oleh: Syafruddin Muhtamar
Ada
banyak kalangan yang meresahkan dunia sastra, sejak lama hingga belakangan ini,
ditanah air. Terutama mereka yang bergelut langsung dengan dunia tersebut; para
sastrawan, penyair ataupun penulis. Juga termasuk orang-orang kampus yang
berada dalam lingkup pendidikan sastra dan kebudayaan pada umumnya.
Mungkin
jika dibuat list, akan panjang jumlah keresahan itu dalam daftar. Tetapi jika
dipetakan, keresahan itu bisa nampak dalam beberapa hal, misalnya tentang
problem menumbuhkembangkan minat sastra bagi generasi muda, kecilnya porsi
pelajaran sastra disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Secara internal,
tersumbatnya saluran regenerasi bagi pemula menembus ‘singgasana’ sebagai
sastrawan; generasi tua terlalu nikmat menduduki singasana kemapanannya hingga
lupa membentang kabel transmisi bagi generasi dibelakangnya. Sisi lain problem
komunikasi karya, yang memunculkan sosok baru bernama ‘sastra selfi’, dimana karya-karya
itu menemukan ruang asyiknya sendiri di dunia cyber.
Akhirnya
karena problem-problem itu, dunia sastra jadi melempem, mengkerut dan mungkin
saja suatu saat, masyarakat akan kehilangannya. Namun keresahan banyak kalangan
ini, juga adalah bukti bahwa sastra secara fitrawi selalu di rindu, terutama
ketika ia mengalami nasib tragis karena sempitnya ruang nafas untuknya. Para
sastrawan, ahli-ahli, publik yang bersimpati dan juga para penikmat sastra, para
pengagung sasta sesungguhnya juga ada banyak ide untuk keluar dari ruang sesak
dunia sastra saat ini, agar dunia itu kembali menemukan keudukannya yang layak
dalam kehidupan masyarakat manusia, masyarakat nusantara, sebagai pembentuk
peradaban.
Namun
jika dicermati secara seksama, hampir ide-ide solutif itu juga menenumi jalan
buntu. Ide brillian itu gugur satu persatu membentur tembok. Dunia sastra tetap
saja diratapi hingga kini. Mengapa dunia sastra masih tetap saja berada dititik
nadir ditengah dunia yang sedemikian cerdas, makin sejahtera, mandiri dan makin
maju dewasa ini? Kemungkinan besar jawabnya adalah, karena peradaban kini
adalah peradaban yang mengutamakan watak kebendaan.
Melawan
Arus Besar Modernisme
Kemajuan
kehidupan manusia mutakhir adalah kemajuan yang ditopang dengan sains ilmiah dan
tehnologi yang terderivasi darinya. Sebagai negara yang baru berusia belum
seabad dari kelahirannya di tahun 1945, juga tidak akan pernah sanggup mengangkat
derajat dunia sastra ke taraf yang dihehendaki oleh pikiran-pikiran para
penggiat, penggelut dan penikmat sastra itu. Kehadiran negara juga bagian dari
gelombang modernisme, yang pada subtansinya sudah membajak peran-peran
institusi kebangsaan, dimana dunia sastra sudah menjadi ‘pemain utama’ di
dalamnya.
Jika
dibayangkan, sebenarnya kemajuan tehnologi, kamakmuran dan keamanan relatif
yang kita nikmati sekarang ini, dunia sastra seharusnya tidak seperihatin ini.
Seharusnya ada banyak kemudahan bagi terwujudnya komunikasi karya-karya sastra
anak-anak negeri ini. Keberadaan penerbit dari yang media cetak hingga
elektronik, seharunya tidak lagi menjadi ‘penghalang’ bagi tumbuh suburnya
dunia sastra tanah air.
