NESTAPA PANJANG HUKUM INDONESIA
Oleh Syafruddin Muhtamar
Agustus tahun ini (2010), sebagaimana biasanya, bangsa kita merayakan hari kemerdekaannya. Usianya kini sebagai Negara genap 65tahun. Dan jika kita bertanya berapakah juga usia sistem hukum kita? Maka usia Negara Indonesia itulah jawabnya, 65 tahun.
Dan sepanjang 65 tahun ini, kita sebagai bangsa dan Negara telah banyak melakukan sesatu dalam kerja pembangunan. Diawal-awal kemerdekaan dan bahkan sampai sekarang motiv utama pembangunan nasional kita adalah kesejahteraan ekonomi. Namun demikian, negera tetap memikirkan semua sendi-sendi kehidupan bangsa dan Negara kita untuk dibangun, seletah kelelahan dalam fase panjang kolonialisasi, termasuk juga sendi atau bidang hukum. Meskipun prioritas utama pembangunan adalah pembangunan bidang ekonomi, dengan orientasi utama pembangunan fisik.
Membicarakan mengenai ‘keterpurukan’ hukum di Indonesia khususnya dalam konstruk berfikir filosofi, maka kita tidak bisa melepas diri dari historikal sistem hukum yang kita gunakan saat ini, kita harus melihat kedalaman dari paradigma sistem hukum kita, realitasnya secara kultural dan pagmatis serta political background dari sistem hukum tersebut dan kecenderungan futuristiknya dalam konteks operasionalisasi sistem tersebut dalam dinamika perubahan-perubahan kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Dengan pengertian bahwa titik pandang filosofi kita melihat ‘keterpurukan’ tersebut haruslah bersifat holistik ataupun multisegi dan bahkan mungkin interdispliner, dengan harapan kita dalam ‘melihat’ secara lebih jernih problematika yang sesungguhnya dan tantangan-tantangannya secara lebih sublim. Kita tidak melihat persoalan secara pragmentatif atau sepenggal-penggal.
Pokok persoalan yang harus terjawab, sebelum pembicaraan lebih lanjut, adalah apakah yang kita maksudkan dengan “KETERPURUKAN”? Jelas dari sisi gramatikal keterpurukan akar katanya adalah terpuruk, yang dapat berarti terbenam; tenggelam; terperosok; mundur atau merosot. Secara umum kita bisa member makna kata keterpurukan sebagai suatu situasi yang tidak dikehendaki oleh dirinya sendiri; suatu keadaan negatif dari keadaan yang seharusnya positiv; atau suatu keadaan yang bergerak diluar jalur ideal yang direncanakan.
Untuk memberi pegertian operasional dari kata ‘terpuruk’ dalam hubungannya dengan pelaksanaan sistem hukum kita di Indoneisia dalam tulisan ini, maka kita harus menghadapkan diri pada realitas awal kesejarahan dari sistem hukum yang kita gunakan dan realitas operasional dalam fenomena kekinian penegakan dari sistem tersebut.
Kita memahami bahwa Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Sistem hukum campuran ini dalam pengertian ia berfungsi sebagai Ius Constitutum atau hukum yang berlaku dan ia sebagai Ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan. Berlaku maksudnya memberikan akibat hukum pada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup masyarakat secara keseluruhan. Sistem hukum yang kita anut berjiwa Hukum Positif.
Dari sisi kesejarahan sistem hukum kita di Indonesia bermula dari masa kolonialisasi panjang sejak penjajahan bangsa belanda hingga bangsa jepang. Dari sejarah itu kita mengetahui, bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam peraturan perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga terdapat peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara jepang yang masih berlaku di Indonesia. Kita dapat meringkas sejarah sisitem hukum kita itu dari kekuasaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan Penjajahan balatentara Jepang.
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). VOC yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak uang. Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”. Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama “Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe Bataviase Statuten” (statute Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu sistem hukum sendiri dari orang-orang Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.
Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942. Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada zaman Hindia belanda adalah: 1) Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B). Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan lain yang juga diberlakukan antara lain: a) Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan. b) Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata (KUHS/KUHP). c) Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). d) Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata. Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belnda sejak tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23. 2) Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 3) Indische Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Janiari 1926.
Penjajahan Tentara Jepang. Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942 (Osamu Sirei) yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.
