasih bagi para pejuang kemerdekaan yang telah mengorbangkan jiwa dan
raga mereka.
Sebab
yang Menyedihkan
Masyarakat dunia ketika
menapaki era modernisme, kehidupan mereka banyak mengalami perubahan dramatis.
Salah satunya yang paling fenomenal dan monumental adalah dalam bidang politik
kekuasaan, yakni bergesernya sistem pemerintahan raja-raja ke model
kepemimpinan modern; presiden atau perdana menteri. Banyak masyarakat yang
mengalami ‘penderitaan’ saat harus menerima perubahan ini, manakala tradisi
harus ‘lenyap’ dan digantikan kehidupan baru modernisme. Beberapa elemen
penting kehidupan ‘masalalu’ harus ditanggalkan demi masa depan modern yang
dianggap membawa mimpi kehidupan lebih baik. Bahkan tidak jarang nyawa menjadi
taruhan bagi kehidupan baru itu.
Kehadiran semangat
modernisme sejak abad 16/17 berwujud pada kehendak bagi bangsa-bangsa untuk
semakin ‘mensejahterahkan dan memakmurkan
diri’. Dunia tradisional tidak memberikan ‘kemewahan hidup’, karenanya
kehadiran modernisme disambut ‘gegap gempita’. Salah satu pelaksanaan kehendak
untuk ‘mensejahterahkan dan memakmurkan
diri’ untuk semakin memodernisasi diri adalah melalui imprealisme. Imprealisme
terjelma dalam bentuk kolonialisasi. Dan kolonialisasi inilah kemudian yang
menimbulkan ‘kekacauan’ dalam kehidupan masyarakat yang masih teguh memegang
nilai-nilai tradisinya. Bangsa-bangsa yang melakukan pendudukan untuk menjajah
ini datang dengan semangat modernisasi, sebagaimana mereka telah menjadi
‘moderen’ lebih dahulu. Mereka juga bermaksud dalam proses imprealisme itu
melakukan modernisasi atas kehidupan masyarakat tradisional.
Dan kita boleh mengatakan,
sesungguhnya imprealisme dalam bentuknya yang nyata sebagai kolonialisasi
adalah ‘sebab yang menyedihkan’ bagi bangsa-bangsa yang mengalami penjajahan. Di
wilayah-wilayah pendudukan ini, bangsa imperialis tidak hanya menguras sumber-sumber
kekayaan ekonomi, memaksa penduduk melakukan kerja tanpa konpensasi
kesejahteraan, tetapi juga paling fatal adalah kaum penjajah ini sedemikian
rupa berusaha merubah sistem hidup masyarakat setempat dengan nilai-nilai moderen
yang mereka bawa.
Penjajahan inilah yang secara
pasti menimbulkan ketidakmerdekaan bagi kehidupan masyarakat sebuah bangsa.
Penderitaan pisik dan psikis adalah wujud dari ketidakmerdekaan itu. Pengalaman
penderitaan yang panjang dalam kolonialisasi inilah pula yang mendorong motivasi
masyarakat pribumi untuk merebut kembali kemerdekaan mereka. Sebagaimana
kondisi merdeka mereka sebelum bangsa penjajah itu datang menguasai wilayahnya.
Sepanjang sejarah kolonialisme dunia fakta-fakta penderitaan ini, berbicara.
Dalam sejarah kolonialisme
inilah sejarah kemerdekaan mengambil bagiannya yang penting. Kesengsaraan hidup
dalam penguasa penjajah yang terjadi merata diwilayah-wilayah pribumi, pada
akhirnya menimbulkan semangat ‘senasib sependeritaan’, perasaan ini kemudian
memicu motiv untuk berjuang mencari kemerdekaan dari kungkungan penjajahan
bangsa lain. Perjuangan ini awalnya tidak terorganisir, seiring makin sadarnya
mereka akan pentingnya kemerdekaan, perjuangan itu kemudian mengambil bentuk
yang lebih rapi dalam organisasi ‘perang’ lebih mantap.