Kemajuan
dan pesatnya pertumbuhan orang-orang terdidik juga seharusnya tidak jadi ‘penghalang’
bagi terciptanya saluran regenerasi sistematik sastrawan dari segi kualitas dan
kuantitasnya. Demikian pula makin matangnya implemenasi demokrasi politik
kenegaraan kita seharusnya juga tidak menjadi ‘penghalang’ bagi bidang sastra
untuk masuk dalam kerangka perencanaan pembangunan nasional pemerintah, baik
dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Termasuk dalam hal ini, makin
cerdasnya publik akan hak-hak konstitusinya dan keberbangsaanya, sehurusnya
juga menjadi jalan mulus bagi tersalurnya aspirasi dunia sastra secara
keseluruhan.
Namun
pada keyataannya kemajuan modernitas dari kehidupan masyarakat negara ini tidak
tidak mengikutkan kemajuan dunia sastra di dalamnya. Malahan menjadi yang
tersisi di tengah gemuruh gemerlapnya kemajuan materi yang dirasakan
masyarakat. Menjadi dunia asing bagi sebagian besar penduduk bumi nusantara,
bahkan mungkin tidak mengenali wajahnya sepotongpun.
Inilah
keprihatinan yang sungguhnya, ketika modernisme berkencerungan pada
‘pembunuhan’ dunia non material. Dunia sastra adalah dunia spriritual, dunia
imaji dan semangat moral dan etis, dan nilai-nilai religius. Sementara jika
ditilik secara kritis, akar dari bangunan modernisme adalah penentangan
mati-matian atas tradisionalisme. Modernisme ingin menyingkirkan dunia
tradisional karena dianggap menghalagi kemajuan manusia, karena sifatnya yang
terlalu berbau ‘eskatologis’, beraroma akhirat yang ‘tidak masuk akal’.
Maka
renaisance sebagai rahim kelahiran modernisme, juga bermakna, bahwa kehadiran
modernisme telah secara nyata meneggelamkan ‘yang sakral’ dan hanya mau menerima
‘yang profan’, demi kamajuan material peradaban itu. Maka apa yang kita
saksikan sepanjang sejarah modernisme hingga kini, adalah kenestapaan bagi
dunia spritual, kemandekan dunia moral dan kejumudan semesta imajinasi manusia.
Dunia
non material (dunia sastra termasuk tidak terkecuali dunia agama) hanya
dimungkinkan bergabung dalam arus kuat modernisme jika dapat mengikuti jalur
gelombang besarnya yaitu, kapitalisasi dan/atau industrialisasi. Pandangan
dunia moderen adalah bahwa segala sesuatunya adalah komoditas. Seluruh potensi
manusia dan kehidupannya haruslah memiliki daya jual sehigga dapat
diberdayakan.
Jadi
sastra yang berdaya dalam pengertian peradaban
modern adalah yang ‘laku dipasaran’. Pasar telah menjadi majikan sakral
dalam putaran roda kehidupan masyarakat moderen. Pasar adalah tolak ukur
eksistensi sesuatu. Oleh karena itu segala produk tangan manusia, termasuk
karya sastra harus distandarisasi berdasarkan ‘kehendak pasar’.
Inilah
yang sebanar-benarnya problem fundamental yang dihadapi dunia sastra pada
umumnya. Pandangan dasar dari peradaban modern, yang mengedepankan watak, sifat
dan karekteristik bendawi/materialisme, padagilirannya memang akan mengeliminir
peran-peran dunia non material, baik dunia sastra, termasjuk juga agama. Yang
diberi ruang besar adalah logika formal yang mendeskripsikan saintifik, dunia
ilmiah yang terkhusus pada jenis-jenis sains yang obyeknya material.
Demikianlah
narasi modernisme menggemah. Narasinya hanya memuat cerita tentang ‘lemak dalam
tubuh’, tentang dunia asesoris yang gemerlap, juga tentang kerlap-kerlip
moralitas dan estetika yang membingungkan.
Kembali
Ke Jalan Tradisi
Sekali
lagi, problem fundamental dunia sastra (terutama karya – karya puisi) dalam
hubungannya dengan konstalasi kehidupan masyarakat moderen adalah nilai. Nilai
itu telah berbenturan satu sama lain. Dan ada nilai yang keluar sebagai
pemenang, kemudian menjadi hegemonik. Modernisme telah matang dengan
nilai yang dibawanya sejak lahir. Demikian pula dunia sastra, telah membawa
paradigmanya sendiri dari rahim kelahirannya dalam sejarah. Dan bahwa
modernisme telah menghegemoni peradaban manusia kini, sementara dunia sastra
mengap-megap dalam lirih kesedihan, bermohon agar tidak ditelan zaman.