Setelah kita merdeka sebagai bangsa dan lepas dari kolonialisasi, maka sebagai dasar negara dibentuklah UUD 1945 yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar yang diberlakukan sampai sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 menurut Dekrit Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan politik hukum negaranya di dalam Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga negara yang mencantumkan politik hukumnya di luar Undang-Undang Dasar. Bagi Negara yang tidak mencantumkan politik hukumnya di Undang-Undang Dasar biasanya mencantumkan di dalam suatu bentuk ketentuan lain.
UUD 1945 tidak mencantumkan tentang politik hukum negara. Hal ini berbeda dengan UUDS 1950 yang mencantumkan politik hukumnya di dalam Pasal 102, yang berbunyi: “Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun militer, hukum acara perdata maupun hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dalam undang-undang dalam kitab hukum. Kecuali jika pengundang-undang menggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalm undang-undang sendiri”. Berdasarkan Pasal 102 UUDS 1950 arah politik hukum yang dikehendaki adalah membentuk suatu hukum tertulis yang dikodifikasi.
Tetapi sebagaimana diketahui dasar negara yang digunakan adalah UUD 1945, maka politik hukum yang tercantum di dalam Pasal 102 tersebut tidaklah berlaku. Oleh karena UUD 1945 tidak mengatur politik hukum maka didalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945 diatur bahwa “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undag Dasar ini”. Ketentuan Pasal II aturan peralihan ini bukan merupakan politik Hukum hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi untuk mengisi kekosongan hukum. Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan kekosongan hukum dapat diatasi, yang berarti bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku pada jaman penjajahan Belanda tetap berlaku selama belum adanya hukum yang baru. Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini disebut dengan asas konkordansi.
Oleh karena itu kita, kemudian dapat memahami bahwa sistem hukum kita adalah kelanjutan dari narasi sejarah ‘hukum’ kolonial tersebut. Kelanjutan dari semangat, bentuk dan model pelaksanaannya, meskipun kita juga membuat hukum berdasarkan kondisi obyektiv bangsa kita, namun secara sistemik dasar fundamentalnya adalah tetap hukum model eropa. Secara normatif Negara ita masih mengakui sistem hukum adat dan hukum agama (islam), namun hanya menjadi komplementer dari sistem utama hukum nasional kita.
Artinya pengaruh sistem hukum eropa yang di bawah bangsa penjajah belum terhapus jejaknya hingga sekarang dalam kehidupan hukum bangsa kita. Kaum kolonial memang telah meninggalkan secara pisik wilayah jajahannya, namun mereka tidak membawa pergi sebagian ‘semangat’ kehidupan mereka, khususnya semangat kehidupan bidang hukum. Dan semangat itulah yang mungkin sebagian orang dianggap sebagai ‘warisan istimewa’ bagi wilayah jajahan termasuk seperti kita di Indonesia ini, dari bangsa yang dianggap lebih dahulu maju peradabannya atau dianggap lebih tinggi kualitas budaya kehidupannya dari bangsa jajahan.
Menurut Hamdan Soelva, sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. Karena itu, tambahnya, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum.
Oleh karena itu kita bisa berkesimpulan bahwa corak sistem hukum yang kita warisi dari saman kolonial adalah hukum yang bersifat positivistik, sebagimana cetakan dasarnya dari Negara eropa. Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapun yang diluar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa fokus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Menurut hemat saya, disinilah awal ‘keterpurukan’ hukum kita, ketika hukum itu semata-mata dipandang sebagai produk dari suatu kekuasaan formal dan memisiahkan secara radikal antara prinsip-prnsip ideal dari moral dengan hukum yang diproduksi secara politis oleh otoritas kekuasaan Negara; saya ingin menyebut ini sebagai Keterpurukan Subtansial.
Keterpurukan subtansial terjadi karena kita mengabaikan sisi sejarah kebangsaan kita yang lain, bahwa bangsa Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang khas sebagai masyarakat bangsa timur yang memiliki corak nilai, sistem dan model kehidupannya sendiri sebelum kehidupan itu diporak-porandakan oleh kolonialisme. Kita sebagai Negara tidak terlalu mempertimbangkan fakta sejarah kehidupan kebangsaan kita sebelum datangnya para bangsa penjajah dari eropa dalam memutuskan sistem hukum apa yang akan kita gunakan setelah tokoh-tokoh pendiri bangsa ini berkonsensus secara politis untuk mendirikan sebuah Negara. Lalu kemudian kita bersepakat untuk menggunakan model hukum eropa untuk mengatur kehidupan masyarakat nusantara, yang dalam ragam karakteristik kehidupannya sangat jauh berbeda dengan masyarakat eropa.
