Jumat, 08 Desember 2017

MENGEMBALIKAN PUISI KE PANGKUAN TRADISI



oleh: Syafruddin Muhtamar

 
Ada banyak kalangan yang meresahkan dunia sastra, sejak lama hingga belakangan ini, ditanah air. Terutama mereka yang bergelut langsung dengan dunia tersebut; para sastrawan, penyair ataupun penulis. Juga termasuk orang-orang kampus yang berada dalam lingkup pendidikan sastra dan kebudayaan pada umumnya.
Mungkin jika dibuat list, akan panjang jumlah keresahan itu dalam daftar. Tetapi jika dipetakan, keresahan itu bisa nampak dalam beberapa hal, misalnya tentang problem menumbuhkembangkan minat sastra bagi generasi muda, kecilnya porsi pelajaran sastra disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Secara internal, tersumbatnya saluran regenerasi bagi pemula menembus ‘singgasana’ sebagai sastrawan; generasi tua terlalu nikmat menduduki singasana kemapanannya hingga lupa membentang kabel transmisi bagi generasi dibelakangnya. Sisi lain problem komunikasi karya, yang memunculkan sosok baru bernama ‘sastra selfi’, dimana karya-karya itu menemukan ruang asyiknya sendiri di dunia cyber.
Akhirnya karena problem-problem itu, dunia sastra jadi melempem, mengkerut dan mungkin saja suatu saat, masyarakat akan kehilangannya. Namun keresahan banyak kalangan ini, juga adalah bukti bahwa sastra secara fitrawi selalu di rindu, terutama ketika ia mengalami nasib tragis karena sempitnya ruang nafas untuknya. Para sastrawan, ahli-ahli, publik yang bersimpati dan juga para penikmat sastra, para pengagung sasta sesungguhnya juga ada banyak ide untuk keluar dari ruang sesak dunia sastra saat ini, agar dunia itu kembali menemukan keudukannya yang layak dalam kehidupan masyarakat manusia, masyarakat nusantara, sebagai pembentuk peradaban.
Namun jika dicermati secara seksama, hampir ide-ide solutif itu juga menenumi jalan buntu. Ide brillian itu gugur satu persatu membentur tembok. Dunia sastra tetap saja diratapi hingga kini. Mengapa dunia sastra masih tetap saja berada dititik nadir ditengah dunia yang sedemikian cerdas, makin sejahtera, mandiri dan makin maju dewasa ini? Kemungkinan besar jawabnya adalah, karena peradaban kini adalah peradaban yang mengutamakan watak kebendaan.
Melawan Arus Besar Modernisme
Kemajuan kehidupan manusia mutakhir adalah kemajuan yang ditopang dengan sains ilmiah dan tehnologi yang terderivasi darinya. Sebagai negara yang baru berusia belum seabad dari kelahirannya di tahun 1945, juga tidak akan pernah sanggup mengangkat derajat dunia sastra ke taraf yang dihehendaki oleh pikiran-pikiran para penggiat, penggelut dan penikmat sastra itu. Kehadiran negara juga bagian dari gelombang modernisme, yang pada subtansinya sudah membajak peran-peran institusi kebangsaan, dimana dunia sastra sudah menjadi ‘pemain utama’ di dalamnya.
Jika dibayangkan, sebenarnya kemajuan tehnologi, kamakmuran dan keamanan relatif yang kita nikmati sekarang ini, dunia sastra seharusnya tidak seperihatin ini. Seharusnya ada banyak kemudahan bagi terwujudnya komunikasi karya-karya sastra anak-anak negeri ini. Keberadaan penerbit dari yang media cetak hingga elektronik, seharunya tidak lagi menjadi ‘penghalang’ bagi tumbuh suburnya dunia sastra tanah air.
