Rabu, 28 September 2022

Ke Tosora, Sepanjang Jalan Kenangan Melambai

Tosora, oase sejarah tak bertepi. Sebuah wilayah yang menyimpan jejak tradisi di jazirah Sulawesi Selatan. Sejak ribuan tahun Tosora meringkuk dalam labirin yang tiada bertemu. Seluruh sejarah tentangnya, belum sempurna terjamah.









Kisah klasik, I La Galigo juga melintas dalam sejarah di Tosora.  Paling membawa rasa ingin tahu, adalah jejak keluarga suci nabi Al Mustafa SAW di tanah Tosora, yang misteri.

Sebuah petilasan sederhana, pas berhimpit mimbar mesjid kuno. Kuburan tua tergeletak diam penuh bisu. Dari situ, cerita Habib Syekh Jamaluddin Al- Akbar Al Husaini, di mulai.









Abad  ke 13, Jejak Al Mustafa, melalui dzuriat nya, Habib Syekh Jamaluddin Al- Akbar Al Husaini, tertoreh pertama kalinya di bumi tanah Bugis. Habib Syekh Jamaluddin Al- Akbar Al Husaini, berlabu bersama kapalnya, di bibir pantai di sudut Utara Sulawesi Selatan, dermaga Bajo. Islam kemudian dikenal dan menyebar sangat perlahan di wilayah Tosora. Jauh sebelum tiga ulama, yang diutus kerajaan Aceh, datang dan menyebarkan nilai-nilai qurani, abad 16.















Tosora kini menjadi geo-tradisi. Melalui Perda, wilayah ini ditetapkan sebagai  kampung adat. Tempat mukim Habib Syekh Jamaluddin Al- Akbar Al Husaini, pasca menyebar cahaya Islami di pulau Jawa. Tosora, pilihan selanjutnya dalam misi ukhrawi menyebar nilai-nilai surgawi.  

Siang terik, matahari tepat di ubun-ubun. Namun angin terasa sejuk. Ada lantunan shalawat sayup-sayup. Terdengar timbul tenggelam dari kejauhan. Irama rebana kasidah, mengiring. Seperti sebuah sambutan hangat, memasuki kawasan kuno nan suci ini.

Agak kikuk kaki melangkah masuk. Sejenak terhenti di gerbang, memandang papan bicara, berwarna biru: Masjid Tua Tosora. 

Sebuah pohon besar dan rindang, berdiri sangat tenang depan gerbang. Terbayang seperti pohon Budhis, tempat sang brahmana dahulu bertapa, melepas hasrat duniawi, aqar dapat hinggap di nirwana.


Perasaan kikuk, kini bercampur gamang. Memasuki wilayah tak bertuan, tanpa peta. Kemana kaki hendak melangkah, agar berziarah di "rumah yang tepat". 'Rumah suci' ahlul bait Nabi SAW, Habib Syekh Jamaluddin Al- Akbar Al Husaini, keturuan ke 20. Kakek dari manusia-manusia paripurna di tanah jawah: 4 orang dari wali songo.

























Tanpa petunjuk pasti, kaki bergerak ke kompleks makam. Sepenggal Cinta Buta, harapan satu-satunya, modal berkunjung.    

Cinta itu membawa pada doa-doa tersembunyi di hati. Berharap pada sang kakek (saw), bisa mempertemukan cucunya (qs), di rumahnya, di Tosora.

***

Sejarah berputar arah. Tradisi menjadi masa silam. Modern menjadi sejarah aktual. 

Tosora dengan selubung tradisionalitasnya, kini bertranformasi menjadi Wajo modern. Sistem monarki kini berganti republik. Elemen tradisi bersembunyi dibalik sunyi. Modernitas menggeliat sangat dominan. 

Menuju ke kabupaten Wajo, 5 jam lebih kurang, waktu habis terpakai menumpuh perjalanan. Di sepanjang jalan, kenangan datang melambai, satu per satu.