Artinya pilihan akan sistem hukum kita yang berlaku saat ini, dalam prakteknya, menimbulkan gab atau jarak yang lebar dengan karaktristik dan jiwa khas masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang memiliki histori pangjang tradisionalitasnya. Tradisional yang saya maksud bukanlah suatu masyarakat yang secara sepihak dicap sebagai masyarakat terkebelakang, tidak maju dalam segala bidang (jika diukur dari masyarakat modern), tidak memiliki paradigma dan semacamnya, dan selalu dipandang subordinat oleh masyarakat maupun ilmuan yang berfikir modern. Tradisional yang saya maksud adalah masyarakat yang secara paradimatik memiliki niali-nilai khas dan sisitem serta model sendiri dalam mengatur atau menjalani kehidupannya sebagai masyarakat manusia. Tradisi jika jika dimahami dia bermakna Ikatan Ke Surga. Sehinga kehidupan masyarakat sangat didominasi nilai-nilai keabadian dan kesejatian yang terdapat dalam keagamaan, etika dan moralitas. Di Indonesia kita banyak menemukan kehidupan tradisional yang jika dikaji secara obyektif dan mendalam sistem kehidupannya, kita akan menemuan suatu sistem nilai, model dan tatanan kehidupan yang dapat ‘diduplikasi’ dengan secara proporsional menyesuaikannya dengan anasir-anasir dari perubahan-perubahan nyata yang terjadi dalam kehidupan kekinian masyarakat.
Yang sangat fundamental dalam Masyarakat tradisional adalah konsep keseimbangan / equilibrium; keseimbangannya terjadi karena mereka tidak memisahkan antara yang ideal dan realitas dalam seluruh tatanan kehidupan manusia; nilai-nilai religius, moralitas dan etika menjadi sandaran utama masyarakat dalam menjalankan kehidupannya; seluruh sistem, model dan formal-formal tata kehidupan mereka dibangun dalam rangka untuk menciptakan keseimbanangan tersebut. Dan terwujudnya keadilan tentu saja akan mewujudkan keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Namun kenyataannya sistem hukum yang kita anut mengambil jarak yang jauh dari karakteristik masyarakat asli Indonesia dan kita telah banyak menyaksikan dampaknya secara nyata dalam kehidupan masyarakat kita baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun dalam rentang waktu formalnya 65 tahun kita telah memperaktekkkan sistem hukum ‘eropa’ dan secara perlahan mengedukasi masyarakat kita secara langsung, namun dalam banyak hal kelihatannya sistem hukum positiv kita telah ‘gagal’ mencapai tujuan idealnya. Pada kenyataannya banyaknya perkara hukum terjadi dikarenakan masyarakat ‘tidak tahu’ hukum, ini karena hukum semata-mata sebagai ‘undang-undang tertulis’ negara diamana masyarakat secara keseluruhan tidak bisa menjangkau isi atau informasi ‘undang-undang’ yang dibuat seragam untuk mereka itu. Hukum bukan sebagai sesuatu yang ada dan hidup ditengah-tengah masyarakat, mereka tidak pernah merasakan hukum kecuali saat terjadi sengketa dan masuk dalam proses peradilan. Inilah jarak yang lebar antara sifat sistem hukum kita dengan sifat dan karakteristik masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Jadi keterpurukan subtansial adalah jauhnya jarak ‘moril’ antara suatu masyarakat dengan sistem hukum yang digunakan oleh Negara untuk mengatur masyarakat tersebut. Jarak ‘moril’ ini adalah perbedaan nilai, motiv, orientasi atau kecenderungan antara masyarakat dengan nilai, motiv, orientasi atau kecenderungan sistem hukum tersebut.
Selain keterpurukan subtansial, penegakan sistem hukum kita juga mengalami Keterpurukan Pragmatis. Keterpurukan pragmatis yang dimaksud adalah situasi aktual yang menggambarkan kegagalan proses sistem hukum dalam mewujudkan tujuan idealnya. Ruang lingkup keterpurukan pragmatis ini adalah proses dari pelakasanaan sistem hukum itu sendiri. Dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya keterpurukan pargmatis dari sistem hukum kita, baik pengaruh itu dari sisi internal mapun dari sisi ekternal.