Kemajuan dan pesatnya pertumbuhan orang-orang terdidik juga seharusnya tidak jadi ‘penghalang’ bagi terciptanya saluran regenerasi sistematik sastrawan dari segi kualitas dan kuantitasnya. Demikian pula makin matangnya implemenasi demokrasi politik kenegaraan kita seharusnya juga tidak menjadi ‘penghalang’ bagi bidang sastra untuk masuk dalam kerangka perencanaan pembangunan nasional pemerintah, baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Termasuk dalam hal ini, makin cerdasnya publik akan hak-hak konstitusinya dan keberbangsaanya, sehurusnya juga menjadi jalan mulus bagi tersalurnya aspirasi dunia sastra secara keseluruhan.
Namun pada keyataannya kemajuan modernitas dari kehidupan masyarakat negara ini tidak tidak mengikutkan kemajuan dunia sastra di dalamnya. Malahan menjadi yang tersisi di tengah gemuruh gemerlapnya kemajuan materi yang dirasakan masyarakat. Menjadi dunia asing bagi sebagian besar penduduk bumi nusantara, bahkan mungkin tidak mengenali wajahnya sepotongpun.
Inilah keprihatinan yang sungguhnya, ketika modernisme berkencerungan pada ‘pembunuhan’ dunia non material. Dunia sastra adalah dunia spriritual, dunia imaji dan semangat moral dan etis, dan nilai-nilai religius. Sementara jika ditilik secara kritis, akar dari bangunan modernisme adalah penentangan mati-matian atas tradisionalisme. Modernisme ingin menyingkirkan dunia tradisional karena dianggap menghalagi kemajuan manusia, karena sifatnya yang terlalu berbau ‘eskatologis’, beraroma akhirat yang ‘tidak masuk akal’.
Maka renaisance sebagai rahim kelahiran modernisme, juga bermakna, bahwa kehadiran modernisme telah secara nyata meneggelamkan ‘yang sakral’ dan hanya mau menerima ‘yang profan’, demi kamajuan material peradaban itu. Maka apa yang kita saksikan sepanjang sejarah modernisme hingga kini, adalah kenestapaan bagi dunia spritual, kemandekan dunia moral dan kejumudan semesta imajinasi manusia.
Dunia non material (dunia sastra termasuk tidak terkecuali dunia agama) hanya dimungkinkan bergabung dalam arus kuat modernisme jika dapat mengikuti jalur gelombang besarnya yaitu, kapitalisasi dan/atau industrialisasi. Pandangan dunia moderen adalah bahwa segala sesuatunya adalah komoditas. Seluruh potensi manusia dan kehidupannya haruslah memiliki daya jual sehigga dapat diberdayakan.
Jadi sastra yang berdaya dalam pengertian peradaban  modern adalah yang ‘laku dipasaran’. Pasar telah menjadi majikan sakral dalam putaran roda kehidupan masyarakat moderen. Pasar adalah tolak ukur eksistensi sesuatu. Oleh karena itu segala produk tangan manusia, termasuk karya sastra harus distandarisasi berdasarkan ‘kehendak pasar’.
Inilah yang sebanar-benarnya problem fundamental yang dihadapi dunia sastra pada umumnya. Pandangan dasar dari peradaban modern, yang mengedepankan watak, sifat dan karekteristik bendawi/materialisme, padagilirannya memang akan mengeliminir peran-peran dunia non material, baik dunia sastra, termasjuk juga agama. Yang diberi ruang besar adalah logika formal yang mendeskripsikan saintifik, dunia ilmiah yang terkhusus pada jenis-jenis sains yang obyeknya material.    
Demikianlah narasi modernisme menggemah. Narasinya hanya memuat cerita tentang ‘lemak dalam tubuh’, tentang dunia asesoris yang gemerlap, juga tentang kerlap-kerlip moralitas dan estetika yang membingungkan.
Kembali Ke Jalan Tradisi    
Sekali lagi, problem fundamental dunia sastra (terutama karya – karya puisi) dalam hubungannya dengan konstalasi kehidupan masyarakat moderen adalah nilai. Nilai itu telah berbenturan satu sama lain. Dan ada nilai yang keluar sebagai pemenang,  kemudian menjadi  hegemonik. Modernisme telah matang dengan nilai yang dibawanya sejak lahir. Demikian pula dunia sastra, telah membawa paradigmanya sendiri dari rahim kelahirannya dalam sejarah. Dan bahwa modernisme telah menghegemoni peradaban manusia kini, sementara dunia sastra mengap-megap dalam lirih kesedihan, bermohon agar tidak ditelan zaman.