Bentangan gunung batu kapur nampak sepanjang jalanan Maros ke Pangkep: mencolek ingatan perjalanan kerja pagi dan petang, suatu ketika di PT. Semen Tonasa. Sebagai pegawai organik, Makassar Pangkep pulang pergi, setiap hari kerja. 










Kenangan kerja di komplek perusahaan dan lingkungan perkantoran yang dikepung gunung. Suasana alam yang asri, hutan hutan hijau menyelimuti gunung, sungai dan danau buatan. Banyak menginspirasi puisi-puisi "amatir" di awal "kepenyairan".

Meninggalkan BUMN ini, karena tak sejiwa dunia industri. Rekan-rekan seangkatan, dulu sebagai bawahan, sekarang sudah memiliki bawahan. Takdir nasibNya menggores, tanpa kompromi.  

Kenangan ini, melambai sejenak. Kemudian lenyap seiring, gunung-gunung semen itu, hilang dari pandangan.

Melintasi kota cinta Ainun Habibie, kenangan datang lagi melambai.














Nostalgia, seperti menumpuk seketika. Medio 2005, kali pertama melangkah di kota Parepare. Bandar Madani, taqline kota Parepare, ketika itu. Awalnya di undang menulis buku tentang visi-misi kota Parepare, setelah usai, diajak bergabung menyusun "program 80" kota tepi laut, selat Makassar ini.

Puisi tentang kota Parepare, yang terkutip dalam buku, membuat sang walikota, tak sanggup menahan diri untuk dibuatkan buku otobiografi. Asa itu, tiada pernah sampai, hingga nafas terakhir di raga beliau berhembus lepas (Almarhum Bapak Zain Katu).

Hampir dua tahun berakrab ria dengan tepi lautnya. Pasar malam, pasar senggol. Hastom, dan penginapan di perbukitan kota.  

Setiap malam, kota penuh angin laut yang liar. Terutama musim barat, udara malam datang menyapa tanpa henti. Budaya masyarakat kota yang unik, terbentuk dari berbagai lapis etnis.

Jalan malam menelusuri kota tepi laut ini, menjadi kenangan yang tersimpan rapi.








Melintasi jalur lingkar kota Parepare, menuju sedikit ke utara, kenangan itu menarik diri, kembali ke persembunyiannya. 

Makin lenyap, ketika kendaraan makin melaju ke kabupaten Wajo. Melewati wilayah Sidrap. Jalanan datar di tengah hamparan persawahan, sedang menguning. Nampaknya segera tiba musim panen padi. 

Azan dhuhur, telah berlalu satu jam. Sang sopir, tiba-tiba menepikan mobil, dan menawarkan, "sapa tau bapak mau solat dulu". Saya sedikit kaget. Sejak awal saya berpikir, solat 'musafir' akan tunai, nanti setelah tiba di negeri para 'orang merdeka', Wajo. Di masjid Baitussalam, Sidrap, hajat ibadah wajib terselesaikan.

Sepanjang jalan Sidrap, teringat tanah leluhur jalur Ibu. Konon, berasal usul dari monarki kecil di wilayah ini. Beberapa orang-orang tua dari jalur Ibu, masih sering berkunjung ziarah, mengenang silsilah. 'Rumah seribu tiang' adalah penanda silsilah. Namun kabur di mata saya.

Hanya istilah monarki, mengingatkan pada konsep Sultan dan kesultanan. Habib Syekh Jamaluddin Al- Akbar Al Husaini adalah seorang Sultan, lahir di Malabar, wilayah kesultanan Delhi, India. Beliau Sultan ke-4, dalam Kesultanan Islam Nasarabad, India lama.

Raja/Sultan sekaligus seorang mubaliq. Sang Sultan berkeliling membawa cahaya Islam. Memulai perjalanan dakwanya, menuju Uzbekistan, tanah Jawa, untuk kemudian mengakhiri perjalananya di tanah Bugis, Tosora. 

Beliau, sebagaimana kakekanya SAW, mendatangi setiap manusia di setiap wilayah demi, satu jalan keselamatan surgawi bagi manusia. Di, Tosora beliau membangun sebua mesjid unik, sebuah tanda keberadaan dari kerja-kerja ukhrawi, sebagai pewaris 'ilmu-ilmu agama' dari Nabi SWA, melalui Imam Ali (AS) dan Fatimah Sahrah.

























