Oleh : Syafruddin Muhtamar
|
Foto: Dok. Okezone |
Ada
rasa bangga tersendiri bagi masyarakat Sulsel ketika ‘tanah kelahirannya’ dijadikan
tempat berkumpulnya tokoh-tokoh dunia menyelenggarakan konferensi untuk
deklarasi perdamaian dunia. Dari
bumi Makassar dikumandangkan, oleh pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh terkemuka kawasan Asia Pasifik
yang menghimpun diri dalam CAPDI: “Mobilizing Governments, Political Parties and Civil Societies
to Promote Peace and Reconciliation and to Fight Climate Change in Asia”. Sebuah tema mengandung harapan akan semangat kebersamaan menegakkan
perdamian dan rekonsilisasi melawan perubahan iklim di Asia.
Centrist Asia
Pacific Democrats International (CAPDI) sebuah NGO berskala Internasional, dengan keanggotaan 18 negara,
secara visi telah menancapkan komitmennya
untuk menyebarkan
prinsip-prinsip pedamaian dan demokrasi di Asia Pasifik. Dan bagi bangsa Indonesia, secara khsusus masyarakat
sulsel, perasaan bangga itu makin bertambah, mengingat kehadiran sosok Yusuf Kalla,
menjadi salah satu individu kunci dalam komitmen besar nan mulia itu.
Salah satu yang, mungkin
unik, dari tempat berkumpulnya para orang-orang terkemuka bangsa-bangsa Asia
Pasifik dengan ragam latarbelakangnya ini, adalah kerangka semangat yang mempertemukan
dan mengikat meraka, yakni: kebersamaan dengan khas atau corak nilai Asia, dan
kerangka kerja yang bersifat informal. Kita sebut saja bahwa akar sosialisme Asia
telah menjadi tali penyambung harapan dan semangat untuk, secara bergandengan
tangan menyelesaikan problem-problem subtansial yang menerpa kawasan, terutama
berkenaan dengan kemiskinan akut yang diderita negara-negara berkembang,
konflik sektarian yang senantiasa mengancam karena potensi keragaman budaya
dimiliki kawasan dan, soal implikasi dari perubahan iklim global yang (konon)
mengancam eksistensi lingkungan alam dan manusia.
Idealisme Asia yang merajut
komitmen besar ini, secara operasional menolak bentuk-bentuk ektremesme
idiologi, baik yang ekstrem ‘kiri’ maupun ‘kanan’. Yang dalam hal ini juga
bermakna, CAPDI menolak intervensi asing sebagai bentuk campur tangan dalam
penyelesaian-penyelesaian konflik internal bangsa-bangsa di kawasan Asia
Pasifik. Hal ini dapat dipahami, mengingat sepanjang sejarah penyelesaian
konflik, kehadiran pihak asing, seringkali menambah runyam situasi konflik,
alih-alih menyelesaikan, malah menyisahkan masalah yang terus menghantui
masyarakat dalam jangka panjang. Sebagaimana yang berlaku pada beberapa kawasan
seperti, Afrika dan Timur Tengah.
Hal lain, yang menarik
adalah pilihan pada kerangka kerja yang bersifat informal. Nilai kebersamaan
sangat diutamakan, sikap netralitas dijaga sedemikian rupa dan komitmen pada
visi utama terus dirawat, sehingga kecenderungan ini mampu mengeliminir
tawaran-tawaran sikap kaku dalam penyelesaian masalah regional, hal mana sering
terjadi pada proses penyelesaian konflik secara formal. CAPDI menawarkan
‘cara-cara lentur’ penyelesaian masalah. Dan keberadaanya, oleh pengamat
dikatakan; akan menjadi penyeimbang peranan pemerintah negara-negara Asia
Pasifik dalam menjamin terpeliharanya perdamaian, keamanan, stabilitas dan
kesejahteraan di kawasan ini.
Cara-cara ‘lentur’ ini dapat
dimaknai juga sebagai jalan-jalan kebudayaan. Salah satu orientasi utama
kebudayaan adalah saling memanusiakan. Jalan kemanusian penampakannya
menonjolkan sublimitas dari ‘simpati dan empati’, dengan cara-caranya sendiri
yang ‘bersahaja’ dan seringkali melintas batas nalar obyektiv, ketimbang
pilihan jalan konstruk logik yang mengandung pemaksaan karena kebenarannya
dianggap ‘obyektiv’. Cara kebudayaan ini juga dapat dipahamkan sebagai cara
khas Asia, dengan pilar-pilar ragam budaya, ragam agama dan etnisitasnya yang
heterogen merupakan penyanggah utama peradaban masyarakat bangsa-bangsa di
kawasan Asia.
