Selasa, 21 Mei 2013

CAPDI, JALAN DAMAI DAN NIHILISME

Oleh : Syafruddin Muhtamar

Foto: Dok. Okezone
Ada rasa bangga tersendiri bagi masyarakat Sulsel ketika ‘tanah kelahirannya’ dijadikan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh dunia menyelenggarakan konferensi untuk deklarasi perdamaian dunia. Dari bumi Makassar dikumandangkan, oleh pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh terkemuka  kawasan Asia Pasifik yang menghimpun diri dalam CAPDI: Mobilizing Governments, Political Parties and Civil Societies to Promote Peace and Reconciliation and to Fight Climate Change in Asia”. Sebuah tema mengandung harapan akan semangat kebersamaan menegakkan perdamian dan rekonsilisasi melawan perubahan iklim di Asia.
Centrist Asia Pacific Democrats International (CAPDI) sebuah NGO berskala Internasional, dengan keanggotaan 18 negara, secara visi telah menancapkan komitmennya untuk menyebarkan prinsip-prinsip pedamaian dan demokrasi di Asia Pasifik. Dan bagi bangsa Indonesia, secara khsusus masyarakat sulsel, perasaan bangga itu makin bertambah, mengingat kehadiran sosok Yusuf  Kalla, menjadi salah satu individu kunci dalam komitmen besar nan mulia itu.
Salah satu yang, mungkin unik, dari tempat berkumpulnya para orang-orang terkemuka bangsa-bangsa Asia Pasifik dengan ragam latarbelakangnya ini, adalah kerangka semangat yang mempertemukan dan mengikat meraka, yakni: kebersamaan dengan khas atau corak nilai Asia, dan kerangka kerja yang bersifat informal. Kita sebut saja bahwa akar sosialisme Asia telah menjadi tali penyambung harapan dan semangat untuk, secara bergandengan tangan menyelesaikan problem-problem subtansial yang menerpa kawasan, terutama berkenaan dengan kemiskinan akut yang diderita negara-negara berkembang, konflik sektarian yang senantiasa mengancam karena potensi keragaman budaya dimiliki kawasan dan, soal implikasi dari perubahan iklim global yang (konon) mengancam eksistensi lingkungan alam dan manusia.
Idealisme Asia yang merajut komitmen besar ini, secara operasional menolak bentuk-bentuk ektremesme idiologi, baik yang ekstrem ‘kiri’ maupun ‘kanan’. Yang dalam hal ini juga bermakna, CAPDI menolak intervensi asing sebagai bentuk campur tangan dalam penyelesaian-penyelesaian konflik internal bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik. Hal ini dapat dipahami, mengingat sepanjang sejarah penyelesaian konflik, kehadiran pihak asing, seringkali menambah runyam situasi konflik, alih-alih menyelesaikan, malah menyisahkan masalah yang terus menghantui masyarakat dalam jangka panjang. Sebagaimana yang berlaku pada beberapa kawasan seperti, Afrika dan Timur Tengah.
Hal lain, yang menarik adalah pilihan pada kerangka kerja yang bersifat informal. Nilai kebersamaan sangat diutamakan, sikap netralitas dijaga sedemikian rupa dan komitmen pada visi utama terus dirawat, sehingga kecenderungan ini mampu mengeliminir tawaran-tawaran sikap kaku dalam penyelesaian masalah regional, hal mana sering terjadi pada proses penyelesaian konflik secara formal. CAPDI menawarkan ‘cara-cara lentur’ penyelesaian masalah. Dan keberadaanya, oleh pengamat dikatakan; akan menjadi penyeimbang peranan pemerintah negara-negara Asia Pasifik dalam menjamin terpeliharanya perdamaian, keamanan, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan ini.
Cara-cara ‘lentur’ ini dapat dimaknai juga sebagai jalan-jalan kebudayaan. Salah satu orientasi utama kebudayaan adalah saling memanusiakan. Jalan kemanusian penampakannya menonjolkan sublimitas dari ‘simpati dan empati’, dengan cara-caranya sendiri yang ‘bersahaja’ dan seringkali melintas batas nalar obyektiv, ketimbang pilihan jalan konstruk logik yang mengandung pemaksaan karena kebenarannya dianggap ‘obyektiv’. Cara kebudayaan ini juga dapat dipahamkan sebagai cara khas Asia, dengan pilar-pilar ragam budaya, ragam agama dan etnisitasnya yang heterogen merupakan penyanggah utama peradaban masyarakat bangsa-bangsa di kawasan Asia.