Di lapangan merdeka, tanah Wajo, untuk pertamakali kaki ini perpijak, menjelang senja. Sepoi angin turun dari bukit-bukit, berlari-lari kecil datang menyambut. Sejenak di benak, berkata: ini mau mirip Parepare.

Usai rehat, rebahan dan menyegarkan diri dengan air sejuk sungai Walanae, atau mungkin juga air payau dari danau Tempe. Agenda-agenda diskusi Perda PDRD sudah menunggu.

Sejak sore, utak atik otak soal Perda PDRD Kabupaten Wajo. Non stop, hingga menjelang tengah malam. Ketua Tim, nampaknya mencoba membangun kerja profesional. Banyak dinamika dan kelucuan, sekaligus, ada seram-seramnya.









Sesuai waktu yang ditentukan. Kunjungan ke negeri Wajo, berakhir di Tosora, untuk relaksasi. Mengambil berkah surgawi. Nikmat yang tak tampak mata, namun nyata di hati. Hati yang 'menyeleweng', tak dapat bergembira atasnya.


YANG MEWANGI DI TOSORA

kepada Habib Syekh Jamaluddin Al- Akbar Al Husaini (qs)


Yang naif ini, tidak mengenalmu

Hanya sekelabat bayang, membuat hati terpesona

O.. jangan salahkan, jika menyebutmu kekasih

Cinta ini buta


Kekasih sejati menyayangi pencinta

Pecinta di bawahnya ke tempat sejati

Tempatmu di sisiNya sudah pasti

Tempatmu disisi Al- Mustafa sudah pasti

O.. pecinta

Berbahagialah, kekasih akan membawa ke tempatNya

Ini ungkapan janji setia sang kekasih


Hanya tempatNya itu yang Sejati

Demikan, amanah agama engkau sampaikan

Melalui jalan jauh kembara

Menyeberangi samudera Hidia, laut Jawa dan selat Makassar

Jiwa raga demi kembang cahaya ilahi


Englaulah Sultan yang mewangi di Tosora.


SM. Makassar, 28 September 2022.


 










Selasa, 06 September 2022

CERITA INDAH DI KAHAYYA

Oleh: Syafruddin Muhtamar

Rasanya seperti sebuah kekagetan: menempuh perjalanan 40 km menuju Barat. Ke arah kaki gunung terbesar jazirah Sulawesi Selatan. Gunung Lompobattang yang berhimpit sisi gunung Bawakaraeng.






Menelusuri jalan berkelok-kelok. Jalanan seperti ular meliuk melingkar di pinggul gunung nan seksi. Terus menanjak, dan kadang-kadang landai di dataran pendek.

Menuju Kahayya untuk pertama kali. Perjalanan penuh rasa penasaran dan letupan-letupan ketakterdugaan. Menuju sebuah wilayah pegunungan tersembunyi. Jauh dari hiruk-pikuk kota yang riuh.









Penduduk desa yang ramah dan murah senyum. Hamparan sawah padi sedang menguning. Hutan-hutan pohon cengkeh, penuh bunga buah. Bentangan langit biru diatas alam berwarna hijau. Anak-anak sungai menempel di dinding-dinding bukit. Rasanya seperti pagar bidadari, menyambut langkah perjalanan di setiap perlintasan. 

Tak ketinggalan, hembusan angin gunung, menyempurnakannya dengan kesejukan yang lembut. Hutan-hutan bambu membawa desiran angin, menerpa wajah dan membuatnya bahagia.















Di kaki gunung Lompobattang yang bersisian gunung Bawakaraeng, di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,  dusun Kahayya mendekam diri: menyembunyikan keindahan wajahnya dari kejauhan. Posisinya berada di ketinggian 1400 dari permukaan laut. 

Didiami lebih dari seribu jiwa. Penduduk umumnya  berkebun kopi, sebagian menanam cengkeh, dan sebagian yang lain bertani sayur. Buah kopi adalah produk paling khas di wilayah Kahayya. 

















