Sabtu, 16 Februari 2013

Pemimpin Baru dan Perubahan Dua Arah Sejarah

Oleh Syafruddin Muhtamar

Segera kita sebagai masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) kembali akan memiliki pemimpin formal untuk periode lima tahun ke depan, setelah prosesi politik demokrasi, 22 Januari 2013, kemarin. Pilihan masyarakat ini adalah pemimpin Sulsel yang ke 14 dalam sejarah setengah abad lebih sejarah politik moderen pemerintahan di Provinsi Sulsel.

Jika menarik rentang sejarah masyarakat Sulsel, sejak ‘kelahirannya’ pada era mitologi ‘Sawerigading’ hingga kini, pascabergabungya wilayah Sulsel ke dalam sistem konstitusi baru NKRI, maka terdapat dua titik pijak perjalanan sejarah perubahan bagi masyarakat Sulsel, yakni tradisionalisme dan modernisme. Lebih dari satu milenium, masyarakat Sulsel bergelut dalam dinamika tradisinya yang kaya, untuk kemudian pada milenium selajutnya, masyarakat terperangkap dalam bayang-bayang kolonialisasi yang menyedihkan.

Meskipun kemudian, kolonialisasi meretas takdir baik jalan baru sejarah masyarakat menuju tahap berikutnya, yakni jalan modernisme. Telah datang silih berganti sekian banyak pemimpin dalam rentang sejarah yang panjang itu. Demikian pula telah banyak generasi punah dan menjadi bagian dari narasi masa lampau. Dinamika kehidupan datang bergelombang dengan warna dan riak menyertainya. Dinamika tradisi tampaknya tinggal menjadi nostagia sejarah yang menghibur. Gelombang modernisme demikian menguat dengan dinamikanya begitu sempurna.

Perubahan masyarakat Sulsel kini, nampaknya hidup dan bergerak dalam hanya satu arah sejarah saja. Modernisme menarik garis batas tegas atas tradisi, untuk kemudian membentangkan sejarahnya sendiri dalam arah bersfifat linear. Perubahan masyarakat Sulsel adalah perjalanan kehidupan di atas roda modernisme. Sebuah kerangka dasar yang diletakkan institusi pemerintahan negara moderen. Dan membuat dunia tradisi tersisi lalu meringkung menjadi minoritas, untuk kemudian menjadi dongeng-dongeng purba.

Adalah di tangan para pemimpinlah sejarah baru perubahan itu selalu bermula. Sulsel telah banyak tersentuh tangan-tangan pemimpin dengan goresan karya kepemimpinan beragam, baik di masa tradisi maupun moderen saat ini. Namun di era ketika demokrasi menjadi kepercayaan baru politik masyarakat Sulsel, keseragaman motiv kepemimpinnan terjadi begitu kuat. Yakni bahwa masyarakat ‘harus dimodernisasi’, sebuah kebijakan yang harus ditempuh dalam rangka mengejar ketertinggalan, akibat karena kesalahan (yang dituduhkan pada) tradisi dan/atau dampak dari kehidupan tradisi. Tradisi menjadi terdakwa atas realitas kemunduran, ketertinggalan dan ketakberdayaan masyarakat. Di atas realitas itu, pelaksanaan modernisasi, memperloeh pembenarannya. Meskipun pandangan ini, sepenuhnya harus ditolak, jika kita dapat memahami paradigma tradisionalisme.

Mungkin disinilah salah satu letak kecerdikan penggagas kolonialisme, yang sukses mengkambinghitamkan tradisi dan membagun logika modernitas diatas puing-puing kehancuran tradisi. Kita tidak ingin memperpanjang debat ini. Namun yang hendak dikatakan adalah bahwa pemimpin Sulsel memiliki peran mendasar menentukan arah perubahan dalam rentetan fase-fase sejarah kehidupan masyarakatnya. Keseragaman motiv kepemimpinan Sulsel pada periode moderennya, merupakan problem tersendiri. Sebuah masalah yang mungkin tak terpahamkan secara mendalam oleh mereka yang telah dan (bahkan mungkin) yang akan memimpin Sulsel masa-masa datang. Gagasan modernsasi telah menyeragamkan visi dan misi para pemimpin di era demokratisasi ini. Sehingga tidak nampak perbedaan secara paradigmatik atas visi yang mereka emban. Semua seirama dalam lantunan melodi modernisme. Maka ‘paripurnalah’ satu arah sejarah kehidupan masyarakat Sulsel.Problem yang dimaksudkan adalah bahwa masyarakat Sulsel mengakar pada ‘kepurbaaanya’ sebagai masyarakat tradisi. Cetakanya telah terwujud dalam milenium lampau saat ade’e na popuang. Namun sumber tradisi ini makin mengering seiring kebijakan pemerintahan hanya membuka kemungkinan bagi modernitas untuk tumbuh dan berkembang ketimbang tradisionalisme yang merupakan jiwa sesunggguhnya masyarakat Sulsel.

Tradisi dalam konteks ini adalah nilai-nilai sekaligus sistem dan model kehidupan yang mengikat manusia ke surga. Surga sebagai kesejatian dan kedalaman makna atas realitas kehidupan. Seperti dikatakan Sayyed Hosen Nasr bahwa tradisi bukanlah kekanak-kanakan dan mitologi yang ketinggalan zaman, tetapi sebuah sains yang sangat nyata. Prinsip-prinsipnya mengikat manusia ke surga, tradisi seperti agama adalah kebenaran dan kehadiran.Pemerintahan moderen Sulsel secara nyata telah mengingkari akar masa lampau masyarakat sulel dengan demikian kebenaran tradisi, yang merupakan sumber jiwa kemasyarakatannya.