Nilai-nilai peradaban Asia yang mengutamakan keseimbangan (uquilibrium) dipahami dengan baik oleh para pemimpin negara-negara Asia, khsusnya yang tergabung dalam CAPDI, dan masyarakat kebudayaan Asia secara umum, dapat menjadi penyokong utama terwujudnya penyelesaian-penyelesaian masalah regional secara lebih ‘lentur’, beribawah dan terhormat, karena hasrat untuk saling memanusiakan. Keseimbangan sebagai titik pusat nilai peradaban Asia diharapakan menjadi simpul utama dari motiv kemandirian kawasan dan dengan itu, pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa Asia pasifik, berusaha melepaskan kehidupan masyarakatnya dari ketergantungan dan intervensi asing, terutama dalam konteks penyelesaian konflik, baik internal maupun antar negara dikawasan ini.
Lebih bari itu, abad 21 dikatakan adalah milik Asia. Kebangkitan ekonomi China dan India, telah membuka jalur baru bagi kemajuan ‘peradaban’ Asia. Kedua negara ini telah menjadi ikon sekaligus grand power dikawasan ‘Timur’, dan era ‘Barat’ perlahan tereduksi dan bergerak menurun ketitik instabilitasnya. Nilai-nilai Asia diprediksi akan mengambil alih estafeta peradaban dunia dengan segala potensi kemajuan yang dimilikinya, baik dari segi demografis, geografis maupun kekayaan sumber daya alam.
Langkah-langkah dan inisiatif-inisiatif baru yang ditempuh CEPDI sesuai visi dan misinya, harus diapresiasi sebagai bagian dari dan atau dalam kerangka kebangkitan baru Asia. Penyelesaian permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat kawasan Asia Pasifik, tentu sangatlah kompleks, tidak hanya berbatas pada ‘konflik’, namun dimensinya meluas pada seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat kawasan. Kalaupun tema dasar konferensi CEPDI II adalah mengusung problem subtansial climate change atau perubahan iklim yang dianggap implikasinya serius dikawasan Asia Pasifik, namun diharapkkan tidak mengurangi ruang diskusi tentang permasalah pokok lainnya; mengenai ‘bencana kebijakan’ yang dialami negara-negara kawasan, karena seringkali kebijakan itu harus ‘diasisteni’ oleh Asing. Pesimisme mengenai kebangkitan baru kawasan Asia Pasifik, akan terus menyeruak jika kedaulatan negara terus direduksi oleh kekuatan invisible hand dalam menyusun kebijakannya. Sesunguhnya disinilah titik dilema kebangkiitan baru negara-negara yang ada dalam kawasan yang dicap ‘seenaknya’ sebagai negara terbelakang.
Adalah sebuah nihilisme ketika rangkaian keputusan-keputusan CEPDI tidak mencerminkan hakekat atau kesejatian dari upaya kebangkitan dan kemandirian masyarakat bangsa-bangsa Asia Pasifik, dari akar kemudurannya dalam cengkeraman kendali ‘nilai-nilai Asing’. Dimanika permasalahan yang dihadapi kawasan, baik problem yang bersifat ‘almiah’ maupun problem yang ‘ditimpakan’ sebagai dampak dari koneksitas global, penyelesaiannya haruslah dengan khas nilai-nilai fundamental kawasan Asia sendiri. Konteks ini tidak harus dipahami sebagai ektrimitas, sebab syarat utama dari visi kemandirian tersebut adalah menghindari ‘anasir asing’. Nilai keseimbangan yang mengandung makna kedamaian dan keadilan adalah prasyat utama kemandirian; kehadiran elemen asing malah sering menimbulkan ketidakseimbangan.
Pilihan idealisme CEPDI yang bersifat ‘jalan tengah’ atau moderat, tentu adalah pilihan tepat, karena akan memungkinkannya bergerak secara fleksibel, dengan demikian juga ‘memudahkan’ penerimaan multi pihak dalam kerja-kerjanya. Namun ‘jalan tengah’ tanpa postulasi yang jelas juga akan menjadi jebakan bagi tergelincirnya rekomendasi-rekomendasi CEPDI dalam labirin nihilisme. Keputusan-keputusan yang direkomendasikan maupun lagkah-langkah kongkrit CEPDI hanya akan mencerminkan kegamangan dari orentasi visi perdamaian sesungguhnya. Keterlibatan individu-individu penting dari kawasan dalam himpunan dengan visi agung ini, menjadi cermin ekspektasi masyarakat kawasan atas eksistensi CEPDI, maka kredibilitas mereka harus menjadi jaminan bagi ketercapaian cita-cita baru masyarakat kawasan di era kebangkitannya pada melenium ini.  

     
    

     

Label: ,