Sabtu, 20 September 2008

KEBUDAYAAN ISLAM DITENGAH DISHARMONI GLOBAL


-->
Oleh Shaff Muhtamar
 
Terorisme telah menjadi bayang-bayang paling mengganggu dalam dunia Islam. Oleh sebab rangkaian kejadian teror baik pada tingkat lokal, nasional maupun global, melekat varian-varian Islam dalam peristiwa tersebut. Hingga kesan yang timbul kemudian; ‘Islam adalah agama kaum teroris’. Sungguh sebuah pemikiran naif. Namun ini adalah realitas relatif harus diterima kaum muslim seluruh dunia. Sesungguhnya Islam jauh dari penilaian dan prasangka buruk sejenis itu.

Dalam banyak pandangan dan analisis, terorisme baik sebagai isu maupun tindakan, sedemikian rupa telah membuat dunia Islam menjadi obyek penderita. Seringkali dalam kegiatan teror, Islam dianggap bertanggungjawab. Hal ini menjadi semacam asumsi, yang oleh negara-negara yang menganggap diri sebagai penjaga keamanan dunia, membuat kebijakan yang berkecenderungan negatif terhadap Islam dan masyarakatnya. Paling nyata adalah kebijakan anti terorisme itu sendiri. Dalam gerakan anti terorisme yang digencarkan secara global, Islam seolah-olah menjadi lawan dari negara-negara tertentu atau golongan dan kelompok tertentu yang berbeda dari Islam.

Tantangan Kebudayaan
Efek dari gerakan anti terorisme meluas dan menyentuh secara khusus dimensi-dimensi internal dari kebudayaan masyarakat Islam. Stigmatisasi yang membayang dari balik kebijakan tersebut adalah Islam dan masyarakatnya adalah terdakwa yang perlu pembelajaran adab dan moralitas pergaulan antar kebudayaan dunia yang plural. Sehingga oleh penentu kebijakan politik negara adikuasa, melalui politik negara-negara yang dianggap tempat sel-sel terorisme tumbuh subur – negara-negara mayoritas berpenduduk muslim – perlu memberi pelajaran ‘peradaban’ dengan pendekatan hukum dan keamanan, maupun lewat jalan kultur dengan melibatkan tokoh-tokoh otoritas keagamaan untuk meluruskan pemahaman tertentu dalam ajaran Islam.

Dunia Islam telah didudukkan pada kursi pesakitan peradaban sebagai musuh tatanan dunia baru, yang dirancang penuh nafsu keserakahan oleh negara yang anti atas peluang kebangkitan dan kejayaan dunia Islam. Suatu bentuk pengadilan sejarah yang sungguh tidak adil. Ketika dunia Islam dinilai menurut kebutuhan dan keinginan egoisme kelompok dan negara-negara yang mengidap paranoid akibat wejangan-wejangan pemikir mereka yang penuh kecurigaan dan ketakutan akan kepastian kekuatan dan kebangkitan peradaban Islam masa datang.

Aksi teror yang melibatkan segelintir kecil kaum muslim, juga pada gilirannya telah membuat citra kebudayaan Islam sedemikian tercoreng di mata penduduk dunia. Publikasi media informasi yang sangat gencar dan meluas, memungkinkan citra buruk itu terekam dalam benak penduduk awam internasional. Bahwa Islam adalah agama intoleransi, penganjur kekerasan dan pertumpahan darah serta penebar kebencian antar identitas yang berlainan. Meskipun dilakukan oleh segolongan kecil kaum muslim – tetapi telah berpengaruh terhadap dunia Islam keseluruhan.

Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi kebudayaan Islam. Penghancuran atas negara-negara Islam dalam beragam bentuk dan strategisnya, pada hal tertentu akan melahirkan kesadaran baru kaum muslim tentang penemuan jalan lempang menuju kebangkitan peradaban Islam dari puing-puing kehancuran dan kemerosotannya. Kezaliman sejarah abad moderen ini akan menjadi momentum kontemplatif peradaban Islam. Semangat benturan antar peradaban sesungguhnya bukanlah keputusan bijak bagi tatanan kehidupan global yang dicita-citakan secara kolektif oleh umat manusia. Semangat tengkar dan kecurigaan serta ketakutan tak beralasan atas peluang kemajuan dan kebangkitan kebudayaan dan peradaban masyarakat lainnya, bukanlah nilai yang tepat untuk membangun realitas toleransi, pluralisme dan penghargaan hak dasar manusia kehidupan dunia.

Pendalaman Nilai Esoteris
Internalisasi nilai-nilai universal Islam dalam kerangka kebudayaan menjadi sangat penting artinya dalam konteks ini. Islam dengan demikian diharuskan tampil dengan wajah yang mencerminkan sifat-sifat keilahiyaannya. Sifat-sifat agung dari Yang Maha Berdaulat atas manusia dan kehidupan, sebagaimana anjuran-anjuran inklusif dan substantif dalam formulasi ajaran Islam. Eksistensi kebudayaan Islam adalah penghargaannya yang dalam terhadap nilai-nilai esoteris; untuk kemajuan dan peningkatan harkat manusia dalam berbagai bidang, sebagai penyempurna dimensi eksoterisnya. Hal ini akan menjamin semua manifestasi kehidupan kaum muslim pada kebudayaan dan peradaban menjadi terhormat secara manusiawi dan diberkahi Ilahi.

Pendalaman nilai-nilai esoteris dalam kerangka kebudayaan Islam, akan memberi pengaruh signifikan pada proses nalar dan tafsir atas realitas problem yang tengah dihadapi kaum muslim. Semangat dan proses menalartafsirkan kondisi dan fenomena peradaban saat ini, adalah hal urgen dalam rangka dunia Islam bisa menentukan strategis kebudayaan dan peradabannya. Artinya kaum muslimin harus mampu memahami relasi-relasi budaya dan peradaban yang beragam ini, sembari memahami hakekat dari peradabannya yang diisyaratkan dalam wahyu suci.

Disharmoni peradaban global saat ini, merupakan buah dari logika perang yang dikembangkan entitas politik tertentu untuk mengatur hubungan-hubungan dunia dengan maksud hegemoni yang disembunyikan. Logika yang menegaskan keberadaan dunia tertentu sembari menghancurkan atau meniadakan dunia lain. Logika yang kemudian menarik batas tegas dikotomi-dikotomi antar entitas budaya, (Barat-Timur, Islam-Kristen, negara kaya-negara miskin dan lain-lain). Yang pada tingkat tertentu menyeret entitas-entitas ini saling menegaskan dan meniadakan untuk melihat bahwa yang ini lebih unggul, lebih bermartabat, terhormat, lebih beradab daripada yang lain.

Logika ini bukan khas kebudayaan Islam. Ditengah hiruk-pikuk praktek benturan antar peradaban, para pemikir Muslim justru menawarkan kesejukan dengan menyerukan Dialog antar peradaban. Dialog sebagai proses untuk saling memahami perbedaan-perbedaan ragam kebudayaan dan peradaban yang ada. Memahami keberadaan yang lain dengan referensinya sendiri, tidak dengan penilaian sendiri yang berat sebelah. Dialog antar peradaban akan mengarahkan kesadaran pada hak untuk saling berbeda tanpa melihat perbedaan itu sebagai identitas yang membunuh. Tetapi sebentuk senyawa keindahan dalam dunianya sendiri. Dimana saling pengertian, toleransi, kerjasama dan partisipasi menjadi bagian integral dalam semangat kebersamaan hidup pada tatanan dunia yang Insyah Allah akan lebih baik.


Makassar, 25 November 2005

Label: , ,