Menelusuri jalan menuju Kahayya, serasa sebuah perjalanan ke 'relung' bumi. Mungkin karena ini yang pertama kali. Hampir lebih satu dekade, tempat ini 'viral' dipublik. Namun, baru kali ini saya mengetahuinya. Kaum milenial yang gaul didunia maya, mungkin akan berkata, "kemana aje lu". hh..

Secara tidak sengaja, ketika berjumpa saudara ,yang juga datang berlibur mengujungi orang tua, bercerita mengenai kopi. Dia termasuk pengganderung minuman hitam-pahit ini. Menyebut tentang kopi Kahayya. Spontan, dia mengajak menikmati dan membeli kopi itu langsung ke tempat asalnya.

Keberadaan tempat asalnya, ada di sisi gunung tinggi. Dalam rengkuhan Lompobattang dan Bawakaraeng,  Kahayya seperti 'anak pingit' yang 'manja' dalam pelukkan Gunung berapi, yang tidak aktiv. 



Tiba di Kahayya, disambut insiden kecil. Ban belakang si roda dua yang ditunggangi, terseok dirumput licin. Bodi motor menyosor ke kanan, lalu membuang dirinya ditanah berlumut. Si kuda besi itu seperti lelah dan ingin rehat segera. 

Di perjalanan, berjumpa pengunjung lain yang hendak ke Kahayya. Uztad Syarif namanya, kami berkenalan. Sama-sama mengagumi keindahan Kahayya. Beliau berujar, "Ini baru di dunia, bagaimana nanti di Akhirat". 















"Mengerikan jika kita jatuh disini", lanjutnya. Beliau mengagumi ketinggian gunung dan membayangkan bahayanya. Jika orang jatuh bakal tidak hidup. Ini baru di dunia. "Bagaimana jika di akhirat, jatuh ke neraka lebih mengerikan lagi" tambahnya.

Sungguh luar biasa. Ada yang selalu mengikatNya melalui Bahaya murkaNya. Juga ada yang senantiasa mengingatNya, melalui Keindahan cinta dan kasih sayangNya. 

Terlintas tiba-tiba dibenak, al-Quran berkata: kemanapun engkau hadapkan wajah, di situlah wajah Allah. 
















Tiba di puncak Kahayya, di teras Donggia, saya menemukan 'alam mulia' dari wajahNya. Saya tidak ingin melewatkan tanpa zikir. Azanlah kemudian berlantun menelusur lembah-lembah di bawah Kahiyyah. 

Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah, firmanNya dalam kitab suci. Azan adalah tanda ibadah yang selalu segera harus dimulai. 

Alam semesta adalah tajalliNya (penampakanNya), maka siapa yang buta di dunia, dia juga tidak akan melihat diakhirat, kata para ahli hikmah.

Keheningan, ketinggian dan kesenyapan Kahayya dalam rupanya yang Indah, hanyalah simbol: bahwa manusia harus jauh dari hiruk pikuk duniawi agar bisa dekat dengan ketenangan ukhrawi.














Sunyi senyap alam, ibarat lorong 'tersebembunyi' untuk mengenali yang Sejati. Keindahan fisiknya, hanyalah fatarmorgana. Hanya dari jauh nampak cantik, dari dekat pesonanya lenyap. 

Menikmati keindahan Sejati, harus bisa berpisah dari yang fatamorgana. 

Seperti ketika menyeruput kopi Kahayya di teras Donggia. Nikmatnya menghapus dahaga perjalanan yang meletihkan. Derita perjalanan berubah bahagia di puncak bukit Donggia.
















Indah, nama yang meluncur dari bibir seorang gadis di depan kedai kopi.Ia memperkanlan diri sebagai pengelola tempat wisata Teras Donggia. Berbasa basi sejenak di pertemuan awal. Kami lalu memesan kopi khas dusun Kahayya. 

Sekarang menjadi lazim dalam merek produk dengan nama kopi Kahayya.