Dunia
sastra (karya puisi) tidak bisa berharap besar dalam struktur politik
modernisme untuk memohon dibangkitkan atau diberdayakan, sehingga sastra dapat
berperan dalam mengemban misi sucinya sebagai pembangun peradaban. Modernisme
dalam pengertiannya sebagai paham dan operasional memiliki kesadaran dan
logikanya sendiri mewujudkan peradaban.
Sehingga
penting bagi dunia sastra (khsusnya karya-karya puisi) untuk mereposisi
ingatan, logika dan kesadarannya mengenai siapa dirinya? Bahwa sepanjang sejarah
abad moderen ini penerimaan modernisme atas dirinya begitu rendah; untuk tidak
mengatakan ‘tidak diterima’. Tidak ada rumus yang jitu, selain bahwa dunia
sastra (karya puisi) harus menemukan jalannya sendiri yang tepat, sebagai
pejalan yang sama pada arus sejarah kehidupan manusia ini. Bukan menjadi bagian
yang komplementer dari arus besar modernisme. Sehingga eksistensi dunia sastra
(karya puisi) dapat menjadi penyeimbang dari banyak ketimpangan yang
ditimbulkan dunia moderen atas hidup manusia dan lingkungannya, berkenaan
dengan spritualitas, moralitas dan etika.
Dengan
demikian dunia sastra (karya puisi) tidak menjadi ‘komoditas’ tetapi sebuah
wadah ‘perlawanan’ dengan visi sebagai penyeimbang atas retak lantaknya dimensi
spritual, moral dan etis dari peradaban modern ini. Jika dunia sastra (karya
puisi) masih menyerahkan dirinya pada dunia modern maka, dia akan diperlakukan
sebagai wanita yang akan dipekerjakan sebagai pelacur untuk memberikan
keuntungan bagi majikan pemilik modal. Inilah ratap nestapa dunia sastra yang
tengah menaggung nasib menyedihkan disepanjang jalan sejarah modernisme. Ini
mungkin ‘bernada sarkasme’, tetapi harus diperdengarkan sebagai pengingat.
Jalan
yang paling rasional dan bermoral adalah mengembalikan dunia sastra (karya
puisi) pada jalurnya sendiri, yakni jalan tradisi. Mengapa harus tradisi?
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan, mengapa harus modern? Ini berkenaan
dengan pilihan-pilihan posisi. Posisi kesejatian masing-masing jalan pilihan. Jika
modernisme adalah posisi pembrontakan terhadap tradisionalisme. Maka
tradisionalisme adalah posisi gerakan yang akan menyadarkan modernisme untuk
kembali ke kesejatian yang sesungguhnya.
Jika
merujuk pada defenisi terminologis dari tradisi yang berakar kata tradisio, seperti yang disebut Sayyed
Hossen Nasr sebagai ikatan ke Surga,
ikatan pada Kesejatian, Prinsip Keabadian, maka karya-karya sasrta,
terutama puisi haruslah merupakan refleksi Intelektual dan Spritual. Atau yang
disebut Sayyad Hosesein Nasr sebagai hasil imposisi prinsip Spritual dan
Intelektual pada materi atau subtansi bahasa.
Dengan
demikian karya-karya sastra, khususnya puisi
yang di hasilkan memiliki relasi dengan semesta keabadian dan jauh dari
sekedar karya tangan manusia yang sederhana.
Janganlah
bangun rumahmu di tanah orang lain
Bekerjalah
demi cita-citau sendiri yang sejati di dunia ini
Jangan
sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing
Siapa
orang asing itu kecuali nafsu-nafsumu akan dunia?
Dialah
sumber bencana dan kepiluanmu
Selama
Cuma tubuh yang kaurawat dan kaumanjakan
Takkan
subur jiwamu, takkan pula teguh. (Jalaluddin Rumi,
1207-1273 M)