Oleh
Syafruddin Muhtamar
Takdir perjalanan sejarah
yang berlaku pada mahluk di semesta ini, dari mahluk paling kecil hingga paling
besar, dari melata hingga manusia, dari waktu hingga ruang, secara pasti
melewati satu rangkaian dari deretan perjalanan itu suatu ‘masa’ yang disebut,
‘transisi’. Jika melihat kategori utama perjalanan sejarah mahluk hidup; sejak periode
kelahiran, pertumbuhan atau perkembangan hingga ketika periode akhir
kehidupannya, maka masa transisi menjadi selingang ‘kecil’ dari serangkaian
periode-periode tersebut. Disebut selingan kecil karena kehadiran masa transisi
ini kadang luput dari kesadaran dan seringkali lewat begitu saja tanpa tahu
bahwa waktunya telah berlalu.
Jika merujuk arti kata
‘transisi’ dalam kamus, yang menunjuk pada ‘peralihan dari keadaan’, maka makna
transisi ini ingin memperlihatkan ‘kejadian atau peristiwa’ suatu tertentu. Baik
ketika ‘transisi’ disematkan dalam konteks ruang maupun waktu, maknanya selalu
menujuk pada ‘peralihan keadaan sesuatu’ itu. Dengan demikian ‘transisi’ adalah
kondisi yang mengarah pada ‘keadaan yang akan berubah’. Kita dapat menyebut,
transisi ini sebagai ‘keadaan antara’; antara suatu keadaan dengan keadaan
‘lain’ yang dikehendaki ataupun keadaan yang terjadi alami.
Istilah atau kata transisi
banyak dipakai dalam ragam pengetahuan. Mislanya kita mengenal istilah transisi
demografi, transisi epidemiologi, transisi politik, transisi sejarah, transisi
demokrasi, transisi ruang, transisi waktu, …. Namun popularitasnya sangat menonjol
dalam bidang politik praktis. Terutama ketika terjadi pergantian pimpinan
Negara pasca pemilu, reformasi, revolusi, atau pasca kudeta. Karena seluruh
masyarakat akan merasakan masa transisi ini, khsususnya pemain-pemain politik
yang ‘berebut’ kekuasaan. Sehingga menjadi topik membicaraan yang selalu
hangat, tetapi hanya sepanjang masa transisi itu saja.
Urgensi
Transisi
‘Keadaan antara’ itu selalu
penting. Masa ini adalah masa ‘jedah’ dari sebuah hiruk pikuk menuju pada kemungkinan
hiruk pikuk yang lain. Atau jedah dari dari kondisi chaos ke stabil, atau
sebaliknya. Atau ‘antara’ keadaan apa saja beralih pada keadaan apa saja.
Tergantung dalam konteks atau fenomena apa transisi ini ditemukan atau
dialamai. Misalnya kalau dalam peristiwa politik kenegaraan pasca pemilu, maka
antara ‘pemerintahan lama’ dengan ‘pemerintahan baru’. Kalau dalam demografi,
berarti antara ‘penduduk tumbuh pesat’ dengan ‘penduduk tumbuh rendah’. Atau
dalam bidang kesehatan misalnya, antara ‘kompleknya penyakit penyebab kematian’
dengan ‘sederhananya penyakit penyebab kematian’. Peralihan dari waktu siang ke
malam, dari terang ke gelap, dari bayi ke anak, remaja ke dewasa, dan dari
duniawi ke ukhrawi, seluruhnya memiliki masa transisi.
Mengapa masa transisi itu
penting? Pertama, masa ini menjadi penentu awal dari ‘nilai’ kondisi yang akan
terjadi, dan yang kedua, karena masa ‘menentukan’ ini hanya berlangsung
‘singkat’. Arti penting transisi terkait langsung dengan ‘kehidupan
selanjutnya’ yang dinginkan atau dikehendaki oleh seseorang atau sebuah
masyarakat. Karena permulaan untuk menentukan kehidupan yang diinginkan dimasa
depan, ditentukan pada periode ‘transisi’ ini. Individu yang terlena atau
masyarakat yang khilaf, perhatiannya akan luput dari masa-masa kritis ini,
sehingga periode itu berlalu dan tidak ada persiapan memadai memasuki kondisi
yang kemudian terjadi selanjutnya.
Dunia ‘transisi’ menjadi sangat penting, baik
dalam arti maupun maknanya, adalah dalam kehidupan manusia. Khususnya berkenaan
dengan bagaimana ‘penentuan arah keadaan yang dikehendaki’. Dikehendaki dalam
hal ini selalu menurut ‘apa yang baik’ yang diinginkan manusia. Arinya lebih
jauh adalah, bahwa nilai-nilai kebaikan yang dimiliki, yang dipahami atau yang
diketahui oleh manusia, menjadi modal dasar penentuan cita-cita keadaan
kehidupan yang dimauinya. Nilai-nilai kebaikan juga tentu beragam, apakah
kebaikan itu bersumber dari murni pikirannya sendiri (logika, sains) atau
sumbernya dari kitab suci. Maka dengan modalitas nilai-nilai itulah kemudian
manusia menentukan nilai rencananya dalam fase transisi menuju keadaan yang
diinginkannya ‘pasca’ transisi.