Dunia sastra (karya puisi) tidak bisa berharap besar dalam struktur politik modernisme untuk memohon dibangkitkan atau diberdayakan, sehingga sastra dapat berperan dalam mengemban misi sucinya sebagai pembangun peradaban. Modernisme dalam pengertiannya sebagai paham dan operasional memiliki kesadaran dan logikanya sendiri mewujudkan peradaban.
Sehingga penting bagi dunia sastra (khsusnya karya-karya puisi) untuk mereposisi ingatan, logika dan kesadarannya mengenai siapa dirinya? Bahwa sepanjang sejarah abad moderen ini penerimaan modernisme atas dirinya begitu rendah; untuk tidak mengatakan ‘tidak diterima’. Tidak ada rumus yang jitu, selain bahwa dunia sastra (karya puisi) harus menemukan jalannya sendiri yang tepat, sebagai pejalan yang sama pada arus sejarah kehidupan manusia ini. Bukan menjadi bagian yang komplementer dari arus besar modernisme. Sehingga eksistensi dunia sastra (karya puisi) dapat menjadi penyeimbang dari banyak ketimpangan yang ditimbulkan dunia moderen atas hidup manusia dan lingkungannya, berkenaan dengan spritualitas, moralitas dan etika.
Dengan demikian dunia sastra (karya puisi) tidak menjadi ‘komoditas’ tetapi sebuah wadah ‘perlawanan’ dengan visi sebagai penyeimbang atas retak lantaknya dimensi spritual, moral dan etis dari peradaban modern ini. Jika dunia sastra (karya puisi) masih menyerahkan dirinya pada dunia modern maka, dia akan diperlakukan sebagai wanita yang akan dipekerjakan sebagai pelacur untuk memberikan keuntungan bagi majikan pemilik modal. Inilah ratap nestapa dunia sastra yang tengah menaggung nasib menyedihkan disepanjang jalan sejarah modernisme. Ini mungkin ‘bernada sarkasme’, tetapi harus diperdengarkan sebagai pengingat.  
Jalan yang paling rasional dan bermoral adalah mengembalikan dunia sastra (karya puisi) pada jalurnya sendiri, yakni jalan tradisi. Mengapa harus tradisi? Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan, mengapa harus modern? Ini berkenaan dengan pilihan-pilihan posisi. Posisi kesejatian masing-masing jalan pilihan. Jika modernisme adalah posisi pembrontakan terhadap tradisionalisme. Maka tradisionalisme adalah posisi gerakan yang akan menyadarkan modernisme untuk kembali ke kesejatian yang sesungguhnya.
Jika merujuk pada defenisi terminologis dari tradisi yang berakar kata tradisio, seperti yang disebut Sayyed Hossen Nasr sebagai ikatan ke Surga, ikatan pada Kesejatian, Prinsip Keabadian, maka karya-karya sasrta, terutama puisi haruslah merupakan refleksi Intelektual dan Spritual. Atau yang disebut Sayyad Hosesein Nasr sebagai hasil imposisi prinsip Spritual dan Intelektual pada materi atau subtansi bahasa.
Dengan demikian karya-karya sastra, khususnya puisi  yang di hasilkan memiliki relasi dengan semesta keabadian dan jauh dari sekedar karya tangan manusia yang sederhana.
Janganlah bangun rumahmu di tanah orang lain
Bekerjalah demi cita-citau sendiri yang sejati di dunia ini
Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing
Siapa orang asing itu kecuali nafsu-nafsumu akan dunia?
Dialah sumber bencana dan kepiluanmu
Selama Cuma tubuh yang kaurawat dan kaumanjakan
Takkan subur jiwamu, takkan pula teguh. (Jalaluddin Rumi, 1207-1273 M)