Seperti yang kita ketahui secara teoritis bahwa elemen sistem hukum terdiri atas bebeberapa unsur pokok yakni: struktur, subtansi dan budaya hukum. Ini teorinya Lawrence M Friedman, dia menyebut “Three Elements of Legal System” bahwa terdapat tiga elemen untuk menguraikan hukum sebagai suatu sistem, yaitu: structure, substance dan legal culture. Yang dimaksud dengan structure (struktur hukum) adalah menyangkut setiap institusi yang berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang hak legislasi sampai dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan yang melalui masing-masing kedudukan dan kewenangannya, berperan sebagai agent for legal change. Kemudian, substance (substansi hukum), yaitu : setiap materi atau bentuk dari peraturan perundang-undangan yang mampu menjaga persatuan bangsa, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghidupkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat luas. Sebuah peraturan hukum harus dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai suatu kebutuhan bersama, bukan sebagai sesuatu yang dipaksakan. Sedangkan legal culture atau budaya hukum adalah sikap-tindak setiap orang terhadap hukum dan sistem hukum yang menyangkut kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide dan harapan bagi orang tersebut.
Sistem hukum kita pada prakteknya merupakan ‘penjelmaan’ dari teori Lawrence M Friedman tersebut. Dan Keterpurukan Fragmatis yang saya maksud berkaitan langsung dengan ketiga unsur sistem hukum yang kita anut (Struktur, subtansi dan kultur hukum) dalam konteks pelaksanaannya.
Sejak orde baru hingga orde reformasi, kita senantiasa berhadapan ‘sinisme’ pandangan masyarakat terhadap penegakan hukum nasional kita. Mungkin hanya segelintir saja yang bisa kita dengarkan nada optimismenya. Saman orde baru misalnya, eksistensi hukum berada dalam cengkaraman politik kekuasaan, sehingga keberadaan hukum dalam proses penegakan sistemnya menjadi ‘melemah’ akibat intervensi politik. Hukum menjadi lumpuh jika berhadapan dengan unsur kekuasaan, bahkan hukum telah sedemikina rupa dijadikan sebagai alat untuk status quo dari kekuasaan.
Gerakan reformasi tahun 1998, yang kemudian menumbangkan Suharto sebagai penguasa orde baru, sempat memunculkan harapan akan terwujudnya kondisi yang lebih baik di negeri ini, termasuk dalam penegakan hukum. Namun harapan itu tetap menjadi harapan yang menggantung dan tinggal hanya sebagai harapan. Tahun 2010, kelihatannya menjadi ‘klimaks’ keterpurukan hukum kita sepanjang sejarah republik ini. Kemunculan perkara-perkara yang bernuansa kolusi, korupsi dan nepotisme telah mencoreng buram wajah proses penegakan hukum di Indonesia, khusunya mencuatnya mega skandal bank century, terbongkarnya penyuapan jaksa urip dalam kasus artalita, terkuaknya pengemplang pajak paling heboh kasus gayus tambunan yang menyeret banyak elit penegak hukum temasuk komisaris jenderal susno duadji. Banyaknya penegak hukum yang terlibat dalam Kasus-kasus dan skandal-skandal hukum tersebut, mulai dari jaksa, hakim, polisi dan advokat, membuat publik terperangah dalam ‘ketidakmengertian’ yang kemudian menimbulkan dampak ketidakpercayaan publik pada mekanisme dan sistem hukum.
Jika dicermati secara seksama dari kasus-kasus hukum besar yang terjadi sepanjang orde reformasi, khususnya 5 tahun belakangan ini, keterpurukan pragmatis penegakan sistem hukum kita di sebabkan oleh hala-hal yang ada di ‘luar’ hukum. Anasir-anasir luar hukum yang dimaksud adalah kepentingan non ideal dari tujuan hukum itu sendiri; kepentingan ini bisa dibawa oleh institusi kepertaian, personalitas yang memiliki power kekuasan formal, para konglomerat dalam lingkungan bisnis, dan orang-orang ‘biasa’ yang tanpa sadar terlibat dalam jejaring yang bersifat konspratif. Dan kalau disimpulkan, kepentingan yang dimaksud itu adalah kepentingan yang bersifat politis dan kepentingan ekonomi.