Ketika pun, tradisi masuk dalam kerangka program pemerintah, motiv yang menopangnya tidak lagi searah dengan nilai-nilai tradisi yang sebenarnya. Motiv industrialisasi atas tradisi makin membuat kehidupan tradisi kehilangan kemampuannya untuk bertahan dalam pengertian sebenarnya. Pendangklalan terhadap keseluruhan dimensi kehidupan tradisi masyarakat Sulsel, paling besar disebabkan oleh arah politik pembangunan yang diselenggarakan pemerintah. Yang telah berlangsung lebih dari setengah abad sudah berlalu sejak kaum kolonial melapaskan diri dari kehidupan masyarakat Sulsel.

Sejak Gubernur pertama G SSJ Ratulangi hingga tiga belas orang pengganti setelahnya, kehidupan masyarakat Sulsel menempuh haluan sejarah baru dan nampaknya makin kokoh dijalan modernisasi. Beberapa gagasan pembangunan Sulsel dalam rentang sejarah pemerintahan moderen itu, menunjuk pada pengauatan satu arah sejarah modernisasi tersebut. Untuk menyebut misalnya Program Lappo Ase, Tri Konsep (Pengwilayahan Komoditas, Petik-Olah-Jual, Perubahan Perilaku dan Sikap), GRATEKS 2, dan Program Gerbang EMAS. Program-program ini merupakan karya-karya terbaik dimasanya, yang telah memberikan kontribusi kemajuan kehidupan bagi masyarakat Sulel pada kontkes masing-masing. Program-program itu turut mengantarkan perubahan masyarakat tahap demi tahap secara ekonomi khususnya.

Capaian kemajuan dan kemakmuran ekonomi masyarakat hingga hari ini merupakan jeri payah yang tiada henti dari program-program kemajuan yang dikehendaki pemerintah. Yang keseluruhunnya berlandas pada paradigma modernisme. Kiranya perlu untuk melakukan pemikiran ulang mengenai arah sejarah perubahan masyarakat Sulsel hari ini dan masa depan. Anggaplah hampir seratus tahun modernisasi dalam rangka membentuk masyarakat moderen, telah mengambil peran penting dalam kehidupan masayarakta Sulsel, dengan capaian-capaian menakjubkan. Gagasan modernisme mengambil alih peranan gagasan tadisionalisme dalam mendorong perubahan masyarakat. Dan bahwa dunia tradisi kehilangan peran vitalnya dalam mempengauhi kemajuan dan perubahan masyarakat Sulsel.

Tidak ada kebijakan secara sungguh-sungguh memihak pada peranan dunia tradisi dari masyarakat Sulsel. Modernisasi dengan logika industrialismenya mempengaruhi dan menjadi motiv kebijakan pemerintah, berimplikasi pada tertutupnya ruang tumbuh dan berkembang bagi jiwa tradisi dari masyarakat Sulsel. Berat mengharapkan ada kebijakan pemerintah yang bercorak modern untuk mengajak dunia tradisi membuka jalan bagi terbangunnya kembali masyarakat dengan sifat khasnya dalam tradisionalisme, jika tidak terjadi perubahan cara pandang oleh pemegang kebijakan atau pemimpin terhadap dunia tradisi. Kita berharap, kehadiran pemimpin baru Sulsel untuk periode 5 tahunan kepemimpinan pemerintahan kedepan ini, bisa mempeluas spektrum cara pandangnya terhadap tradisionalisme masyarakat Sulsel.

Bagaimanapun, secara sederhana dapat dikatakan, tradisionalisme telah mempengaruhi dan meletakkan cetakan dasarnya dua melenium lampau, dan eksistensinya, meskipun tidak nampak, tetap berdenyut dalam lingkaran periperialnya. Penting untuk dipahamkan bahwa, kebijakan dua arah sejarah perubahan masyarakat Sulsel hari ini dan masa depan, urgen dipertimbangkan oleh pemimpin Sulsel. Meskipun kita menahami, visi dan misi pemimpin terpilih telah menjadi bahan konstitusional bagi perencanaan pembangunan periode lima tahun mendatang, yang sama sekali tidak menampakkan peranan dunia tradisi didalamnya.

Mendampingkan dunia tradisi dan dunia modern dalam kerangka kebijakan pada proses menciptakan perubahan masyarakat Sulsel masa depan, dapat dikatakan pilihan futuristik, bukan pilihan mundur. Alasannya bahwa tradisi telah menjadi sumur bagi jiwa kemasyarakat Sulsel yang tiada kering sumber nilainya, dan adalah sumber eksistensial bersifat primordial bagi masyarakat. Sementara modernisme, merupakan elementer jangkokkan pada tubuh masyarakat yang seluruh permulaannya bersifat tradisional.

Pilihan ini penting dalam rangka penciptaan perubahan dalam dua arah sejarah masa depan bagi masyarakat Sulsel, karena masa depan adalah hamorni dan keseimbangan antara yang sakral dan profane. Yang modernisme tidak mampu menawarkan tujuan mendasar dari kesejatian kehidupan seperti itu. Realitas modernitas dalam banyak hal, lebih banyak menimbulkan ketidakseimbangan, disharmoni dan kesinambungan chaos dalam segala pengertiannya bagi kehidupan masyarakat manusia.(*)

Oleh; Shaff Muhtamar
Direktur Eksekutiv Senyawa Institute
Editor : Aldy
Sumber : Tribun Timur

Label: ,