Dan diujung perjuangan
kemerdekaan ini, setelah keberhasilan mengusir para kaum penjajah dari tanah
air pribumi, para pejuang ini kemudian bersepakat untuk memperkokoh ‘benteng
pertahanan’ kehidupan masyarakat mereka dalam oraganisasi yang disebut Negara.
Terbentuknya Negara bagi bangsa-bangsa pribumi juga merupakan buah dari
perjuangan atas kemerdekaan. Sistem kolonial diganti dan model tradisional juga
sekaligus dihilangkan dalam praktek kekuasaan politik. Negara tidak harus
dipimpin langsung oleh raja, tetapi pemimipinnya harus dipilih oleh masyarakat
atau rakyat sebaga ‘memilik’ bangsa ini. Bersama Negara rakyat kemudian menata
ulang kembali kehidupannya dalam nafas kehidupan yang merdeka.
Dunia
Tanpa Imperialisme
Sejarah kemerdekaan sebuah
bangsa seringkali terjalin utuh dengan sejarah imprealisme. Karena imprealisme,
perjuangan kemerdekaan terjadi diseluruh belahan bumi. Keduanya merupakan
bagian tak terpisah. Sulit membayangkan dunia tanpa praktek imprelisme itu.
Tidak pada periode kuno maupun era modern saat ini, imprelisme telah menjadi
bagian tertentu dalam sejarah ummat manusia. Sehingga perebutan kembali
kemerdekaan dan pendririan Negara ‘baru’ juga akan menjadi warna lain dari
sejarah imprelisme ini. Artinya yang lain, jika dunia tanpa imprelisme, mungkin
juga tidak ada heroisme dalam patriotisme perjuangan kemerdekaan. Dunia akan
menjadi sunyi dari hingar bingar peringatan hari kemerdekaan.
Kenyataannya imprealisme ini
terus saja menjadi denyut dalam tubuh sejarah ummat manusia. Tidak ada akhir
bagi praktek imprealisme ini. Memang kita tidak lagi menyaksikan ‘pendudukan’
secara masif oleh negara-negara adi kuasa atas negara kecil. Namun model imprealisme
baru telah ‘berkembang’ dalam bentuknya yang tidak lagi ‘kasar’ tetapi lebih
‘lunak,’ karena telah memasuki rana legal lewat ‘konstitusi negara’ dan
kebijakan-kebijakan pemerintah negara-negara yang dulu yang pernah menjadi
koloni kamum imprealis itu. Ini terutama terjadi pada negara-negara yang distempeli
label ‘negara ke tiga’.
Apa jadinya jika dunia
tempat kita bermukim ini, sungguh-sungguh tanpa penjajahan. Manusia tentu akan
hidup layaknya di negeri surga. Tidak ada eksploitasi oleh yang kuat terhadap
yang lemah, kesejahteraan terdistribusi rata atas semua golongan, keadilan
dinikmati semua lapisan dan kesempatan maju dan berkembang terbuka lebar bagi
bangsa manapun, paling mendasar adalah tidak ada lagi keserakahan dan iri hati
antar sesama ummat manusia. Pastilah bayangan ini utopia. Manusia memiliki
dalam jiwanya potensi melakukan kejahatan dan juga kebaikan. Imprealisme
berakar pada jiwa jahat manusia, meskipun kaum imprealis ini mampu menyusun retorika
indah membenarkan penguasaan manusia atas manusia lainnya, dan bahkan
mengkonstruksi logika untuk ‘melegalkan’ tindakan ‘ilegal’ itu. Jadi, jangan
pernah berkesimpulan bahwa diabad mutakhir saat ini imprelisme telah berakhir
sama sekali.
Namun jika kita meneruskan
hayalan ini, maka tentu tidak ada perayaan HUT kemerdekaan bagi negara-negara
yang ditimpa kemalangan sebab imprealisme. Tidak perlu hening cipta atas
jasa-jasa pahlawan dan pesta rakyat untuk mensimbolisasi semangat perjuangan
masa lampau. Karena seluruh hidup kita adalah kemerdekaan sepenuhnya.
Makassar, Agustus 2014
Label: Humaniora