Banyak pihak yang kecewa, khusunya kepada pemegang amanat pemerintahan tertinggi republik ini, dimana masyrakat telah mempercayakan penegakan keadilan dipundaknya, masyarakat memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap penuntasan kasus-kasus hukum yang berberdamak kerugian besar dalam kehidupan mereka khusunya bagi masyarakat kecil. Seperti ungkapan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Saparringa, bahwa penegakan hukum di Indonesia selama 2010 masih tak bertaring. "Seperti kaki seribu, mukanya seram tapi tidak bisa mengigit, gerbongnya panjang tapi tidak sampai tujuan, kakinya banyak tapi pelan jalannya,". Menurutnya, penegakan hukum saat ini masih sebatas pewacanaan di ruang publik yang indah. "Ketika dihadapkan pada case, dia tidak berjalan lurus tapi kadang berputar-putar. Meskipun wajahnya menakutkan tapi tidak menyengat." Bahwa "Pewacanaan publik tentang korupsi, sangat indah, canggih, dan maju. Kita menemukan perbendaharaan baru tentang korupsi. Pada proses institusinya maju, kita punya KY, Kompolnas. Tetapi, pada tingkat action, menjadikannya sebagai movement, kita punya masalah besar," pungkasnya.
Tanggapan yang kurang lebi sama diungkapkan Laode Ida, pada tahun 2010 ini pemerintah tidak memiliki prestasi dalam penegakan hukum. “Saya nilai tahun 2010 ini merupakan catatan hitam unuk periode pemerintahan SBY,”. Menurut Laode, pada masa saat ini penegakan hukum di Indonesia tidak lebih baik dari masa-masa sebelumnya. “Tahun 2010 boleh dikatakan tidak ada prestasi dibidang hukum,” ucapnya. Menurutnya SBY sebagai pimpinan negara bisa bersikap tegas terhadap pondasi-pondasi penegakan hukum. Namun, bila seperti ini terus Laode pesimis penegakan hukum bisa ada perubahan. “Sudah bisa dipastikan pada tahun 2011 bahkan sampai 2014 tidak akan ada perubahan. Itu prediksi saya,” ucapnya.
Amburadulnya penegakan hukum kita selama ini, jika dilihat dari indikator-indikator kultur penegakan hukum, kita dapat menyebut bahwa Keterpurukan Pragmatis lebih dominan disebabkan karena jebolnya metalitas aparat penegak hukum kita oleh desakan kepentingan non hukum yang berseliweran disekitarnya. Hakim, jaksa, polsi dan advokat tidak mampu menahan hasrat ‘hedonismenya’ akan kemewahan bendawi/duniawi dalam menjalankan fungsi profesinya dalam proses penegakan hukum. Sehingga mereka mudah terjerembab masuk dalam kubangan ‘konpirasi’ yang pada gilirannya akan meruntuhkan wibawah pribadi, institusi dan juga martabat bangsa. Pagar moral dari etika profesi maupun tanggugjawab yuridis yang seharusnya mereka pegang teguh menjadi buyar akibat iming-iming beragam kepentingan yang bukan merupakan kepentingan subtansial dari sistem hukum yang mereka jalankan.
Manusia sebagai pelaksana sistem, dalam konteks ini adalah Penegak Hukum merupakan sumber utama penyebab keterpurukan sistem hukum kita secara pragmatis. Kita menyadari Sistem Hukum bersifat ‘absrtrak’ dan tidak dapat bekerja secara otomatis layaknya sebuah tehnology mekanis, sebab bentuknya berupa ideal hukum yang ter-teks-tualisasi dalam suatu produk perundang-undangan. Manusia sebagai pelaksana sistem itulah yang memiliki peranan fungsional yang menjadi penjamin terwujudnya capaian atau tujuan-tujuan ideal dari sistem tersebut. Maslahnya adalah ketika individu-individu pelaksana sistem itu tidak lagi menjadi bagian terintegrasi secara moril dan mentaliti terhadap keseluruhan harapan sistem, maka ini akan menjadi pangkal terajadi inkonsistensi dan distorsi tujuan-tujuan subtansial dari sisitem, dalam hal ini sistem hokum nasional kita.
Prof. Sajipto Raharjo seringkali mengingatkan kita bahwa Sudah seharusnya hukum itu dibicarakan dalam konteks manusia. Membicarakan hukum yang hanya berkutat pada teks dan peraturan, bukanlah membicarakan hukum secara benar dan utuh, tetapi hanya ”mayat” hukum. Sosok hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia. Hukum formal adalah hukumnya para profesional hukum. Yang mereka bicarakan adalah ide yang sudah direduksi menjadi teks. Di tangan mereka hukum ”bisa” ditekuk-tekuk untuk keperluan profesi. Itulah barangkali yang membuat William Shakespeare begitu berang terhadap para yuris sehingga ingin menghabisi mereka semua.
Menurutnya, membangun hukum Indonesia dimulai dari manusianya. Maka kita tidak usah terlalu sibuk memproduksi undang-undang, membangun orde hukum, sistem hukum, struktur hukum, dan sebagainya. Seperti pada, periode kepresidenan Habibie membanggakan karena mampu mengeluarkan puluhan produk undang-undang. Namun, usaha itu tidak berbanding lurus dengan ketertiban di masyarakat. Undang-undang menumpuk, tetapi persoalan tidak kunjung terselesaikan dengan baik, bahkan kian terpuruk. Hukum lebih merupakan potret dari perilaku kita sendiri. Dan tentang penegakan hukum (enforcement) kita harus bicara tentang perilaku santun dan tertib lebih dulu. Jika kita menyadari hal-hal itu, siasat untuk bangun dari keterpurukan hukum menjadi berubah amat besar. Bukan (tatanan) hukum yang dikutak-katik, tetapi lebih dulu menggarap (perilaku) manusia Indonesia. Kita membutuhkan cara-cara progresif untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan itu. Cara itu adalah dengan mereparasi perilaku buruk manusia Indonesia. Manusia Indonesia perlu diobati lebih dulu dari aneka penyakit mentalitas menerabas, tidak menghargai mutu, ingin cepat berhasil tanpa usaha, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, dan lain-lain. Langkah teraputik inilah yang ditransformasikan menjadi pendidikan hukum substansial, sebelum masuk ke pernak-pernik perundang-undangan, prosedur, sistem dan sebagainya.
Oleh karena itu dalam tulisan ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa keterpurukan hukum nasional kita semenjak masa kemerdekaan hingga kini adalah nestapa panjang dari proses kebangsaan dan kenegaraan kita menuju cita-cita idealnya.
Ketrpurukan itu dapat klasifkasi dalam dua kategori utama yakni Keterpurukan Subtansial dan Keterpurukan Pragmatis. Keterpurukan subtansial adalah kondisi atau situasi dimana jarak moril antara sistem hukum yang kita anut secara formal berseberangan dengan kesadaran subtansial atau karakteristik dari masyarakat nusantara yang sebenarnya ‘bersifat’ tradisional, sementara hukum nasional kita mengandung sifat modern. Sementara pembangunan hukum nasional kita dalam segala hal tidak terkelola secara sistematik dan pradigmatik sehingga tetap saja ketimpangan antara ‘kesadaran tradisional’ dan ‘kesadaran modern’ tidak terjembatani secara massif, dan menyisahkan ‘celah’ besar bagi terjadinya keterpurukan hukum secara subtansial.
Sementara keterpurukan pragmatis, terjadi ‘dalam’ sistem hukum nasional itu sendiri, khusunya dalam hal penegakan sistemnya. Pelaksana sistem menjadi sebab utama terjadinya keterpurukan ini, akibat godaan kepentingan lain diluar kepentingan hukum itu sendiri, seperti kepentingan politik dan kepentingan ekonomi. Moralitas dan mentalitas dari para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim dan advokat, mejadi variabel utama terjadinya ‘kebocoran sistem’ hukum kita. Oleh karena itu pembangunan mentalitas dan moralitas secara personaliti penting menjadi agenda utama bagai semua penegak hukum agar mereka bisa menjadi penjamin bagi kelangsungan kerja ideal dan pencapian tujuan-tujuan subtansial dari sisitem hukum nasional kita.
Kita mungkin sudah jengah dan letih menyaksikan corang moreng wajah penegakan sistem hukum di republik ini, dan sudah saatnya kita sebagai bangsa dan Negara ‘mengakhiri’ kinerja buruk dari sistem hukum yang seharusnya berfungsi dan bekerja dalam jalur-jalur idealnya.
Sumber Bacaan:
1. Diktat Pengantar Hukum Indonesia (Sejarah Hukum), anonym.
2. Laporan Akhir Tahun; Penegakan Hukum Yang Tersandera Politik, Harian Kompas, Edisi Senin 20 desember 2010
3. Wajah Hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, http://www.antikorupsi.org
4. http://www.indowebster.web.id/archive/index.php?t-21732.html
5. http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/02/20/hukum-dan-politik-dalam-sistem-hukum-indonesia/
6. http://hajsmy.wordpress.com/2010/09/15/keterpurukan-hukum/
7. http://www.waspada.co.id/index.php/images/flash/motorsport/motogp/racer_bio/index.php?option=com_content&view=article&id=163251:penegakan-hukum-2010-memble&catid=77:fokusutama&Itemid=131
8. http://www.bangkapos.com/2010/12/15/laode-penegakan-hukum-catatan-hitam-untuk-sby-di-2010/
Label: Dunia Hukum