Nongkrong santai sambil ngopi. Panas kopi begitu cepat menghilang di udara dingin pegunungan.  Kopi hangat hanya dapat diseruput sesaat lamanya. Menikmati alam pegunungan asri, sambil becengkarama dengan saudara, yang datang dari jauh. 

Pertemuan yang hanya kapan-kapan waktu terjadi. Karena kami terpisah jarak tinggal yang berlintas selat Makassar. Suasana terasa sangat intens.



Indah bertutur banyak tentang tempat wisata yang dikelolanya. Dari banyak cerita Indah tentang Kahayya dan Donggia, yang menarik adalah historia tempat yang indah nan sejuk ini. 

Menurut Indah, tempat kaki berpijak ini, masih berkait dengan kisah-kisa orang tua dahulu kala di Donggia. Donggia sendiri menurutnya adalah batu di tempat paling tinggi, atau berada di atas ketinggian. Indah menunjukkan keberadaan batu bersejarah itu. Dan menceritakan fenomena mistis yang sering terjadi disekitarnya.

















Dari cerita Indah tentang batu tersebut, saya menemukan semacam lorong menuju masa silam. Masa ketika agama belum sesempurna sekarang (Islam agama yang sempurna dan di ridhoiNya). Batu itu kemungkinannya adalah 'tempat penyembahan' penganut animisme zaman lampau. 

Dimasa silam, manusia sudah meyakini adanya 'kekuatan maha Kuasa yang Gaib'. Dalam masyarakat Sulawei Selatan, dikenal keyakinan lampau dalam Attoriolong, yang berisi keyakinan spritual. Baik dalam corak Hindusime/Budhisme ataupun agama Tradisi. 



Di Donggia, Indah menyebut, "Di sini dulu ada semacam bangunan yang berbentuk Candi". "Sebagian masyarakat, terkadang masih sering datang ke sini dengan sesajen-sesajenan", lanjutnya. 

"Di Bali", tanggap saya, "keyakinan Tradisi mereka sudah menjadi way of life, keseharian mereka adalah ibadah penyembahan. Itulah mengapa Tradisi Bali tetap langgeng sampai sekarang. Tetapi oleh pemerintah, kehidupan mereka dijadikan sebagai obyek wisata", sambung saya.



Hampir semua wilayah Nusantara tersambung dengan kehidupan Tradisi. Sebagian kecil masih hidup dan sebagiannya lagi kini tinggal kenangan dalam wujud artefak-artefak. 

Tetapi di Kahayya, dengan teras Donggia-nya, keindahan alam menyapa ramah. Mengayun asa pengunjung seperti awan, yang mengambang di udara. Sepeti sebuah mimpi indah, yang entah datangnya darimana. 



Di Kahayya TanganNya Melambai
memandang sisi lain

Ada desir angin, melewati selah-selah gunung.
Singgah, dan hanya sebentar di dahan. 
Menyapa seekor burung yang mematung.
Angin dingin datang menyelimuti dengan lembut hampar padang rerumputan. 
Sangat lambat tetapi pasti.

Ada jeram mengalir deras, gemuruhnya mengetarkan jiwa.
Airnya tidak singgah dimanapun. Hanya menerjang dengan perkasa, bebatuan hitam yang berdiri menghadang. 
Ia ingin segera mengairi sawah dan kebun petani.

Gunung-gunung menjulang tinggi.
Menyembunyikan kepala dalam selimut tebal gumpalan awan putih.
Menempel sangat rapat, seperti sedang melindungi rahasia dan misteri.

Alam ada untuk manusia.
Manfaatnya menghidupkan.
Keindahannya, penghiburan bagi pandangan.
Rahasianya, pengetahuan bagi hati yang mencariNya.

Kata para Shalihin: ketahuilah diriNya melalui alam ciptaanNya.
Jika engkau memandang keindahan alamNya, maka ketahuilah Dia sedang melambaikan Tangan.
Maka pujilah Ia yang maha terpuji, agar hatimu dipenuhi rinduNya.

SM. 6/9/2022.



# Kredit Foto: Saifullah Muhtamar