Momen transisi ini boleh
juga disebut ‘keadaan kosong’. Ibarat sebuah ‘kebun kosong’ yang bebas ditanami
dengan tumbuhan atau tanaman apa saja oleh si pemilik kebun. Tanaman yang
tumbuh hingga musim panenan tiba dan menikmati hasil, adalah keadaan yang
dibayangkan pemilik kebun ketika mulai menanam di awal masa tanam. Sekali lagi,
momen transisi menjadi penting jika manusia menyadari perubahan apa yang sedang
mereka rencanakan dan upayakan, arah masa depan seperti apa yang sedang kita
kehendaki diwaktu yang akan datang.
Transisi-transisi
Besar
Dalam kehidupan kita,
terdapat tiga momen penting perubahan yang paling menentukan nilai kemanusiaan
kita sebagai individu dan masyarakat. Pertama perubahan peradaban, kedua
perubahan usia dan ketiga perubahan kehidupan. Dalam tiga jenis perubahan ini,
nilai manusia adalah ‘pusat’ perubahan, artinya mutu kemanusiaan adalah pertaruhan
utama perubahan. Ke dalam tiga ragam perubahan inilah transisi menjadi
sedemikian penting, melebihi momen apapun. Kegagalan mengelola transisi pada
momen perubahan itu akan beralamat fatal bagi ‘nilai manusia’ di masa depan.
Disinilah transisi-transisi besar itu terjadi.
Dalam perjalanan kehidupan
manusia, terdapat lombatan-lompatan perubahan besar dari masa ke masa. Bahkan
sejak awal peradaban manusia telah terjadi lompatan perubahan itu, anggaplah
seperti yang dikemukakan ahli-ahli sejarah mengenai masa pra sejarah yang
kemudian berubah ‘masuk’ pada fase kehidupan sejarah sejarah. Dari sejarah
peradaban klasik tradisional lalu mengalami modernisasi dan menjadi peradaban
modern. Proses transisinya bukanlah sesuatu yang sederhana, bukan hanya dari
segi waktu seringkali memakan waktu sangat panjang dan melelahkan, menelan
berbagai pergantian generasi, meminta korban bukan hanya materi tetapi juga
jiwa. Hingga baru kemudian masuk pada awal peradaban yang mereka cita-citakan
itu diawal masa transisi.
Dalam sejarah manusia, dari
kelahiran hingga kematiannya, juga terdapat masa-masa urgen transisi dalam
proses perubahan usia manusia. Setiap masa transisi itu akan menjadi penentu
kematangan usia kemanusiaan manusia dalam kehidupan. Kita mengenal istilah
manusia baik dan manusia buruk, manusia suci dan manusia berlumur dosa, dan
manusia pintar atau manusia bodoh. Istilah-istilah ini menunjukkan mutu dari
individu manusia tersebut, dimana setiap orang berbeda-beda dalam memprosesi
diri menuju cita-cita kehidupannya pada setiap masa transisi usianya.
Dalam kehidupan, juga
terjadi perubahan yang sesungguhnya, yakni peralihan dari kehidupan duniawi
kepada kehidupan akhirat. Pada jenis perubahan inilah perubahan yang sejati
berlangsung. Hakekat perubahan kehidupan manusia terjadi pada peralihan
darikehidupan fana me jadi kehidupan abadi. Hal ini tidak sederhana untuk
dijelaskan, karena telah menyangkut ‘pertanggungjawaban amanah’ pada kehidupan
sebelumnya kepada Pemilik kehidupan itu. Hanya bahwa transisi disini menjadi
sangat berbeda dengan masa-masa transisi yang lainnya dalam kehidupan manusia.
Sebab masa transisi disini terjadi dalam ‘periode kuburan’ ketika jasad kita
telah ditinggalkan oleh rohnya, dan jasad itu harus dibenamkan ke dalam tanah
sebagai tempatnya bersemayam menunggu hingga masa berbangkit tiba sebagai
pertanda dimulainya awal kehidupan akhirat.
Anak adam yang dikuburkan
oleh saudara kandungnya itu juga, sedang dalam masa transisi. Masa menunggu
dari sejak kematiannya hingga sekarang diakhir zaman. Ini adalah masa transisi
yang tiada pengetahuan atasnya, dan akan tetap menjadi rahasia dari Sang
Pemilik kehidupan itu. Menurut para ahli agama, masa ini adalah masa kita hidup
di ‘teras’ akhirat. Karena akhirat hanya ‘dua kapling zona’ surga-neraka, maka
setiap kita akan merasakan ‘hawa masa depan’ kita di masa transisi ini; apakah
kita akan merasakan semilir angin dari surga, atau percikan-percikan dari
gemuruh api neraka. Masa transisi
disini bukanlah masa ‘berkebun’, tetapi masa bayang-bayang masa depan ukhrawi
telah hadir dipelupuk mata.
Defenisi ‘normal’ transisi
tidak berlaku disini. Masa kehidupan duniawi inilah masa manusia mementukan,
merancang, menetapkan dan membangun masa depannya di waktu akhirat. Jadi masa
menunggu di alam kehidupan ‘kubur’, adalah ‘tansisi’ memasuki alam akhirat,
tanpa bisa lagi kita ‘mempengaruhi’ kehidupan itu.
Hanya dalam kehidupan fana ini, masa transisi bisa digunakan untuk
tujuan apa saja. Tetapi tujuan yang sejati adalah tujuan yang sebenarnya. Lalu
kearahmanaakah tansisi dalam kehidupan kita gunakan? Disinilah transisi kebun
kosong terjadi. Masa menanam pada ‘kebon kosong’ itu, menjadi kerja fundamental
manusia dalam fase transisi ini.
Label: Humaniora