Oleh Syafruddin
Muhtamar
Masa
transisi seringkali tidaklah mudah. Apalagi jika transisi itu terjadi di
panggung politik kekuasaan. Perhelatan politik akbar mutakhir pemilu nasional,
telah mendudukkan paket kepemimpinan baru pemerintahan periode lima tahun ke depan.
Keterpilihan paket ini juga penanda dari akhir periode paket kekuasaan
sebelumnya. Dimasa awal, presiden baru ini ekstra keras menghadapi
situasi-situasi peralihan. Terutama berkenaan dengan visi misinya saat
kampanye, yang harus mewarnai perencanaan pembangunan lima tahunan.
Presidensial
murni sebagai basis konstitusional kekuasaan pemerintah, memungkinkan setiap
presiden terpilih meng-explore harapan – harapan, cita-cita, gagasan-gagasan
idealnya untuk diwujudkan sebagai konsep dalam rencana pembangunan. Dalam sistem
perencanaan nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
adalah tempat dimana visi dan misi presiden dapat dituangkan menjadi rencana-rencana
pembangunan. Sifat sistem pemilu langsung ini membuka ruang ekspresi idiologis lebih luas bagi presiden terpilih
untuk melakukan terobosan dalam pembangunan nasional.
RPJMN
2015-2019 yang telah dimuali tahapan menyusunannya oleh Kaninet Kerja
Jokowi-JK, merupakan generasi III. Dua generasi RPJMN sebelumnya telah melewati
masa berlakunya, materinya adalah visi misi presiden sebelumnya. Seluruh
rangkaian pencapaian, evaluasi dan asumsi-asumsi obyektifnya sejak 2005 sampai
2014 dari dua generasi itu, akan menjadi dasar pertimbangan penyusunan RPJMN
generasi III ini. Dimensi keberlanjutan menjadi pokok mengingat legislasi sistem
perencanaan nasional membuat ikatan utuh mengenai perencanaan pembangunan yang,
harus berpatokan pada RPJPN (Rencana Pembanguan Jangka Panjang Nasioal) 2005 –
2025. Beberapa turunannya seperti RPJMN, RKP, dan Resntra K/L juga adalah satu
bagian tak terpisahkan. Bahwa grand dream
dalam RPJPN menjadi arah utama pembangunan dan ketetapan arah kebijakan pada
masing-masing level perencanaan menengah, itu juga tidak bisa dicerai – beraikan.
Terdapat
dilema mendasar dalam masa transisi, berkenaan agenda perencanaan pembangunan
lima tahuan presiden terpilih saat ini. Yang pertama dan utama adalah ‘ruang
bebas’ yang diberikan konstitusi untuk membuktikan janji – janji kampanye lewat
RPJMN, akan tak bermakna jika kandungan ‘idiologis’ visi misi itu asimetris
dari ‘watak’ RPJPN dan arah determinatif RPJMN. Warna idiologi akan menjadi
‘kendala’ transformasi visi misi presiden ke dalam format rencana pembangunan
jangka menengah itu.
Dilema
lain adalah kemampuan menafsirkan gagasan-gagasan besar dalam visi-misi itu
oleh lembaga perencanaan pemerintah agar sesuai dengan patokan arah kebijakan
yang telah digariskan oleh UU RPJPN, khususnya untuk RPJMN 2015 – 2019. Jika
menilik arah yang kendak dicapai oleh setiap tahapan pembangunan masa 20 tahun
RPJPN, nampak bahwa bangunan tahapan itu adalah kesinambungan. RPJMN generasi
pertama (2005-2009) penekanannya pada penataan kembali NKRI. Yang pada generasi
kedua (2010-2014) arahnya adalah pemantapan capaian generasi pertama. Dan
pemantapan yang kokoh pembanguan secara menyeluruh dikehendaki dilakukan pada
RPJMN generasi ke tiga, dimana masanya segera berlaku 2015 hingga 2019. Hingga
terwujudlah masyarakat mandiri, maju, adil dan makmur dalam generasi ke empat
RPJMN 2020 – 2025. Upaya improvisasi terhadap RPJMN tertutup jika melabrak
kaidah kesinambungan ini.
Bisa
terbayangkan ‘Jalan Perubahan Untuk Indonesia
Yang Berdaulat, Mandiri Dan Berkeperibadian Berlandaskan Gotong Royong’ –nya
Jokowi-JK yang ingin meneguhkan kembali jalan idiologis Trisakti dengan Nawa
Citanya, akan menemui kesulitanya ketika harus disederhanakan hanya dalam
format perencanan berjangka menengah. Subtansi dari gagasan fundamental dalam
visi – misi itu selayaknya mendapat tempat yang setangkup dengan kebesaran
nilai-nilai dasar yang dikandungnya. Disinilah ‘ruang bebas’ pengejawantahan
cita-cita ideal dari visi misi ini akan kehilangan makna. ‘Ruang sempit’ RPJMN
tidak cukup untuk menampung wibawah subtansi gagasan-gagasan besar dibalik ‘jalan perubahan’ itu.
Dari
segi waktu kehadiran, keberadaan ‘Jalan Perubahan’ itu terhitung terlambat, ketika jalan panjang
perubahan kehidupan bangsa telah dipetakan pasca amandemen UUD 1945, dalam
desain sistem RPJPN. Dan ketika setengah dari 20 tahun perjalanan peta jalan
masa depan itu dilewati. Sehingga karena sempitnya ruang pernafsiran terhadap subtansi
nilai-nilai dasar dari visi misi Jokowi-JK ini, maka akan berubah menjadi hanya
‘mengambil yang sesuai garis kebijakan’ sebelumnya. Visi misi itu akan
mencocokan diri dengan arah kebijakan yang
telah ada. Dengan demikian, tidak semua subtansi akan terserap, hanya
beberapa hal yang dianggap cocok dengan garis kebijakan, akan mengisi
lembaran-lembaran RPJMN generasi III ini.
Ini
adalah implikasi transisi politik kekuasaan terhadap rencana pembangunan.
Ide-ide ‘agung’ dari jalan ideologi Trisakti dengan Nawacitanya, selama lima
tahun kedepan akan mengambang di ruang hampa. Karena bagian kecil dari ide-ide
itu akan berhenti hanya sebagai peraturan presiden dalam RPJMN. Keseluruhan
jiwanya seharusnya menempati level Undang-undang, sehingga memungkinkan juga
menjadi grand desain masa depan kehidupan
nasional yang berjangka panjang. Diperlukan terobosan revolusioner mewujudkan komprehensitifitas
visi misi tersebut.
Seperti,
mendesainya dalam model Garis Besar Haluan Negara dengan level konstitusional
yang lebih tingggi dari sekedar Undang-undang, sehingga keberadaannya
‘permanen’ dengan posisi setingkat dibawah UUD. Tentu saja dengan melepaskan
visi misi itu dari identifikasi sebagi ‘jargon politik ampanye’, tetapi merupakan
pengejewantahan kehendak rakyat. Jadi rakyat tidak sekedar hanya memilih
pemimpin saja, namun sekaligus memberikan amanat atau mandat masa depan untuk
dijalankan dalam periode pemerintahan. Tidak pantas bagi rakyat menunggu atau
menagih janji kampanye, tetapi layak bagi mereka melihat pengabdian nyata atas
mandat masa depan yang diberikan itu, dijalankan atau diabaikan.
Label: Future study, Pembangunan dan Perubahan