Nilai-nilai peradaban Asia yang
mengutamakan keseimbangan (uquilibrium)
dipahami dengan baik oleh para pemimpin negara-negara Asia, khsusnya yang
tergabung dalam CAPDI, dan masyarakat kebudayaan Asia secara umum, dapat
menjadi penyokong utama terwujudnya penyelesaian-penyelesaian masalah regional
secara lebih ‘lentur’, beribawah dan terhormat, karena hasrat untuk saling
memanusiakan. Keseimbangan sebagai titik pusat nilai peradaban Asia diharapakan
menjadi simpul utama dari motiv kemandirian kawasan dan dengan itu,
pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa Asia pasifik, berusaha melepaskan kehidupan
masyarakatnya dari ketergantungan dan intervensi asing, terutama dalam konteks
penyelesaian konflik, baik internal maupun antar negara dikawasan ini.
Lebih bari itu, abad 21
dikatakan adalah milik Asia. Kebangkitan ekonomi China dan India, telah membuka
jalur baru bagi kemajuan ‘peradaban’ Asia. Kedua negara ini telah menjadi ikon
sekaligus grand power dikawasan ‘Timur’,
dan era ‘Barat’ perlahan tereduksi dan bergerak menurun ketitik
instabilitasnya. Nilai-nilai Asia diprediksi akan mengambil alih estafeta
peradaban dunia dengan segala potensi kemajuan yang dimilikinya, baik dari segi
demografis, geografis maupun kekayaan sumber daya alam.
Langkah-langkah dan
inisiatif-inisiatif baru yang ditempuh CEPDI sesuai visi dan misinya, harus
diapresiasi sebagai bagian dari dan atau dalam kerangka kebangkitan baru Asia.
Penyelesaian permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat kawasan Asia
Pasifik, tentu sangatlah kompleks, tidak hanya berbatas pada ‘konflik’, namun
dimensinya meluas pada seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat kawasan.
Kalaupun tema dasar konferensi CEPDI II adalah mengusung problem subtansial climate change atau perubahan iklim yang
dianggap implikasinya serius dikawasan Asia Pasifik, namun diharapkkan tidak
mengurangi ruang diskusi tentang permasalah pokok lainnya; mengenai ‘bencana
kebijakan’ yang dialami negara-negara kawasan, karena seringkali kebijakan itu harus
‘diasisteni’ oleh Asing. Pesimisme mengenai kebangkitan baru kawasan Asia
Pasifik, akan terus menyeruak jika kedaulatan negara terus direduksi oleh
kekuatan invisible hand dalam
menyusun kebijakannya. Sesunguhnya disinilah titik dilema kebangkiitan baru
negara-negara yang ada dalam kawasan yang dicap ‘seenaknya’ sebagai negara
terbelakang.
Adalah sebuah nihilisme
ketika rangkaian keputusan-keputusan CEPDI tidak mencerminkan hakekat atau
kesejatian dari upaya kebangkitan dan kemandirian masyarakat bangsa-bangsa Asia
Pasifik, dari akar kemudurannya dalam cengkeraman kendali ‘nilai-nilai Asing’. Dimanika
permasalahan yang dihadapi kawasan, baik problem yang bersifat ‘almiah’ maupun
problem yang ‘ditimpakan’ sebagai dampak dari koneksitas global,
penyelesaiannya haruslah dengan khas nilai-nilai fundamental kawasan Asia
sendiri. Konteks ini tidak harus dipahami sebagai ektrimitas, sebab syarat
utama dari visi kemandirian tersebut adalah menghindari ‘anasir asing’. Nilai
keseimbangan yang mengandung makna kedamaian dan keadilan adalah prasyat utama
kemandirian; kehadiran elemen asing malah sering menimbulkan ketidakseimbangan.
Pilihan idealisme CEPDI yang
bersifat ‘jalan tengah’ atau moderat, tentu adalah pilihan tepat, karena akan
memungkinkannya bergerak secara fleksibel, dengan demikian juga ‘memudahkan’
penerimaan multi pihak dalam kerja-kerjanya. Namun ‘jalan tengah’ tanpa
postulasi yang jelas juga akan menjadi jebakan bagi tergelincirnya
rekomendasi-rekomendasi CEPDI dalam labirin nihilisme. Keputusan-keputusan yang
direkomendasikan maupun lagkah-langkah kongkrit CEPDI hanya akan mencerminkan
kegamangan dari orentasi visi perdamaian sesungguhnya. Keterlibatan
individu-individu penting dari kawasan dalam himpunan dengan visi agung ini,
menjadi cermin ekspektasi masyarakat kawasan atas eksistensi CEPDI, maka
kredibilitas mereka harus menjadi jaminan bagi ketercapaian cita-cita baru
masyarakat kawasan di era kebangkitannya pada melenium ini.
Label: Future study, Pembangunan dan Perubahan