Oleh : Syafruddin Muhtamar
Aku adalah penggal abad yang mengganti urat darah dengan kabel-kabel, dialiri keraguan dan kegamangan. Aku tak mengenal diriku sendiri, sebab aku telah dimesinkan mantra-mantra filsafat yang diramu dari daun-daun kering keraguan. (1)
Sejarah manusia modern adalah narasi tentang tehnologi.
Episodenya berlarian membawa ketakjuban-ketakjuban pada setiap fase kehidupan
yang dilewati. Sebutlah cerita keberadaan komputer awal abad 19 di Amerika, ketika
kotak pandora dunia tehnologi tinggi ini terbuka, dunia disentakkan semangat
‘eureka’. Hanya dalam deret dekade memasuki melenium kedua, dunia telah
disatukan jaring laba-laba internet. Inilah keajaiban tehnologi komputer.
Komputer, internet dan dunia maya, kini menjadi basis realitas baru peradaban
manusia.
Saat ini kita tengah berada dipuncak suatu revolusi paling
mempesona abad mutakhir; revolusi high
tech; bergerak dari tehnologi ‘hard tech’ dunia manufaktur untuk kemudian
memuncak pada ‘soft tech’ dunia digitalisasi. Manusia tiada henti berinovasi,
menemukan dan mencari. Kehidupan adalah tantangan dan akal selalu bersedia
memberi jawaban. Seolah inilah takdir masyarakat modern mencari kebahagian:
berputar dalam siklus antara tantangan dan tanggapan, alam menantang dan akal
menanggapi. Seluruh kesulitan natural diselesaikan dengan tehnologi. Dan
peradaban hari ini adalah produk khas dari tehnologi modern dalam segala
pengertiannya.
Revolusi tehnologi adalah cerita tentang kekuatan akal dan
imajinasi manusia menghadapi hidup. Dan tampaknya dari sisi pengertian ini:
peradaban manusia dibangun berdasarkan kehendak akal dan hasrat imaji
menentukan masa depan. Tantangan–tantangan tehnis realitas adalah alasan
rasional eksistensi dan karenanya tehnologi disajikan. Manusia sadar diri atas
kelemahan fisiknya secara mendasar, namun anugerah akal yang luar biasa,
kesulitan natural itu diatasi dengan produk-produk rasio dalam wujud tehnologi.
Juga disinilah akar moderniasi, rasionalisme, hingga kebatas tertentu,
kemudian, akal itu dipuja bagai dewa dewi kayangan yang setiap saat mengulurkan
tangan pertolongnnya.
Abad modern adalah realitas dimana seluruh problem kehidupan
manusia dihampir semua bidang ditangani secara tehnologis, dari yang sederhana
sampai yang kompleks, dari yang individual hingga organisasi, dari bersifat
kemanusiaan hingga industri. Dan sejatinya dunia industrilah yang merupakan
entitias pengguna tehnologi paling masif kemudian menyebar menjadi contoh bagi
lini kehidupan masyarakat lainnya. Tehnologi terus tumbuh dan berkembang secara
revolutif karena janji-janji yang dibawanya sungguh-sungguh realistis bagi
kehidupan pragmatis manusia melalui jalur lintas industri. Disinilah wajah
tehnologi mempesona, keberadaannya dapat memanjakan manusia dalam menemukan
mimpi dan harapan, karena nilai utamanya adalah kemudahan hidup, sebuah
kemudahan yang dapat membuat manusia berjaya secara material.
Tetapi manusia modern jarang menyadari bencana yang mengintip
dibalik wajah manis tehnologi modern melalui janji-janji manja yang
menyertainya. Dibalik segala kemewahan dan prestise tehnologi, sesunggunya
menyisahkan suatu dilema pelik tak berkesudahkan. Yakni ketika rasa mabuk
terhadap tehnologi tidak lagi dapat dihentikan oleh masyarkat manusia. Dalam
posisi seperti ini, tehnologi mengambil bagian dari nature kita sebagai manusia, seolah keberadaannya telah juga
bersifat alamiah, dan tanpa keheadirannya berarti penyiksaan berujung kematian.
Mungkin sejenis penyakit tehnofila ataupun tehnophopia, sebagaimana yang
dikhawatirkan Jhon Naisbit. Suatu penyakit yang secara halus merasuk dalam jiwa
kering manusia modern karena telah didangkalkan semangat tehnologisasi.
Terjebak dalam labirin kenikmatan gemerlap tehnologi tiada ujung, sembari sisi
jiwa terdalam terus mendengungkan pertanyaan tentang hakikat kehidupan, hakikat
masa depan hingga juga mulai kembali meragukan dirinya sendiri, mempertanyakan
hakikat kesejatian eksistensialnya sebagai manusia, baik sebagai pribadi mapun
masyarakat.
Tehnologi secara fungsional tidak ada masalah karena menopang
kemanfaatan dan kegunaan bagi kehidupan. Yang soal adalah implikasi dari
pemanfaatan dan penggunaan tersebut yang tanpa disadari berpotensi besar
merusak eksistensi dasar manusia. Karena tehnologi secara esensial hanyalah
berkenaan dengan dunai materi manusia, sementara dunia rohani sebagai unsur
dasar manusia tetaplah harus dikokohkan oleh nilai-nilai yang bukan merupakan
reduksi dari dunia sains dan tehnologi modern. Agama dan kearifan tradisi
adalah dua hal yang berkenaan jagad batin manusia, dieliminir secara radikal
oleh peradaban modern yang ditopang revolusi tehnologi tiada henti dan sains
modern yang merajai.
Ditengah makin terpuruknya jiwa manusia dalam selubung tehnologi
modern, maka penting meninjau ulang cara kita berhubungan dengan tehnologi,
cara kita mencintai dan menyayangi aneka ragam asesoris tehnologis yang
mendampingi kita sejak bangun tidur hinga tidur kembali,cara kita
memperlakukannya dan cara kita memandangnya. Kalau selama ini kita telah
dimodernisasi secara sempurna, namun hasilnya justru menimbulkan kerisauan eksistensial
baik intelektual maupun religi, maka saatnya melakukan reorientasi visi maupun
misi masa depan peradaban modern ini, kalau awalnya berakar pada semangat
modernisasi, saatnya peran itu diambil alih oleh gerakan tradisionalisasi
ataupun spiritualisasi atas struktur peradaban yang bercorak dan berbau modern.
Trandisionalisasi atau spritaulisasi bukan bermakna anti modern, tetapi ingin
menyeimbangkan kepincangan modernisme yang titik beratnya hanya pada sisi
meterialisme, dengan melakukan pemberatan pada sisi kearifan tradisi dan nilai
agama atau religi, sehingga peradaban manusia kembali ketitik equilibriumnya.
Makassar, 4 Oktober 2018.