KENANGAN YANG HINGGAP HINGGA JAUH (Inmemoriam Prof. Dr. Muhammad Ashri, SH.,MH)
Jumat, saat hari belum memasuki siang, HP ditangan bergetar, sebuah sort masege masuk: Winner bro.. Belum sempat terbalas, HP sekali lagi bergetar, sebuah telepon.. Bro sudah dengar kabar.. Prof Ashri meninggal... . Tidak banyak perbincangan, hanya saling berjanji untuk niat melayat dan mengantar jenazah.
Sepanjang waktu singkat itu, terbayang pribadi yang dengan kapasitas keilmuannya telah mengantarkan kami berdiri di podium bergensi ujian promosi doktoral di Fakultas Hukum Unhas, medio Agustus 2019.
Kabarnya beliau akan dimakamkan bakda sholat jumat, kata Dr. Winner Siregar, SH., MH. Kami berharap bisa melayat langsung di rumah duka, lalu mengatarkan beliau di rest area terakhir yang damai. Namun apa daya, ‘semesta’ berkendak lain: kami tiba dirumah duka yang sudah sunyi, hanya puluhan ucapan duka berbingkai bunga warna warni berjajar rapi, memberi saksi kepergian jenazah Prof. Dr. Muhammad Ashri, SH., MH, sesaat lalu.
Kursi-kursi tamu berseliweran tak rapi, diam membisu. Kami memasuki halaman rumah, yang pagar besi kuning kusam, sangat akrab rasanya, menyapa dengan kenangan, saat kami sering mengunjungi rumah itu untuk konsultasi menimbah ilmu dari almarhum. Mendekat di pintu, terdengar perbincangan dengan nada suara penuh duka. Kami hanya bertanya perlahan, kemana jenazah di makamkan?
Kami angkatan 2015 Program S3 di FH Unhas. Kebersaman dengan beliau di ruang kuliah terasa berbeda (menurut saya pribadi), kesan sosok pribadi sederhana dan penuh sahaja, terasa padu dengan Materi HAM yang diampuhnya dengan pola pengajaran melalui pendekatan filosofis. Kesan yang begitu akademik. Pengajarannya mengenai HAM dari sisi paradigma, sejarah dan konteks empiris, meresap dalam logika yang mudah dicerna namun membawa kedalaman makna yang memenuhi 'kantong-kantong' pengetahuan mahasiswa yang ‘penasaran’.
Segumpal rasa ‘bersalah’ menerpah kami, karena tidak sempat masuk dalam rombongan yang menghantar jenazah beliau menuju bumi pemakaman. Selang waktu dua jam membuat kami hanya dapat menyusul dan mengunjungi pusara beliau yang baru saja ditinggalkan seluruh keluarga, tetangga, sahabat, kolega dan mitra, usai penguburan dan doa talkin, yang dibaca khusus buat beliau.
Setelah perjalanan berkelok-kelok di sepanjang tepi jalan tol, kami memasuki area makam yang bagai taman tertata. Rumput hijau yang membentang, pohon kemboja yang masih remaja dan sederet pusara putih bagai rumah-rumah mungil yang tenang tanpa suara, seolah memberi isyarat bahwa penghuninya sedang ‘tidur pulas’ bagai bayi. Langkah kami makin mendekat dari makam yang tanahnya masih basah dalam gundukan berwarna coklat. Masih dinaungi tenda untuk menahan terjangan hujan.
Terbayang sesaat kekita: suatu waktu beliau merangkul pundak saya dengan lengan kanannya yang ‘ringan’, ketika usai saya sodorkan SK sebagai Promotor pertama untuk penelitian desertasi yang saya usulkan. Dengan lengannya masih di pundak, beliau berujar “promotor dan mahasiswa bimbigannya itu seperti keluarga, ibarat ayah dan anak. Setiap ada masalah, kesulitan disampaikan”.
Hari itu wajah beliau nampak berseri dalam ketenangannya, karena sedang menanti hari bahagia anak beliau yang akan segera naik pelaminan. Saat saya temuai, beliau sedang mengedarkan undangan pernikahan anaknya, di ruang akademik.
Tepat berhadapan pusara yang masih berpola papan, kami berdiri layaknya patung. Tidak ada kata-kata, hening, angin juga berhembus lirih, membuat dedaunan pohon kamboja bergerak lemah. Hanya hati yang berguman, seolah sedang menyampaikan salam, bagi jiwa yang tengah semayam dialam barzah. Secara bergantian kami membaca doa buat beliau. Selebihnya susana ketidakmengertian yang terbawa serta bersama suasana kematian seperti ini. Hidup dan mati batasnya begitu tipis. Ketidakmengertian itulah demarkasinya.
Usai berdoa, hajat terasa sudah terpenuhi. Namun kenangan akademik masa proses bimbingan disertasi bersama beliau, datang satu persatu menyapa memori kenangan.
Dalam waktu-waktu tertentu kami sering diajak bertemu di rumah beliau, untuk konsultasi atau untuk urusan administrasi. Suatu ketika kami berkunjung ramai-ramai, dan semua mengajukan masalahnya meskipun bukan mahasiswa bimbingan beliau langsung, beliau begitu terbuka memberikan masukan dan solusi, bahkan beliau merelakan macam-macam bukunya dipinjam untuk menangani problem teoritik yang di hadapi dalam penelitian kami, yang datang bergerombol itu.
Dikali lain, saat giliran beliau yang harus masuk mengisi kuliah. Siang yang agak terik, setelah berlalu sholat dhuhur, sebagian besar rekan sudah duduk dengan manis di kursi masing-masing. Saya yang agak belakangan masuk, melihat sang Professor sedang duduk di kursi besi yang memanjang di sisi luar tembok ruangan, sendirian. Berbaju wana abu-abu, lengan panjang, tergulung menghampiri siku. Meletakkan lembar kertas dalam map transparan, berisi materi yang hari itu akan disampaikan, menyilangkan kaki, duduknya begitu kokoh dengan ketenangan yang khas milik beliau. Sebatang rokok yang terjepit dijemarinya, menambah nuansa ketengannya yang dalam. Sepertinya beliau sedang menunggu seluruh mahasiswanya masuk dan agar juga menemukan suasana tenangnya dalam ruangan, baru beliau masuk dan memulai pengajarannya.
Namun peristiwa itu tidak biasa bagi saya. Ketika saya mengamatinya dari kejauhan, dan setelah melintas di hadapan beliau saat itu. Saya melihat gambar artistik: Beliau bagai seekor burung berbulu abu-abu, memisahkan diri dari kawanan, menepih sendirian di hamparan jalanan ilmu, menggamit hikmah pengetahuan dalam kesendirian yang penuh sahaja. Lalu terbang mengepakkan sayap lembutnya ke langit yang merona biru. Renungnya yang sublim, membuat beliau unik. Keunikannya membuatnya berbeda dari yang lain. Keunikan itu adalah ‘kesendiriannya’. Sebagai seekor burung yang terpisah dari kawanannya, beliau mengambil jalannya sendiri sebagai fisosof.
Selamat jalan Professor, guru kami, pembimbing kami dan “ayahanda” kami. Ilmu yang ditinggalkan akan menjelma kepak sayapmu yang abadi dalam amal jariah. Dan menjadi sumber bahagia dalam surga mungil dimana engkau saat ini bersemayam.
Alfatihah untuk rohani beliau selamanya... Aaamiin Allahumma amin.
SM. Jumat, 18 Maret 2023
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda